Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah (DBD) adalah penyakit menular berbahaya

yang disebabkan oleh virus Dengue, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

Aegypti yang menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan sistem

pembekuan darah sehingga mengakibatkan pendarahan, serta dapat

menimbulkan kematian (Misnadiarly, 2009).

World Health Organization (WHO) telah memperkirakan 50−100 juta

orang terinfeksi demam berdarah dengue setiap tahunnya dengan case fatality

rate (CFR) di negara berkembang berkisar antara 1% sampai 2,5% sehingga

untuk setiap 100 kasus demam berdarah dengue akan didapatkan 1−3 orang

meninggal dunia karena penyakit DBD tersebut. DBD juga menimbulkan

kejadian luar biasa (KLB) DBD lima tahunan di Indonesia, seperti dilaporkan

Kemenkes RI pada tahun 2009 terjadi 158.912 kasus demam berdarah dengue

di Indonesia (Astuti, 2016).

Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di

34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia.

Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak

100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada

tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim dan rendahnya

kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan (Infodatin. 2016).

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Aceh setiap tahunnya


2

terus meningkat, pada 2014 mencapai 2.208 kasus, hal itu disebabkan masih

kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. Sejak

Januari-Desember 2016 DBD di Aceh mencapai 2.643 kasus. Jika dibanding

2015 sebanyak 1.510 kasus, terjadi peningkatan 70 persen. “Sedangkan korban

meninggal melonjak menjadi 216 persen, dari 6 orang menjadi 19 orang. Ini

sudah KLB (Serambinews, 2016).

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Aceh Barat

menurut data dari RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh dari tahun 2016 sampai

2017 mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2016 jumlah penderita DBD

mencapai 86 orang, khususnya untuk anak sebanyak 20 orang dan pada tahun

2017 penderita DBD sebanyak 167 orang, khususnya untuk anak sebanyak 56

orang (Rekam medis RSUD CND, 2018).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular dad ditularkan

melalui gigitan nyamuk aedes aigypti. Penyakit ini dapat menyerang semua

orang dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga

sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Nursalam, 2008).

Infeksi virus dengue menimbulkan masalah keperawatan antara lain,

peningkatan suhu tubuh (Hipertermi), gangguan rasa nyaman nyeri, gangguan

pemenuhan kebutuhan nutrisi, potensial terjadi pendarahan intra abdominal,

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kurangnya pengetahuan tentang

proses penyakit,diet,dan perawatan pasien DHF, gangguan aktivitas sehari-

hari, dan potensial untuk terjadinya reaksi tranfusi (Nursalam, 2008).

Pada anak yang mengalami DBD biasanya akan mengalami nyeri pada

anggota badan seperti pada kepala, bola mata, punggung, dan sendi. Nyeri
3

dapat dikurangi dengan menggunakan manajemen nyeri yang bertujuan

mengurangi atau menurunkan nyeri sekecil mungkin baik dengan cara

farmakologik maupun non farmakologik atau kombinasi keduanya.Terapi

nonfarmakologik telah terbukti bermanfaat diantaranya Transcuta-neous

Elektrical Nerve Stimulation (TENS), terapi musik, akupuntur, dan teknik

kognitif lainnya seperti hipnotis, distraksi dan relaksasi (Syamsuddin, 2015).

Snyder dan Lindquist menguraikan beberapa jenis strategi non

farmakologis yang digunakan untuk mengurangi nyeri, salah satunya adalah

terapi relaksasi nafas dalam. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat

menurunkan nyeri dengan melemaskan ketegangan otot yang menunjang nyeri

(Syamsuddin, 2015).

Pada anak-anak, teknik relaksasi nafas dalam sulit dilakukan dengan

mengikuti intruksi dari perawat atau orang tua. Oleh karena itu untuk

mendapatkan efek nafas dalam pada anak yang mengalami nyeri dapat

dilakukan dengan kegiatan bermain yaitu permainan yang berkaitan dengan

pernafasan diantaranya permainan meniup gelembung dengan sedotan, meniup

balon, dan meniup baling-baling mainan (Asniah, 2015). Perawat dapat

berperan dalam berbagai aspek dalam memberikan pelayanan kesehatan dan

bekerjasama dengan anggota tim lain, dengan keluarga terutama dalam

membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan perawatan anak

(Yuliastati, 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat di ruang anak RSUD Cut

Nyak Dhien Meulaboh, perawat mengatakan sudah melakukan manajemen

nyeri terutama teknik relaksasi nafas dalam pada anak yang mengalami nyeri,
4

diajarkan
namun perawat jarang melakukannya anak-anak susah dan belum

sepenuhnya mengerti dengan intruksi perawat. Dan apabila anak tersebut sudah

berumur diatas 5 tahun baru perawat melakukan teknik relaksasi nafas dalam.

jika anaknya berumur dibawah 5 tahun perawat melakukan manajemen nyeri

yang sesuai dengan umur anak tersebut, misalnya dengan distraksi, massase,

dan lain-lain. namun berdasarkan hasil observasi peneliti saat praktek diruang

anak selama 1 minggu, perawat tidak pernah melakukan manajemen nyeri

teknik relaksasi nafas dalam pada anak.

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus

tentang terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan nyeri pada anak dengan

DBD, karena mudah dilakukan dan terbukti dalam beberapa penelitian sangat

efektif mengurangi nyeri.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan pemberian teknik relaksasi

nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada anak dengan Demam

Berdarah Dengue (DBD) di ruang anak BLUD RSUD Cut Nyak Dhien

Meulaboh.

1.3. Tujuan studi kasus

Menggambarkan Asuhan keperawatan dengan pemberian teknik relaksasi

nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada anak dengan Demam

Berdarah Dengue (DBD) di ruang anak BLUD RSUD Cut Nyak Dhien

Meulaboh.

1.4. Manfaat studi kasus

Karya tulis ini, diharapkan memberikan manfaat bagi:


5

1.4.1 Masyarakat

Meningkatkan penngetahuan masyarakat dalam meningkatkan

kemandirian dalam perawatan anak DBD melalui teknik relaksasi nafas

dalam.

1.4.2 Bagi Perkembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam meningkatkan kemandirian perawatan anak DBD melalui teknik

relaksasi nafas dalam.

