Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

Skizofrenia dan Penatalaksanaannya

Disusun Oleh:

Hanna Damayanti (112017016)

Pembimbing :

dr.M. Danial Umar, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN


JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 25 MARET 2019 – 27 APRIL 2019

1
SKIZOFRENIA DAN PENATALAKSANAANNYA

I. PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah sindroma klinis yang bervariasi dan bersifat


destruktif. Salah satu bentuk dari Skizofrenia adalah gangguan psikosis
yang menunjukkan beberapa gejala psikotik, psikopatologi dari
Skizofrenia melibatkan aspek kognisi, persepsi dan aspek lain perilaku.
Beberapa gejala psikotik adalah delusi, halusinasi, pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau.1

Skizofrenia sendiri merupakan suatu penyakit otak persisten serius


yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta
memecahkan masalah.1

II. ETIOPATOGENESIS

Etiologi dari Skizofrenia terdiri dari faktor biologik, faktor


psikososial, dan faktor genetik. Faktor biologik meliputi neurokimiawi
otak, hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis),
hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopment hypothesis),
elektrofisiologi, psikoneuroimunologi, psikoneuroendokrinologi.
Faktor psikososial meliputi teori psikoanalitik, dinamika keluarga.2

Neurokimiawi otak dijelaskan melalui hipotesis dopamin, hipotesis


serotonin, hipotesis GABA, hipotesis glutamat. Menurut hipotesis
dopamin terjadinya Skizofrenia akibat adanya aktivitas dopaminergik
yang berlebihan. Hipotesis serotonin menyebutkan bahwa akibat
serotonin yang berlebihan sebagai penyebab gejala positif dan negatif
pada Skizofrenia. Sedangkan menurut hipotesis GABA menyatakan
neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid
(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi Skizofrenia. Hal ini didasarkan
pada penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai

2
kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki
efek regulatory pada aktivitas dopamin, dan kehilangan neuron inhibitory
GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron
dopaminergik. Dan yang terakhir berdasarkan hipotesis glutamat
menjelaskan bahwa glutamat dianggap terlibat karena penggunaan
fensiklidin, suatu antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut
yang serupa dengan Skizofrenia.2

Hipotesis degeneratif saraf menyebutkan bahwa degeneratif saraf


diduga dipengaruhi oleh apoptosis abnormal yang diprogram secara
genetik, degenerasi dari neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal
terhadap anoksia, toksin- toksin, infeksi atau malnutrisi, proses
kehilangan neuronal yang dikenal sebagai excitotoxicity akibat aksi
berlebihan dari neurotransmiter glutamat. Jika neuron- neuron tereksitasi
ketika memperantarai gejala-gejala positif, kemudian mati akibat proses
toksik yang disebabkan neurotransmisi excitatory yang berlebihan, ini
membawa ke stadium residual burn out dan gejala-gejala negatif.2

Hipotesis perkembangan saraf menduga bahwa adanya hubungan


yang berasal dengan abnormalitas dalam perkembangan otak. Skizofrenia
dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat yang kemudian
berpengaruh dengan perkembangan saraf.2

Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien


skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan
sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike yang sering setelah
kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan
delta.2

Berdasarkan psikoneuroimunologi menyatakan bahwa sejumlah


abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup penurunan
produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons limfosit
perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron,
adanya antibodi brain-directed (antibrain).2

3
Pada beberapa laporan ditemukan adanya perbedaan neuroendokrin
pada pasien Skizofrenia. Contohnya: abnormalitas dexamethason
suppression test, penurunan luteinizing hormone dan follicle-
stimulating hormone.2

Berdasarkan teori psikoanalitik yang dihubungkan dengan teori


Sigmund Freud, menyatakan bahwa Skizofrenia berasal dari
perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada
perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap
gejala-gejala Skizofrenia. Sedangkan berdasarkan dinamika keluarga
ditemukan bahwa sejumlah pasien Skizofrenia berasal dari keluarga-
keluarga yang disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan
stres emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia
untuk mengatasinya.2

Terdapat kontribusi genetik pada kejadian Skizofrenia. Risiko


menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada
keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia
maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens
skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia
sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang
tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40%.2

Studi-studi yang berkaitan dengan genetik, baik posisi; lokasi pada


regio genom yang berhubungan dengan skizofrenia dan fungsi;
keterlibatan dalam perkembangan otak, hubungan sinaptik dan
neurotransmisi menghasilkan beberapa gen yang dianggap mempunyai
kontribusi terhadap Skizofrenia, seperti : dysbindin (DTNBP 1),
neuregulin1(NRG1), G 72, RGS4,cathecol- O- methyl transferase
(COMT), proline dehydrogenase (PRODH), metabotropic glutamate
receptor 3 (GRM3), protein kinase AKT1 dan disrupted-in-
schizophrenia (DISC1).2

