Anda di halaman 1dari 50

TELAAH JURNAL KEPERAWATAN ANAK

The Effect Of Oral Care With Chlorhexidine,Vitamin E, And Honey On


Mucositis In Pediatric Intensive Care Patients : A Randomized Controled Trial

PROFESI KEPERAWATAN ANAK

OLEH

KELOMPOK J’18
Dini Novita Sari,Skep
Tuti Anggraini,S.Kep
Mimi Afnita Sari,S.Kep
Silvika Sari,S.Kep
Desy Putri Anggi Siregar,S.Kep
Izzah Farisa,S.Kep
Mistati Novita Sari,S.Kep
Sandra Merza Aranti,S.Kep
Hani Octavia Rahayu,S.Kep
Rifka Aulia Rahmi,S.Kep
Rahmi Wulandari,S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih

dan maha penyayang yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sehingga

kelompok dapat menyelesaikan telaah jurnal yang berjudul “ The Effect Of Oral

Care With Chlorhexidine,Vitamin E, And Honey On Mucositis In Pediatric

Intensive Care Patients : A Randomized Controled Trial “

Telaah jurnal ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan

Anak serta memperluas pengetahuan kelompok. Dalam penulisan telaah jurnal ini

kelompok menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing dan

pembimbing klinik yang telah memberikan waktu, pikiran, bimbingan dan

pengarahan pada mata kuliah Keperawatan Anak ini. Telaah jurnal ini bersumber

pada buku-buku ilmu pengetahuan dan jurnal yang berkaitan dengan mata kuliah

Keperawatan Anak.

Kelompok berharap semoga telaah jurnal ini dapat berguna bagi ilmu

pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Kelompok mengharapkan saran-

saran untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Padang, April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang........................................................................................1
B. Rumusan masalah...................................................................................3
C. Tujuan......................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan...................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Mukositis Oral…………..........................................................................5
2. Oral Hygiene ………….........................................................................19
3. Pengobatan Mukositis Oral dengan Oral Hygiene.................................20
BAB III TELAAH JURNAL
1. Judul Jurnal............................................................................................23
2. Abstrak...................................................................................................24
3. Pendahuluan...........................................................................................26
4. Latar Belakang.......................................................................................27
5. Kerangka Konsep dan Hipotesis............................................................29
6. Metodologi ............................................................................................29
7. Populasi dan Sampel..............................................................................31
8. Instrument..............................................................................................31
9. Data Analisa….......................................................................................32
10.Hasil Pembahasan.................................................................................32
11. Kesimpulan..........................................................................................33
12. Implikasi...............................................................................................34
13. Daftar Pustaka......................................................................................35
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................36
4.2 saran.....................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan suatu ruangan untuk

anak dengan kondisi kritis. Anak yang diawat diruang tersebut adalah anak

yang mengalami gangguan kesehatan yang cukup serius dimana telah

4
dilakukan pemeriksaan diagnostik sehingga mengharuskan anak dirawat di

ruang intensif. Perawatan anak selama di rumah sakit akan menimbulkan

stressor, baik stressor lingkungan, stressor psikologis, dan stressor fisik (Wong,

2009). adapun stressor fisik yang terjadi pada anak misalnya nyeri akibat

tindakan invasif, anak merasakan ketidaknyamanan terhadap prosedur tindakan

selama perawatan, anak tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari seperti

bermain, makan dan minum.

Anak yang dirawat di PICU pada umumnya merupakan anak dengan

penyakit kritis yang memerlukan perawatan khusus. Anak-anak dengan

penyakit kritis akan menjalani berbagai pengobatan seperti kemoterapi,

kemoradiasi dan sebagainya sehingga anak akan mengalami berbagai macam

gangguan kesehatan lainnya, seperti gangguan mobilisasi, penurunan

kekebalan tubuh sehingga anak akan mudah terserang oleh penyakit infeksi

lain.

Mukositis Oral merupakan salah satu gangguan yang sering terjadi pada

anak yang membutuhkan perawatan khusus. Mukositis oral adalah suatu

inflamasi yang terjadi pada mukosa oral sebagai efek samping radikal akibat

kemoradiasi dan kemoterapi (Berger, 2006). Proses ini disebabkan adanya

interaksi yang kompleks antara kerusakan jaringan mulut, keadaan lingkungan

di rongga mulut, derajat penekanan sum-sum tulang, dan faktor predisposisi

intrinsik pasien. Keparahannya tergantung dari tipe terapi keganasan dan

kondisi kebersihan mulut anak (Spijkerver, 2009).

Gejala yang paling sering terjadi pada mukositis oral adalah nyeri pada

rongga mulut dan nyeri telan (odinofagia). Nyeri pada rongga mulut akibat

5
mukosistis oral (MO) menyebabkan gangguan saat mengunyah, menelan,

makan dan bicara. MO mempengaruhi keseluruhan traktus gastrointestinal

yang menyebabkan diare sehingga terjadi malabsorpsi, gangguan cairan dan

elektrolit.

Prevalensi mukositis oral akibat kemoterapi sebesar 20-40%, dan 80-100

% akibat kemoradiasi. MO dijumpai setelah 1-2 minggu radioterapi, sedangkan

dengan kemoterapi dapat timbul lebih cepat sekitar 4-5 hari setelah kemoterapi

(Vera-Lionch, 2006). Mukositis yang tidak ditangani dengan tepat akan

berakibat terjadinya kerusakan yang bertambah besar pada mukosa mulut.

Mukosa yang rusak mudah terjadi penetrasi bakteri, jamur dan virus. Hal ini

menyebabkan kerusakan epitel mukosa dan terbentuk eksudat fibrin yang

menyebabkan terbentuknya pseudomembran dan ulkus(Sonis ST, 2004). Untuk

mencegah terjadinya keparahan pada mukositis diperlukan penanganan lebih

lanjut, Penanganan pada mukositis telah banyak dilakukan dengan berbagai

macam terapi, namun belum seutuhnya dapat dilakukan dengan efektif.

Berdasarkan hasil pengamatan di ruang rawat PICU RSUP Dr. M.Djamil

Padang, pada bulan April 2019, 3 dari 4 orang anak dirawat karena penyakit

keganasan dan mengalami masalah kebersihan rongga mulut. Dapat

disimpulkan bahwa anak yang dirawat di PICU karena penyakit kritis seperti

keganasan atau kanker mengalami masalah kebersihan rongga mulut, kami

tertarik untuk membahas jurnal yang berjudul “ pengaruh perawatan mulut

dengan klorhexidine, vitamin E, dan madu pada pasien dengan mukositis oral

di ruang perawatan intensif anak “

B. Rumusan Masalah

6
Berdasarkan latar belakang tersebut, didapatkan rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan Mukositis oral ?

2. Bagaimana cara perawatan mulut dengan klorhexidine, vitamin E, dan madu

pada pasien di ruang perawatan intensif ?

3. Bagaimana pengaruh perawatan mulut dengan klorhexidine, vitamin E, dan

madu pada pasien di ruang perawatan intensif ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Telaah jurnal ini berfungsi untuk mengetahui pengaruh perawatan mulut

dengan klorhexidine, vitamin E, dan madu pada pasien di ruang perawatan

intensif.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui telaah penulisan jurnal pengaruh perawatan mulut dengan

klorhexidine, vitamin E, dan madu pada pasien di ruang perawatan

intensif

b. Mengetahui telaah konten jurnal dan implikasinya bagi keperawatan.