1.4.3 Peneliti

Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur teknik

relaksasi nafas dalam pada anak yang menderita Demam Berdarah

Dengue (DBD).
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Penyakit

2.1.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Demam Berdarah Dengue adalah

penyakit menular yang di sebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui

gigitan nyamuk aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan

dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering

menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Nursalam, 2008).

Vyas mengatakan bahwa Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu dari 4 virus dan ditularkan melalui

nyamuk terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di

daerah tropis dan subtropics diantaranya kepulauan di Indonesia hingga bagian

utara Australia (Infodatin, 2016).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya

yang disebabkan oleh virus Dengue, menyebabkan gangguan pada pembuluh

darah kapiler dan system pembekuandarah sehingga mengakibatkan

pendarahan, dapat menimbulkan kematian. Demam Berdarah Dengue (DBD)

dapat menyerang anak usia sekolah maupun orang dewasa, ditandai dengan

keluhan : nyeri kepala,nyeri otot,nyeri sendi,ruam pada kulit,leucopenia

(Misnadiarly, 2009).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian karena pendarahan


7

dan juga gangguan hemodinamika. Penyakit ini di tularkan melalui gigitan

nyamuk aedes aegypti dengan cara mentransmisikan virus dengue dari

penderita kepada orang sehat (Ratna Dewi Indi Astuti, 2016).

2.1.2. Etiologi

Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah virus

dengue. Di Indonesia, virus tersebut sampai saat ini telah diisolasi menjadi 4

serotipe virus dengue yang termasuk dalam grub B dari arthropedi borne

viruses (Arboviruses), yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dddan DEN-4. Ternyata

DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe penyebab terbanyak. Di Thailand,

dilaporkan adalah serotype DEN-2 adalah dominan. Sementara di Indonesia,

yang terutama dominan adalah DEN-3,tetapi akhir-akhir ini ada kecenderungan

dominasi DEN-2. Infeksi oleh salah satu serotype menimbulkan antibodi

seumur hidup terhadap serotype bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan

terhadap serotype lain. Virus dengue ini terutama di tularkan melalui vector

nyamuk aedes aegypti. Nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis, dan

beberapa spesies lain kurang berperan. Jenis nyamuk ini terdapat di seluruh

Indonesia kecuali di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut

(Nursalam, 2008).

2.1.3. Patofisiologi

Mekanisme sebenarnya mengenai patofisiologi, hemodinamika, dan

biokimia DBD hingga kini belum diketahui secara pasti. Sebagian sarjana

menganut The Secondary Hetorologous Infection Hypothesis atau The

Squentual Infection Hypothesis dari Halsteel yang menyatakan bahwa DBD

dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue untuk pertama kalinya
8

mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berbeda (Nursalam,

2008).

Lama dan keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu pada

suatu KLB. Masa penyembuhan bisa cepat namun seringkali bisa cukup

panjang. Keluhan bradikarda juga sering ditemui semasa penyembuhan, selain

itu beberapa bentuk komplikasi pendarahan seperti epitaksis, pendarahan gusi,

pendarahan saluran cerna hematuria, dan menoragia juga bisa menyertai DBD,

kasus pendarahan hebat yang muncul pada KLB/wabah, kadang-kadang

berakibat kematian (Misnadiarly, 2009).

Fenomena patofisiologis utama yang menentukan berat penyakit yang

membedakan DBD dari dengue klasik adalah adalah meningkatnya

permeabelitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, serta

terjadinya hipertensi, trombositopeni dan diastosis hemorragik. Pada kasus

berat, pada kasus berat, renjatan terjadi secara akut dan nilai hematokritt

meningkat bersamaan dengan plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.

Ada dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat dari kebocoran plasma di

daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak, sehingga mengakibatkan

menurunnya volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit. Bukti dugaan

ini adalah ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa, yaitu

rongga peritoneum, pleura, dan perikard yang ternyata melebihi pemberian

cairan infuse, serta terjadinya bendungan pembuluh darah paru. Plasma

merembes selama perjalanan penyakit mulai dari awal demam sampai

puncaknya pada masa renjatan (Nursalam, 2008).

2.1.4. Manifestasi Klinis


9

Infeksi virus Dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi

mulai dari asimptomatik, yang merupakan penyakit yang paling ringan (mild

undifferentiated febrile illness), demam Dengue, demam berdarah dengue

(DBD), atau epidemiologis infeksi ringan lebih banyak terjadi, tetapi pada awal

penyakit hampir tidak mungkin membedakan antara infeksi ringan atau berat.

Kasus DBD ditandai oleh manifestasi klinis, yaitu: demam tinggi dan

mendadak yang dapat mencapai 400C atau lebih dan terkadang disertai dengan

kejang demam, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah, epigastric

discomfort,nyeri perut kanan atas atau seluruh bagian perut, dan pendarahan,

terutama pendarahan kulit, walaupun hanya berupa uji toniquet positif. Selain

itu, pendarahan kulit dapat berwujud memar atau dapat juga berupa pendarahan

spontan muali dari petekia (muncul pada hari-hari pertama demam dan

berlangsung selama 3-6 hari) pada ekstremitas, tubuh, dan muka, sampai

epistaksis dan pendarahan gusi.sementara pendarahan gastrointestinal masih

lebih jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada kasus dengan syok yang

berkepanjangan atau setelah syok yang tidak dapat teratasi. Pendarahan lain

seperti pendarahan subkonjungtiva terkadang juga ditemukan. Pada masa

konvalesen sering kali ditemukan eritema pada telapak tangan dan kaki dan

hepatomegali. Hepatomegali pada umumnya dapat diraba pada permulaan

penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Nyeri

tekan serting kali di temukan tanpa ikterus maupun kegagalan peradaran darah

(circulatory failure) (Nursalam, 2008).

Diagnosis DBD menurut patokan yang di terapkan WHO (1997), yaitu:

1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.


10

2. Manifestasi pendarahan, termasuk paling tidak uji toniquet positif dan

bentuk lain pendarahan/pendarahan spontan (petechia, purpura, echimosis,

epitaksis, pendarahan gusi) dan hematemesis melena.

3. Pembesaran hati.

4. Syok, yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai dengan tekanan

nadi yang menurun (20 mmhg atau kurang), tekanan darah yang menurun

(tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau kurang), dan kulit yang

teraba dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki.

Penderita gelisah serta timbul sianosis di sekitar mulut (Nursalam, 2008).