Empat gen-gen kunci yang mengatur konektivitas dan sinaptogenesis

4
pada skizofrenia adalah: brain- derived neurotrophic factor (BDNF),
dysbindin (disebut juga dystrobrevin-binding protein1) yang terlibat
dalam pembentukan struktur-struktur sinaptik, neuregulin, terlibat dalam
migrasi neuronal dan pembentukan sel-sel glia dan mielinisasi; dan
DISC-1(disrupted in schizophrenia-1) yang membuat protein yang
terlibat dalam neurogenesis, migrasi neuronal dan organisasi dendritik.2

III. PENEGAKKAN DIAGNOSIS3

Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah


sebagai berikut:

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):

a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang


atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran
ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda
atau “thought insertion or withdrawal” yang merupakan isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan “thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;

“delusion of control”, adalah waham tentang dirinya


dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
“delusion of passivitiy” merupaka waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang
merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.

5
b. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi
dibawah ini:

 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus


menerus terhadap perilaku pasien, atau

 Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara


mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara), atau

 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah


satu bagian tubuh.

c. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya


setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing
dan dunia lain).

d. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas :

 Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja,


apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;

 Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami


sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah

6
(excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara


yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial;
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal)

f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam


mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri (self- absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.

Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah:


 Berlangsung minimal dalam enam bulan
 Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri
sendiri
 Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas
selama berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
 Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan
skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan
organik

7
IV. PENGGOLONGAN SKIZOFRENIA3

Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain


dalam perjalanan penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik
sering lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex,
atau gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia
paranoid memiliki perkembangan gejala yang konstan. Gejala-gejala
yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga
didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi.

Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun.


Permulaannya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut.
Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan
skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya
pada orang lain.Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia paranoid
dapat didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :

 Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia

 Sebagai tambahan :

o Halusinasi dan atau waham harus menonjol :

 Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang


saling berkomentar tentang diri pasien, yang
mengancam pasien atau memberi perintah,
atau tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.

 Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa,


atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.

8
 Waham dapat berupa hampir setiap jenis,
tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence),
atau “Passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas.

o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan


pembicaraan, serta gejalakatatonik secara relatif tidak
nyata / tidak menonjol.

Pasien skizofrenik paranoid memiliki karakteristik berupa


preokupasi satu atau lebih delusi atau sering berhalusinasi. Biasanya
gejala pertama kali muncul pada usia lebih tua daripada pasien
skizofrenik hebefrenik atau katatonik. Kekuatan ego pada pasien
skizofrenia paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan
hebefrenik. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang
lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan
perilakunya dibandingkan tipe skizofrenik lain.

Pasien skizofrenik paranoid biasanya bersikap tegang, pencuriga,


berhati-hati, dan tak ramah.Mereka juga dapat bersifat bermusuhan
atau agresif.Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi
sosial.Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh gangguan psikosis
mereka dan cenderung tetap intak.

Skizofrenia Hebefrenik

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada


masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti
mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan halusinasi banyak.

9
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat
didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut Memenuhi kriteria
umum diagnosis skizofrenia

 Diagnosis hebefrenik biasanya ditegakkan pada usia remaja atau


dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)..

 Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya


diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya,
untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang
benar bertahan :

o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat


diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk
selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa
tujuan dan hampa perasaan;

o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar


(inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau
perasaan puas diri (self- satisfied), senyum sendirir (self-
absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli
secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);

o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak


menentu (rambling) serta inkoheren.

o Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan


proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham
mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan

10
(aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.

Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya


akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi
gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu
penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali terhadap
lingkungannya. Gejala paling penting adalah gejala psikomotor
seperti:

1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup

2. Muka tanpa mimik, seperti topeng

3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang


lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.

4. Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme

5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul


dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan

6. Terdapat grimas dan katalepsi

Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan stupor


ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah
terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi
yang semestinya dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.

Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan


stereotipi, manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak
makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps

11
dan kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih
bila terdapat juga penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya).

Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis


apabila terdapat butir-butir berikut :

 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.

 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi


gambaran klinisnya :

o Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap


lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara):

o Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak


bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

o Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela


mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang
tidak wajar atau aneh);

o Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif


terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakkan kearah yang berlawanan);

o Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk


melawan upaya menggerakkan dirinya);

o Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan


anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk
dari luar); dan

o Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan


secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat- kalimat.