D. Manfaat Penulisan

a. Bagi kelompok

Sebagai bahan pembelajaran mahasiswa dalam menelaah jurnal,

mengetahui tata cara penulisan jurnal yang benar, dan mendapatkan

pengetahuan baru mengenai keperawatan.

b. Bagi pasien

7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan dapat

diterapkan oleh perawat dalam merawat pasien dengan mukositis oral

c. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai

informasi bagi rumah sakit dan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu

intervensi untuk perawatan mulut pada pasien dengan mukositis oral.

d. Bagi Fakultas Keperawatan Universitas Andalas

Hasil penelitian diharapkan meningkatkan wawasan mahasiswa profesi

ners tentang informasi terbaru mengenai pengaruh perawatan mulut

dengan klorhexidine, vitamin E, dan madu pada pasien di ruang

perawatan intensif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teoritis

1. Mukositis Oral

A. Defenisi

8
Mukositis Oral adalah peradangan dan ulserasi dari mukosa mulut

( Kobya-Bulut & Guducu-Tufekci 2016). Mukositis adalah kerusakan

membran mukosa sebagai akibat sekunder dari terapi kanker, dapat terjadi

pada rongga mulut, faring, laring, esophagus, dan area lain pada saluran

gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi pada beberapa hari setelah

pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai satu minggu

setelahnya (Priestman, 2012). Mukositis oral merupakan inflamasi akut

pada mukosa oral akibat nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral,

yang ditandai dengan adanya eritema dan atau ulserasi pada mukosa oral,

dan dapat menimbulkan nyeri hebat, membutuhkan analgesik opioid,

mengganggu asupan nutrisi, dan kualitas hidup pasien (Chiappelli, 2005;

Volpato et al., 2007; Lalla et al., 2014).

B. Faktor Risiko yang Mempengaruhi terjadinya Mukositis Oral

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan

terjadinya mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko

yang berhubungan dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang

berhubungan dengan terapi. Faktor risiko yang berhubungan dengan

pasien, meliputi umur dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan Barasch dan Peterson (2003) dalam Gupta (2013), didapatkan

kesimpulan bahwa usia mempengaruhi terjadinya mukositis oral, terutama

pada usia lanjut akibat ketidakefektifan perbaikan DNA, sehingga

perbaikan jaringan menjadi lebih lama. Sedangkan, menurut Sonis dan Fey

(2002) dalam Gupta (2013), populasi anak-anak juga memiliki risiko lebih

9
tinggi karena proliferasi jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan

orang dewasa. Menurut Eilers (2014), anak-anak memiliki sel epitel yang

lebih sensitif mengalami toksisitas, dan keganasan hematologi dapat

menyebabkan mielosupresi yang memicu terjadinya mukositis oral. Secara

keseluruhan berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki risiko lebih

tinggi dibandingkan laki-laki, terutama bila mereka mendapatkan

kemoterapi jenis 5 Fluorouracil (FU).

Terkait dengan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi yang

diperoleh, mukositis oral dipengaruhi oleh agen kemoterapi, dosis

kemoterapi, intensitas pengulangan terapi. Agen kemoterapi yang paling

sering terkait dengan mukositis adalah antimetabolit yang meliputi

etoposide, 5 FU, dan methotrexate (Cawley & Benson, 2015). Obat ini

sangat sering diberikan pada pasien kanker darah dan nasofaring. Anak

yang mendapat terapi dengan dosis lebih besar, seperti misalnya pada anak

yang resisten terhadap pengobatan akan lebih rentan mengalami mukositis.

Kemoterapi yang dilakukan dalam waktu yang lama, seperti pada anak

yang mengalami relaps juga meningkatkan risiko terjadinya mukositis.

Selain itu pasien yang mendapat kombinasi terapi juga memiliki risiko

lebih tinggi mengalami mukositis dibandingkan dengan terapi tunggal

(Eilers, 2014; Chang, Cheng & Yuen, 2018).

Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada

perencanaan terapi yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis,

penundaan, bahkan penghentian kemoterapi. Kondisi ini juga dapat

10
memperparah infeksi yang dapat mengancam nyawa, khususnya bila

pasien jatuh dalam kondisi neutropenia ( D’ Hondt et al., 2016)

Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya

mukositis oral pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus

Herpes Simpleks dan pengobatannya seperti penggunaan acyclovir

(Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex), pasien yang mengalami transplantasi

sumsum tulang, dan pasien yang mengalami penurunan produksi saliva

serta pH saliva. Adanya penurunan produksi dan pH saliva tersebut juga

merupakan efek samping dari kemoterapi yang diberikan (Chu & Devita,

2015). Status gizi juga mempengaruhi terjadinya mukositis. Pada asupan

glukosa dan protein yang tinggi, serta malnutrisi kekurangan protein

berkontribusi menyebabkan mukosa mulut kering sehingga meningkatkan

risiko terjadinya iritasi dan penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa

(Eilers, 2014). Hal ini juga dipertegas dengan penelitian yang dilakukan

oleh Peterson dan Carrielo (2014) yang menyatakan bahwa anak dengan

status gizi kurang atau gizi buruk lebih berisiko mengalami mukositis,

namun penelitian lain yang dilakukan oleh Robien et al. (2014), anak

dengan Body Mass Index (BMI) yang lebih tinggi, seperti gizi normal,

overweight, dan obesitas lebih berisiko

C. Patofisiologi Mukositis Oral

Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat

terjadi secara langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung

(indirect mucosatoxicity). Direct mucosatoxicity terjadi bila kemoterapi

secara langsung menyerang sel epitel yang mengalami pembelahan

11
sehingga sel tersebut berhenti membelah dan menyebabkan atropi jaringan

yang berakhir pada ulserasi, sedangkan indirect mucosatoxicity terjadi bila

kemoterapi menyebabkan penekanan pada sistem imun pasien

(imunosupresi) yang dapat meningkatkan risiko infeksi di rongga mulut

yang pada akhirnya mencetuskan mukositis oral.

Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis

oral sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi

pada sel epitel, bahkan dapat mencapai submukosa dan matriks

ekstrasellular, disertai dengan aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti

TNF-α, IL-1β, dan IL-6. Berbagai faktor lain berinterferensi pada proses

ini, seperti mikroorganisme oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan

kondisi oral hygiene pasien. Lebih jauh lagi, terdapat suatu kemungkinan

adanya polimorfisme pada respon inflamasi, yang dapat membuat individu

lebih rentan terhadap mukositis dibandingkan dengan individu lainnya

(Sonis, 2014).

Proses terjadinya mukositis oral meliputi 5 fase, fase awal adalah

fase inisiasi yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan

sel mukosa yang membawa radikal bebas. Fase berikutnya merupakan

proses transkripsi dari nuclear factor kappaB (NFkB) yang mengaktivasi

mediator proinflamatori seperti interleukin (IL)-1 beta dan tumor necrosis

factor (TNF-alpha). IL-1beta dapat meningkatkan konsentrasi agen

kemoterapi pada sel yang diserang dan TNF-alpha dapat menyebabkan

kerusakan jaringan. Fase ketiga adalah respon terhadap stimulasi mediator

proinflamatori, seperti adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang

12
menyebabkan udema pada mukosa, atropi, dan akhirnya mengalami fase

ulserasi. Fase ulserasi merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini

akan terjadi kolonisasi bakteri maupun organisme patogen lainnya, seperti

Candida albicans pada ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada

infeksi sekunder. Kondisi ini diperparah dengan adanya kondisi

neutropenia sehingga tidak mampu melawan kolonisasi bakteri yang

terbentuk. Bakteri akan mengeluarkan endotoksin yang akan menstimulasi

IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi. Pada fase ini, pasien akan

mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti terbakar pada mukosa

oral. Ulserasi juga diperberat dengan adanya mikrotrauma yang terjadi

pada saat pasien membuka mulut, makan, mengunyah, dan berbicara. Fase

terakhir adalah fase penyembuhan, yaitu adanya proliferasi sel dan

reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan kembali normal. Perbaikan

jaringan juga disertai dengan peningkatan leukosit, khususnya neutrophil

untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase penyembuhan berlangsung

selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari kecepatan proliferasi atau

epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik, dan ada tidaknya

faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka seperti proses infeksi dan

iritasi mekanik (Kostler, 2001; Shih et al., 2013; Naidu et al., 2014; Sonis,

2014; Price & Wilson, 2015; Lalla et al., 2018)

D. Manifestasi Klinis Mukositis Oral

Mukositis oral ini biasa terjadi 5-10 hari setelah inisiasi kemoterapi

dan berakhir pada hari ke-7-14, tergantung derajat keparahannya.

