ANALISIS EPIDEMIOLOGI
“DERMATOFITOSIS”
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik dan
sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat
bergantung pada lokasi tubuh. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman,
parasit hewani dan lain-lain.
Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Pada zaman
sekarang ini, dengan berkembangnya kebudayaan dan perubahan tatanan hidup dari
waktu ke waktu, sedikit banyak mempengaruhi pola penyakit. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa penyakit kulit karena jamur superfisial (dermatomikosis
superfisialis) merupakan penyakit kulit yang banyak dijumpai pada semua lapisan
masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Insidensi dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan
dokter di Indonesia menunjukkan angka persentase yang bervariasi.
Dermatofita merupakan golongan jamur yang melekat dan tumbuh pada jaringan
keratin, jamur menggunakan jaringan keratin sebagai sumber makanannya. Jaringan
yang mengandung keratin ialah jaringan seperti stratum korneum kulit, kuku, dan rambut
pada manusia. Kemungkinan besar terjadinya infeksi pada daerah tersebut pada
manusia. Selain menyerang jaringan keratin pada manusia dermatofita juga menyerang
kulit hewan, sehingga penularan jamur dermatofita dapat terjadi jika berkontak dengan
hewan yang terinfeksi.1 Saat sekarang ini sudah ditemukan 41 spesies dermatofita,
terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton.
Pertumbuhan jamur sangat mudah sesuai dengan kecocokan dengan sel inang
dan lingkungannya. Pada umumnya jamur tumbuh dan berkembang baik pada
lingkungan dengan suhu 250C -280C begitu juga dengan dermatofita. Selain faktor
lingkungan, infeksi pada kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; higiene
individu yang rendah, tempat tinggal atau pemukiman yang padat, pakaian yang tidak
menyerap keringat, atau bagian tubuh yang sering tertutup lama oleh pakaian, sepatu,
maupun topi. Biasanya infeksi jamur sering terjadi pada populasi dengan tingkat
sosioekonomi yang rendah, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan sikap
individual terhadap resiko timbulnya infeksi dan transmisi dari jamur.
PEMBAHASAN
Pencegahan primer
Ada beberapa langkah atau cara yang bias dilakukan untuk mencegah
pitriasis alba, diantaranya :
Pencegahan sekunder
Terapi dengan kortikosteroid lemah seperti hidrokortison 0.5% atau 1%,
atau krim yang mengandung penghambat calcineurin seperti tacrolimus dan
pimecrolimus, juga sering diresepkan. Sisik dapat dikurangi dengan krim
emollient lunak dan untuk lesi kronik pada trunkus pasta tar ringan mungkin
berguna.
Pencegahan tersier
Bagaimanapun, abnormalitas pigmentasi membutuhkan waktu
berbulanbulan untuk mengalami perbaikan. Syndets (synthetic balanced
detergents) dapat digunakan untuk mencuci muka karena kurang bersifat
iritatif dibandingkan sabun alkali. Pelembab dapat digunakan dua kali
sehari, dan setelah mencuci wajah. Tanning tidak membantu, malah
semakin menonjolkan perbedaan bila terlalu sering dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit mikosis superfisialis akibat
jamur yang menginvasi jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
korneum epidermis, rambut, dan kuku. Seringkali disebut tinea dan diklasifikasikan
menurut bagian tubuh yang terinfeksi.
B. SARAN
Sumber :
https://www.google.com/search?q=dermatofitosis&safe=strict&rlz=1C1NDCM_enID841ID841&source=l
nms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjCo42hiniAhVBOq0KHYC2CNcQ_AUIECgB#imgrc=dAj2JtxQkwXMe
M:, diakses tanggal 13 juni 2019