Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. Heart
failure atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks yang didasari oeh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh secara
adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung.

Selain gagal jantung yang menjadi masalah kesehatan juga yakni infeksi
Mycobacterium Tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada
satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu
33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk,
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia
tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.

Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.


Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup
tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Di Indonesia
berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa
penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah
penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil

1
laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat
50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA
positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun. Pada tahun 2004
WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru
menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih
menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS
o Nama : Ny. S
o No. Rekam Medis : 17.17. 45
o Jenis Kelamin : Perempuan
o Umur : 63 tahun
o Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
o Alamat : Kekalik Gerisak
o Agama : Islam
o Masuk R.S : 19 November 2015
o Rumah Sakit : RSUD Kota Mataram

2.2. ANAMNESIS
KU : Sesak napas
o Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan Puskesmas Tanjung Karang dengan diagnosa sesak napas
disebabkan gagal jantung (dyspneu ec CHF). Pasien datang ke Rumah Sakit dengan
keluhan sesak napas sejak satu hari sebelum masuk ke Rumah Sakit. Sesak dirasakan
tiba-tiba. Pasien mengeluh sesak napas sudah lama dirasakan tapi tidak pernah
diperiksa. Keluhan sesak dirasakan datang ketika sedang beraktivitas dan istirahat.
Keluhan dirasakan membaik jika pasien dalam keadaan duduk, jika dalam posisi
berbaring sesak bertambah. Pasien juga mengaku tidur dengan menggunakan 2 – 3
bantal. Sesak tidak dipengaruhi oleh suhu,cuaca maupun debu.
Pasien juga merasa sering cepat lelah, tidak ada nyeri dada, batuk berdahak
berwarna kuning kehijauan, tidak ada batuk berdarah. Batuk dirasakan sejak 3 bulan
yang lalu. Pasien juga merasakan adanya keringat pada malam hari yang tidak disertai
demam, mual tapi tidak muntah. Pasien tidak ada keluhan pada buang air kecil dan
buang air besarnya. Pasien mengaku pernah menderita TB Paru satu tahun yang lalu
dan sudah minum obat selama 5 bulan. Pasien tidak menyampaikan alasannya kenapa
tidak tuntas minum obat.

3
o Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat tekanan darah tinggi/hipertensi (+), pasien tidak rutin minum obat
 Riwayat kencing manis/Diabetes Melitus (-)
 Riwayat penyakit saluran kencing misalnya gagal ginjal (-)
 Riwayat penyakit asma (-)
o Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien
 Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asma (-), infeksi TB (-)
o Riwayat Sosial
Pasien adalah ibu rumah tangga dengan keadaan rumah yang ventilasi kurang, antara
satu rumah dengan rumah yang lain di lingkungan tempat tinggalnya jaraknya
berdekatan, tinggal bersama dengan anak dan cucu yang terdiri dari 6 orang dalam
satu rumah. Pasien juga mengatakan bahwa ada tetangganya yang mengalami
penyakit TB dan sudah minum obat selama 6 bulan.
o Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap makanan, udara atau obat-obatan tertentu.
o Riwayat Pengobatan
Pasien pernah minum obat TB selama 5 bulan

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


o Status Generalis
 Keadaan Umum : pasien tampak lemas dan terpasang infus
 Kesadaran : E4V5M6
 Tanda Vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit, isi dan tekanan cukup, reguller
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 36,7˚C, axilla
Sianosis : Tidak ada
Edema : Tidak ada
 Kepala : Normocephal
 Mata : Edema Palpebra : (-/-)

4
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterus (-/-)
 Hidung : Nafas cuping hidung : (-)
Discharge : (-)
Deformitas : (-)
 Bibir : Sianosis : (-)
Pulse Lips Breathing : (-)
 Leher : Perbesaran KGB : (-)
Trakea : Ditengah, deviasi (-)
JVP : R + 2 cm
 Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
 Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
 Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi :Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri : linea midclavicula sinistra ICS VI
Batas Pinggang : linea parasternalis sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra ICS 2
Auskultasi :Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

5
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen, shifting
dullness (-), undulasi (-)
Palpasi : Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba.
ballotement (-)
 Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, Edema pada keempat
ekstremitas (-)
2.4. Problem
o Sesak napas
Sesak sudah lama dirasakan, memberat satu hari sebelum masuk rumah sakit,
dirasakan datang ketika sedang beraktivitas dan istirahat. Sesak dirasakan membaik
jika pasien dalam keadaan duduk, jika dalam posisi berbaring sesak bertambah. Sesak
tidak dipengaruhi oleh suhu,cuaca maupun debu.
o Tidur dengan menggunakan 2 – 3 bantal
o Cepat lelah
o Tidak ada nyeri dada
o Batuk sejak 3 bulan yang lalu, berdahak berwarna kuning kehijauan, tidak ada batuk
berdarah
o Keringat pada malam hari
o Demam
o Mual tapi tidak muntah
o Riwayat tekanan darah tinggi, tidak minum obat
o Pasien mengaku pernah menderita TB Paru satu tahun yang lalu
o Sudah minum obat anti tuberkulosis selama 5 bulan
o Tetangga ada yang menderita TB
o Ventilasi rumah kurang
o Tekanan Darah 140/90 mmHg
o Respiration Rate: 36 X/ menit
o Stem fremitus kiri menurun
o Batas kiri jantung di ICS VI linea midklavikula sinistra
o Rhonki (+/+)

