Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LATAR BELAKANG

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung yang


sudah didapatkan sejak bayi baru lahir. Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah
penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang
dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan
struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB,
yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing memberikan
gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.1

Insiden PJB dinegara maju maupun Negara berkembang berkisar 6-10 kasus
per 1000 kelahiran hidup. Diperkirakan satu juta anak di Amerika hidup dengan PJB.
Angka kejadian PJB di Indonesia adalah 8 tiap 1000 kelahiran hidup.2 Sebanyak 30
% diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan.3
Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada
bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak lahir
dan memerlukan tindakan segera.1 Bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak
ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan.
Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada
usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang baru
terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat
mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi.3

Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan pengenalan dan diagnosis
dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan.
Dengan ekokardiografi fetal, telah dapat dideteksi defek jantung, distrimia serta
disfungsi miokard pada masa janin. Di bidang pencegahan terhadap timbulnya
gangguan organogenesis jantung pada masa janin, sampai saat ini masih belum
memuaskan, walaupun sudah dapat diindentifikasi adanya multifaktor yang saling
berinteraksi yaitu faktor genetik dan lingkungan. Penatalaksanaan anak PJB harus
dilaksanakan secara menyeluruh yaitu meliputi penanganan komprehensif holistic
yang mencakup aspek preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan struktur dan fungsi dari sirkulasi
jantung yang dapat tampak saat lahir atau saat kehidupan selanjutnya. PJB merupakan
kelainan kongenital yang paling banyak, penyebab utama kecacatan, menjadi
penyebab penting morbiditas dan mortalitas anak-anak di dunia secara keseluruhan.
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu penyakit
jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.6

a. Penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik

Penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik merupakan penyakit jantung bawaan


terbanyak, asimptomatik dan tidak didapatkan tanda sianosis. Ventricular septal
defect (VSD) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan, atrial septal defect
(ASD) menduduki peringkat kedua, disusul oleh patent ductus arteriosus (PDA) dan
stenosis pulmonal. Stenosis aorta serta koarktasio aorta, dan lesi jantung kiri lain
sangat jarang ditemukan di Indonesia.
PJB non sianotik dibagi menjadi 2 yakni PJB non sianotik dengan lesi atau lubang di
jantung sehingga terdapat aliran pirau dari kiri ke kanan, diantaranya: defek septum
ventrikel, defek septum atrium, duktus arteriosus persisten, serta PJB non sianotik
dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan tanpa aliran pirau melalui
sekat di jantung, diantaranya: stenosus aorta, stenosus pulmonal, serta koarktasio
aorta. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari
ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan
vaskuler paru.3

b. Penyakit jantung bawaan sianotik

Penyakit jantung bawaan sianotik menunjukkan gejala sianosis akibat hipoksia,


dengan atau tanpa gagal jantung, sebagian tidak menunjukkan gejala namun
auskultasi terdengar bising. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa disebabkan
oleh hemoglobin tereduksi lebih dari 5 g/dL dalam sirkulasi.

Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar terdapat 2 golongan PJB
sianotik, yaitu (1) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang, misalnya
Tetralogi of Fallot (TF), dan (2) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang
bertambah, misalnya Transposition of the Great Arteries (TGA) dan Common
Mixing.3

2.2 Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen
penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan
dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Berbagai jenis penyakit genetik
dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti sindrom Down,
Turner, dan lain-lain. Data menunjukkan ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B
secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB.
Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. Faktor risiko lain
secara statistik tidak berhubungan. Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko
terjadinya PJB yang terjadi 79,1%, untuk Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal
Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect, 12,9% untuk Left Ventricular
Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal Defect dan 3,4% untuk
Isolated Ventricular Septal Defect. Risiko terjadinya PJB dari jenis lain 2,68%, risiko
didapatnya PJB dari jenis yang sama berkisar 8,15%. Didapati hanya 2,2% kejadian
PJB pada populasi yang diamati.7