2.1.5. Klasifikasi

1. Grade I: kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, tanda-tanda vital

dan nadi lemah.

2. Grade II: Kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, ada pendarahan

spontan petekhia, pendarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil dan

tidak teratur.

3. Grade IV: kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi lemah,

kecil, dan tidak teratur serta tensi menurun.

4. Grade IV: kesadaran koma, tanda-tanda vital: nadi tidak teraba, tensi tidak

terukur, pernapasan tidak terukur, ekstremitas dingin, berkeringat dan kulit

tampak biru (Nursalam, 2008).

2.1.6. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium DBD adalah sebagai berikut:

1. Jumlah leukosit bias any normal pada awal demam, selanjutnya terjadi

leucopenia yang berlangsung selama fase demam.


11

2. Jumlah trombosit biasanya normal, juga terjadi pada factor pembekuan

darah lainnya. Namun demikian trombosipenia sering dijumpai pada kasus

DBD pada saat terjadi KLB/wabah.

3. Pemeriksaan kimia darah dan enzim biasanya normal, tetapi enzim

mungkin meningkat.

2.1.7. penatalaksanaan Medis

1. Oral

NO Nama Obat Dosis/Hari

1 Antasid tab 3x1

2 Paracetamol 2x1

3 Chloramp 500 3x1

4 Trolit sachet 3x1

2. Parenteral

NO Nama Obat Cara Pemberian Dosis/Hari

1 D5 selang seling RL, IV 20 TPM 1500cc

asering

2 B12 drip IV 2 amp drip inf

3 Ondasetron k IV 2x1 amp drip inf

2.2. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan DHF

2.2.1. Pengkajian

1. Identitas pasien

Nama,umur (pada DBD paling sering menyerang anak-anak dengan usia


12

kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua,

pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua).

2. Keluhan utama

Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk dating kerumah

sakit adalah panas tinggi dan anak lemah.

3. Riwayat penyakit sekarang

Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan

saat demam kesadaran kompos mentis. Turunnya panas terjadi antara hari

ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan

keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah anoreksia, diare/konstipasi,

sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola

mata terasa pegal, serta adanya manifestasi pendarahan pada kulit, gusi

(grade III, IV), melena atau hematemesis).

4. Riwayat penyakit yang pernah diderita

Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, anak bsa mengalami

serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.

5. Riwayat imunisasi

Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan

timbulnya komplikasi dapat dihindari.

6. Riwayat gizi

Status gizi anak menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak dengan status

gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat factor

predisposisinya. Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan

mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan
13

tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat

mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.

7. Kondisi lingkungan

Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang

kurang bersih (seperti air yang menggenang dan gantungan baju di kamar)

8. Pola kebiasaan

a. Nutrisi dan metabolism: frekuensi,jenis,pantangan,nafsu makan.

b. Eliminasi alvi (buang air besar). Kadang-kadang anak mengalami

diare/konstipasi. Sementara DHF pada grade III-IV bisa terjadi melena.

c. Eliminasi urine (buang air kecil) perlu dikaji apakah sering kencing,

sedikit/banyak,sakit/tidak. pada DHF grade IV sering terjadi hematuria.

d. Tidur dan istirahat. Anak sering mengalami kurang tidur, karena

mengalami nyeri otot dan persendian sehingga kuantitas dan kualitas

tidur maupun istirahatnya kurang.

e. Kebersihan. Upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan

lingkungan cenderung kurang terutama untuk membersihkan tempat

sarang nyamuk aedes aegypti.

f. perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk

menjaga kesehatan.

9. pemeriksaan fisik, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari

ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF,

keadaan fisik anak sebagai berikut:

a. Grade I: kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, tanda-tanda

vital dan nadi lemah.


14

b. Grade II: Kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah, ada

pendarahan spontan petekhia, pendarahan gusi dan telinga, serta nadi

lemah, kecil dan tidak teratur.

c. Grade IV: kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi

lemah, kecil, dan tidak teratur serta tensi menurun.

d. Grade IV: kesadaran koma, tanda-tanda vital: nadi tidak teraba, tensi

tidak terukur, pernapasan tidak terukur, ekstremitas dingin, berkeringat

dan kulit tampak biru.

10. Sistem integument

a. Adanya petekia pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul keringat

dingin, dan lembab.

b. Kuku sianosis atau tidak.

c. Kepala dan leher: kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena

demam, kunjungtiva anemis, hidung kadang mengalami pendarahan

(epistaksis) pada grade II,III,IV. Pada mulut didapatkan bahwa mukosa

mulut kering, terjadi pendarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara

tenggorokan mengalami hyperemia pharing dan terjadi pendarahan

telinga (pada grade II,III,IV).

d. Dada: bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada foto

thorax terdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan

(efusi pleura) Rales +, Ronchi+, yang biasanya terdapat pada grade III

dan IV.

e. abdomen. Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali).


15

f. Ekstremitas. Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi, serta tulang

(Nursalam, 2008).

11. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai:

a. Hb dan PCV meningkat (>20%).

b. Trombositopenia (<100.000/ml).

c. Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis).

d. Ig.D. dengue positif.

e. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan: hipoproteinemia,

hipokloremia, dan hiponatremia.

f. Urium dan PH darah mungkin meningkat.

g. Asidosis metabolic: pCO2<35-40 mmHg dan HCO3 rendah.

h. SGOT/SGPT mungkin meningkat (Nursalam, 2008).

2.2.2. Masalah/Diagnosa Keperawatan

Masalah yang dapat di temukan pada pasien DHF antara lain:

1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermia).

Factor yang berhungan :

Pajanan terhadap lingkungan yang panas, pakaian yang tidak tepat,

aktivitas berat, dehidrasi, penurunan perspirasi, obat/anesthesia,

peningkatan laju metabolik, penyakit, trauma.

Batasan karakteristik :

a. Subjektif :

Sakit kepala, kelemahan, pusing, mual.

b. Objektif :
16

Peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal, kulit kemerahan,

peningkatan frekuensi napas, takikardia, tekanan darah tidak stabil,

kejang, konvulsi.