12
o Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi
perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia
mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai
tentang adanya gejala-gejala lain.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan


petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

Pasien dengan skizofrenia katatonik biasanya bermanifestasi salah


satu dari dua bentuk skizofrenia katatonik, yaitu stupor katatonik dan
excited katatatonik. Pada katatonik stupor, pasien akan terlihat diam
dalam postur tertentu (postur berdoa, membentuk bola), tidak
melakukan gerakan spontan, hampir tidak bereaksi sama sekali
dengan lingkungan sekitar bahkan pada saat defekasi maupun buang
air kecil, air liur biasanya mengalir dari ujung mulut pasien karena
tidak ada gerakan mulut, bila diberi makan melalui mulut akan tetap
berada di rongga mulut karena tidak adanya gerakan mengunyah,
pasien tidak berbicara berhari-hari, bila anggota badan pasien dicoba
digerakkan pasien seperti lilin mengikuti posisi yang dibentuk,
kemudian secara perlahan kembali lagi ke posisi awal. Bisa juga
didapati pasien menyendiri di sudut ruangan dalam posisi berdoa dan
berguman sangat halus berulang-ulang.

Pasien dengan excited katatonik, melakukan gerakan yang tanpa


tujuan, stereotipik dengan impulsivitas yang ekstrim. Pasien berteriak,
meraung, membenturkan sisi badannya berulang ulang, melompat,
mondar mandir maju mundur.Pasien dapat menyerang orang
disekitarnya secara tiba-tiba tanpa alasan lalu kembali ke sudut
ruangan, pasien biasanya meneriakka kata atau frase yang aneh
berulang-ulang dengan suara yang keras, meraung, atau berceramah
seperti pemuka agama atau pejabat.Pasien hampir tidak pernah
berinteraksi dengan lingkungan sekitar, biasanya asik sendiri dengan

13
kegiatannya di sudut ruangan, atau di kolong tempat tidurnya.

Walaupun pasien skizofrenia katatonik hanya memunculkan salah


satu dari kedua diatas, pada kebanyakan kasus gejala tersebut bisa
bergantian pada pasien yang dalam waktu dan frekuensi yang tidak
dapat diprediksi.Seorang pasien dengan stupor katatonik dapat secara
tiba-tiba berteriak, meloncat dari tempat tidurnya, lalu
membantingkan badannya ke dinding, dan akhirnya dalam waktu
kurang dari satu jam kemudian kembali lagi ke posisi stupornya.

Selama stupor atau excited katatonik, pasien skizofrenik


memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien
melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin
ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau
cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.

Skizofrenia Simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Permulaan gejala mungkin penderita mulai kurang
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat
didiganosis apabila terdapat butir-butir berikut :

 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan


karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan
perlahan dan progresif dari :

o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa


didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan

14
perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan


subtipe skizofrenia lainnya.

Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa


pubertas.Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali.Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri
dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau
pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada
orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis,
pelacur, atau penjahat.

Skizofrenia Residual

Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat


sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembang ke arah gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala
negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya
perawatan diri dan fungsi sosial.

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini


harus dipenuhi semua :

 Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya


perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk

15
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;

 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa


lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;

 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana


intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negative” dari skizofrenia;

 Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik


lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.

Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang


terus menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan
lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain
skizofrenia.Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku
eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual.Jika waham atau
halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak
disertai afek yang kuat.

Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)

Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah


dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ III mengklasifikasikan
pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostik menurut
PPDGJ III yaitu:

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,


hebefrenik, atau katatonik.

16
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.

Depresi Pasca-Skizofrenia

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :

 Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria


diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;

 Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi


mendominasi gambaran klinisnya); dan

 Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling


sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.

 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis


menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih
jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai.

Skizofrenia lainnya

 Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)

Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang


dari 3 bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR.
40% dari pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan
progresif dan akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien
skizofrenia.

 Oneiroid

Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi,

17
biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah
oneiroid digunakan pada pasien yang terperangkap dalam
pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan
dunia nyata.

 Early onset skizofrenia

Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu


dibedakan dengan retardasi mental dan autism.

 Late onset skizofrenia

Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih


sering terjadi pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala
paranoid.

V. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS

ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)

Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di


kelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi
pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua (APG II).
Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok
reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena
itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD)
atau antipsikotik konvensional atau tipikal.4

Kerja dari APG I menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur


mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi
ternyata APG I tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi
juga memblok reseptor D2 di tempat lain seperti di jalur mesokortikal,
nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. Apabila APG I memblok
reseptor D2 di jalur mesokortikal dapat memperberat gejala negatif
dan kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. blokade
reseptor D2 di nigrostriatal secara kronik dengan menggunakan APG I

18
menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia).
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan
kadar prolaktin sehingga dapat menyebabkan disfungsi seksual dan
peningkatan berat badan.4

APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala


positif seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan
kekambuhan setelah penghentian pemberian APG I. 4

Kerugian pemberian APG I antara lain: (1) Mudah terjadi EPS dan
tardive dyskinesia, (2) Memperburuk gejala negatif dan kognitif, (3)
Peningkatan kadar prolaktin, (4) Sering menyebabkan terjadinya
kekambuhan. Sedangkan keuntungan pemberian APG I adalah jarang
menyebabkan terjadinya Sindrom Neuroleptik Malignant (SNM) dan
cepat menurunkan gejala negatif.4

APG I dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia.