2.3 Epidemiologi
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan malformasi struktur yang
terbanyak dan mencapai 25% dari semua anomali kongenital serta menjadi masalah
kesehatan global. Insiden PJB dinegara maju maupun Negara berkembang berkisar 6-
10 kasus per 1000 kelahiran hidup, dengan rata-rata 8 per 1000 kelahiran hidup.
Kasus PJB ditemukan 1,5 juta kasus baru tiap tahun di dunia dan banyak
menyebabkan cacat lahir dan kematian pada tahun pertama kehidupan dibanding
keadaan lain setelah etiologi infeksi disingkirkan. Diperkirakan satu juta anak di
Amerika hidup dengan PJB. Angka kejadian PJB di Indonesia ialah 8 tiap 1000
kelahiran hidup. Angka kelahiran di Indonesia adalah 4.000.000 kelahiran/tahun.2,8
Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia 2008, angka kejadian penyakit jantung
dan pembuluh darah di Indonesia cenderung meningkat dan dapat menyebabkan
gangguan tumbuh kembang, kecacatan dan kematian.Menurut Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), PJB menempati peringkat pertama
diantara penyakit-penyakit lain yang menyerang bayi. Pada penelitian sebelumnya di
RSUP Prof. R. D. Kandou Manado, didapatkan 79 pasien PJB terdiri dari 43 laki-laki
(54,43%) dan 36 perempuan (45,56%). Sebagian besar (94,93%) dengan asianotik.
Diagnosis yang paling banyak ialah Atrial Septal Defect (ASD) sebanyak 56,96%,
Ventricle Septal Defect (VSD) 25,31%, Patent Ductus Arteriosus (PDA) 8,87%,
Tetralogy of Fallot (ToF) 5,06%, dan Atrioventricle Septal Defect (AVSD) 3,7%.3
2.4 Manifestasi Klinis
a. Penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik
1. Penyakit jantung bawaan non sianotik dengan pirau dari kiri ke kanan
Masalah yang ditemukan pada kelompok ini adalah adanya aliran pirau dari kiri
ke kanan melalui defek atau lubang di jantung yang menyebabkan aliran darah ke
paru berlebihan. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari yang asimptomatik
sampai simptomatik seperti kesulitan mengisap susu, sesak nafas, sering terserang
infeksi paru, gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.3
 Ventricular spetal defect (VSD)
Pada VSD besarnya aliran darah ke paru selain tergantung pada besarnya
lubang, juga sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin
rendah tahanan vaskuler paru makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada
bayi baru lahir dimana maturasi paru belum 2 sempurna, tahanan vaskuler paru
umumnya masih tinggi dan akibatnya aliran pirau dari kiri ke kanan terhambat
walaupun lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 2–3 bulan dimana proses
maturasi paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru dengan
cepat maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan
beban volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal
jantung.3
Pada VSD yang kecil umumnya asimptomatik dengan riwayat pertumbuhan
dan perkembangan yang normal, sehingga adanya PJB ini sering ditemukan
secara kebetulan saat pemeriksaan rutin, yaitu terdengarnya bising pansistolik di
parasternal sela iga 3 – 4 kiri. Bila lubangnya sedang maka keluhan akan timbul
saat tahanan vaskuler paru menurun, yaitu sekitar usia 2–3 bulan. Gejalanya
antara lain penurunan toleransi aktivitas fisik yang pada bayi akan terlihat sebagai
tidak mampu mengisap susu dengan kuat dan banyak, pertambahan berat badan
yang lambat, cenderung terserang infeksi paru berulang dan mungkin timbul
gagal jantung yang biasanya masih dapat diatasi secara medikamentosa. Dengan
bertambahnya usia dan berat badan, maka lubang menjadi relatif kecil sehingga
keluhan akan berkurang dan kondisi secara umum membaik walaupun
pertumbuhan masih lebih lambat dibandingkan dengan anak yang normal. VSD
tipe perimembranus dan muskuler akan mengecil dan bahkan menutup spontan
pada usia dibawah 8–10 tahun.3
Pada VSD yang besar, gejala akan timbul lebih awal dan lebih berat.
Kesulitan mengisap susu, sesak nafas dan kardiomegali sering sudah terlihat pada
minggu ke 2–3 kehidupan yang akan bertambah berat secara progresif bila tidak
cepat diatasi. Gagal jantung timbul pada usia sekitar 8–12 minggu dan biasanya
infeksi paru yang menjadi pencetusnya yang ditandai dengan sesak nafas,
takikardi, keringat banyak dan hepatomegali. Bila kondisi bertambah berat dapat
timbul gagal nafas yang membutuhkan bantuan pernafasan mekanik. Pada
beberapa keadaan kadang terlihat kondisinya membaik setelah usia 6 bulan,
mungkin karena pirau dari kiri ke kanan berkurang akibat lubang mengecil
spontan, timbul hipertrofi infundibuler ventrikel kanan atau sudah terjadi
hipertensi paru. Pada VSD yang besar dengan pirau dari kiri ke kanan yang besar
ini akan timbul hipertensi paru yang kemudian diikuti dengan peningkatan
tahanan vaskuler paru dan penyakit obstruktif vaskuler paru. Selanjutnya
penderita mungkin menjadi sianosis akibat aliran pirau terbalik dari kanan ke kiri,
bunyi jantung dua komponen pulmonal keras dan bising jantung melemah atau
menghilang karena aliran pirau yang berkurang. Kondisi ini disebut sindroma
Eisenmengerisasi. 8

 Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Penampilan klinis PDA sama dengan VSD yaitu tergantung pada besarnya
lubang dan tahanan vaskuler paru. Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik
dan jantung tidak membesar. Sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan
rutin dengan adanya bising kontinyu yang khas seperti suara mesin (machinery
murmur) di area pulmonal, yaitu di parasternal sela iga 2–3 kiri dan dibawah
klavikula kiri. Tanda dan gejala adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA
yang besar akan terlihat saat usia 1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru
menurun dengan cepat. Gagal jantung kongestif akan timbul disertai infeksi paru.
Nadi akan teraba jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan
tekanan nadi yang lebar akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar
saat fase diastolik. Bila sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua
komponen pulmonal akan mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase
sistolik dan tidak kontinyu lagi karena tekanan diastolik aorta dan arteri
pulmonalis sama tinggi sehingga saat fase diastolik tidak ada pirau dari kiri ke
kanan.3,8

2. Penyakit jantung bawaan non sianotik dengan lesi obstruktif tanpa pirau
Obstruksi di alur keluar ventrikel kiri dapat terjadi pada tingkat subvalvar, valvar
ataupun supravalvar sampai ke arkus aorta. Akibat kelainan ini ventrikel kiri
harus memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi sehingga terjadi beban
tekanan pada ventrikel kiri dan hipertrofi otot miokardium. Selama belum terjadi
kegagalan miokardium, biasanya curah jantung masih dapat dipertahankan, pasien
asimptomatik dan ukuran jantung masih normal. Tergantung beratnya obstruksi
presentasi klinis penderita kelompok ini dapat asimptomatik atau simptomatik.
Yang simptomatik umumnya adalah gagal jantung yang gejalanya sangat
bervariasi tergantung dari beratnya lesi dan kemampuan miokard ventrikel. Gejala
yang ditemukan antara lain sesak nafas, sakit dada, pingsan atau pusing saat
melakukan aktivitas fisik dan mungkin kematian mendadak. Pada keadaan yang
berat dengan aliran darah sistemik yang tidak adekuat, sebelum terjadi
perburukan akan ditandai dahulu sesaat dengan kemampuan mengisap susu yang
cepat menurun dan bayi terlihat pucat, takipnoe, takikardia dan berkeringat
banyak. Adanya penurunan perfusi perifer ditandai dengan nadi yang melemah,
pengisian kapiler yang lambat dan akral yang dingin.3
 Atrial Septal Defect
Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum
atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke
paru yang berlebihan juga menyebabkan beban volum pada jantung kanan.
Kelainan ini sering tidak memberikan keluhan pada anak walaupun pirau cukup
besar, dan keluhan baru timbul saat usia dewasa. Hanya sebagian kecil bayi atau
anak dengan ASD besar yang simptomatik dan gejalanya sama seperti pada
umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah diuraikan
diatas. Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah
lebar dan menetap tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi
halus di area pulmonal. Bila aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising
diastolik di parasternal sela iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid.
Simptom dan hipertensi paru umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40
sehingga pada keadaan ini mungkin sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler
paru.
 Aortic Stenosis
AS derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga sering
terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising
sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2
kiri sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal
jantung kongestif pada usia minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama
kehidupannya. Pada AS yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari
50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi atau non
bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada neonatus dan
bayi dengan AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS valvular yang
berat atau gradien tekanan sistolik 90 – 100 mmHg.3
 Coarctatio Aorta
CoA pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun
derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit
kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan
aktivitas. Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau
terlambatnya pulsasi arteri femoralis dibandingkan dengan arteri brakhialis,
kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke aorta
desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.
Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada
usia dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada
kelompok ini, sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau
dari kanan ke kiri melalui PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi
perburukan sirkulasi sistemik dan hipoperfusi perifer.3
 Pulmonal Stenosis
Status gisi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat
badan yang memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya
asimptomatik dan tidak sianosis sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis
akan terlihat takipnoe dan sianosis. Penemuan pada auskultasi jantung dapat
menentukan derajat beratnya obstruksi. Pada PS valvular terdengar bunyi jantung
satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat katup pulmonal yang abnormal
membuka. Klik akan terdengar lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau
mungkin tidak terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik
ejeksi yang kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi jantung dua yang
tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus akan ditemukan pada stenosis yang
berat. Intervensi non bedah Balloon Pulmonary Valvuloplasty (BPV) dilakukan
pada bayi dan anak dengan PS valvular yang berat dan bila tekanan sistolik
ventrikel kanan supra sistemik atau lebih dari 80 mmHg. Sedangkan intervensi
bedah koreksi dilakukan bila tindakan BPV gagal atau disertai dengan PS
infundibular (subvalvar).8
b. Penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik
1. Penyakit jantung bawaan sianotik dengan gejala aliran ke paru yang
berkurang

Pada PJB sianotik golongan ini biasanya sianosis terjadi akibat sebagian atau
seluruh aliran darah vena sistemik tidak dapat mencapai paru karena adanya
obstruksi sehingga mengalir ke jantung bagian kiri atau ke aliran sistemik melalui
lubang sekat yang ada. Obstruksi dapat terjadi di katup trikuspid, infundibulum
ventrikel kanan ataupun katup pulmonal, sedangkan defek dapat di septum atrium
(ASD), septum ventrikel (VSD) ataupun antara kedua arteri utama (PDA).