13
Manifestasi klinisnya dapat bervariasi tergantung derajat keparahannya.

Seringkali tidak hanya berupa rasa tidak nyaman, namun juga dapat sangat

mengganggu bila disertai dengan terbentuknya ulserasi mukosa. Karena

pasien seringkali dalam kondisi neutropenia, kondisi ini dapat diperparah

dengan berkembangnya infeksi jamur di rongga mulut, yang tersering

adalah oral moniliasis yang tampak sebagai bercak – bercak keputihan

pada permukaan mukosa rongga mulut dan lidah (Priestman, 2012).

Manifestasi klinis yang sering muncul antara lain ulserasi berukuran 0,5-4

cm, eritema yang ditutupi garis kuning atau fibrin berwarna putih yang

disebut sebagai pseudomembran.

Gambar 2.1 Manifestasi Klinis Mukositis Oral

(Sumber: Kostler et al., 2001)

Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri,

sensasi seperti terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan

memasukkan makanan atau minuman melalui mulut, dan sulit untuk

berbicara. Lesi dapat terjadi bilateral, di bagian ventral atau lateral dari

lidah, mukosa labial, bagian dasar mulut, palatum mole, dan area

orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis oral (mulai dari timbulnya

eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa pembentukan scar atau jaringan

14
ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu. Beberapa pasien yang

mendapatkan radiasi atau kemoterapi, terkadang juga mengalami

trombositopenia, sehingga terkadang ditemukan perdarahan pada ulserasi

mukositis oral (Dodd, 2004). Pasien mukositis oral juga menunjukkan

adanya penurunan produksi saliva sehingga lidah menjadi kering. Hal ini

menyebabkan lidah mengalami penurunan fungsi pengecapan sehingga

penderita mengeluhkan mengenai pengecapan yang dirasa berbeda,

bahkan tidak dapat mengecap rasa, serta menurunkan nafsu makan

(Priestman, 2012).

Derajat keparahan dari mukositis oral tergantung pada dosis terapi,

fraksi dari dosis agen kemoterapi, volume dari jaringan yang terkena

paparan agen kemoterapi, status nutrisi, tipe dari radiasi, riwayat paparan

dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi, adanya penyakit sistemik

sepeti diabetes melitus dan kelainan vaskuler (Volpato et al., 2007).

E. Penatalaksanaan Mukositis Oral

Penatalaksanaan lesi dilakukan secara farmakologis dan non

farmakologis. Penatalaksanaan farmakologis dapat dilakukan melalui

empat tindakan, yaitu debridemen oral, dekontaminasi oral, manajemen

topikal, dan mengontrol peradarahan. Debridemen oral dilakukan dengan

melepaskan pseudomembran dari lesi, dan perlu dilakukan secara hati-hati

karena pasien mukositis oral biasanya disertai dengan trombositopenia dan

neutropenia yang berisiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Selanjutnya

dekontaminasi oral dilakukan dengan memberikan regimen antifungal,

antibakteri, atau antiseptik, namun kandungan kimia dari agen tersebut

15
dapat menimbulkan mukosa oral kering dan mudah iritasi. Manajemen

topikal digunakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien

baik lokal ataupun sistemik. Terakhir untuk mengontrol perdarahan, pasien

diberikan antifibrinolitik (Gupta, 2013; Lalla et al., 2014).

Penatalaksanaan non farmakologis dapat dilakukan dengan

berbagai upaya, antara lain perawatan mulut, pengaturan diet, dan

pencegahan infeksi. Perawatan mulut merupakan salah satu upaya untuk

mempertahankan kesehatan dan integritas mukosa mulut. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Rubenstein et al. (2004), yaitu

intervensi perawatan mulut dapat meminimalkan risiko mukositis akibat

kemoterapi karena dapat mengurangi bakteri dan jamur sehingga

meminimalkan risiko infeksi, mengurangi nyeri, dan perdarahan. Menurut

Saldanha dan Almeida (2014), perawatan mulut dengan berkumur

menggunakan larutan salin 0,9% menjadi salah satu pilihan dalam

mengurangi derajat mukositis oral. Perawatan mulut yang dianjurkan pada

anak adalah berkumur-kumur minimal empat kali sehari (Tomlinson &

Kline, 2005), atau minimal melakukan perawatan mulut dua kali setelah

makan dan sebelum tidur, dan setiap dua jam sekali bila sudah mengalami

mukositis (Otto, 2001).

Terkait pengaturan diet, makanan dengan konsistensi lembut

menjadi pilihan untuk pasien dengan mukositis oral. Pasien juga harus

menjaga kelembaban mulutnya dengan meningkatkan asupan cairan

peroral atau menghisap es batu. Pasien dengan mukositis oral yang berat

wajib memperoleh Total Parenteral Nutrition (TPN) untuk mencukupi

16
kebutuhan nutrisi pasien. Pasien juga harus menghindari makanan yang

bersifat iritatif, seperti makanan asam, pedas, asin, ataupun makanan

kering ( Lalla et al., 2008; Lalla et al., 2014).

Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk mencegah dan

menangani mukositis oral, antara lain adalah penggunaan cryotherapy

(terapi dingin), estrak tanaman herbal, madu, larutan salin, dan permen

karet. Cryotherapy dilakukan dengan meletakkan es batu atau air es di

mulut selama 5 menit sebelum sampai dengan 5 menit sesudah pemberian

kemoterapi. Hasil dari penelitian ini diperoleh penurunan skala atau

derajat keparahan dari mukositis oral. Mekanisme kerja dari terapi es ini

adalah menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pada membran

mukosa oral sehingga menurunkan paparan mukosa oral terhadap agen

mukotoksik dari agen kemoterapi (Heydari, Sharifi, & Salek, 2012).

Penggunaan terapi dingin ini memerlukan kriteria tertentu, yaitu status gigi

anak dalam kondisi sehat (tidak memiliki riwayat gigi sensitif) karena

dapat menimbulkan nyeri atau ketidaknyamanan (Kakoei, Ghassemi, &

Nakhaee, 2013).

Penelitian lain menggunakan ekstrak herbal adalah penelitian yang

dilakukan oleh Miranzadeh et al. (2014), yaitu dengan mencampurkan

larutan Achiella millefolium ke dalam larutan mouthwash dengan

perbandingan 50:50. Larutan A. millefolium ini dibuat dengan

mencampurkan 10 kg A. millefolium dengan 50 liter air, dipanaskan

sampai menjadi 20 liter air dengan konsentrasi 12 ppm. Hasilnya setelah

14 hari terjadi penurunan derajat keparahan dari mukositis oral yang

17
dialami pasien. Mekanisme kerja dari daun A. millefolium adalah efek

antibakteri yang menghambat adanya kolonisasi bakteri di area lesi atau

ulserasi. Kelemahan dari penelitian ini bila diaplikasikan di Indonesia

adalah sulitnya menemukan daun A. millefolium dengan spesies yang

sama dengan A. millefolium di tempat penelitian (Miranzadeh et al.,

2014). Penggunaan tanaman herbal sebagai terapi memerlukan uji klinis

untuk membuktikan mengenai dosis terapeutik dan dosis lethal (toksik)

dari suatu tanaman (Al-Snafi, 2015).

Penelitian lain dilakukan oleh Nurhidayah (2011), yaitu

menggunakan larutan madu dalam melakukan perawatan mulut pasien

anak kanker yang memperoleh kemoterapi. Berdasarkan observasi yang

dilakukan menggunakan instrument Oral Assessment Guide, terdapat

penurunan yang signifikan pada rerata skor mukositis pada kelompok

intervensi (p<0,005). Selain madu, terdapat beberapa agen moutwash yang

sudah diteliti keefektifannya, antara lain chlorhexidine 0,2%,

benzydamine, natrium bikarbonat, sukralfat, dan normal salin (Hashemi et

al., 2015).