6
2.5. Assesment
Problem Assesment
o Sesak napas o Dyspneu ec Congestive Heart
Sesak sudah lama dirasakan, memberat Failure (CHF) NYHA IV
satu hari sebelum masuk rumah sakit, o Hipertensi Stage I
dirasakan datang ketika sedang o Congestive Heart Failure (CHF)
beraktivitas dan istirahat. Sesak NYHA IV ec Hipertensi Heart
dirasakan membaik jika pasien dalam Disease (HHD)
keadaan duduk, jika dalam posisi o CHF NYHA IV ec CAD
berbaring sesak bertambah. Sesak tidak
dipengaruhi oleh suhu, cuaca maupun
debu
o Tidur dengan menggunakan 2 – 3
bantal
o Cepat lelah
o Tidak ada nyeri dada
o Riwayat tekanan darah tinggi, tidak
minum obat
o RR: 36 x/menit
o Tekanan darah 140/90 mmHg
o Batas kiri jantung di ICS VI linea
midklavikula sinistra
o Rhoki +/+

o Sesak napas Dyspneu ec Infeksi TB Sekunder


o Batuk sejak 3 bulan yang lalu,
berdahak berwarna kuning kehijauan,

7
tidak ada batuk berdarah
o Keringat pada malam hari
o Demam
o Mual tapi tidak muntah
o Pasien mengaku pernah menderita
TB Paru satu tahun yang lalu
o Sudah minum OAT selama 5 bulan
o Tetangga ada yang menderita TB
o Ventilasi rumah kurang
o Rhonki +/+

o Stem fremitus kiri menurun Efusi Pleura kiri

2.6. Planning
o Planning Diagnostik
 Darah Lengkap
 Ureum Kreatinin
 Elektrolit
 GDS
 Foto torak
 Elektrokardiogram
 Echocardiografi
o Planning Terapi
 O2 Nasal kanul 2-5 lpm
 IVFD RL 8 tpm
 Inj Furosemid 3 X 1 amp
 Inj prosogan (lansoprazol) 1 amp
 Aspilet 1 X 80 mg
o Monitoring
 TTV

8
2.7. Progress Note
 Tanggal : 19 November 2015
 Subjektif
Sesak nafas (+) saat istirahat, nyeri dada (-), batuk berdahak berwarna kuning
kehijauan (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, BAB (+), BAK (+),
riwayat minum OAT tidak tuntas
Objektif
- Tanda Vital :
TD :140/90 mmHg
Nadi :88/menit, isi dan tegangan cukup, reguler
RR : 36x/menit
Suhu : 36,7˚C, axilla
- Pemeriksaan Fisik
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
9
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi :Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri : linea midclavicula sinistra ICS VI
Batas Pinggang : linea parasternalis sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra ICS 2
Auskultasi :Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen, shifting
dullness (-), undulasi (-)
Palpasi : Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba.
ballotement (-)
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, Edema pada keempat
ekstremitas (-)

- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai rujukan
Hb 15,5g/dl 11-14,7 gr/dl
WBC 10,45X 103 /uL 3,37-8,38 X 10 3
PLT 336 X 10 3/Ul 172-378 X 10 3
Ureum 28,1 mg/dl 17-43mg/dl
Kreatinin 0,6 mg/dl 0,6-1,1 mg/dl
GDS 157 mg/dl 80-120 mg/dl
Natrium 141 mmol/L 136-145 mmol/L
Kalium 3,7 mmol/L 3,5 – 5,1 mmol/L
Clorida 99 mmol/L 97-111 mmol/L

10
 Foto torak

Cor: Membesar dengan CTR 59 %, tampak kalsifikasi aortic knob


Pulmo: tampak fibroinfiltrat pada suprahiler kanan disertai penarikan
hilus kanan ke superior, tampak giant cavitas berdinding tipis
pada suprahiler-parahiler kiri disertai nfiltrat disekitarnya.
Costo phrecic angle kanan tajam kiri tumpul
Diafragma kanan kiri normal
Tulang dan soft tissue tak tampak kelainan

Kesan:
Kardiomegali
Aterosklerotik aorta
Giant bula pada suprahiler-parahiler kiri
TB Paru

11
Efusi pleura kiri minimal yang sudah terorganisasi

 EKG

12
 Assesment
Problem Assesment
o Sesak nafas (+) Infeksi TB Paru Sekunder
o batuk berdahak berwarna kuning Destroyed Lung
kehijauan
o mual (+),
o nafsu makan menurun
o riwayat minum OAT tidak tuntas
o Leukosit 10,45X 103 /uL
o Rhonki +/+
o foto thorax: tampak fibroinfiltrat
pada suprahiler kanan disertai
penarikan hilus kanan ke superior,
tampak giant cavitas berdinding
tipis pada suprahiler-parahiler kiri
disertai infiltrat disekitarnya

o Tekanan Darah 140/90 mmHg Hipertensi Stage 1


o Foto torak: Costo phrecic angle Efusi pleura sinistra
kanan tajam kiri tumpul
o Sesak napas saat istirahat CHF NYHA IV
o Rhonki +/+
o Foto torak: Cor membesar dengan
CTR 59 % (kardiomegali),
Costo phrecic angle kanan
tajam kiri tumpul (efusi pleura
sinistra)