Pembagian berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan
rendah. Sedangkan pembagian berdasarkan rumus kimia adalah
phenotiazine dan non-phenotiazine.4

Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan
10 mg. APG I potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol,
fluphenazine, trifluoperazine dan thiothixine. Potensi anti
dopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping tinggi seperti
distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan
darah rendah.4

Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg.
APG I potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan
molindone. Digunakan untuk penderita yang sulit terhadap toleransi
efek samping APG I potensi tinggi dan potensi rendah.4

Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg.
APG I potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine,

19
dan mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi
ortostatik, lethargi dan gejala antikolinergik meningkat berupa mulut
kering retensi urine, pandangan kabur dan konstipasi.4

Pembagian APG I bedasarkan rumus kimia: 5

1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic: Clorpromazine
 Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
 Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide

CLORPROMAZINE (Largactil, Promactil, Cepezet)

Clorpromazine (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-


fenotiazin. Derivat fenotiazin lain di dapat dengan cara substitusi pada
tempat 2 dan 10 inti fenotiazin.6

Indikasi pemberian ini pada beberapa keadaaan, antara lain: (1)


Skizofrenia dengan gejala agitasi, ansietas, tegang, bingung, insomnia,
waham, halusinasi, (2) Psikotik manik-depresif, (3) Gangguan
kepribadian, (4) Psikosis involusional, (5) Psikosis pada anak, (6)
Dosis rendah dapat digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan
atau gangguan non psikosis dengan gejala agitasi tegang, gelisah,
cemas dan insomnia.6,7,8

Dosis Clorpromazine (CPZ) dimulai dari dosis permulaan yaitu 25-


100 mg/hari. Kemudian dosis ditingkatkan sampai 300 mg/hari, bila
gejala masih belum hilang atau membaik maka dosis dapat
ditingkatkan lagi hingga 600-900 mg/hari. Cara pemberian CPZ dapat
melaluiper oral dengan dosis terbagi ataupun dapat melalui injeksi IM
jika menghendaki efek yang cepat. Namun, pasien harus dalam posisi
berbaring untuk mencegah terjadinya hipotensi orthostatik.6,7

20
Efek samping CPZ antara lain lesu, mengantuk, hipotensi
orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi dan amenore
pada wanita. Namun, kontraindikasi pemberian CPZ yaitu pada
keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat dan narkotika,
hipersensitif (allergik) 6,7,8

TRIFLUOPERAZINE (Stelazine, Stelosi)

Indikasi pemberian Trifluoperazine pada keadaan: (1) Skizofrenia,


(2) Psikosis paranoid, (3)Psikosis manik-deptresif, (4) Ggn. tingkah
laku pada Retardasi Mental. Dosis yang diberikan dibagi menjadi
dosis awal dan dosis pemeliharaan. Dosis awal adalah 2 – 3 x 2,5 mg
sedangkan dosis pemeliharaan adalah 3 x 5 – 10 mg.7

Efek samping yang harus diperhatikan antara lain mengantuk,


pusing lemas, gangguan ekstra piramidalis, Occulogyric crisis,
hiperefleksi, kejang-kejang grandmal. Kontraindikasi pemberian
Trifluoperazine antara lain depresi SSP, koma, gangguan liver,
dyscrasia darah, hipersensitif.7

FLUPHENAZINE

Untuk kasus-kasus akut diberikan Fluphenazine HCl (anatensol)


dalam bentuk tablet dan injeksi. Dosis yang digunakan adalah 2,5 – 10
mg / hari dengan dosis terbagi. Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sanpai 20 mg / hari. Untuk kasus-kasus kronis diberikan Fluphenazine
decanoat (flupenazine dilarutkan dalam minyak), sebagai long acting
anti psychotic (berefek panjang) --- Modecate injeksi (25 mg / amp).
Sedangkan untuk kasus-kasus kronis dosis awal yang diberikan 12,5
mg / 2 minggu. Bila efek samping ringan / tidak ada, maka dapat
ditingkatkan 25 mg / 3 – 6 minggu.4,7

Efek samping dari penggunaan Fluphenazine yaitu tersering


gangguan ekstra piramidalis, tardive diskinesia persistent, mengantuk,

21
mimpi-mimpi aneh. Sedangkan kontraindikasi penggunaan
Fluphenazine antara hipersensitif dan depresi SSP berat.4,7,8