2. Oral Hygiene

A. Defenisi

Oral hygiene adalah tindakan untuk membersihkan dan

menyegarkan mulut, gigi dan gusi (Clark, dalam Shocker, 2008). Dan

menurut Taylor, et al (dalam Shocker, 2008), oral hygiene adalah tindakan

yang ditujukan untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah dan mukosa mulut,

mencegah infeksi dan melembabkan membran mulut dan bibir. Sedangkan

18
menurut Hidayat dan Uliyah (2005), oral hygiene merupakan tindakan

keperawatan yang dilakukan pada pasien yang dihospitalisasi. Tindakan

ini dapat dilakukan oleh pasien yang sadar secara mandiri atau dengan

bantuan perawat. Untuk pasien yang tidak mampu mempertahankan

kebersihan mulut dan gigi secara mandiri harus dipantau oleh perawat.

B. Tujuan Oral Hygiene

Tujuan utama dari kesehatan rongga mulut adalah untuk mencegah

penumpukan plak dan mencegah lengketnya bakteri yang terbentuk pada

gigi. Akumulasi plak bakteri pada gigi karena hygiene mulut yang buruk

adalah faktor penyebab dari masalah utama kesehatan rongga mulut,

terutama gigi. Kebersihan mulut yang buruk memungkinkan akumulasi

bakteri penghasil asam pada permukaan gigi. Asam demineralizes email

gigi menyebabkan kerusakan gigi (gigi berlubang). Plak gigi juga dapat

menyerang dan menginfeksi gusi menyebabkan penyakit gusi dan

periodontitis.

3. Pengobatan Mukositis Oral dengan Oral Hygiene

Untuk pencegahan dan pengobatan OM, sangat penting bahwa zat

yang digunakan dalam perawatan mulut harus efektif, aman, mudah

dijalankan dan tanpa efek samping (Kobya & Guducu, 2016). Meskipun

ada aremany pilihan, seperti serum fisiologis, natrium bikarbonat, vitamin

E, yodium povidon, benzydamine, glutamin, seng, faktor pertumbuhan,

Palifermin, daya rendah perawatan laser dan cryotherapy, strategi

19
pengobatan yang efektif belum dikembangkan (Izgu, 2017). Penyebab

utama untuk ini adalah penggunaan rejimen perawatan mulut yang

terpisah dan variasi effisiensi dari agen yang digunakan untuk

menghilangkan gejala.

Penelitian lain dalam literatur telah menunjukkan bahwa

klorheksidin dan vitamin E yang sering digunakan dalam pengelolaan

mucositis oral (Aziziet al., 2015 ; Chaitanya et al., 2017 ; Kishore Kumar-

2015 ; Nashwan 2011). Chlorhexidine adalah antimikroba spektrum luas

dan larutan antiseptik sering digunakan dalam perawatan mulut yang

efektif pada bakteri Gram-positif / negatif dan jamur (Ozveren, 2010 ).

Namun, rasanya tidak menyenangkan dan mungkin membuat sensasi

terbakar di mulut, dan dengan penggunaan jangka panjang, perubahan

warna gigi dan dysgeusia dapat mengembangkan (Macedo, Morais,

Dantas, & Morais, 2015 ; Ozveren, 2010). Hasil tidak efektif dan efek

samping yang merugikan didapatkan menggunakan chlorhexidine &

Guducu-Tufekci 2016 ; Macedo et al., 2015 ).

Oral Hygiene menggunakan madu terbukti efektif mengurangi

stomatitis pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan radioterapi

(Baliga, 2010). Anak-anak lebih menyukai rasa manis. Madu merupakan

bahan makanan yang mudah didapatkan dan terjangkau, rasanya manis

dan enak, juga mengandung nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan.

Komposisi terbesar madu adalah fruktosa dan glukosa (70%), merupakan

monosakarida yg mudah diabsorbsi oleh mukosa. Madu juga mengandung

asam amino esensial, mineral yang paling lengkap. Selain itu madu juga

20
mengandung enzim invertase, diastase, katalase, oksidase, dan

peroksidase. Enzim oksidase berfungsi mengubah glukosa menjadi

glukonolaktone yang menghasilkan asam glukonat dan hydrogen

peroksida. Hydrogen peroksida berfungsi sebagai antibakteri (Haris

et.al.,2010).

BAB III

TELAAH JURNAL

A. Telaah Penulisan

1. Judul Jurnal

21
Judul jurnal penelitian lebih dari 14 kata dalam bahasa Inggris dan jika

di artikan lebih dari 14 kata dalam bahasa indonesia, (kaidah penulisan

jurnal yang baik yaitu tidak lebih 14 kata dalam bahasa Indonesia ) (LIPI,

2013). Menurut LIPI (2013), judul jurnal mengerucut ke bawah seperti

piramida, dalam jurnal ini sudah ditulis benar.

Nama penulis jurnal dicantum tanpa gelar akademik dan ditempatkan

di bawah judul jurnal. Penulis harus mencantumkan institusi asal dan

alamat email (bagi penulis utama) untuk memudahkan komunikasi. Nama

penulis utama berada urutan paling depan (LIPI, 2013). Pada jurnal ini

penulis nama sudah sesuai dengan kaidah penulisan jurnal yang baik karena

sudah mencantumkan alamat penulis utama, dan nama di buat tanpa

menggunakan gelar namun tidak menuliskan alat email untuk memudahkan

komunikasi.

22
2. Abstrak

Abstrak dibuat dalam dua bahasa (inggris dan Indonesia), tidak

melebihi 250 kata, ditempatkan sebelum pendahuluan, diketik dengan

jarak 1 (satu) spasi (Fakultas Keperawatan UNAND, 2012). Pada jurnal ini

menggunakan bahasa inggris dengan 288 kata, maka dari itu penulisan

jurnal ini tidak sesuai dengan kaidah penulisan jurnal yang baik.

Abstrak dalam penelitian jurnal setidaknya memuat lima hal pokok

yaitu pendahuluan yang terdiri dari metode, hasil, analisis, pembahasan,

dan kesimpulan beserta saran. Pada jurnal ini terdapat tujuan penelitian,

metode, hasil dan analisa serta kesimpulan tetapi tidak menyantukmkan

saran. Adapun poin-poin yang dimuat dalam abstrak tersebut adalah

sebagai berikut :

23
a. Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perawatan mulut

menggunakan chlorhexidine, vitamin E dan madu pada mucositis oral

(OM) manajemen pada anak-anak dirawat di unit perawatan intensif

anak (PICU).

b. Desain dan Metode Penelitian

Penelitian ini adalah uji coba terkontrol secara acak dengan desain

paralel. Sampel penelitian terdiri dari 150 anak-anak yang dirawat di

PICU dari sebuah rumah sakit universitas di Turki. Anak-anak yang

terdaftar dalam penelitian secara acak dibagi menjadi enam kelompok

berdasarkan solusi perawatan oral yang digunakan (n = 25 dalam

setiap kelompok). Demografi Formulir Informasi dan Organisasi

Kesehatan Dunia Oral Mucositis Indeks yang digunakan untuk

pengumpulan data.

c. Hasil

Indeks mucositis dari anak-anak yang datang dengan dan tanpa OM

setelah masuk ke PICU dibandingkan pada hari 1, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan

21 dan penelitian ini menemukan bahwa nilai indeks mucositis dari anak-

anak yang diobati dengan vitamin E secara signifikan lebih rendah

daripada di kelompok lain (pb 0,05 untuk masing-masing), sedangkan

anak-anak yang diberi klorheksidin secara signifikan lebih tinggi daripada

di kelompok lain (pb 0,05 untuk masing-masing).

24
d. Kesimpulan

Vitamin E adalah agen yang paling efektif dalam manajemen, diikuti oleh

madu sebagai agen kedua yang paling efektif. Klorin ditemukan kurang

efektif dalam manajemen dibandingkan dengan dua agen lainnya.

