Anda di halaman 1dari 3

Halaman 811-821

Evaluasi di Indonesia
Dengan diterbitkannya PP No.39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, telah membuat isu evaluasi kebijakan menjadi perhatian
yang sangat penting di Indonesia. Dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa permasalahan
diantaranya; Pertama, secara konsep yaitu pengendalian pembangunan karena evaluasi
merupakan bagian dari pengendalian. Kedua, Pasal 1 ayat (1) (2) (3) menyebutkan tiga isu
penting dalam kebijakan yaitu pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Ketiga, kebingungan
membedakan antara “program” dengan “kebijakan”. Pasal 1 ayat 22 menjelaskan bahwa
keluaran adalah barang/jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilakukan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Keempat, kebingungan membedakan
“efektivitas” “kemanfaatan” “keluaran” dan “hasil”. Bappenas telah memiliki konsep standar
yakni keluaran (output), kemanfaatan (outcome) dan hasil mencakup keluaran dan
kemanfaatan. Kelima, kebingungan memahami konsep “evaluasi” yakni sebuah kegiatan
pasca kegiatan. Menilai sebuah kegiatan yang telah selesai dilaksanakan. Istilah “Evaluasi”
yang digunakan “pada saat pelaksanaan” bukanlah evaluasi itu sendiri, melainkan
pengawasan yang didalamnya terdapat tugas penilaian.
Evaluasi senantiasa dilakukan pasca implementasi, karena kinerja ada setelah
implementasi selesai. Tidaklah fair jika evaluasi dilakukan sebelum pekerjaan selesai.
Evaluasi yang disarankan adalah evaluasi yang menggunakan “taktik” dalam penyelesaian
masalahnya. Jadi tiga bulan sebelum evaluasi, dilakukan “pra-evaluasi” agar proses
evaluasinya sendiri dapat dilakukan dengan lebih cepat. Karena hasil evaluasi dengan segera
akan digunakan sebagai materi perencanaan periode atau tahap selanjutnya. Bagi indonesia,
model yang disarankan adalah mulai mengembangkan penilaian antara evaluasi yang bersifat
teknis. Namun demikian, jika Bappenas tidak dikehendaki sebagai agen evaluasi, Bappenas
telah menjadi agen perencanaan, maka peran evaluasi dapat dilakukan oleh agen yang
bersifat khusus yang dimasa lalu bernama sekretaris pengendalian operasional pembangunan
yang melekat kepada kantor kepresidenan.

Evaluasi dan Good Governance


Dari sisi akuntabilitasnya, evaluasi kebijakan merupakan bagian terpenting dalam
pelaksanaan good governance. Dengan evaluasi kebijakan, pemerintah dapat
mempertanggung jawabkan dirinya dalam konteks ketata kelolaan yang baik. Evaluasi
kebijakan perlu dilaksanakan secara memadai dari sisi dimensi kebijakan publik, untuk
mendapatkan gambaran terbaik dimana terjadi kemajuan dan di mana ada kemandegan. Hal
ini merupakan sisi fairness dalam good governance. Panduan utama untuk menilai suatu
evaluasi itu baik dan bisa dipertanggungjawabkan, maka dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yakni; Pertama, evaluasi digunakan pada keempat dimensi kebijakan publik. Kedua,
evaluasi dilakukan dengan tujuan melihat sejauh mana tujuan yang dikehendaki oleh
kebijakan tujuan intervensi secara terbatas dicapai. Ketiga, evaluasi dilakukan dari sisi input,
proses, dan produk, serta by product nya. Keempat, evaluasi kebijakan dilakukan untuk
mencapai akuntabilitas dengan beberapa tingkatan. Secara minimal, paling tidak evaluasi
harus mencapai akuntabilitas teknis/administratif, strategis/manajerial, legal, politik dan
moral, sembari menggagas bahwa kebijakan publik yang dibuat kelak harus
dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Kuasa yang juga memberi kesempatan untuk
memegang kekuasaan didunia sebagai pertanggungjawaban kebijakan publik.