2. Nyeri Akut.

Factor yang berhubungan :

Agen perusak (biologis, kimia, fisik, psikologis)

Batasan karakteristik :

a. Subjektif :

Laporan verbal tentang nyeri, perubahan nafsu makan

b. Objektif :

Tanda nyeri yang diobservasi, perilaku berhati-hati, mengatur posisi

untuk menghindari nyeri, menutupi wajah, perilaku eksresif,

perilaku distraksi, perubahan tonus otot, diaphoresis, perubahan

tekanan darah, dilatasi pupil, fokus pada diri sendiri, dan focus

menyempit.

3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, sehingga kurang dari

kebutuhan tubuh.

Factor yang berhubungan :

Ketidakmampuan menelan atau mencerna makanan, ketidakmampuan

mengabsorbsi zat gizi, faktor biologis, psikologis, atau ekonomi.

Batasan karakteristik :

a. Subjektif :

Melaporkan asupan makanan kurang dari RDA, kurang tertarik

pada makanan, menolak untuk makan, perubahan sensasi rasa,


17

kenyang segera setelah menelan makanan, nyeri atau kram pada

abdomen, kurang informasi.

b. Objektif :

Berat badan 20% dibawah nilai ideal, penurunan berat badan

dengan asupan makanan yang adekuat, bising usus hiperaktif, luka

rongga mulut, membran mukosa pucat, kerontokan rambut yang

berlebihan.

4. Risiko terjadi perdarahan intra abdominal.

Faktor risiko :

Aneurisma, trauma, riwayat jatuh, gangguan gastrointestinal, gangguan

fungsi hati, koagulopati sejak lahir, efek samping terkait terapi,

defisiensi pengetahuan.

5. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Faktor yang berhubungan :

Kehilangan volume cairan aktif, kanker abdomen, luka bakar, fisula,

asites, hemoragi, penggunaan agen kontras radiopak, kegagalan

mekanisme regulasi.

Batasan karakteristik :

a. Subjektif :

Haus, kelemahan

b. Objektif :

Penurunan haluaran urine, peningkatan konsentrasi urine,

penurunan pengisian vena, penurunan tekanan nadi, penurunan


18

berat badan mendadak, penurunan tekanan darah, perubahan status

mental, peningkatan hematokrit.

6. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet,dan perawatan

pasien DHF.

Faktor yang berhubungan :

Kurang pajanan atau mengikat, kesalahan menafsirkan informasi, tidak

mengetahui sumber informasi, keterbatasan kognitif, kurang minat

dalam belajar.

Batasan karakteristik :

a. Subjektif :

Mengungkapkan masalah, meminta informasi.

b. Ketidakakuratan mengikuti intruksi atau melakukan tes, perilaku

yang tidak tepat atau berlebihan.

7. Gangguan aktivitas sehari-hari.

Faktor yang berhubungan :

Kelemahan umum, gaya hidup kurang gerak, tirah baring/imobilitas,

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Batasan karakteristik :

a. subjektif :

laporan verbal tentang keletihan, kelemahan, ketidaknyamanan,

akibat aktifitas dispnea.

b. Objektif :
19

Respon frekuensi jantung atau tekanan darah yang abnormal

terhadap aktivitas, perubahan EKG yang menggambarkan aritmia

atau iskemia.

2.2.3. Perencanaan Keperawatan

1. Diagnosa keperawatan 1 : Peningkatan suhu tubuh (Hipertermia).

NOC :

a. Mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang normal

b. Mengidentifikasi penyebab yang mendasari atau factor pendukung dan

pentingnya terapi.

c. Menunjukkan perilaku untuk memantau dan meningkatkan

normotermia.

d. Tidak mengalami aktivitas kejang.

NIC :

a. Identifikasi penyebab yang mendasari (mis., produksi panas berlebihan

seperti yang terjadi saat melakukan latihan fisik berat, demam,

menggigil, tremor, konfulsi, status hipertiroid, infeksi atau sepsis,

hiperpireksia, maligna, heatstroke, obat simptomatik, overdosis obat,

dan lain-lain).

b. Pantau suhu inti melalui rute yang tepat (mis., timpanik, rektal). Catat

adanya peningkatan suhu.

c. Kaji respon neurologis dengan mencatat tingkat kesadaran dan

orientasi, reaksi terhadap stimulus, reaksi pupil, adanya posturing atau

kejang.
20

d. Pantau frekuensi jantung dan irama jantung, takhikardi,distrimia dan

perubahan elektrokardiogram (EKG).

e. Catat ada atau tidaknya berkeringat. Tubuh berupaya meningkatkan

kehilangan panas melalui evoporasi, konduksi, dan difusi.

f. Pantau pernapasan. Pada awalnya, hiperventilasi dapat terjadi tetapi

upaya ventilasi pada akhirnya dapat kejang dan status hipermetabolik

(syok dan asidosis).

g. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti gas darah, elektrolit, enzim

jantung, dan enzim hati.

2. Diagnosa keperawatan 2 : Nyeri Akut.

NOC :

a. Melaporkan nyeri bekurang atau terkontrol

b. Mengikuti program farmakologis yang diresepkan

c. Menyatakan metode yang member peredaan nyeri

d. Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas

pengalihan sesuai indikasi dan sesuai situasi individu.

NIC :

a. Catat usia klien, tingkat pekembangan, dan kondisi saat ini (mis., klien

bayi/anak, klien sakit kritis, klien yng diipasang ventilator, klien yang

disedasi, atau klien yang mengalami gangguan kognitif).

b. Lakukan pengkajian nyeri klien yang mencakup lokasi, karakteristik,

awitan, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas.

c. Gunakan skala penilaian nyeri sesuai dengan usia dan kognisi (mis.,

skala 0 hingga 10, ekspresi wajah atau skala nyeri wajah Wong-Baker.
21

d. Kaji persepsi klien terhadap nyeri, bersama dengan perilaku dan

harapan budaya tentang nyeri.

e. Lakukan pengkajian nyeri setiap waktu nyeri terjadi. Dokumentasi dan

periksa perubahan dari laporan sebelumnya dan evaluasi hasil

intervensi nyeri untuk menunjukkan perbaikan.

f. Terima penjelasan klien tentang nyeri. Ketahui terminology yang klien

gunakan untuk pengalaman nyeri (mis., anak kecil dapat mengatakan

“aw”; lansia dapat mengatakan “nyerinya sangat buruk”).

g. Pantau tanda-tanda vital selama episode nyeri. Tekanan darah,

frekuensi pernapasan, dan frekuensi jantung biasanya berubah pada

nyeri akut.

h. Beri atau tingkatkan manajemen nyeri nonfarmakologis dengan

penggunaan teknik relaksasi (mis., pernapasan terfokus, visualisasi,

imajinasi terbimbing).

i. Pastikan pengetahuan dan harapan klien tetang manajemen nyeri.