PERPHENAZINE (Trifalon)

Indikasi pemberian Perphenazine (Trifalon) pada keadaan gejala


positif Skizofrenia, dalam dosis rendah digunakan untuk nausea,
vomitus dan cegukan. Dosis uyang diberikan yaitu 3 x 4 - 8 mg / hari.
Efek samping antara lain ering timbul gangguan ekstra piramidalis,
gangguan endokrin, seperti : laktasi meningkat, gnekomasti,
menstruasi terganggu, sukar ejakulasi. Kontraindikasi meliputi
hipersensitif, koma, depresi berat, gangguan liver, gangguan darah.7

THIORIDAZINE

Indikasi pemakaian yaitu gejala positif skizofrenia, dpresi ringan


dengan agitasi, ansietas dan afek hipotim. Dosis awal (dosis inisial)
yang dipakai adalah 3 x 50 – 100 mg / hari, dan dosis pemeliharaan
(maintenance dose) adalah 3 x 50 – 100 mg / hari. Efek samping yang
dapat timbul berupa sedasi, mulut kering, gangguan akomodasi,
vertigo, hipotensi ortostatik, sedangkan ganguan ekstra piramidalis
jarang terjadi. Selain itu, kontra indikasi yang harus dipertimbangkan
antara lain koma, depresi SSP berat, diskrasia darah dan hipersensitif.7

HALOPERIDOL

Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D2, lebih


lemah antagonis reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak
plasma Haloperidol dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dan
dalam waktu 20 menit setelah pemberian intramuskular. Waktu
paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui urine dan
tinja dan berakhir dalam 1 minggu setelah pemberian. 4

Secara farmakologi, struktur haloperidol berbeda dengan


fenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan banyak sifat
farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek haloperidol mirip

22
fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang
kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik deprsif dan
skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan butirofenon berbeda secara
kuantitatif keran butirofenon selain menghambat efek dopamin, juga
meningkatkan turn over rate nya. 6

Secara farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran


cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam
sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat
ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini
ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan
diekskresi melalui empedu. Eksresi haloperidol lambat melalui ginjal,
kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis
tunggal.6

Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan


pemberian 2 atau 3 kali per hari, kemudian peningkatan dosis
disesuaikan dengan gejala yang belum terkontrol, beberapa
kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg.
Pada pasien dengan efek samping mininal dan belum tercapai respon
terapi, dosis obat dapat ditingkatkan sampai dosis 30-40 mg per hari.
Setelah pemberian awal perlu dilakukan monitoring efikasi klinis,
sedasi atau efek samping lainnya yang mungkin timbul sehingga dapat
dilakukan penyesuaian dosis atau penggantian dengan antipsikotik
lain.4

Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat
dimulai dengan 0,5-1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali
perhari. 4

Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan


dilepas secara lambat ke dalam pembuluh darah, sehingga
pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena waktu paruhnya
panjang. 4

23
Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam
keadaan koma, depresi SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain,
sindrom parkinson, usia lanjut dengan Parkinson Like Symptomps,
wanita menyusui dan sesitif terhadap Haloperidol. 2,4,6,7,8

Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme


antidepresan trisiklik, dapat mengganggu efek antiparkinson dan
levodopa, tekanan intra okuler bola mata dapat terjadi apabila
diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme Haloperidol
meningkat bila diberikan bersama dengan carbamazepine. 4

Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis


(EPS) seperti parkinson like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia,
hyperreflexia, rigiditas, opistotonus, dan kadang-kadanga krisi
okulogirik. Efek samping yang lain adalah tardive dyskinesia pada
pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian haloperidol tiba-
tiba. Efek samping lain yang ringan seperti sedasi dan autonomik.
Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat terjadi peningkatan
berat badan dan penurunan fungsi kognitif. 4,6

PIMOZIDE (Orap)

Indikasi pemberian Pimozide pada gangguan skizofrenia kronik untuk


memprebaiki sosialisasi.5 Dosisnya yang dipakai yaitu 2 – 8 mg / hari.
Pada dosis terapeutik, efek samping gangguan ekstrapiramidal
biasanya jarang timbul. Kontraindikasi pemberian seperti keadaan
koma, hipersensitif, deepresi endogen, penyakit parkinson.