Berdasarkan hal ini, vitamin E direkomendasikan untuk digunakan dalam

praktik perawatan mulut preventif dan terapeutik oral.

e. Kata kunci

Penulisan kata kunci dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris),

ditempatkan di bawah abstrak, terdiri dari dua sampai lima kata yang

berfungsi untuk memudahkan pencarian jurnal ini secara elektronik (LIPI,

2013). Berdasarkan uraian diatas, kata kunci ditulis dalam bahasa inggris

dan memudahkan dalam pencarian jurnal secara elektronik. Kekurangan

dari abstrak jurnal ini adalah tidak menampilkan kata kunci.

3. Pendahuluan

Pendahuluan tidak boleh terlalu panjang, tidak boleh melebihi 2

halaman ketik (Fakultas Keperawatan UNAND, 2012). Itulah sebabnya,

kalimat pada pendahuluan ini harus padat dan berisi. Pembahasan dalam

pendahuluan sudah sesuai dengan kaidah penulisan jurnal yang baik yaitu

tidak lebih dari 2 halaman ketik.

Dalam pendahuluan sudah terpapar jelas alasan mengapa peneliti

melakukan intervensi perawatan mulut dengan berbagai zat pada anak

untuk melihat manakah yang efektif digunakan.

25
4. Latar belakang dari penelitian jurnal :

Pasien di unit perawatan intensif anak (PICU) beresiko dalam

pengembangan OM. Di antara pasien anak yang tidak sadar,

26
ketidakmampuan untuk mengambil cairan dan makanan melalui rute oral,

bernapas melalui mulut dan pengeringan mukosa oral yang disebabkan

oleh perawatan oksigen dapat menyebabkan pengembangan OM

(Cubukcu, 2005). Lebih jauh lagi, karena refleks menelan menjadi lemah

atau tidak ada pada anak-anak yang tidak sadar, bakteri memproduksi

kembali di dalam air liur dan menumpuk di mulut. Bakteri gram positif

dan Gram negatif menyebabkan infeksi sekunder dengan menumbuhkan

pada mukosa dan merusak integritas strukturalnya. Candida dan herpes

simpleks juga di antara sumber utama infeksi (Cubukcu et al., 2006).

Selain itu, migrasi mikroorganisme ini ke paru-paru dapat menyebabkan

kolonisasi dan infeksi pada organ-organ tersebut (Grap & Munro, 2004).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efek dari tiga metode

perawatan mulut yang berbeda (klorheksidin, vitamin E dan madu) yang

sering digunakan dalam pencegahan dan pengobatan OM pada anak-anak

yang dirawat di PICU .

5. Studi Literatur

Pada literature review sudah tergambarkan tentang tinjauan pustaka

dan petunjuk kriteria standarisasi dari tinjauan pustaka penelitian.

Tinjauan pustaka terdapat pada pendahuluan jurnal yang membantu untuk

menguatkan data tentang permasalahan yang akan diangkat.

Pada jurnal ini sudah mencantumkan subjudul tentang rumusan

masalah ataupun membahas tinjauan pustaka yang seharusnya terdapat

pada bagian pendahuluan.

27
Tinjauan pustaka sudah berisikan semua teori yang memperkuat

pembahasan tentang penelitian dan menjelaskan semua variabel yang

dibahas pada penelitian tersebut.

6. Kerangka Konsep dan Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara tentang hasil akhir

dari penelitian ini (Nursalam, 2011). Apapun hasil penelitian walaupun

berbeda dengan hipotesisnya tidak membuat penelitian menjadi kurang

bermakna.

Hipotesis pada penelitian ini sudah dicantumkan yaitu,

pengaruh perawatan mulut yang efektif menggunakan chlorhexidine,

vitamin E dan madu pada mucositis oral (OM) manajemen pada anak-

anak dirawat di unit perawatan intensif anak (PICU).

7. Metodologi

28
Bagian metodologi ini umumnya terdiri dari beberapa bagian

tergantung dari besar kecilnya informasi yang akan diberikan. Pada

penelitian besar dengan desain yang agak kompleks, biasanya bagian ini

agak panjang, mengingat banyak hal yang perlu dijelaskan khususnya

bagaimana penelitian dilakukan di lapangan termasuk beragai metode

pengukuran yang digunakan. Pada penlitian kecil dengan desain yang

29
sederhana biasanya hanya beberapa paragraf saja. Umumnya, bagian ini

terdiri dari beberapa bagian seperti : lokasi penelitian, populasi dan sampel,

pengumpulan data, dan analisis data.bagian-bagian lainnya bisa

ditambahkan sesuai dengan keperluan (LIPI, 2013).

Metode penilitian disesuaikan dengan jenis penilitian. Penelitian ini

dilakukan sebagai uji coba terkontrol secara acak dengan desain paralel.

8. Populasi dan Sampel

Berisikan tentang siapa populasi dan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini. Perlu dikemukakan mengapa peneliti memilih sampel

seperti itu. Bila peneliti menggunakan kriteria sampel maka harus

dikemukakan dengan jelas bagaimana sampel dipilih. Penulisan

pengambilan sampel sudah cukup mencamtumkan, misalnya purposive

sampling.

Dalam jurnal penelitian ini tercantum dan dijelaskan siapa yang

menjadi subjek penelitian yaitu dari 150 orang dibagi menjadi 6

kelompok, masing masing kelompok 25 orang dengan teknik purposive

sampling. Di dalam jurnal ini juga telah dijelaskan bagaimana teknik

pengambilan sampel yang digunakan dan besarnya sampel.

9. Instrument

Instrumen penilitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen penilitian dapat berupa kuesioner, formulir

observasi. Formulir yang berhubungan dengan pencatatan data (Nursalam

2011).

30
Dalam jurnal Data untuk penelitian ini dikumpulkan menggunakan

Formulir Informasi Demografis dan Indeks Mucositis Oral Organisasi

Kesehatan Dunia. Formulir ini disiapkan oleh para peneliti setelah tinjauan

literatur dan terdiri dari 15 pertanyaan tentang anak mengenai jenis

kelamin, usia, status penyakit, diagnosis dan protokol perawatan

(Cubukcu, 2005; Cubukcu et al., 2006; Kobya- Bulut & Guducu-Tufekci,

2016).

10. Data Analisis

Pada bagian ini harus dijelaskan bagaimana data yang telah

dikumpulkan di lapangan di analisis berbentuk tabel. Program statistik apa

yang digunakan dan data analisnya sudah di tampilkan sehingga kita dapat

mengetahui bagaimana cara penelitian menganalisis hasil penelitian.

11. Hasil dan Pembahasan

Penjelasan tabel atau gambar dalam narasi tidak boleh terlalu detail

atau panjang. Cukup memberikan keterangan singkat tentang isi dari tabel

atau gambar. Dengan demikian tidak ada pengulangan informasi dari tabel

atau gambar dalam narasi (LIPI, 2013).

Usahakan jumlah tabel dan gambar tidak melibihi 5 buah. Untuk

memperkecil jumlah tabel, dalam satu tabel dapat dimuat beberapa

variabel karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin,

pekerjaan, pendidikan, suku, dan agama dalam suatu tabel. Harus

diperhatikan juga bahwa setiap tabel atau gambar harus dapat menjelaskan

dirinya sendiri. Jenis satuan, jumlah sampel, apakah berhubungan (nilai p)

harus bisa terlihat pada tabel tersebut. Tabel atau gambar yang dibuat

31
untuk tulisan jurnal harus diletakan pada bagian belakang dari manuskrip

yang kita siapkan atau setelah daftar pustaka. Setiap satu tabel atau gambar

dimuat dalam satu halaman dan tetap dibuat dalam 2 spasi.