3. Diagnosa keperawatan 3 : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi,

sehingga kurang dari kebutuhan tubuh.

NOC :

a. Menunjukkan kenaikan berat badan yang progresif kearah tujuan

b. Menunjukkan normalisasi nilai laboratorium dan tidak mengalami

tanda malnutrisi

c. Mengatakan pemahaman tentang factor penyebab

d. Menunjukkan perilaku, perubahan gaya hidup.

NIC :
22

a. Identifikasi klien yang beresiko mengalami malnutrisi (mis., anak atau

orang dewasa yang hidup di daerah miskin/berpenghasilan rendah,

klien yang mengalami cedera wajah, defisiensi nutrisi sebelumnya, dan

sindrom malasorbsi).

b. Dapatkan riwayat diet untuk masalah kronis dan kebutuhan yang

berkelanjutan.

c. Gali kebiasaan makan khusus, arti makanan bagi klien (mis., tidak

pernah sarapan, kudapan sepanjang hari, puasa untuk mengendalikan

berat badan, tidak ada waktu untuk makan dengan benar).

d. Kaji pengetahuan klien mengenai kebutuhan nutrisi dan cara memenuhi

kebutuhan tersebut.

e. Catat kemampuan klien untuk makan sendiri atau adanya factor yang

mengganggu. Kesulitan sepeti paralisis, tremor, atau cedera pada

tangan atau gangguan kognitif yang.

f. Auskultasi adanya bising usus.

g. Kaji berat badan saat ini, bandingkan dengan berat badan yang biasa,

dan berat badan normal sesuai usia dan dan ukuran tubuh untuk

mengidentifikasi perubahan.

h. Hitung persentil pertumbuhan pada bayi/anak dengan menggunakan

grafik pertumbuhan untuk mengidentifikasi deviasi dan normal.

i. Tingkatkan zat gizi khusus (mis., protein, karbohidrat, lemak dan

kalori) sesduai kebutuhan, dengan member makanan dan pilihan bumbu

yang disukai klien.

j. Beri perawatan oral sebelum dan sesudah makan.


23

4. Diagnosa keperawatan 4 : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

NOC :

a. Mempertahankan volume cairan pada tingkat fungsional yang ditandai

b. dengan haluaran urin yang adekuat.

c. Menyatakan pemahaman tentang factor penyebab dan tujuan intervensi

terapetik dan medikasi pada individu.

d. Menunjukkan perilaku untuk memantau dan mengoreksi defisit,

sesuaiindikasi.

NIC :

a. Kaji tanda-tanda vital termasuk suhu (sering kali meningkat), denyut

nadi dan pernapasan meningkat, dan tekanan darah dapat rendah.

b. Catat adanya membrane mukosa kering, turgor kulit buruk, kelambatan

pengisian kapiler, vena leher datar, dan melaporkan haus dan

kelemahan, anak yang menangis tanpa air mata, dan mata cekung.

c. Catat perubahan status mental, perilaku, dan kemampuan fungsional

yang biasanya.

d. Observasi/ukur haluaran urin.

e. Kurangi penggunaan selimut atau pakaian, fasilitasi mandi tepid

sponge.

f. Pertahankan asupan dan haluaran yang akurat dan timbang berat badan

setiap hari. Ukur berat jenis urin, pantau tekanan darah dan parameter

hemodinamika infasif.

g. Lakukan perawatan mulut dan mata secara sering untuk mencegah

cedera karena kekeringan.


24

h. Beri obat (mis., antimetik, anti diare, anti piretik) rujuk ke diagnosa

hipertermia untuk intervensi tambahan.

5. Diagnosa keperawatan 5 : Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit,

diet,dan perawatan pasien DHF.

NOC :

a. Berpastisipasi dalam proses belajar

b. Mengidentifikasi gangguan dalam belajar dan tindakan spesifik untuk

mengatasi gangguan tersebut

c. Menyatakan pemahaman tentang kondisi atau proses penyakit dan

proses terapi

d. Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar dan menjelaskan

alas an untuk tindakan

e. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan berpastisipasi

dalam program terapi

NIC :

a. Pastikan tingkat pengetahuan. termasuk kebutuhan antisipasi.

Kebutuhan belajar dapat mencakup banyak hal (mis., penyebab dan

proses penyakit, factor yang menimbulkan gejala, prosedur untuk

menurunkan gejala, perubahan gaya hidup yang diperlukan, cara

mencegah komplikasi).

b. Libatkan dalam mendengar aktif. Menyampaikan harapan kepercayaan

pada kemampuan klien untuk menentukan kebutuhan belajar dan cara

terbaik dalam memenuhi kebutuhan tersebut.


25

c. Tentukan hambatan dalam belajar, yang meliputi, hambatan bahasa

(mis., tidak dapat membaca atau menulis, berbicara atau memahami

bahasa yang berbeda), factor fisik, kompleksitas materi yang dipelajari,

perubahan gaya hidup yang dipaksakan, mengatakan tidak memerlukan

atau tidak memiliki keinginan untuk belajar.

d. Kaji tingkat kemampuan dan kemungkinan situasi klien.

e. Identifikasi faktor yang memotifasi individu (mis., klien perlu berhenti

merokok karena pemburukan kanker paru. atau klien menurunkan berat

badan karena anggota keluarga meninggal akibat komplikasi obesutas).

f. Diskusikan persepsi klien tentang kebutuhan. Mempertimbangkan

keinginan/kebutuhan personal klien dan nilai/kepercayaan, yang

memberi dasar untuk merencanakan perawatan yamg tepat.

g. Tangani ansietas atau emosi kuat lain yang dirasakan klien. Beri

infornasi diluar jadwal yang telah ditentukan, jika perlu.

6. Diagnosa keperawatan 6 : Gangguan aktivitas sehari-hari.

NOC :

a. Mengidentifikasi factor negative yang memengaruhi toleransi aktivitas

dan menghilangkan atau mengurangi efeknya.

b. Menggunakan teknik yang diidentifikasikan untuk meningkatkan

toleransi aktivitas

c. Berpastisipasi dalam aktivitas yang diperlukan

d. Melaporkan peningkatan aktivitas yang dapat diukur

NIC :

a. Pantau tanda-tanda vital sebelum dan selama aktivitas.