Giant bula pada suprahiler-parahiler Pneumotorak spontan sekunder lobus


kiri superior sinistra ec TB

 Planing Terapi

13
 O2 Nasal kanul 2-5 lpm
 IVFD RL 8 tpm
 Inj Furosemid 3 X 1 amp
 Inj prosogan (lansoprazol) 1 amp
 Aspilet 1 X 80 mg

Tanggal 20 November 2015


S Batuk (+), sesak (+), nyeri dada (-), sakit kepala,
nafsu makan menurun, mual (-), BAB (+), BAK (+
O Kesadaran : Compos Mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 83 x/menit
RR: 37 x/menit
T: 36,6 0C
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
linea midklavikula sinistra

Perkusi :

14
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri: linea midclavicula sinistra ICS
VI
Batas Pinggang : linea parasternalis
sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra
ICS 2
Auskultasi: Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang
abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi:Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba,
ballotement (-)
Ekstremitas: Akral hangat pada keempat
ekstremitas, Edema pada keempat
ekstremitas (-)

A - CHF NYHA IV
- TB Paru Sekunder
- Destroyed Lung
- Efusi Pleura sinistra
- Pneumotorak spontan sekunder lobus superior
sinistra ec TB
P O2 2 lpm
IVFD RL 10 tpm
Furosemid 3 X 20 mg
Spironolakton 1 X 25
Digoxin 1 x 0,25 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg

15
Tanggal 21 November 2015
S Sesak (+), batuk berkurang, nyeri dada (-), nafsu
makan sedikit, mual (-), muntah (-), BAB (+), BAK
(+)
O Kesadaran : Compos Mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 75 x/menit
RR: 29 x/menit
T: 36,6 0C
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
linea midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri: linea midclavicula sinistra ICS
VI
Batas Pinggang : linea parasternalis
sinistra ICS 3

16
Batas Atas : linea parasternalis sinistra
ICS 2
Auskultasi: Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang
abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi:Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba,
ballotement (-)
Ekstremitas: Akral hangat pada keempat
ekstremitas, Edema pada keempat ekstremitas (-)

Hasil BTA SPS


Sewaktu : negatif
Pagi :negatif
Sewaktu : negatif
A - CHF NNYHA IV
- TB Paru Sekunder
- Efusi Pleura sinistra
- Destroyed Lung
- Pneumotorak spontan sekunder lobus superior
sinistra ec TB
P O2 2 lpm
IVFD RL 10 tpm
Furosemid 3 X 20 mg
Spironolakton 1 X 25
Digoxin 1 x 0,25 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
OAT Kategori II

Tanggal 22 November 2015


S Sesak (-), batuk berkurang, nyeri dada (-), nafsu

17
makan sedikit, lemas, mual (-), BAB (+), BAK (+)
O Kesadaran : Compos Mentis
TD: 100/60 mmHg
N: 82 x/menit
RR: 25 x/menit
T: 36,6 0C
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
linea midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri: linea midclavicula sinistra ICS
VI
Batas Pinggang : linea parasternalis
sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra
ICS 2
Auskultasi: Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler,
gallop (-), murmur (-)

18
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang
abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi:Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba,
ballotement (-)
Ekstremitas: Akral hangat pada keempat
ekstremitas, Edema pada keempat ekstremitas (-)
Echo: fraksi ejeksi 65 %, CHF ec HHD
A CHF ec HHD
TB Paru Sekunder
Efusi Pleura sinistra
Pneumotorak spontan sekunder ec lobus superior
sinistra
P O2 2 lpm
IVFD RL 10 tpm
Furosemid 3 X 20 mg
Spironolakton 1 X 25
Digoxin 1 x 0,25 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
OAT Kategori II
Tanggal 23 November 2015
S Sesak (-), nyeri dada (-), batuk berkurang, batuk
berdahak berwarna kuning, mual (-), muntah (-),
nafsu makan (+), BAB (+), BAK (+)
O Kesadaran : Compos Mentis
TD: 120/80 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
T: 36,6 0C
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)

19
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
linea midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri: linea midclavicula sinistra ICS
VI
Batas Pinggang : linea parasternalis
sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra
ICS 2
Auskultasi: Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang
abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi:Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba.
Ren tidak teraba, ballotement (-)
Ekstremitas: Akral hangat pada keempat
20
ekstremitas, Edema pada keempat ekstremitas (-)
A - CHF ec HHD
- TB Paru Sekunder
- Efusi Pleura sinistra
- Destroyed lung
- Pneumotorak spontan sekunder lobus superior
sinistra ec TB
P IVFD RL 10 tpm
Furosemid 1 x 20 mg
Spironolakton 1 x 25 mg
C lopidogrel 1 x 75 mg
Blopres (candesartan) 1 x 4 mg
OAT Kategori II
Tanggal 24 November 2015
S Pasien mengatakan tidak ada keluhan, batuk (-),
sesak (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan (+),
BAB (+), BAK (+)
O Kesadaran : Compos Mentis
TD: 110/80 mmHg
N: 82 x/menit
RR: 24 x/menit
T: 36,70C
Mata: Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Bibir: Pulse Lips Breathing (-)
Leher: Perbesaran KGB (-), JVP : R + 2 cm
Paru Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Rhonki +/+, Wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : Simetris Statis Dinamis
Palpasi : Stem Fremitus Kiri menurun
Perkusi : Sonor disemua lapang paru