Pada paragraf terakhir biasanya kita temukan kalimat yang

berhubungan dengan kesimpulan dan saran. Kalimat ini kadang dibuat

tidak secara eksplisit namun memberikan informasi kepada pembaca apa

kesimpulan Yang tidak ditarik oleh tim peneliti terhadap penelitian yang

Telah dilakukan. Ini tentu merujuk pada hasil dan pembahasan yang telah

dilakukan sebelumnya. Saran dikemukakan juga dalam bentuk yang sangat

singkat. Biasanya semuanya dalam bentuk satu paragraph. Namun

demikian, pada beberapa jurnal ilmiah, bagian ini disendirikan. Pada

keadaan demikian, kita bisa memberikan kesimpulan dan saran dalam

beberapa kalimat. Pembahasan dalam jurnal ini sudah mencakup

pembahasan masing-masing variabel dan pembahasan hasil analisis

bivariatnya.

12. Kesimpulan

Bagian ini adalah yang kadang ditampilkan dalam teks dan kadang

pula dicantumkan secara tidak langsung pada bagian akhir dari

pembahasan. Patut diingat, bahwa yang disampaikan dalam bagian ini

adalah kesimpulan yang diputuskan oleh peneliti setelah melihat hasil yang

diperoleh dan pembahasan yang mempertimbangkan semua aspek yang

terkait dengan apa yang ada dalam penelitian tersebut. Kesimpulan harus

menjawab pertanyaan penelitian yang dinyatakan dalam sub-bab

pendahuluan. Saran mengikuti kesimpulan yang umumnya mengemukakan

32
rekomendasi kepada pihak pengambil kebijakan dalam menanggulangi

masalah yang di teliti serta saran untuk penelitian berikutnya. Kesimpulan

dan saran disusun dalam beberapa kalimat dan umumnya hanya satu

paragraph (LIPI, 2013).

Kesimpulan dalam jurnal ini dibuat dalam satu paragraf, sehingga

sudah sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.

13. Impikasi Penggunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini sangat penting diketahui dan dipahami dimana secara

keseluruhan, temuan menunjukkan bahwa vitamin E dan madu efektif

digunakan sebagai perawatan OM pada anak yang di rawat di PICU. Hal

ini dapat diterapkan oleh perawat yang memberikan pelayanan di PICU

untuk meningkatkan kesehatan mulut anak.

14. Daftar Pustaka

33
a. Daftar Pustaka harusnya tersusun berdasarkan abjad, dalam jurnal ini

sudah disusun sesuai abjad.

b. Daftar Pustaka dari internet harusnya dibuat nama penulis, kalau tidak

ada nama penulis dibuat “anonim”. Alamat website yang ditampilkan

34
dalam sumber internet tidak lengkap dan tidak semua ada tanggal dan

waktu mengakses.

c. Judul buku dan jenis jurnal dalam daftar pustaka sudah dicetak miring

35
36
37
B. TELAAH KONTEN

1. Pendahuluan

Oral Mucositis (OM) adalah peradangan dan ulserasi dari mukosa

mulut ( Kobya-Bulut & Guducu-Tufekci 2016 ). Durasi dan keparahan dari

penyakit ini ini belum sepenuhnya diidentifikas dan memiliki dampak yang

bervariasi tergantung dari pasien dan pengobatan yang dilakukan (

Cubukcu, Baytan, & Gunes 2006 ). Ada berbagai tingkat/derjat dari OM

dan tingkat/level direkomendasikan oleh OrganisasiKesehatan Dunia

(WHO) adalah yang paling sering digunakan. Menurut WHO OM dibagi

menjadi 4 fase termasuk didalamnya inflamasi awal/ fase vaskular (Tahap

I), fase epitel (Tahap II), ulseratif/ bakteriologisfase (Phase III) dan fase

pemulihan (Tahap IV) ( Cubukcu et al., 2006 ; WHO, 1979 ).

Respon kekebalan dan ketahanan pada anak-anak yang berbeda

dibandingkan dengan orang dewasa meningkatkan terjadinya OM. Pasien

di unit perawatan intensif anak (PICU) sangat beresiko terkena OM. Di

antaranya pasien anak tidak sadar, tidak mampu untuk makan melalui oral,

bernapas melalui mulut dan pengeringan mukosa mulut yang disebabkan

oleh pemberian oksigen dapat menyebabkan perkembangan OM ( Cubukcu

2005 ). Selain itu, karena reflek menelan yang lemah atau tidak bisa

menelan pada anak-anak yang tidak sadar, menyebabkan bakteri

berkembang biak dalam air liur dan menumpuk di dalam mulut. bakteri

Grampositive dan Gram-negatif menyebabkan infeksi secara sekunder

dengan tumbuh di mukosa dan merusak integritas struktural. Candida dan

herpes simpleks juga merupakan sumber utama infeksi ( Cubukcu et al.,

38
2006 ). Selain itu, migrasi mikroorganisme ini ke paru-paru bisa

mengakibatkan kolonisasi dan infeksi pada organ tersebut ( Grap & Munro,

2004 ). Oleh karena itu, pentingnya menyediakan perawatan mulut untuk

pasien perawatan intensif harus ditekankan ( Cubukcu et al., 2006 ; Grap

&Munro, 2004 ).

Untuk Pencegahan dan pengobatan OM, sangat perlu diperhatikan

bahwa zat yang digunakan dalam perawatan mulut harus efektif, aman,

mudah didapatkan dan tanpa efek samping ( Kobya-Bulut & Guducu-

Tufekci 2016 ). Meskipun ada banyak pilihan, seperti serum fisiologis,

natrium bikarbonat, vitamin E, yodium povidon, benzydamine, glutamin,

seng, faktor pertumbuhan, Palifermin, perawatan laser bertekanan rendah

dan cryotherapy, strategi pengobatan yang efektif belum dikembangkan (

Izgu 2017 ; Kobya-Bulut & Guducu-Tufekci 2016 ). Penyebab utama untuk

ini adalah penggunaan rejimen perawatan mulut yang berbeda harus

digunakan untuk menghilangkangejala. Namun, tindakan pencegahan yang

diambil/diberikan mungkin efektif untuk fase/tipe OM tertentu,namu

memiliki efek yang merugikan pada fase lain ( Cubukcu et al., 2006 ;

Kobya-Bulut & Guducu-Tufekci 2016 ). Penelitian lain dalam literatur

telah menunjukkan bahwa klorheksidin dan vitamin E yang sering

digunakan dalam pengelolaan mucositis oral ( Azizi, Alirezaei, Pedram, &

Ma fi, 2015 ; Chaitanya et al., 2017 ; Cheng, Chang, & Yuen, 2004 ; Costa,

Fernandes, Quinderé, Wadleigh et al., 1992 ). Chlorhexidine adalah

antimikroba spektrum luas dan larutan antiseptik sering digunakan dalam

perawatan mulut yang efektif pada bakteri Gram-positif / negatifdan jamur

39
( Cavusoglu 2007 ; Ozveren 2010 ). Namun, rasanya tidak menyenangkan

dan mungkindan dysgeusia dapat berkembang ( Cavusoglu 2007 ; Macedo,

Morais, Dantas, & Morais, 2015 ; Ozveren2010 ). Karena hasil tidak efektif

dan efek samping yang merugikan dari chlorhexidine, keampuhan dari

metode ini telah dibahas dalam studi terbaru ( Cavusoglu 2007 ;

KobyaBulut & Guducu-Tufekci 2016 ; Macedo et al., 2015 ).

Vitamin E dapat diterapkan secara topikal atau sistemik karena

toksisitas sangat rendah dan umumnya ditoleransi dengan baik (El-

Housseiny et al., 2007 ). Hal ini tidak mutagenik, teratogenikatau

karsinogenik. Meskipun dosis sistemik tinggi vitamin E dapat

meningkatkan kecenderungan perdarahan, tidak ada data yang

menunjukkan efek buruk saat penggunaan secara topikal (Azizi et al., 2015

). Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa vitamin E digunakan secara

topikal dua kali sehari efektif dalam manajemen OM ( Azizi et al., 2015 ;

Chaitanya et al., 2017 ; El-Housseiny et al., 2007 ; Wadleigh et al., 1992 ).