Penderita umumnya sianosis yang akan bertambah bila menangis atau


melakukan aktivitas fisik, akibat aliran darah ke paru yang makin berkurang. Pada
keadaan yang berat sering terjadi serangan spel hipoksia, yang ditandai khas
dengan hiperpnea, gelisah, menangis berkepanjangan, bertambah biru, lemas atau
tidak sadar dan kadang-kadang disertai kejang. Pada kondisi ini bila tidak diatasi
dengan cepat dan benar akan berakibat kematian. Serangan ini umumnya terjadi
pada usia 3 bulan sampai 3 tahun dan sering timbul saat bangun tidur pagi atau
siang hari ketika resistensi vaskuler sistemik rendah. Dapat kembali pulih secara
spontan dalam waktu kurang dari 15–30 menit, tetapi dapat berkepanjangan atau
berulang sehingga menyebabkan komplikasi yang serious pada sistim susunan
saraf pusat atau bahkan menyebabkan kematian. Karena itu diperlukan
pengenalan dan penanganannya dengan segera secara tepat dan baik. Pada anak
yang lebih besar sering juga memperlihatkan gejala squatting, yaitu jongkok
untuk beristirahat sebentar setelah berjalan beberapa saat dengan tujuan
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan sehingga aliran darah ke paru
meningkat.

 Tetralogi of Fallot
Tetralogi Fallot (TOF) merupakan salah satu kelainan conotruncal dimana
terjadi defek di deviasi anterior septum infundibular. Kelainan pada tertralogi
Fallot antara lain defek septum ventrikel, over-riding aorta, stenosis pulmonal,
serta hipertrofi ventrikel kanan. Derajat beratnya penyakit bergantung pada
stenosis pulmonal, bahkan yang paling berat berupa atresia pulmonal.
Stenosis pulmonal bersifat progresif. Defek septum ventrikel terletak dibawah
katup aorta, lebih anterior dibanding defek septum ventrikel biasa, hingga
8
terjadi over-riding aorta TOF Merupakan golongan PJB sianotik yang
terbanyak ditemukan yang terdiri dari 4 kelainan, yaitu VSD tipe
perimembranus subaortik, aorta overriding, PS infundibular dengan atau tanpa
PS valvular dan hipertrofi ventrikel kanan. Sianosis pada mukosa mulut dan
kuku jari sejak bayi adalah gejala utamanya yang dapat disertai dengan spel
hipoksia bila derajat PS cukup berat dan squatting pada anak yang lebih besar.
Bunyi jantung dua akan terdengar tunggal pada PS yang berat atau dengan
komponen pulmonal yang lemah bila PS ringan. Bising sistolik ejeksi dari PS
akan terdengar jelas di sela iga 2 parasternal kiri yang menjalar ke bawah
klavikula kiri.3
2. Penyakit jantung bawaan sianotik dengan gejala aliran ke paru yang
bertambah
Pada PJB sianotik golongan ini tidak terdapat hambatan pada aliran darah ke
paru bahkan berlebihan sehingga timbul gejala-gejala antara lain tidak mampu
mengisap susu dengan kuat dan banyak, takipnoe, sering terserang infeksi
paru, gagal tumbuh kembang dan gagal jantung kongestif.3
 Transposition of the Great Arteries
TGA adalah kelainan dimana kedua pembuluh darah arteri besar tertukar
letaknya, yaitu aorta keluar dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari
ventrikel kiri. Pada kelainan ini sirkulasi darah sistemik dan sirkulasi darah
paru terpisah dan berjalan paralel. Kelangsungan hidup bayi yang lahir
dengan kelainan ini sangat tergantung dengan adanya percampuran darah
balik vena sistemik dan vena pulmonalis yang baik, melalui pirau baik di
tingkat atrium (ASD), ventrikel (VSD) ataupun arterial (PDA).3
Ada 2 macam TGA, yaitu (1) dengan Intact Ventricular Septum (IVS) atau
tanpa VSD, dan (2) dengan VSD. Masing-masing mempunyai spektrum
presentasi klinis yang berbeda dari ringan sampai berat tergantung pada jenis
dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru. Penampilan klinis yang
paling utama pada TGA dengan IVS adalah sianosis sejak lahir dan
kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada terbukanya PDA. Sianosis
akan makin nyata saat PDA mulai menutup pada minggu pertama kehidupan
dan bila tidak ada ASD akan timbul hipoksia berat dan asidosis metabolik.
Sedangkan pada TGA dengan VSD akan timbul tanda dan gejala akibat aliran
ke paru yang berlebih dan selanjutnya gagal jantung kongestif pada usia 2–3
bulan saat tahanan vaskuler paru turun. Karena pada TGA posisi aorta berada
di anterior dari arteri pulmonalis maka pada auskultasi akan terdengar bunyi
jantung dua yang tunggal dan keras, sedangkan bising jantung umumnya tidak
ada kecuali bila ada PDA yang besar, VSD atau obstruksi pada alur keluar
ventrikel kiri.3,8
 Common Mixing
Pada PJB sianotik golongan ini terdapat percampuran antara darah balik vena
sistemik dan vena pulmonalis baik di tingkat atrium (ASD besar atau
Common Atrium), di tingkat ventrikel (VSD besar atau Single Ventricle)
ataupun di tingkat arterial (Truncus Arteriosus). Umumnya sianosis tidak
begitu nyata karena tidak ada obstruksi aliran darah ke paru dan percampuran
antara darah vena sistemik dan pulmonalis cukup baik. Akibat aliran darah ke
paru yang berlebihan penderita akan memperlihatkan tanda dan gejala gagal
tumbuh kembang, gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal. Gejalanya
sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan
dan timbul pada saat penurunan tahanan vaskuler paru. Pada auskultasi
umumnya akan terdengar bunyi jantung dua komponen pulmonal yang
mengeras disertai bising sistolik ejeksi halus akibat hipertensi pulmonal yang
ada. Hipertensi paru dan penyakit obstruktif vaskuler paru akan terjadi lebih
cepat dibandingkan dengan kelainan yang lain.8