26

b. Rencanakan perawatan pada periode istirahat diantara aktivitas untuk

mengurangi kelelahan.

c. Bantu aktivitas perawatan diri. Sesuaikan aktivitas atau kurangi tingkat

intensitas, atau hentikan aktivitas yang menyebabkan perubahan

fisiologis yang tidak diinginkan.

d. Tingkatkan tingkat latihan aktifitas secara bertahap, dorong klien

menghentikan aktivitas untuk beristirahat selama 3 menit saat berjalan

dalam waktu 10 menit.

e. Libatkan klien/kerabat dalam perencanaan aktivitas sebanyak mungkin.

Dapat member kessempatan klien untuk melakukan aktivitas penting

atau yang diinginkan selama periode energi puncak.

f. Catat factor terkait terapi, seperti efek samping dan interaksi obat.

g. Catat laporan klien tentang kesulitan dalam melakukan tugas atau

aktivitas yang diinginkan.

2.2.4. Implementasi Keperawatan

Dalam tahap pelaksanaan atau implementasi keperawatan, penulis dapat

melaksanakan semua rencana keperawatan sesuai dengan perencanaan yang

telah dibuat. Pelaksanaan keperawatan dilakukan pada diagnosa yang muncul

sesuai dengan kondisi pasien dan dilaksanakan dalam waktu yang telah

ditentukan.

Penulis mengenalkan diri pada keluarga klien, mengobservasi, memantau

sampai memberi penjelasan kepada klien agar mengikuti saran perawat. Faktor

pendukung dari tindakan keperawatan adalah adanya kerjasama yang baik.

Sedangkan faktor penghambat dalam melakukan tindakan keperawatan adalah


27

waktu yang terbatas. Solusi untuk mengatasi hal tersebut, penulis lebih

melakukan pendekatan kepada klien serta melakukan pencatatan tindakan yang

telah dilakukan, dan bekerjasama dengan perawat untuk melanjutkan tindakan

keperawatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat dan

mendokumentasikannya.

2.2.5. Evaluasi

Pada tahap evaluasi merupakan tahap akhir dan alat ukur untuk memulai

keberhasilan pemberian asuhan keperawatan, apakah tujuan keperawatan

berhasil, evaluasi dilakukan sesuai dengan konsep.

Pada evaluasi di dapatkan respon klien terhadap tindakan yang sudah

dilaksanakan dari diagnosa utama, pencapaian atau kemajuan kearah hasil yang

diharapkan, dan modifikasi pada rencana perawatan.

2.3. Teknik Relaksasi Nafas Dalam

2.3.1. Pengertian

Menurut Brunner dan Suddarth dalam (Yusrizal dkk, 2012), Teknik

relaksasi merupakan tindakan pereda nyeri non invasive, teknik relaksasi yang

teratur dapat bermanfaat untuk mengurangi keletihan dan ketegangan otot yang

dapat menurunkan kualitas nyeri. Teknik relaksasi efektif dilakukan pada

pasien- pasien yang mengalami nyeri kronis ataupun pasca operasi.

Relaksasi napas dalam adalah pernafasan pada abdomen dengan

frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman dengan cara

memejamkan mata saat menarik nafas (Hartanti dkk, 2016).

Menurut Smeltzer & Bare dalam (Hapsari, 2012), Teknik relaksasi nafas

dalam merupakan teknik bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat
28

(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas

secara perlahan yang tujuannya adalah mengurangi stress baik fisik maupun

emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

Meburut Potter & Perry dalam Hapsari (2012), Kegiatan relaksasi nafas

dalam menciptakan sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stres. Secara

bertahap, klien dapat merelaksasi otot tanpa harus terlebih dahulu

menegangkan otot-otot tersebut. Saat klien mencapai relaksasi penuh, maka

persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi

minimal.

2.3.2. Tujuan relaksasi

Terapi relaksasi nafas dalam adalah suatu tindakan keperawatan dimana

perawat akan mengajarkan/melatih klien agar mampu dan mau melakukan

nafas dalam secara efektif sehingga kapasitas vital dan ventilasi paru

meningkat. tujuannya adalah meningkatkan kapasitas vital dan ventilasi paru

meningkat, mempertahankan energi, membantu pernapasan abdominal lebih

otomatis dan lebih efesien, meningkatkan relaksasi dan rasa aman, menurunkan

efek hipoventilasi, menurunkan efek anastesi, menurunkan rasa nyeri (Aryani,

2009).

Penanganan nyeri dengan teknik non farmakologi merupakan modal

utama menuju kenyamanan (Catur, 2005). Menurut Burroughs dipandang dari

segi biaya dan manfaat, penggunaan manajemen non farmakologi lebih

ekonomis dan tidak ada efek sampingnya jika dibandingkan dengan

penggunaan manajemen farmakologi. Selain juga mengurangi ketergantungan

pasien terhadap obat-obatan (Yusrizal dkk, 2012).


29

2.3.3. Prosedur Teknik Relaksasi

Prosedur teknik relaksasi nafas dalam pada pasien :

Tahap pra interaksi :

1. Jaga privasi klien

2. Jelaskan tujuan dan prosedur

3. Beri pasien posisi semi fowler di tempat tidur atau posisi duduk di kursi.

Tahap kerja :

1. Mencuci tangan

2. Anjurkan klien untuk meletakkan kedua tangan di bawah abdomen sisi

bawah iga

3. Anjurkan klien menarik napas dalam perlahan-lahan melalui hidung dan

mengeluarkan melalui mulut (lakukan sebanyak 3 kali)

4. Anjurkan klien untuk menahan napas selama 2-3 detik setelah napas dalam

terakhir

5. Anjurkan klien istirahat sebentar

6. Anjurkan klien untuk mengulangi prosedur 4-7 kali

7. Bila prosedur sudah selesai, rapi kana lat dan pasien

8. Cuci tangan

9. Dokumentasi.

Teknik relaksasi yang paling sering digunakan yaitu nafas dalam. Pada

anak yang mengalami nyeri, teknik nafas dalam ini dilakukan sambil bermain.

Anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya dengan

melakukan permainan karena anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada
30

permainannya (distraksi) dan relaksasi diperoleh melalui kesenangannya

melakukan permainan (Syamsuddin, 2015).

Pada anak-anak, teknik relaksasi nafas dalam sulit dilakukan dengan

mengikuti intruksi dari perawat atau orang tua. Oleh karena itu untuk

mendapatkan efek nafas dalam pada anak yang mengalami nyeri dapat

dilakukan dengan kegiatan bermain yaitu permainan yang berkaitan dengan

pernafasan diantaranya permainan meniup gelembung dengan sedotan, meniup

balon, dan meniup baling-baling mainan (Syamsuddin, 2015).

2.4. Konsep Anak

2.3.1. Pengertian Anak

Dalam keperawatan anak, yang menjadi individu (klien) dalam hal ini

adalah anak, anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari

delapan belas tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus

baik kebutuhan fisik, psikologis, social, dan spiritual (Hidayat, 2009).

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan

masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/oodler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11

tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu

dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat

rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat atau

lambat. Dalam proses berkembang anak memiliki cirri fisik, kognitif, konsep

diri, pola koping dan perilaku social (Hidayat, 2009).

Ciri fisik adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang sama
31

akan tetapi mempunyai perbedaan dan pertumbuhannya. Demikian halnya juga

perkembangan kognitif juga mengalami perkembangan yang tidak sama.

Adakalanya anak anak dengan perkembangan kognitif yang cepat dan juga

adakalanya perkembangan kognitif yang lambat. Hal tersebut juga dapat

dipengaruhi oleh latar belakang anak. Perkembangan konsep diri ini sudah ada

sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami

perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada anak. Bahwa pola koping

pada anak juga terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat pada saat bayi anak

menangis. Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis seperti

bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya

(Hidayat, 2009).

Kemudian perilaku social pada anak juga mengalami perkembangan yang

terbentuk mulai bayi. Pada masa bayi perilaku social pada anak sudah dapat

dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang lain, dengan orang banyak

dengan menunjukkan keceriaan (tidak menangis). Hal tersebut sudah mulai

menunjukkan terbentuknya perilaku social yang seiring dengan perkembangan

usia. Perubahan sosial juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada,

seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-

anak (Hidayat, 2009).

2.3.2. Prinsip Keperawatan Anak

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak tentu berbeda

dibandingkan dengan orang dewasa. Banyak perbedaan-perbedaan yang

diperhatikan dimana harus disesuaikan dengan usia anak serta pertumbuhan

dan perkembangan karena perawatan yang tidak optimal akan berdampak tidak
32

baik secara fisiologis maupun psikologis anak itu sendiri. Perawat harus

memperhatikan beberapa prinsip, mari kita pelajari prinsip tersebut. Perawat

harus memahami dan mengingat beberapa prinsip yang berbeda dalam

penerapan asuhan keperawatan anak, dimana prinsip tersebut terdiri dari:

1. Anak bukan miniatur orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik,

artinya bahwa tidak boleh memandang anak dari segi fisiknya saja

melainkan sebagai individu yang unik yang mempunyai pola pertumbuhan

dan perkembangan menuju proses kematangan.

2. Anak adalah sebagai individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai

tahap perkembangannya. Sebagai individu yang unik, anak memiliki

berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai tumbuh

kembang. Kebutuhan fisiologis seperti nutrisi dan cairan, aktivitas,

eliminasi, tidur dan lain-lain, sedangkan kebutuhan psikologis, sosial dan

spiritual yang akan terlihat sesuai tumbuh kembangnya.

3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan penyakit

dan peningkatan derajat kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan

angka kesakitan dan kematian pada anak mengingat anak adalah penerus

generasi bangsa.

4. Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada

kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara

komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak. Dalam

mensejahterakan anak maka keperawatan selalu mengutamakan

kepentingan anak dan upayanya tidak terlepas dari peran keluarga sehingga

selalu melibatkan keluarga.


33

5. Praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan keluarga

untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi dan meningkatkan

kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai

dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal).

6. Tujuan keperawatan anak dan keluarga adalah untuk meningkatkan

maturasi atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai

makhluk biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan

masyarakat. Upaya kematangan anak adalah dengan selalu memperhatikan

lingkungan yang baik secara internal maupun eksternal dimana

kematangan anak ditentukan oleh lingkungan yang baik.

7. Pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak berfokus

pada ilmu tumbuh kembang, sebab ini yang akan mempelajari aspek

kehidupan anak (Yuliastati, 2016).

2.3.3. Peran Perawat Anak

Perawat merupakan anggota dari tim pemberi asuhan keperawatan anak

dan orang tuanya. Perawat dapat berperan dalam berbagai aspek dalam

memberikan pelayanan kesehatan dan bekerjasama dengan anggota tim lain,

dengan keluarga terutama dalam membantu memecahkan masalah yang

berkaitan dengan perawatan anak. Mari kita bahas secara jelas tentang peran

perawat anak. Perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan yang

bekerja dengan anak dan orang tua. Beberapa peran penting seorang perawat,

meliputi:

1. Sebagai pendidik.

Perawat berperan sebagai pendidik, baik secara langsung dengan


34

memberi penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua maupun secara

tidak langsung dengan menolong orang tua/anak memahami pengobatan

dan perawatan anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan

kesehatan dapat mencakup pengertian dasar penyakit anaknya, perawatan

anak selama dirawat di rumah sakit, serta perawatan lanjut untuk persiapan

pulang ke rumah. Tiga domain yang dapat dirubah oleh perawat melalui

pendidikan kesehatan adalah pengetahuan, keterampilan serta sikap

keluarga dalam hal kesehatan khususnya perawatan anak sakit.

2. Sebagai konselor.

Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis

berupa dukungan/dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat

memberikan konseling keperawatan ketika anak dan keluarganya

membutuhkan. Hal inilah yang membedakan layanan konseling dengan

pendidikan kesehatan. Dengan cara mendengarkan segala keluhan,

melakukan sentuhan dan hadir secara fisik maka perawat dapat saling

bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua tentang masalah anak dan

keluarganya dan membantu mencarikan alternatif pemecahannya.