21
Auskultasi : Rhonki +/+,Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi: Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
linea midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS V
Batas Kiri: linea midclavicula sinistra ICS
VI
Batas Pinggang : linea parasternalis
sinistra ICS 3
Batas Atas : linea parasternalis sinistra
ICS 2
Auskultasi: Bunyi jantung S1/S2 (+) reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar , sikatrik (-),distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang
abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi:Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba.
Ren tidak teraba, ballotement (-)
Ekstremitas: Akral hangat pada keempat
ekstremitas, Edema pada keempat ekstremitas (-)
A CHF ec HHD
- TB Paru Sekunder
- Efusi Pleura sinistra
- Destroyed lung
- Pneumotorak spontan sekunder lobus superior
sinistra ec TB
P BPL
Furosemid 1 x 20 mg
Spironolakton 1 x 25 mg

22
C lopidogrel 1 x 75 mg
Blopres (candesartan) 1 x 4 mg
OAT Kategori II

BAB III
LANDASAN TEORI

3.1. Gagal Jantung


3.1.1 Definisi Gagal Jantung
Heart failure atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks
yang didasari oeh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan
fungsional dari jantung. Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks

23
dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung
(nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai /
tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan
kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istrahat.
3.1.2. Etiologi
o Hipertensi

o Ischaemic heard disease

o Alcohol

o Hypothyroidsm

o Congenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal defek)

o Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif)

o Infections

3.1.3. Patogenesis
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik
terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta
kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Jackson G, 2000).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila
hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung.
Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Jackson G, 2000). Stimulasi
sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma
dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin
dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan

24
aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit
serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Jackson G, 2000).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita
gagal jantung (Santoso A, 2007). Vasopressin merupakan hormon antidiuretik
yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang
tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan
hiponatremia (Santoso A, 2007).
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi
natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai
dengan derajat gagal jantung. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan
relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang
masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik
dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
3.1.4. Manifestasi Klinis
25
Tabel 1 Tanda dan gejala gagal jantung
Gejala khas gagal jantung : sesak nafas saat istirahat atau aktifitas, kelelahan,
edema tungkai
Tanda khas gagal jantung : takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali
Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat,
kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik

Tabel 2 Kriteria Framingham


Kriteria Mayor Kriteria Minor
- Paroxysmal nokturnal dyspneu - Edema ekstremitas
- Distensi vena leher - Batuk malam hari
- Ronki paru - Dispneu d’effort
- Kardiomegali - Hepatomegali
- Edema paru akut - Efusi pleura
- Gallop S3 - Penurunan kapasital vital 1/3 dari
- Peninggian tekanan vena normal
jugularis - Takikardia (>120 x/menit)
- Reflux hepatojugular

Diagnosis CHF ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
(Marulam M Panggabean, 2009).

Tabel 3 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau


berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapasitas


struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
Tidak terdapat gangguan struktural fisik sehari-hari tidak menimbulkan
atau fungsional jantung, tidak kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
terdapat tanda

26
atau gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
struktural jantung yang mendasari tetapi aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak

Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut Tidak dapat melakukan aktifitas fisik
serta gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna saat istirahat walaupun istrahat.
sudah mendapat terapi medis
maksimal (refrakter) Keluhan meningkat saat
melakukan aktifitas

3.1.5. Pemeriksaan Penunjang


o Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 48%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH,
atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan
dengan fungsi ventrikel kiri.
o Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi
LV, gangguan konduksi, aritmia.
o Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis
gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan
diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub
jantung dapat disinggirkan.

27
o Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai
fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan
gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.
o Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi
ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi
sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai
fungsional penyakit jantung koroner.
3.1.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana Non-Farmakologi
- Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi

- Pemantauan berat badan mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter
- Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis
- Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
- Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah

28
Tatalaksana Farmakologi
- Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan. ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian ACEI ( Fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala), kontraindikasi pemberian
ACEI (riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >
5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL dan stenosis aorta berat.

- Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat β
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma

29
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

- Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI
dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
- Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

30
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI

Dosis obat yang dipakai pada gagal jantung


Golongan obat Dosisi Awal (mg) Dosis Target (mg)
ACEI
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 - 100 (3 x/hari)
Enalapril 2,5(2 x/hari) 10 - 20 (2 x/har)
Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20 - 40(1 x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)
Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)

ARB

Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)


Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)

Antagonis aldosteron

Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)


Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)
Penyekat β

Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)


Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)

- Diuretik

31
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi

Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung


Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12.5 – 100
Metolazone 2.5 2.5 – 10
Indapamide 2.5 2.5 – 5

Diuretik hemat kalium


Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 – (+ACEI/ARB) 50
25 (- ACEI/ARB) 100 -
(- ACEI/ARB) 50 200

3.2. TBC
3.2.1. Definisi TBC
TBC berasal dari kata too-ber-cu-losis. TBC adalah suatu penyakit

menular yang terjadi pada manusia dan hewan. TBC paling sering disebabkan

oleh Mycobaterium tuberculosis dan bovis. Penyakit ini ditandai dengan

pembentukan tuberkel dan necrosis caseosa pada jaringan (Dorland, 2012).