2.5 Diagnosis

Diagnosis penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,


pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan
penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah foto rontgen
dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan
mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung. Kombinasi ke dua pemeriksaan
lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi morfologi dan pato-anatomi
masing-masing jenis penyakit jantung bawaan yang memungkinkan ketepatan
diagnosis mendekati seratus persen. Kemajuan teknologi di bidang diagnostik
kardiovaskular dalam dekade terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka
kejadian beberapa jenis penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada
defek septum atrium dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih
awal.9

Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler berwarna,


pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran pemeriksaan kateterisasi
dan angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya untuk bayi dengan PJB
kompleks, yang sukar ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan pemeriksaan dasar
rutin dan sulitnya pemeriksaan kateterisasi jantung pada bayi. Ekokardiografi dapat
pula dipakai sebagai pemandu pada tindakan septostomi balon transeptal pada
transposisi arteri besar. Di samping lebih murah, ekokardiografi mempunyai
keunggulan lainnya yaitu mudah dikerjakan, tidak menyakitkan, akurat dan pasien
terhindar dari pajanan sinar X. Bahkan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas
pemeriksaan ekokardiografi, foto toraks sebagai pemeriksaan rutinpun mulai
ditinggalkan. Namun demikian apabila di tangan seorang ahli tidak semua pertanyaan
dapat dijawab dengan menggunakan sarana ini, pada keadaan demikian angiografi
radionuklir dapat membantu. Pemeriksaan ini di samping untuk menilai secara akurat
fungsi ventrikel kanan dan kiri, juga untuk menilai derasnya pirau kiri ke kanan.
Pemeriksaan ini lebih murah daripada kateterisasi jantung, dan juga kurang
traumatis.10

2.6 Penatalaksanaan
Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan penyakit
jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup yang lebih
panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan meliputi tata laksana non-
bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah meliputi tata laksana
medikamentosa dan kardiologi intervensi.11
a. Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa umumnya bertujuan untuk menghilangkan gejala dan
tanda di samping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-
obatan tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi.11

Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang
sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan.
Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan
progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada
tetap terbukanya duktus. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk percampuran
darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar dengan septum
ventrikel utuh, penyediaan darah ke aliran pulmonal misal pada tetralogi Fallot berat,
stenosis pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, dan penyediaan darah
untuk aliran sistemik, misal pada stenosis aorta berat, koarktasio aorta berat, interupsi
arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri. Perlu diketahui bahwa penanganan
terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara dan merupakan upaya untuk
menstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan operatif yang dapat berupa paliatif
atau koreksi total terhadap kelainan struktural jantung yang mendasarinya.11

Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus
dilakukan adalah:12

(1) mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien ditempatkan


dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan oksigen,

(2) kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus
dipertahankan di atas 15 g/dl,

(3) memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa,

(4) memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran
darah ke paru, (5) pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka
dengan dosis permulaan 0,1 µg/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis
dapat diturunkan menjadi 0,05 µg/kg/menit. Obat ini akan bekerja dalam waktu 10-
30 menit sejak pemberian dan efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO2 15-20
mmHg dan perbaikan pH.

Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan
yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan
memakai sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan
intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin
E1 0,1 µg/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan menjaga duktus
arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid
diberikan dengan dosis dan cara yang sama dengan tata laksana gagal jantung.12

Pada pasien PJB dengan gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah memperbaiki
kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan
untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus dipandang sebagai terapi
sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung
meliputi:12

(1) penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian oksigen,
pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan
gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu dilakukan
ventilasi mekanis

(2) pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obatobat yang


digunakan pada gagal jantung antara lain:

(a) obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau
dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 µg/kg. Dosis
pertama diberikan setengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam
kemudian sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam
berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam
pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat
inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 µg/kg/ menit diberikan bila terdapat
bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 µg/
kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5
µg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik
yang buruk dan jika ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar
kemungkinan intoksikasi digitalis.

(b) vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.

(c) diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/
hari per oral atau intravena.

b. Kardiologi Intervensi

Salah satu prosedur pilihan yang sangat diharapkan di bidang kardiologi anak adalah
kardiologi intervensi nonbedah melalui kateterisasi pada pasien penyakit jantung
bawaan. Tindakan ini selain tidak traumatis dan tidak menimbulkan jaringan parut,
juga diharapkan biayanya lebih murah. Berbagai jenis kardiologi intervensi antara
lain adalah:13

 Balloon atrial septostomy (BAS) adalah prosedur rutin yang dilakukan pada
pasien yang memerlukan percampuran darah lebih baik, misalnya TAB
(transposisi arteri besar) dengan septum ventrikel yang utuh. Prosedur ini
dilakukan dengan membuat lubang di septum interatrium, dan biasanya
dilakukan di ruang rawat intensif dengan bimbingan ekokardiografi. Di
RSJHK telah dilakukan 64 prosedur BAS dan umumnya prosedur ini berhasil
menciptakan lubang di septum interatrium dan memperbaiki kondisi pasien.
Namun sebanyak 3 pasien mengalami kegagalan karena sulitnya kateter balon
memasuki foramen ovale paten pada pasien dengan septum atrium yang
melengkung atau atrium kiri yang kecil. Satu pasien meninggal karena
perforasi di daerah vena pulmonalis.
 Balloon pulmonal valvuloplasty (BPV) kini merupakan prosedur standar
untuk melebarkan katup pulmonal yang menyempit, dan ternyata hasilnya
cukup baik, dan biayanya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan
operasi. Di RSJHK, prosedur ini sejak tahun 1985 telah dilakukan pada 48
kasus stenosis katup pulmonal yang seringkali disertai stenosis infundibulum.
Umumnya pasca BVP kondisi fisik pasien bertambah baik. Penyulit terjadi
pada 1 kasus karena muskulus papilaris katup trikuspid putus saat tindakan
dikerjakan sehingga memerlukan pembedahan emergensi
 Balloon mitral valvotomy (BMV) umumnya dikerjakan pada kasus stenosis
katup mitral akibat demam reumatik.
 Balloon aortic valvuloplasty (BAV) belum dilakukan rutin dan kasusnya juga
jarang dijumpai. Prosedur ini baru dikerjakan pada 2 kasus.
 Penyumbatan duktus arteriosus menggunakan coil Gianturco juga dikerjakan
pada beberapa kasus, namun belum dianggap rutin karena harga coil dan
peralatan untuk memasukkan coil tersebut cukup mahal. Tindakan ini telah
dilakukan pada 12 kasus dengan duktus arteriosus persisten, kesemuanya
memakai coil Gianturco. Penyulit hemolisis terjadi pada 3 kasus.
 Di Subbagian Kardiologi FKUI/RSCM tindakan intervensi kardiologi yang
pernah dilakukan adalah dilatasi balon dan pemasangan stent pada arteri
renalis pada pasien arteritis Takayasu. Pasca tindakan kondisi pasien baik dan
tekanan darah turun. Tindakan lainnya seperti penutupan DSA (defek septum
atrium), DSV (defek septum ventrikel), fistula koroner, MAPCA (major
aortico -pulmonary collateral arteries) belum pernah dilakukan.