Pengganjaran
Setiap kebijakan publik harus dan wajib untuk dinilai. Penilaian dilakukan melalui
evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga tersebut, lembaga diatasnya, lembaga
pengawas, dan/atau masyarakat atau publik. Setelah penilaian, maka hal selanjutnya yang
dilakukan adalah diganjar. Jika berhasil diberikan insentif (reward) dan jika gagal diberikan
hukuman (punishment). Ganjaran tentu tidaklah sederahana yang diperkirakan, karena
ganjaran bergerak pada lima jenjang;
1. Etika: dengan hukuman terberat adalah social punishment berupa pengucilan dan
pendiskreditan secara sosial.
2. Politik: dengan hukuman terberat adalah impeachment.
3. Hukum: dengan hukuman terberat adalah penjara dan/atau denda.
4. Manajemen: dengan hukuman terberat adalah pemberhentian dari jabatan manajemen.
5. Teknis/finansial: dengan hukuman terberat mengganti kerugian.
Konsep pengganjaran menjadi sebuah solusi final untuk mengendalikan kebijakan agar
dapat menccapai tujuannya. Terdapat model-model evaluasi kebijakan yang tidak diikuti oleh
hadiah jika berprestasi, atau sanksi jika gagal. Adapun kebijakan tertentu yang mengandung
sanksi biasanya hanya untuk masyarakat, khususnya pelaku usaha atau korporasi. Jika tidak
memenuhi aturan maka akan dikenakan sanksi. Namun tidak ada kriteria sanksi untuk
organisasi publik yang tidak berprestasi. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada kebijakan
yang memberikan insentif jika kebijakan dilaksanakan dengan baik dan perform. Kebijakan
di indonesia masih bersifat hukum semata yang hanya melihat kesalahan dan kemudian
hukum.

Revisi Kebijakan
Ketika evaluasi kebijakan menghasilkan kesimpulan, maka ada kebijakan yang dihentikan
dan ada pula yang dilanjutkan. Ketika dilanjutkan maka biasanya terdapat revisi dalam
kebijakan tersebut. Revisi dilakukan karena kebijakan itu hidup sebab ada pada masyarakat
yang hidup. Perubahan diperlukan untuk adaptasi dan antisipasi. Paul Sabatier dan Hank
C.Jenkins-Smith (1993) menyebut revisi kebijakan sebagai policy change yang merupakan
proses yang terkait sebagai akibat interaksi dari para pihak yang berkoalisi. Proses yang
dilakukannya sangat pelik karena melibatkan sub-sub sistem didalam proses kebijakan
publik. Sedangkan menurut pemahaman Grindle dan Thomas (1980) mengistilahkan revisi
kebijakan sebagai policy reform yang dapat dipahami sebagai bagian yang sebangun dengan
proses perumusan kebijakan. Perbedaannya, revisi kebijakan harus dimulai dari evaluasi
kebijakan. Oleh karena itu, prosesnya dapat disusun sebagai berikut.
1. Munculnya isu kebijakan yang memerlukan evaluasi kebijakan
2. Menangkap isu kebijakan dan membentuk tim evaluasi kebijakan yang merangkap tim
revisi kebijakan
3. Proses evaluasi kebijakan
4. Proses revisi kebijakan/penyusunan draf nol
5. Forum publik I (para pakar kebijakan dan pakar yang berkenan dengan masalah terkait)
6. Forum publik II (Instansi pemerintah diluar lembaga pemerintahan yang merumuskan
kebijakan tersebut)
7. Forum publik III (beneficiaries)
8. Forum publik IV (seluruh pihak terkait secara luas: tokoh masyarakat, LSM, asosiasi
usaha terkait)
9. Perumusan draf 1
10. Diskusi FGD draf 1 dilaksanakan
11. Perumusan draf 2 (draf final)
12. Pengesahan (untuk kebijakan yang bukan Undang-Undang) atau proses legislasi (untuk
kebijakan Undang-Undang)

Anda mungkin juga menyukai