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan madu,merupakan metode

alternative yang digunakan dalam pengobatan luka, telah menarik perhatian

dari profesional kesehatan di seluruh dunia ( Biglari et al., 2013 ; Izgu 2017

). Studi sebelumnya telah melaporkan tentang sifat antibakteri madu,

terutama terhadap bakteri resisten antibiotik, dan penggunaannya dalam

penyembuhan luka. Madu telah terbukti menjadi alternatif yang berharga

untuk pengobatan borok kaki, luka bedah, luka bakar dan berbagai penyakit

kulit, penyembuhan luka pada pasien kanker dan pengobatan infeksi oral (

Al-Jaouni et al., 2017 ; Khanal, Baliga, & Uppal, 2010 ;Awam- fl urrie

40
2008 ; Maiti et al., 2012 ; Raeessi et al., 2014 ; Samdariya, Lewis, Kauser,

Ahmed, &Kumar, 2015 ).

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dampak dari tiga metode

yang berbeda untuk perawatan mulut (chlorhexidine, vitamin E dan madu)

yang sering digunakan dalam pencegahan dan pengobatan OM pada anak-

anak yang dirawat di PICU.

2. Metode penelitian

- Desain

Penelitian dilakukan menggunakan randomized controlled dengn

desain paralel

- Tempat dan partisipan

Populasi penelitian terdiri dari anak-anak yang dirawat di Unit

Perawatan Intensif Anak di Universitas Kesehatan Duzce dan Pusat

Penelitian di Turki, pada September 2016 sampai November 2017. PICU

dilengkapi dengan empat tempat tidur dan memiliki staf perawat sebanyak

enam orang. Sampel dibagi menjadi dua kelompok yang termasuk anak-

anak dengan dan tanpa OM ketika dirawat di PICU. Setelah analisis

kekuatan, sebanyak 75 sampel diambil untuk setiap kelompok (dengan /

tanpa OM) dengan kekuatan 80%, tingkat kesalahan 5% dan efek ukuran

0,25. Sampling penelitian ini terdiri dari total 150 anak usia dua tahun atau

lebih tua tanpa hambatan pengobatan (misalnya, alergi terhadap madu,

diabetes, masalah gula darah) dan yang keluarganya setuju untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini .

41
Tiga solusi perawatan mulut yang berbeda digunakan untuk

mencegah dan mengobati OM. Anak-anak yang terdaftar dalam penelitian

secara acak dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan solusi perawatan

mulut yang digunakan (n = 25 dalam setiap kelompok).

Kelompok anak yang dirawat di PICU dengan OM dibagi menjadi:

Kelompok-1. Pasien yang diobati dengan chlorhexidine, Grup-2. Pasien

yang diobati dengan vitamin E, Grup-3. Pasien yang diobati dengan madu

(anak-anak tanpa OM dirawat di PICU); Kelompok-4. Pasien yang diobati

dengan chlorhexidine, Grup-5. Pasien yang diobati dengan vitamin E,

Grup-6. Pasien yang diobati dengan madu.

Anak-anak berusia di bawah dua tahun tidak dapat dimasukkan

dalam Grup-3 dan - 6 (karena risiko botulisme pada bayi di bawah usia

satu tahun) selain itu anak anak yang tidak bisa dimasukan ke kelompok

ini adalah mereka yang alergi terhadap madu (berdasarkan laporan orang

tua), didiagnosis dengan diabetes (berdasarkan file/status), didiagnosis

dengan masalah glukosa darah (berdasarkan glukosa darah tindak lanjut

pada grafik) atau anak-anak untuk menerima pengobatan itu tidak tepat.

Anak-anak di bawah dua tahun tidak termasuk dalam penelitian ini untuk

memastikan bahwa penelitian groupswere homogen. Tes awal dilakukan

sebelum melakukn implementasi.

- alat pengumpulan data

Data untuk studywere yang dikumpulkan menggunakan Formulir

Informasi demografis dan World Health Organisasion menggunakan Oral

Mucositis Index.

42
3. Hasil Penelitian

1. Gambaran karakteristik responden

Seabanyak 49% dari individu daam penelitian ii adaah perempuan dan

51% lainnya adalah lakilaki dengan usia rata rata 7,25 tahun. Tidak ada

nilai yang signifikan pada karakteristik umum partisipan dengan OM

dalam hal seks dan kelompo untuk penakit krois sekunder. Begitu juga

pada kelompook tanpa OM. Ditemukan bahwa kelompok tanpa OM

yang dirawat di PICU memiiki data yang homogen.

2. Evaluasi Pencegahan Mucositi

- Intervensi pada kelompok OM

Ketika indeks mucositis diukur pada periode yang berbeda

dibandingkan didasarkan pada kelompok, diamati bahwa perbedaan

antara kelompok berubah sesuai dengan nilai indeks mucositis diukur

pada periode yang berbeda atau bahwa perbedaan nilai indeks berbeda

di masing-masing kelompok (p b 0,001). Pada akhir uji perbandingan

Grup-1 menjadi lebih tinggi dari nilai yang diukur pada hari-hari yang

sama di Grup-3 (p b 0,05 untuk masing-masing). Nilai indeks mucositis

diukur pada hari 3, 6, 9, 12 dan 15 di Grup-2 lebih rendah dari nilai yang

terukur pada Grup-3 (p b 0,05 untuk masing-masing). Selain itu, nilai

indeks mucositis diukur pada hari 6, 9, 12, 15, 18 dan lebih rendah

dibandingkan dengan nilai basal di Grup-1 (p b 0,01 untuk masing-

masing).

43
- Intervensi pada kelompok kontrol

Untuk median nilai indeks mucositis diukur pada hari pertama, tidak ada

Perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok yang tidak

memiliki mucositis (p = 0,368,)

4. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perawatan

mulut menggunakan chlohexidine, vitamin E dan madu utnuk manajemen

OM pada anak anak yang dirawat di PICU. Berdasarkan hasil penelitian

ditemukan bahwa intervensi yang palignefektif dalam manajemen OM

adalah vitamin E, diikuti oleh madu dan chlorhexdine merupakan intervensi

yang paling tidk efektif. Vitamin E adalah molekul antioksidan yang paling

penting yang ditemukan pada manusia danlarut dalam lemak ( Alt saya ner,

Atalay, & Bilal, 2017 ; Ongel 2006 ). Karena dapat mempengaruhi

pembentukn radikal bebas. Vitamin ini perlu untuk mningkatkan antioksidan

tubuh yang dibutuhkan dalam manajemen OM ( Cavusoglu 2007 ). Menurut

literatur, vitamin E mencegah kerusakan jaringan, memberikan kontribusi

untuk regenerasi sel, menghasilkan efek epitelisasi padamukosa, perbaikan

kulit, melindungi kerusakan sel-sel fromoxidative, memperkuat sistem

kekebalan tubuh, meningkatkan produksi leukosit dan penurunan kerusakan

oksidatif pada jaringan khusus seperti pembuluh darah ( Alt saya ner et al.,

2017 ; Ongel 2006 ). Pada akhir penelitian ini, nilai-nilai

indeks mucositis dari anak-anak diobati dengan vitamin E yang ditemukan

lebih rendah dibandingkan kelompok lain (p b 0,05 untuk masing-masing).

Hasil serupa telah ditemukan

44
dalam studi sebelumnya yang menyelidiki efektivitas vitaminE. Penelitian

oleh El-Housseiny et al. (2007) dilakukan pada pasien anak yang menjalani

kemoterapi melaporkan bahwa 100 mg vitamin topikal E diterapkan dua

kali sehari merupakan langkah pencegahan yang efektif dalam pengobatan

OM diinduksi oleh kemoterapi ( ElHousseiny et al., 2007 ).

Madu memiliki fitur antimikroba yang ideal dan osmolaritas tinggi.