c. Bedah Jantung

Di dalam bidang bedah jantung, kemampuan untuk melakukan operasi ditunjang oleh
(1) teknologi pintas jantung-paru yang sudah semakin aman untuk bayi dengan berat
badan yang rendah, (2) tersedianya instrumen yang diperlukan, (3) perbaikan
kemampuan unit perawatan intensif pasca bedah, dan (4) pengalaman tim dalam
mengerjakan kasus yang rumit.14
Pada prinsipnya penanganan penyakit jantung bawaan harus dilakukan sedini
mungkin. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan mencegah terjadinya
distorsi pertumbuhan jantung, juga mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Operasi
paliatif saat ini masih banyak dilakukan dengan tujuan memperbaiki keadaan umum,
sambil menunggu saat operasi korektif dapat dilakukan. Namun tindakan paliatif ini
seringkali menimbulkan distorsi pertumbuhan jantung, di samping pasien
menghadapi risiko operasi dua kali dengan biaya yang lebih besar pula. Oleh karena
itu terus dilakukan upaya serta penelitian agar operasi jantung dapat dilakukan pada
neonatus dengan lebih aman. Kecenderungan di masa mendatang adalah koreksi
definitif dilakukan pada neonates.14

Bentuk operasi paliatif yang sering dikerjakan pada penyakit jantung bawaan antara
lain

(1) Banding arteri pulmonalis. Prosedur ini dilakukan dengan memasang jerat pita
dakron untuk memperkecil diameter arteri pulmonalis. Banding arteri pulmonalis
dilakukan pada kasus dengan aliran pulmonal yang berlebihan akibat pirau dari kiri
ke kanan di dalam jantung seperti pada defek septum ventrikel besar, ventrikel kanan
jalan keluar ganda tanpa stenosis pulmonal, defek septum atrioventrikular, transposisi
arteri besar, dan lain-lain.

(2) Pirau antara sirkulasi sistemik dengan pulmonal. Prosedur ini dilakukan pada
kelainan dengan aliran darah paru yang sangat berkurang sehingga saturasi oksigen
rendah, anak menjadi biru dan sering disertai asidosis. Jenis-jenis operasi pirau antara
lain: (a) Blalock-Taussig klasik, yaitu membebaskan arteri subklavia dan
menyambungkannya ke arteri pulmonalis kiri atau kanan, (b) Modifikasi Blalock-
Taussig, memasang pipa Gore-Tex antara arteri subklavia dengan arteri pulmonalis
kanan atau kiri, (c) Pirau sentral, membuat hubungan antara aorta dengan arteri
pulmonalis (Waterson, Potts, dengan Gore-Tex) dan (d) Pirau antara vena kava
superior dengan arteri pulmonalis (Glenn shunt atau bidirectional cavo-pulmonary
shunt).
(3) Septostomi atrium. Prosedur ini dilakukan pada bayi sampai usia 3 bulan, yakni
dengan kateter balon melalui vena femoralis. Tindakan ini dapat dilakukan di ruang
perawatan intensif dengan bimbingan ekokardiografi, atau dapat juga dikerjakan di
ruangan kateterisasi jantung. Pada anak yang lebih besar, tindakan ini dilakukan
menurut metode Blalock-Hanlon. Septostomi atrium dilakukan pada transposisi arteri
besar untuk menambah percampuran darah, pada anomali parsial drainase v.
pulmonalis untuk mengurangi bendungan v. pulmonalis, dan pada atresia trikuspid
untuk mengurangi bendungan vena sistemik.14,15

Kemajuan yang pesat dalam pembedahan memungkinkan dilakukannya tindakan


korektif pada penyakit jantung bawaan. Tindakan pembedahan korektif ini terutama
dilakukan setelah ditemukan rancang-bangun oksigenator yang aman, khususnya
pada bayi kecil. Metode yang banyak dipakai adalah “henti sirkulasi”, sehingga
lapangan operasi menjadi bersih dari genangan darah dan tidak terganggu oleh kanula
vena. Ada beberapa kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan korektif
pada usia neonatus misalnya anomali total drainase vena pulmonalis dengan
obstruksi, transposisi tanpa defek septum ventrikel, trunkus arteriosus dengan gagal
jantung. Sebagian lagi pembedahan dapat ditunda sampai usia lebih besar, atau
memerlukan operasi paliatif untuk menunggu saat yang tepat untuk koreksi.15

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain:3

1. Sindrom Eisenmenger.
Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik yang menyebabkan aliran darah ke paru
yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi
dengan meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di
ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di
ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga anak mulai
sianosis. Tindakan bedah sebaiknya dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.
2. Serangan sianotik.

Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Mekanismenya adalah terjadi penurunan
tekanan O2 di arteri pulmonalis (PaO2) yang disertai peningkatan tekanan CO2 di
arteri pulmonalis (PCO2) dan penurunan pH akan merangsang sentral pernafasan
sehingga terjadi hiperventilasi. Sebaliknya keadaan ini membuat pompa tekanan
negative toraks lebih efisien dan dengan akibat peningkatan systemic venous return.
Pada keadaan adanya resistensi RV outflow yang menetap atau pembukaan katup
pulmonal yang menetap menyebabkan systemic venous return yang meningkat masuk
ke ventrikel kanan dan kemudian ke ventrikel kiri dan keluar melalui aorta. Pada saat
serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak bahkan
dapat timbul kejang.