3.2.2. Epidemiologi
Angka insidensi kasus mortalitas TBC meningkat pada tahun 1985

hingga 1992 sebesar 20%. Hal ini di pengaruhi oleh faktor sosioekonomi dan

masalah kesehatan (misal alkoholisme, tuna wisma, meningkatnya kasus

Acquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS) dan infeksi Human

Immunodeficiency Virus (HIV) (Price, 2006).

32
Untuk mengurangi peningkatan insidensi di Amerika Serikat, maka

dilakukan pencatatan kasus, khususnya diantara anggota kelompok minoritas

dan imigran-imigran dari daerah endemik TBC (Price, 2006). Sejak tahun 1993,

morbiditas TBC terus menurun, hal ini di pengaruhi oleh faktor pengawasan

yang terus meningkat pada daerah yang memilki faktor risiko tinggi (Price,

2006). Kejadian TBC di Amerika Serikat pada tahun 1998 sebesar 18.361

(41,3%) kasus baru, 80% penderita TBC tersebut berusia lebih dari 25 tahun

(Price, 2006).
Penyakit TBC dapat menginfeksi berbagai organ dan jaringan, tetapi

didominasi oleh TBC paru sebanyak 80-85%, hal tersebut dipengaruhi oleh port

de entry TBC paling sering melalui inhalasi (Widowati, 2013). Indonesia

menempati urutan ketiga setelah India dan Cina (Widowati, 2014).


3.2.3. Etiologi
Penyebab TBC adalah M. tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4 mikron, lebar kuman 0,3-0,6 mikron (Depkes,
0
2008). Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37 C dengan PH

optimal 6,4-7 (Putra, 2010). Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak

(lipid), hal tersebut yang menyebabkan kuman lebih tahan asam dan lebih kuat

terhadap gangguan kimia dan fisik (Widowati, 2013). Kuman dapat hidup pada

udara kering dan dingin, dikarenakan kuman berada dalam keadaan dorman,

yang dapat bangkit kembali dan menjadi TBC aktif dalam keadaan tertentu

(Widowati, 2013). Di dalam jaringan, kuman hidup dalam sitoplasma makrofag

sebagai parasit intraselular (Widowati, 2013). Sifat kuman ini adalah aerob

menunjukkan bahwa kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi kadar

oksigennya (Widowati, 2013).

33
Gambar 2-2 M. tuberculosis (Collins, 2013).
Pertumbuhan dan perkemabangan M .tuberculosis berbeda-beda, hal

tersebut karena M. Tuberculosis terbagi atas empat kelompok populasi yaitu:


- Populasi A: kuman tumbuh dan berkembang terus dengan cepat, kuman

banyak terdapat di dinding kaviti atau dalam lesi dengan PH netral.


- Populasi B: kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam linkungan asam.

Lingkungan asam inilah yang melindungi kuman terhadap obat

antituberkulosis tertentu.
- Populasi C: kuman berada dalam keadaan dorman hampir sepanjang waktu,

hanya keadaan tertentu kuman mengalami metabolisme secara aktif dalam

waktu yang singkat, kuman jenis ini banyak terdapat pada dinding kaviti.
- Populasi D: kuman sepenuhnya bersifat dorman sehingga sama sekali tidak

dapat dipengaruhi oleh obat antituberkulosis. Jumlah populasi jenis ini tidak

jelas dan hanya bisa dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh

(Widowati, 2013).
3.2.4. Faktor yang mempengaruhi kejadian TBC
Berdasarkan Teori yang dikemukakan John Gordon bahwa timbulnya

suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor antara lain: bibit penyakit

(Agent), pejamu (Host), dan lingkungan (Environment) (Fatimah, 2008).


- Agent
Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada. Agent di

pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: patogenitas, infektifitas dan virulensi

(Fatimah, 2008). Patogenitas adalah kemampuan mikroorganisme

menimbulkan suatu penyakit pada host. M. tuberculosis termasuk kuman

dengan patogenitas tingkat rendah (Fatimah, 2008).Infektifitas adalah

34
kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak

di dalamnya. Infektifitas kuman TBC paru termasuk pada tingkat menengah

(Fatimah, 2008). Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host.

Virulensi kuman TBC termasuk tingkat tinggi (Fatimah, 2008).

- Host
Host M. tuberkulosis adalah manusia atau hewan, tetapi host yang dimaksud

pada penelitian ini adalah manusia. Penularan TBC dipengaruhi oleh faktor

host seperti:
a. Jenis kelamin
Penderita TBC paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan, dikarenakan kebiasaan merokok dan minum alkohol lebih

banyak pada laki-laki, hal ini dapat menurunkan sistem pertahanan

tubuh dan akan lebih mudah terpapar dengan agent penyebab penyakit

(Manalu, 2010).
b. Umur
Umur berperan penting dalam kejadian TBC, di mana puncak kejadian

TBC terjadi pada dewasa muda (15-50 tahun) (Fatimah, 2008). TBC

tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi bisa terjadi pada anak.

Sumber penyakit tersebut yaitu orang dewasa dengan TBC aktif

(Fatimah, 2008). Frekuensi anak yang mengalami TBC tergantung:

banyaknya, kedekatan, lama kontak dengan sumber penularan, dan

umur (Fatimah, 2008).