Glukosa menghasilkan non-sitotoksik hidrogen peroksida pada tingkat

tinggi melalui enzim oksidase. Madu mengurangi tingkat prostaglandin,

meningkatkan konsentrasi oksida nitrat dalam lesi dan karakteristik

inflamasi dan antioksidan ( Nagi, Patil, Rakesh, Jain, & Sahu, 2018 ). Ada

banyak laporan kasus menunjukkan efek dari madu pada percepatan proses

penyembuhan pada luka akut dan kronis ( Biglari et al., 2013 ; Dunford,

Cooper, Molan, & White, 2000Awam- fl urrie 2008 ). Madu juga dikenal

untuk mengurangi iritasi mukosa karena perbaikan jaringan, penyembuhan

luka dan pengobatan berbagai gusi dan infeksi intraoral ( Nagi et al., 2018 ;

Raeessi et al., 2014 ; Samdariya et al., 2015 ).

Studi tentang penggunaan madu dalammanajemen mucositis telah

menunjukkan hasil positif. Dalam satu penelitian terbaru, selain perawatan

rutin, diminta untuk membilas mulut dengan 20ml madu tiga kali sehari dan

kemudian menelannya. Pada akhir penelitian, dilaporkan bahwa aplikasi ini

mampu mengatasi OM ( Samdariya et al., 2015 ). Studi lain menemukan

bahwa campuran madu dan kopi (300 g madu dan 20 g kopi instan) efektif

dalam pengobatan OM ( Raeessi et al., 2014 ).

45
Penelitian tentang chlorhexidine mengatakan chlorhexidine kurang efektif

dibandingkan dengan metode lain dalam manajemen OM. Chlorhexidine

umumnya digunakan dalam pengobatan mucositis, namun efektivitasnya

masih kontroversial. Studi tentang pengaruh chlorhexidine pada OM telah

menghasilkan hasil yang berbeda-beda

5. Kesimpulan

Sampai saat ini, tidak ada agen telah terbukti benar-benar efektif

dalam pengobatan OM dan dan belum ditemukan standar pengobatannya.

Hasil penelitian ini dilakukan dengan pasien PICU menunjukkan bahwa

agen yang efektif dalam Mmanagement OM adalah vitamin E dan agen

efektif yang kedua adalah madu. Chlorhexidinewas ditemukan kurang

efektif dalam manajemen OMdibandingkan dengan agen lain.

Dengan demikian, penggunaan dari vitamin dianjurkan untuk aplikasi

perawatan mulut untukmencegah dan mengobati OM. Selain itu, madu, yang

merupakan nutrisi alami,dapat dengan aman digunakan sebagai metode

perawatan mulut untuk mengobati anak-anak di PICU yangtidak diabetes

atau alergi terhadap madu. Namun, madu tidak boleh diberikan pada bayi

kurang dari satu tahun karena risiko botulisme.

46
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mukositis oral merupakan inflamasi akut pada mukosa oral akibat

nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral, yang ditandai dengan adanya

eritema dan atau ulserasi pada mukosa oral, dan dapat menimbulkan nyeri

hebat, membutuhkan analgesik opioid, mengganggu asupan nutrisi, dan

kualitas hidup pasien . Untuk pencegahan dan pengobatan Mukositis Oral,

sangat penting bahwa zat yang digunakan dalam perawatan mulut harus

efektif, aman, mudah dijalankan dan tanpa efek samping Penelitian ini

menunjukkan bahwa vitamin E dan madu efektif digunakan sebagai

perawatan Mukositis Oral pada anak yang di rawat di PICU. Hal ini dapat

diterapkan oleh perawat yang memberikan pelayanan di PICU untuk

meningkatkan kesehatan mulut anak.

B. Saran

Penelitian ini harus melibatkan sampel yang lebih besar dan diperluas

ke pusat-pusat medis lainnya untuk benar-benar mengidentifikasi efek

terapi kombinasi pada anak yang di rawat di PICU.

47
DAFTAR PUSTAKA

Azizi, A., Alirezaei, S., Pedram, P., & Ma fi, AR (2015). Keampuhan dari vi-

topikal dan sistemik Tamin E dalam mencegah mucositis lisan kemoterapi-

induksi. Laporan dari Radioterapi dan Onkologi, 2 ( 1), e796.

https://doi.org/10.5812/rro.2(1)2015.796 .

Biglari, B., Moghaddam, A., Santos, K., Blaser, G., Axel-Buchler, A., Jansen, G.,

et al. (2013). Multisenter studi prospektif observasional pada perawatan luka

profesional menggunakan madu (Medihoney ™). International Luka

Journal, 10 ( 3), 252 - 259.

Izgu, N. (2017). Terapi komplementer dalam pengelolaan mucositis lisan

diinduksi selama pengobatan kanker. Koc Universitas Jurnal Pendidikan

Keperawatan dan Penelitian, 14 (4), 304 - 310.

https://doi.org/10.5222/HEAD.2017.304 .

Chaitanya, N., Muthukrishnan, A., Babu, DBG, Kumari, CS, Lakshmi, MA, Palat,

G., & Alam, KS (2017). Peran vitamin E dan vitamin dalam mucositis lisan

disebabkan oleh kemoterapi kanker / radiotherapy- meta-analisis. Journal of

Clinical dan Diagnostik Penelitian, 11 ( 5), 6 - 9.

https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/26845.990

Kishore Kumar-, M. (2015). Sebuah studi klinis untuk mengetahui pengaruh

mulut chlorhexidine mencuci radiasi diinduksi mucositis oral. Jurnal

Bioengineering dan Biomedical Science, 5 ( 2), 150.

https://doi.org/10.4172/2155-9538.10

48
Macedo, RAP, Morais, EF, Dantas, AN, & Morais, MLSA (2015). klorheksidin

untuk mengobati mucositis oral pada pasien dengan leukemia akut: tinjauan

sistematik. Revista Dor, 16 ( 3), 221 - 226.

Nashwan, AJ (2011). Penggunaan chlorhexidinemouthwash pada anak-anak yang

menerima chemotherapy: Sebuah tinjauan literatur. Journal of Pediatric

Oncology Keperawatan, 28 ( 5), 295 - 299.

https://doi.org/10.1177/1043454211408103 .

Ozveren, H. (2010). perawatan mulut pada pasien yang menerima ventilator

mekanik. Hacettepe Universitas Fakultas Ilmu Kesehatan Keperawatan

Journal, 92 - 99.

Baliga KBM, & Uppal N. (2010) Effect of Topical Honey of Limitation of

Radiation Induced Oral Mucositis: An Intervention Study. International

Journal of Oral & Maxillofacial Surgery. 3912; 1181-1185

Harris JL. Schwartz MB, Ustjanauskas A, Ohri-Vachaspati P, & Brownell KD.

(2010). Effects of Srving High Sugar Cereals on Children’s Breakfast-

Eating Behavior. Official Journal of The The American Academy of

Pediatrics.

Eilers, J. (2014). Nursing intervention and supportive care for the prevention and

treatment of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology

Nursing Forum, 31(4), 13-18.

Gupta, N., & Khan, M. (2013). Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3), 405-

410.

49
Kakoei, S., Ghassemi, A., & Nakhaee, N. (2013). Effect of cryotherapy on oral

mucositis in patients with head and neck cancers receiving radiotherapy.

International Journal of Radiation Research, 11(2), 117-120.

Lalla, R.V., Bowen, J., Barasch, A., Elting, L., Epstein, J., Keefe, D.M., et al.

(2014). MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of

mucositis secondary to cancer therapy. Cancer, 120(10), 1453–1461.

Spijkervet FKL. Mukositis akibat radiasi pencegahan dan pengobatan

(terjemahan). Edisi ke-1. Jakarta : KDT ; 2009. h. 1-3

Vera-Lionch M, Oster G, Hagiwara M, Sionis ST. Oral mucositis in patients

undergoing radiation treatment for head and neck carcinoma. Risk factors

and clinical consequences. Cancer. 2006; 106 : 329-36

50

Anda mungkin juga menyukai