Obat antipsikotik tipikal biasanya menyebabkan gejala


ekstrapiramidalis (Sindrom Parkinsonisme), seperti: (1) tremor (pada
ektremitas dan lidah), (2) kaku kuduk, (3) hiper salivasi, (4) rigiditas,
(5) jalan seperti robot, karena kaku otot tungkai, (6) ekspresi muka

24
monoton (muka topeng), (7) karena kaku otot wajah, (8) bicara
pelo.2,5,9

Bila terjadi Gangguan ekstra piramidalis (sindroma


parkinsonisme), maka pemberian obat dishentikan dan diganti dengan
obat lain atau dosis obat diturunkan. Bila obat obat pengganti tidak
tersedia atau obat tersebut sangat diperlukan, maka untuk
menghilangkan sindroma parkinsonisme diberikan obat-obat anti
sindroma parkinsonisme. Obat-obat anti Sindrom Parkinsonisme: (1)
Triheksifenidil, diberikan dosis per oral 3 x 2 – 4 mg / hari, (2)
Dipenhidramin (benadryl), diberikan melalui per oral atau parenteral
dengan dosis 50-100 mg/hari, (3) Sulfas atropin, dapat diberikan per
oral atau parenteral, Pada sediaan tablet dengan dosis 0,5 mg
dikonsumsi 3 kali sehari, sedangkan melalui injeksi 3 x 1 ampul
dengan dosis injeksi 0,25 mg/amp, (4) Benzodiazepin.9

Obat-obat APG I yang masih sering digunakan adalah Haloperidol,


Fluphenazine, Trifluoperazine dan Clorpromazine. Cara pemberian
APG I dapat secara per oral, injeksi short acting maupun injeksi long
acting (depot). Injeksi shot acting pemberiannya secara intramuscular
(IM), biasanya digunakan untuk pasien yang agitasi atau menolak
minum obat.efek klinis cepat diperoleh setelah pemberian.4

ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis


(SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja
melalui interaksi antara serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur
dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih
rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan
antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok
reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat

25
ini adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine,
ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik ziprasidone belum
tersedia di Indonesia.2,4

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways: 4

1. Mesokortikal Pathways

Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis.


Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila
jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada
Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala
yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah
dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

2. Mesolimbik Pathways

Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic.
Jalur dopamin mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti
sensasi menyenangkan, euphoria yang terjadi karena
penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat
menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam
timbulnya gejala positif psikosis.

3. Tuberoinfundibular Pathways

Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju


korteks limbic. Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur
dopamine mesolimbik. Jalur ini selain mempunyai peranan dalam
memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis, juga berperan
pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala
pada emosi dan sistem kognitif.

26
4. Nigrostriatal Pathways

Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise


bagian anterior. Jalur ini bertanggung jawab untuk mengontrol
sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat terjadi galactorrhea.

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 4

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I,


umunya pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.

2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan


tidak memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada
pemberian APG II.

3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering


digunakan untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang
resisten.

4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan


penyakit Alzheimer.

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai: (a) First line,


yaitu: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone,
Aripiprazole, (b) Second line, yaitu: Clozapine.4

CLOZAPINE

Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan


timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan
tidak terjadi peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold
standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan
antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain,
clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat
mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-
mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan

27
mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah
nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah
neruendokrin). 4

Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan


skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social
disinterest dan incompetence, personal neatness). Efek yang
bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk
pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan. Selain
itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat rendah, obat ini
cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila
diberikan antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki
efek resiko agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis
yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada pasien yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang
diberi clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10

Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan


sempurna pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai
pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Clozapine secara
ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini di metabolisme
hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30% melaui
kantong empedu dan 50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata
6
11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari.
Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih
rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan
tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah untuk
menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada reseptor D4
afinitasnya lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik lainnya,
dimana reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada
daerah srtiatal. Hal ini lah yang membedakan clozapine dengan
APG I. 4

28
Dosis pemakaian Clozapin dimulai pada hari pertama 1-2 kali
sehari dengan dosis 12,5 mg. Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg /
hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi. Dosis maksimal
yang dapat diberikan adalah 600 mg / hari. Sedangkan bentuk sediaan
tablet yang ada di pasaran dosis 25 mg dan 100 mg.4,7

Efek samping Clozapin bervariasi, antara lain granulositopeni,


agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis, leukemia.
Sedasi, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi,
delirium. Mulut kering atau hipersalivasi, penglihata kabur, takikardi,
postural hipotensi, hipertensi. Kontra indikasi yang sebaiknya
diperhatikan seperti ada riwayat toksik/hipersensitif, gangguan fungsi
sumsum tulang, epilepsi yang tidak terkontrol, psikosis alkoholik dan
psikosis toksik lainnya, intoksikasi obat, koma, kollaps sirkulasi,
depresi SSP, ganguan jantung dan ginjal berat, gangguan liver.4,7

RISPERIDONE

Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh


FDA (Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah
clozapine. Rumus kimianya adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek
terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat
terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah
terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan
sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian
riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian
APG I dengan dosis yang kecil dihentikan, misalnya pada pasien usia
lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang di hubungkan
dengan demensia.4

Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi


dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat
ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada

29
skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia
Alzheimer. 4

Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim


CYP 2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh
enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai potensi afinitas
terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi
terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat oleh
antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini
menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada
pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus
dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik.
Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan
carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu
peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama
carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma
rendah.4

Indikasi diberikan Risperidone misalnya pada Skizofrenia akut dan


kronik dengan gejala positif dan negatif, Gejala afektif pada
skizofrenia (skizoafektif). Dosis terapi yang digunakan pada hari
pertama adalah 1 mg, kemudianpada hari kedua 2 mg dan hari ketiga 3
mg. Dosis optimal sebanyak 4 mg / hari dengan 2 kali pemberian.
Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg,
ditingkatkan sp 1 – 2 mg dengan 2 kali pemberian. Umunya perbaikan
mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang. Kadar puncak plasma dicapai
dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral 4,7

Kejadian efek samping yang mungkin terjadi misalnya EPS,


peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi,
galaktorea, disfungsi seksual), Sindroma neuroleptik malignan,
peningkatan berat badan, sedasi, pusing, konstipasi, takikardi.

30
OLANZAPINE

Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam


golongan Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh
makanan. Plasma puncak olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam
setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular
dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30 jam (antara
21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.4

Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang


mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4),
serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang
dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3).
Berikatan lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-
adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP 1A2 dan
2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok dan
menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine
atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada sitokrom P450 hati
sehingga pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain rendah dan
pengaruh obat lain minimal terhadap konsentrasi olanzapine. 4

Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita


usia lanjut. Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria,
hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas dan efek
samping anatar wanita dan pria. Sehingga perlu modifikasi dosis yang
lebih rendah pada wanita. Cleareance olanzapine meningkat sekitar
40% pada perokok dibandingkan yang tidak merokok, sehingga perlu
penyesuaian dosis yang lebih tinggi pada penderita yang merokok.4

Indikasi Olanzapine sebagai pilihan misalnya pada kasus (1)


Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif,
dengan dosis 10 mg 1 x sehari; (2) Episode manik moderat dan severe,
dengan dosis 15 mg 1 x sehari; (3) Pencegahan kekambuhan
gangguan bipolar, dengan dosis 10 mg / hari. Efek samping yang

31
mungkin timbul antara lain penigkatan berat badan, somnolen,
hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1, kejadian
EPS dan kejang rendah, insiden tardive dyskinesia rendah.4,7

QUETIAPINE

Struktur kimia yang mirip dengan clozapine, masuk dalam


kelompok dibenzothiazepine derivates. Absorpsinya berlangsung
cepat setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai
dalam waktu 1,5 jam setelah pemberian. Metabolisme terjadi di hati,
pada jalur sulfoxidation dan oksidasi menjadi metabolit tidak aktif dan
waktu paruhnya 6 jam.4

Quetiapine merupaka antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan


5HT2A), reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1),
reseptor adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor
muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine
menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian
dosis yang lebih rendah dan menurun 30% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat
apabila pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik
fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan antijamur ketokonazole.4

Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan


mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan
antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di
terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali
mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah
terjadinya sinkope dan hipotensi postural. Dimulai dengan dosis 50
mg per hari selama 4 hari, kemudian dinaikkan menjadi 100 mg
selama 4 ahri, kemudian dinaikkan lagi menjadi 300 mg. Sete;ah itu
dicari dosis efektif antara 300-450 mg/hari. Efek samping obat ini
yang sering adalah somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan
berat badan, takikardi, dan hipertensi.4

32
ZIPRASIDONE

APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di
Indonesia. Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek
antagonsis antara reseptor 5HT2A dan D2. Berinteraksi juga denga
reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A, afinitasnya pada reseptor ini sama
atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D2. Afinitas sedang pada
reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak bekerja pada muskarinik
(M1).4

Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja


yang unik karena menghambat pengambilan kembali (reuptake)
neurotransmiter serotonin dan norepineprine di sinaps. Obat ini efektif
digunakan untuk gejala negatif dan penderita yang refrakter dengan
antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada penderita usia lanjut.4

Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi


tidak dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau
ginjal. Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam
setelah pemberian oral denga waktu paruh obat rata-rata 5-10 jam,
sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime ziprasidone
melalui hati, sebagian besar pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian
kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik diperkirakan pro-
serotonergik dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja
sebagai antidepresan dan ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi
pada dosis 80-160 mg/hari, untuk pengobatan terhadap gejala positif,
negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia.4

Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar
40 mg perhari. Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan
dengan makanan. Dosis pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per
hari.4

Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan


kadar prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah

33
somnolen (14%), peningkatan berat badan (10%), gangguan
pernafasan (8%), EPS (5%), dan bercak-bercak merah di kulit (4%).
Peningkatan berat badan sangat kecil atau dapat dikatan tidak ada,
karena bekerja sangat lemah pada reseptor AH1 walaupun bekerja juga
sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c. Ziprasidone tidak
menyebabkan gangguan jantung.4

ARIPIPRAZOLE

Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis


pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada
reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin
sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang
sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada
keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari
dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran
neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptor
dopamine.4

Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada


CYP 2D6 dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari
hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan
berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu
paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali
sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma puncak
dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya
diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai
keluhan dispepsia, mual dan muntah.4
Aripripazole digunakan biasanya untuk kasus Skizofrenia dengan
dosis 10-15 mg sekali sehari. Efek samping yang mungkin timbul
seperti sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, ansietas, insomnia,
somnolen, akhatisia.4

34
Tabel 1. Efek Samping Antipsikosis.

Anti-psikosis Mg. Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.


Eq
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +

PENGATURAN DOSIS

Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 5

 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu

Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.

 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).

 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari
efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga
tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.

Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan


setiap 2-3 hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul

35
peredaran Sindrom Psikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila
perlu dinaikkan  “dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-12
minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  “dosis
maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi
“drug holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap
2-4 minggu)  stop.

LAMA PEMBERIAN4,9,10

Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi


episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit
selama 5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan
derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.

Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama,


sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek
klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah
obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali.

Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat


lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.

Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya


dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala
psikosis mereda sama sekali. Untuk “Psikosis Reaktif Singkat”
penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.

Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang


hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali.

Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala


“Cholinergic Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare,
pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan

36
pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg
(im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).

Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis +


antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat
antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru menyusul obat
antiparkinson.5

PENGGUNAAN PARENTERAL4,9,10

Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25


mg/cc atau Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu
sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan
obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.

Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral


lebih dahulu beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek
hipersensitivitas. Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan
pertama kemudian bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.

Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi


stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus
Skizofrenia. 15 – 25 % kasus menunjukkan toleransi yang baik
terhadap efek samping ektrapiramidal.5

PERHATIAN KHUSUS

 Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya : 5

Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan


Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-
adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai “alfa adrenergic stimulator”.

37
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic
tetap ada dan dapat terjadi Shock.

Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak


langsung bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran
selama sekitar 5-10 menit.

Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate


(LEVOPHED – Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON
– Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam infus 1000 ml dextrose 5%
dengan kecepatan infus 2-3cc/menit.

Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan


gejalan Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya
dengan tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas
Atropin 0,50-0,75 mg (im).

Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan


penurunan dosis secara bertahap, untuk menentukan apakah masih
dibutuhkan penggunaan obat antiparkinson.

Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak


lebih lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”).
Tidak dianjurkan pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena
dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga
kadarnya dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi manifestasi
gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat
anti-psikosis agar tercapai dosis efektif.

 “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt


diulangi setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam.
Biasanya dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari
Sindrom Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotorm impulsif,
menyerang, gaduh-gelisah, perilaku destruktif dll).

38
Gambar 1. Algoritma Penggunaan Antipsikotik.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I,


Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 777-83.

2. Kaplan H.I, Sadok B.J. Comprensive Textbook Of Psychiatry, William

& Walkins. 5th Edition, USA, 1998 : 128

3. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Ringkasan Ringkas dari PPDGJ-


III. Jakarta: PT. Nuh Jaya, 2003.

4. Sinaga,RB. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI. 2007.

5. Maslim,Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropik. Edisi


Ketiga. Jakarta. 2007.

6. Ganiswarna,Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 1995.

7. Abidin, Taufik. Obat Psikotropik. Fakultas Kedokteran Mataram.


[online]. Scribd 2010 [cited 2009 Agustus 26]; Available from:
URL:http://scribd.com/doc/19110482/Obat-Psikotropik.

8. Ramirez, Monica. Antipsychotic Treatment. Medical Chemistry [cited


2005 March 06]; Available from;URL:
faculty.smu.edu/jbuynak/images/Anti-psychotics.ppt.

9. Anonymous. Psikotropik. [online]. [cited 2008 Okt 24]. Psikofarmaka


Mental Health Nursing Eight Club-Universitas Padjadjaran. Available
from: URL:http://antipsikotik-psikofarmaka.blogspot.com/

10. Widayati, E. Obat Antipsikotik Tingkatkan Resiko Penggumpalan Darah.


[online]. [cited 2010 Sept 22]; Available from:URL:
http://www.go4healthylife.com/articles/2434/1/Obat-Antipsikotik-
Tingkatkan-Risiko-Penggumpalan-Darah/Page1.html.

40
.

41
42
43

Anda mungkin juga menyukai