3. Melakukan koordinasi atau kolaborasi.

Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan

kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain dengan tujuan terlaksananya

asuhan yang holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci

untuk menjadi koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada di

samping pasien. Keluarga adalah mitra perawat, oleh karena itu kerjasama

dengan keluarga juga harus terbina dengan baik tidak hanya saat perawat
35

membutuhkan informasi dari keluarga saja, melainkan seluruh rangkaian

proses perawatan anak harus melibatkan keluarga secara aktif.

4. Sebagai pembuat keputusan etik.

Perawat dituntut untuk dapat berperan sebagai pembuat keputusan

etik dengan berdasarkan pada nilai normal yang diyakini dengan penekanan

pada hak pasien untuk mendapat otonomi, menghindari hal-hal yang

merugikan pasien dan keuntungan asuhan keperawatan yaitu meningkatkan

kesejahteraan pasien. Perawat juga harus terlibat dalam perumusan rencana

pelayanan kesehatan di tingkat kebijakan. Perawat harus mempunyai suara

untuk didengar oleh para pemegang kebijakan dan harus aktif dalam

gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak. Perawat

yang paling mengerti tentang pelayanan keperawatan anak. Oleh karena itu

perawat harus dapat meyakinkan pemegang kebijakan bahwa usulan

tentang perencanaan pelayanan keperawatan yang diajukan dapat memberi

dampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak.

5. Sebagai peneliti.

Sebagai peneliti perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh

dalam upaya menemukan masalah-masalah keperawatan anak yang harus

diteliti, melaksanakan penelitian langsung dan menggunakan hasil

penelitian kesehatan/keperawatan anak dengan tujuan meningkatkan

kualitas praktik/asuhan keperawatan pada anak. Pada peran ini diperlukan

kemampuan berpikir kritis dalam melihat fenomena yang ada dalam

layanan asuhan keperawatan anak sehari-hari dan menelusuri penelitian

yang telah dilakukan serta menggunakan literatur untuk memvalidasi


36

masalah penelitian yang ditemukan. Pada tingkat kualifikasi tertentu,

perawat harus dapat melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas praktik keperawatan anak (Yuliastati, 2016).


37

BAB 3
METODELOGI PENULISAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Karya tulis ini menggunakan studi kasus deskriptif, yaitu suatu metode

yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu

keadaan secara objektif (setiadi, 2007). Desain Studi kasus ini merupakan

bentuk studi kasus dalam penerapan tindakan teknik relaksasi napas dalam

pada anak dengan DBD di ruang Anak BLUD Rumah Sakit Umum Daerah Cut

Nyak Dhien Meulaboh tahun 2018.

3.2 Subjek Studi Kasus

Subyek pada studi kasus ini adalah pasien dengan diagnosa medis DBD

yang mengalami masalah nyeri, dengan kriteria sebagai berikut :

1. Pasien berusia 5-18 tahun.

2. Pasien di rawat di Ruang Anak BLUD Rumah Sakit Umum Daerah Cut

Nyak Dhien Meulaboh dengan diagnosa medis DBD, minimal dirawat

selama 3 hari.

3. Pasien yang mengalami masalah nyeri.

4. Keluarga menyetujui anaknya menjadi subjek studi kasus.

3.3 Fokus Studi

Fokus dari studi kasus ini adalah Pelaksanaan Tindakan Teknik Relaksasi

nafas dalam pada Anak dengan DBD yang mengalami nyeri.

1.4 Definisi Operasional

1. Prosedur Teknik Relaksasi Napas Dalam pada Anak.

Prosedur teknik relaksasi nafas dalam pada anak adalah teknik


38

bernafas secara lambat dengan menahan inspirasi secara maksimal dan

menghembuskan nafas secara perlahan yang dilakukan dengan kegiatan

bermain, yaitu permainan yang berkaitan dengan pernafasan diantaranya

permainan meniup baling-baling mainan, meniup gelembung dengan

sedotan,dan meniup balon (syamsuddin, 2015).

2. Pasien demam berdarah dengue (DBD).

Individu yang terinfeksi virus dengue dan dirawat di rumah sakit

dengan keluhan demam, nyeri, kurang nafsu makan, malaise, dan mungkin

juga menimbulkan pendarahan.

3.5 Tempat dan Waktu

3.5.1 Tempat

Tempat/lokasi pada studi kasus dilaksanakan di Ruang Rawat Anak

BLUD Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien Meulaboh.

3.5.2 Waktu

Pelaksanaan studi kasus dilaksanakan pada 26- 28 Juli 2018

3.6 Pengumpulan Data

Penyusunan bagian awal instrument di tuliskan karakteristik responden

umur, pekerjaan, sosial ekonomi, jenis kelamin dan lain-lain. Jenis instrumen

yang sering digunakan pada ilmu keperawatan di klarifikasi menjadi berapa

bagian (nursalam, 2003), yaitu :

1. Bio fisiologis (Pengukuran yang berorientasi pada dimensi fisiologis

manusia, baik invivo maupun invitro).

2. Observasi (Terstruktur dan tidak terstruktur)

a. Catatan Anecdotal : Mencatat gejala-gejala khusus atau luar biasa


39

menurut urutan kejadian.

b. Catatan Berkala : Mencatat gejala secara berurutan menurut waktu

namun tidak terus menerus.

c. Daftar cek list : Menggunakan daftar yang memuat nama observer

disertai jenis gejala yang diamati.

3. Wawancara

4. Skala Penilaian

3.7 Penyajian Data

Untuk studi kasus, data disajikan secara tekstural/narasi dan dapat disertai

dengan cuplikan ungkapan verbal dari subyek studi kasus yang merupakan data

pendukungnya.

3.8 Etika Studi Kasus

Dalam pembuatan studi kasus etika penelitian yang digunakan yaitu

Informed Concent (surat persetujuan). Informed Concent adalah surat

persetujuan, yang digunakan sebelum pengambilan data atau studi kasus

dilakukan. Perawat juga harus terlibat dalam perumusan rencana pelayanan

kesehatan di tingkat kebijakan. Perawat yang paling mengerti tentang

pelayanan keperawatan anak, Oleh karena itu perawat harus dapat meyakinkan

pemegang kebijakan bahwa usulan tentang perencanaan pelayanan

keperawatan yang diajukan dapat memberi dampak terhadap peningkatan

kualitas pelayanan kesehatan anak.

Anda mungkin juga menyukai