Risiko terbesar penularan TBC anak melalui kontak serumah dengan

penderita, namun tidak menutup kemungkinan sumber penularan

berasal dari luar rumah (Fatimah, 2008).


c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TBC paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin, erat

kaitannya dengan tingkat kepadatan penduduk (Depkes, 2002).


d. Kekebalan

35
Faktor selanjutnya yang berperan penting adalah kekebalan. Kekebalan

terdiri dari dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan (Fatimah,

2008). Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah

menderita TBC paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibody

(Fatimah, 2008). Sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu

seseorang diberi vaksin Bacillis Calmette Guerin (BCG) (Fatimah,

2008).
e. Status gizi
Kualitas dan kuantitas gizi berpengaruh terhadap daya tahan tubuh

host. Semakin baik asupan gizi host maka semakin baik daya tahan

tubuhnya, begitu pula sebaliknya (Fatimah, 2008).


- Lingkungan
Faktor selanjutnya yang berpengaruh adalah Lingkungan, lingkungan

adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host, baik benda mati, benda

hidup, nyata atau abstrak, suasana yang terbentuk akibat interaksi semua

elemen-elemen, termasuk host yang lain (Fatimah, 2008). Faktor lingkungan

memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah

yang tidak memenuhi syarat. (Fatimah, 2008). Ada beberapa keadaan rumah

yang berpengaruh terhadap kejadian TBC paru yaitu:


a. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan rumah berkaitan dengan ukuran luas ruangan suatu rumah.

Kepadatan rumah dapat diketahui dengan membandingkan luas lantai

rumah dengan jumlah penghuni. Ketentuan untuk daerah perkotaan 6

m² per orang, daerah pedesaan 10 m² per orang (Fatimah, 2008).

Semakin padat suatu rumah, maka semakin cepat udara di dalam rumah

mengalami pencemaran, dengan demikian semakin banyak kuman

yang terhirup oleh penghuni rumah, sehingga penularan suatu penyakit

akan lebih cepat (Fatimah, 2008).


b. Kelembaban Rumah

36
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 %. Suhu ruangan

yang ideal antara 180C – 300C. Hal ini perlu diperhatikan karena

kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya

mikroorganisme, antara lain bakteri spiroket, riketsia dan virus.

Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.

Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk

bakteri, termasuk bakteri TBC. Ada 3 faktor penyebab peningkatan

kelembaban di dalam rumah yaitu :


 Kelembaban yang naik dari tanah ( Rising damp)
 Merembes melalui dinding ( Percolating damp)
 Bocor melalui atap ( Roof leak ) (Fatimah, 2008).
c. Ventilasi.
Ventilasi selain sebagai tempat ke luar masuknya udara juga sebagai

lubang pencahayaan dari luar, dan berfungsi menjaga aliran udara di

dalam rumah tersebut tetap segar (Fatimah, 2008). Berdasarkan

indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat

kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas lantai rumah (Fatimah,

2008). Luas ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai akan

mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya

konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya

(Fatimah, 2008).
Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan

peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan

dan penyerapan cairan dari kulit (Fatimah, 2008). Kelembaban ruangan

yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman TBC

(Fatimah, 2008). Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

37
kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara

dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman TBC

yang ada di dalam rumah tidak dapat ke luar dan ikut terhisap bersama

udara pernafasan (Fatimah, 2008).


d. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruangan, juga

mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan

oleh Robert Koch (1843-1910), dari hasil penelitian dengan

melewatkan cahaya matahari pada berbagai warna kaca terhadap

kuman M. tuberculosis didapatkan data sebagaimana pada tabel 2-2

berikut (Fatimah, 2008).


3.2.5. Cara penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan wilayah perkotaan,

kemungkinan besar mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas

peningkatan jumlah kasus TBC (Fatimah, 2008). Proses terjadinya infeksi M.

tuberculosis biasanya secara inhalasi, penularan ini khususnya disebabkan oleh

pasien TBC paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA,

sehingga TBC paru merupakan menifestasi klinis paling sering dibandingkan

dengan organ lainnya (Fatimah, 2008).


Pada TBC kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi

langsung (Fatimah, 2008). Selain melalui inhalasi dan inokulais langsung

penularan TBC bisa juga melalui saluran cerna, hal ini biasanya karena infeksi

yang disebabkan oleh M.bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang

disterilkan atau terkontaminasi (Fatimah, 2008).


3.2.6. Patogenesis
Port de entry M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran cerna

dan luka terbuka pada kulit. Namun kebanyakan infeksi TBC terjadi melalui

saluran pernafasan, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman

basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price, 2006). Saluran

38
pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis M.bovis, penyebarannya

melalui susu yang terkontaminasi, akan tetapi di Amerika Serikat, dengan

luasnya pasteurisasi susu dan deteksi penyakit pada sapi perah, TBC bovin ini

jarang terjadi (Price, 2006).


TBC adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas

diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T)

adalah sel imunosupresif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan

makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.

Respon ini disebut sebagai reaksi hypersensitivitas seluler (Price, 2006).


Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi

sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang

lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan

tidak menyebabkan penyakit. Sedangkan jika gumpalan kecil, maka gumpalan

tersebut bisa masuk dalam ruang alveolus, yang terdapat di bagian bawah lobus

atas paru atau bagian atas lobus bawah paru (Price, 2006).
Basil tuberkel ini membangkit reaksi peradangan, di mana leukosit

polimorfonuklear tampak pada lokasi peradangan tersebut dan memfagosit

bakteri, namun tidak membunuh organisme tersebut (Price, 2006). Sesudah hari-

hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan

mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini

dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau

proses dapat berjalan terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel (Price,

2006).
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah

bening regional. Penyebaran melalui getah bening regional marangsang

makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian

bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh

39
limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10-20 hari (Price, 2006). Setelah

mengalami proses infiltrasi, akan terjadi proses nekrosis bagian sentral, yang

akan memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut necrosis

caseosa (Price, 2006). Daerah yang mengalami necrosis caseosa dan jaringan

granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas yang

menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,

membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu

kapsul yang mengelilingi tuberkel, kapsul yang mengelilingi tuberkel ini disebut

lesi primer (Price, 2006). Lesi primer atau disebut juga dengan fokus ghon,

focus ghon yang disertai dengan terserangnya kelenjar getah bening regional

dan lesi primer disebut dengan kompleks ghon (Price, 2006).


Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada

orang sehat, yang biasanya ditemukan secara kebetulan ketika menjalani

pemeriksaan radiogram rutin. Namun kebanyakan infeksi paru tidak terlihat

secara klinis atau dengan radiografi (Price, 2006). Respon lain yang dapat

terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, di mana bahan cair lepas ke

dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tersebut

akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang

kembali ke bagian lain dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring,

telinga tengah atau usus (Price, 2006).


Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan

meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus

dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan

bronkus. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama dan

menimbulkan peradangan aktif pada bronkus (Price, 2006). Penyakit dapat

menyebar juga melalui kelenjar getah bening dan pembuluh darah. Organisme

40
yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah

kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.

Jenis penyebaran ini dikenal dengan jenis penyebaran limfohematogen, yang

biasanya bisa sembuh sendiri.


Cara penyebaran lainnya melalui hematogen, merupakan suatu

fenomena akut yang biasanya menyebabkan TBC milier, ini terjadi apabila

fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke

dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh (Price, 2006).

Patogenesis TBC dibagi menjadi 2 yaitu:

1. TBC primer

Individu yang terinfeksi basil TBC untuk pertama kalinya hanya

memberikan reaksi seperti terdapat benda asing di saluran pernafasan.

Selama tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui

mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan

pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity).

Setelah 3 minggu terinfeksi basil TBC, tubuh baru mengenal seluk-

beluk basil TBC. Dalam waktu 3-10 minggu, basil TBC akan mendapat

perlawanan dari sistem pertahanan tubuh, ditandai dengan timbulnya

reaktivitas dan peradangan spesifik.

Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah

10 minggu. Kuman TBC yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonia, yang disebut

sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian paru mana saja, berbeda

dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan

saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut

41
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Gabungan limfangitis lokal dengan limfangitis regional disebut

sebagi kompleks primer (Sudoyo, 2007).

Berbagai perkembangan lanjutan kompleks primer antara lain:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum), keadaan ini yang paling banyak terjadi (Sudoyo, 2007).


b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, berupa garis–garis

fibrotik dan kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi

pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi

reaktivasi lagi karena kuman yang dormant (Sudoyo, 2007).


c. Menyebar dengan cara:
a) Perkontinuitatum atau penyebaran ke daerah sekitarnya. Salah satu

contohnya adalah epituberculosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya mengenai lobus medius. Pembesaran kelenjar hilus

menimbulkan obstruksi pada saluran nafas, akibatnya bisa terjadi

atelektasis (Sudoyo, 2007).


b) Penyebaran secara bronkogen, yaitu penyebaran pada paru yang

bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan

bersama dahak dan ludah sehingga menyebar ke usus.


c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.

Penyebaran ini dapat menimbulkan TBC pada alat tubuh lain misalnya:

tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:

i. Sembuh dengan meninggalkan secuele, contohnya gangguan

pertumbuhan pada anak yang disebabkan ensefalomeningitis, dan

tuberkuloma.
ii. Meninggal.

42
Sebagian besar penderita yang terinfeksi basil tuberculosis dapat

berhasil mengatasinya. Hanya 3-4% penderita TBC yang tidak

berhasil menanggulanginya (Djojodibroto, 2009).

2. Tuberculosis post-primer

Tuberculosis post-primer (TBC sekunder) akan muncul bertahun-tahun

setelah infeksi primer sebagai infeksi endogen. Puncaknya terjadi pada usia

15-40 tahun.

Nama lain TBC post-primer yaitu TBC bentuk dewasa, localized

tuberculosis, TBC menahun, dan sebagainya. Bentuk TBC inilah yang

terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber

penularan. TBC sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,

alkohol, penyakit malignan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal (Sudoyo, 2007).

TBC post-primer dimulai dengan sarang dini, umumnya terletak di

segmen apikal pesterior lobus superior maupun lobus inferior. Invasinya ke

daerah parenkim paru (Sudoyo, 2007).

Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil.