3. Abses otak.
Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Mekanisme terjadinya abses serebri
pada PJB sianotik adalah secara hematogen.Patogenesis penting terjadinya abses
serebri pada PJB sianotik adalah pirau kanan ke kiri yang menyebabkan tidak
terjadinya filtering effects di paru terhadap darah dari sistem vena sehingga otak
menjadi lebih sering terpapar dengan episode bakteriemia. Daerah yang paling sering
terbentuk abses adalah lobus parietal, frontal, dan temporal. Biasanya lesi berbentuk
soliter dan multipel. Biasanya abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2
tahun. Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease: untreated and
operated. Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen HD, Gutgesell
HP, penyunting. Moss and Adams heart disease in infants, children, and
adolescents. Edisi ke-5. Baltimore: Williams & Wilkins; 2015. h. 657-64.
2. Lewis A, Hsieh V. Congenital heart disease and lipid disorders in children.
Pediatric Nutrition (2nd ed), 2015.
3. Poppy, Roebiono. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT
JANTUNG BAWAAN. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. 2010.
4. Departemen Kesehatan RI. Rencana pembangunan jangka panjang bidang
kesehatan tahun 2005-2025. Depkes RI. 2011.
5. Rahajoe AU. Management of patients with congenitally malformed hearts in
Indonesia. Cardiol Young. 2007; 17(6):584-8.
6. Batrawy, S.R.E., Tolba, O.A.R.E., El-Tahry, A.M., Soliman, M.A., Eltomy, M.,
Habsa, A. 2015. Bone Age And Nutritional Status Of Toddlers With Congenital
Heart Disease. Research Journal Of Pharmaceutical, Biological And Chemical
Sciences, vol. 3, no. 6, hlm. 940-949.
7. Sastroasmoro S, Nurhamzah W, Madiyono B, Oesman IN, Putra ST. Association
between maternal hormone exposure and the development of congenital heart
disease of the truncal type A. A case-control study. Paediatr Indones 1993;
33:291-300.
8. Bernstein D. 2015a. Acyanotic Congenital Heart Disease: Left-to-Right Shunt
Lesions, hlm. 2189-2196. dalam Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor
NF, Behrman RE (edt.). Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20. Elsevier,
Philadelphia.
9. Emmanouilides GC. The development of pediatric cardiology: history milestones.
Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen HD, Gutgesell HP,
penyunting. Moss and Adams heart disease in infants, children, and adolescents.
Edisi ke-5. Baltimore: Williams & Wilkins; 1995. h. xxi-iv
10. Wilkinson JL. Practical guidelines to early detection of congenital heart disease in
the newborn period. Indones J Pediatr Cardiol 1999,1:30-9.
11. Oesman IN. Tata laksana penyakit jantung bawaan dengan penyulit pada
neonatus. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, Putra ST, penyunting.
Pengenalan dini dan tata laksana penyakit jantung bawaan pada neonatus.
Pendidikan tambahan berkala bagian ilmu kesehatan anak FKUI ke-32, 1994.
Jakarta: Gaya Baru; 1994. h. 168-76.
12. Sastroasmoro S, Rahayuningsih SE. Tata laksana medis neonatus dengan penyulit
jantung bawaan kritis. Dalam: Putra ST, Roebiono PS, Advani N, penyunting.
Penyakit jantung bawaan pada bayi dan anak. Jakarta: Forum Ilmiah Kardiologi
Anak Indonesia; 1998. h. 147-56.
13. Haryono N. Kardiologi intervensi pada penyakit jantung bawaan: pengalaman di
Indonesia. Dalam: Putra ST, Roebiono PS, Advani N, penyunting. Penyakit
jantung bawaan pada bayi dan anak. Jakarta: Forum Ilmiah Kardiologi Anak
Indonesia; 1998. h. 217-9.
14. Racmat J. Perkembangan bedah jantung di Indonesia: perhatian khusus pada
penyakit jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting.
Dasardasar diagnosis dan tata laksana penyakit jantung bawaan pada anak.
Jakarta: Forum Kardiologi Anak Indonesia; 1996. h. 23-31.
15. Rachmat J. Pembedahan jantung pada neonatus. Dalam: Sastroasmoro S,
Madiyono B, Putra ST, penyunting. Pengenalan dini dan tata laksana penyakit
jantung bawaan pada neonatus. Pendidikan tambahan berkala bagian ilmu
kesehatan anak FKUI ke-32, 1994. Jakarta: Gaya Baru; 1994. h. 213-24

Anda mungkin juga menyukai