Berikut ini perkembangan Sarang pneumonia yaitu:

a. Dihisap / reabsorbsi kembali


b. Sembuh tanpa meninggalkan cacat.
c. Proses penyembuhan dengan penyerbukan jaringan fibrosis, dilanjutkan

dengan pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan

menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan ke luar (Sudoyo, 2007).

43
d. Sarang pneumonia meluas, membentuk nekrosis kaseosa. Nekrosis kaseosa

yang dibatukkan akan membentuk kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis,

dan semakin lama akan semakin menebal (kaviti sklerotik) (Sudoyo, 2007).

3.2.7. Klasifikasi

Klasifikasi TBC menurut terapi (WHO, 1991):

1. Kategori I, ditujukan terhadap:


a. Kasus baru dengan dahak positif.
b. Kasus baru dengan bentuk TBC berat.
2. Kategori II, ditujukan terhadap:
a. Kasus kambuh.
b. Kasus gagal dengan dahak BTA positif.
3. Kategori III, ditujukan terhadap:
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
b. Kasus TBC ekstraparu selain dari yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV, ditujukan terhadap : TBC kronik (Amin, 2010).

Klasifikasi TBC menurut organ yang terinfeksi (PDPI, 2006):

1. TBC paru.
TBC paru adalah TBC yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (PDPI, 2006).


a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA).
- TBC paru BTA (+):
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif.
ii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TBC aktif.


iii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan biakan positif.


- TBC paru BTA (-):
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan TBC aktif.


ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M. tuberculosis.
b. Berdasarkan tipe pasien.

44
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:


a) Kasus baru.
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b) Kasus kambuh (relaps).
Adalah pasien TBC yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan TBC dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan

dahak BTA positif atau biakan positif.


Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi

dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus

dipikirkan beberapa kemungkinan:


i. Lesi nontuberculosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan

dll).
ii. TBC paru kambuh ditentukan oleh dokter spesialis.

c) Kasus defaulted atau drop out.


Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan

tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai.
d) Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum

akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.


e) Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

pengawasan yang baik.


f) Kasus Bekas TBC
i. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TBC yang tidak aktif,

45
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.


ii. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang

tidak ada perubahan gambaran radiologi.


2. TBC ekstraparu
TBC ekstraparu adalah TBC yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,

saluran kencing dan lain-lain.


Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi

anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus yang tidak dapat dilakukan

pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan

konsisten dengan TBC ekstraparu aktif (PDPI, 2006).


Batasan: TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau

histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TBC ekstraparu aktif,

yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat

antituberkulosis siklus penuh.


TBC di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit,

yaitu :
a. TBC di luar paru ringan

Misalnya: TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativ unilateral, tulang

(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

b. TBC diluar paru berat

Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis

eksudativ bilateral, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran

kencing dan alat kelamin.

46
Catatan:
a. Yang dimaksud dengan TBC paru adalah TBC pada parenkim paru.

Sebab itu TBC pada pleura atau TBC pada kelenjar hilus tanpa ada

kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TBC ekstraparu.


b. Bila seorang penderita TBC paru juga mempunyai TBC di luar paru,

maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat

sebagai penderita TBC paru.


c. Bila seorang penderita ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat

sebagai ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat.


3.2.8. Gambaran klinis
1. Gejala sistemik:
a. Demam
Biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat

mirip influenza yang segera mereda. Demam dapat hilang timbul dan makin

lama makin panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas serangannya

makin pendek. Demam dapat mencapai suhu tinggi 40-41 0C. Keadaan ini

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman TBC yang masuk (Widowati, 2013).


b. Malaise.
Penyakit TBC bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus

(penurunan berat badan), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam

dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul

secara tidak teratur (Amin, 2010).


c. Gejala ekstraparu
Gejala ekstra tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

pleuritis TBC terdapat gejala sesak dan nyeri dada pada sisi yang terlibat.

Pada limfadenitis TBC terdapat pembesaran kelenjar getah bening lambat

dan tidak nyeri (Widowati, 2013).


2. Gejala respiratorik
a. Batuk lebih dari 2 minggu

47
Gejala batuk / batuk darah banyak ditemukan (Amin, 2010). Batuk

baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk mula-

mula terjadi karena iritasi bronkus yang selanjutnya akibat peradangan pada

bronkus, batuk menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk

membuang produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid dan

purulen (Widowati, 2013).


Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat

ringannya tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding

kaviti, juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkus (Widowati,

2013).
b. Sesak nafas
Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat. Gejala ini

ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup

luas (Widowati, 2013).


c. Nyeri dada.
Nyeri dada jarang ditemukan (Amin, 2010). Gejala ini timbul

apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura terkena. Gejala ini dapat

bersifat lokal atau pleuritik (Widowati, 2013).

3.2.9. Diagnosis
1. Anamnesis (Mansjoer, 2001).
2. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai sangat

tergantung pada organ yang terlibat (Widowati, 2013). Keadaan umum pasien

mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,

suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun (Amin,

2010). Pada pemeriksaan fisik, pasien sering tidak menunjukkan suatu

kelainan apapun terutama pada kasus yang dini atau yang sudah terinfiltrasi

48
secara asimptomatik (Amin, 2010). Demikian juga bila sarang penyakit

terletak di organ dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan

fisik, karena hantaran getaran / suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit

dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi (Amin, 2010).


Tempat kelainan lesi TBC paru yang paling dicurigai adalah bagian

apeks (puncak paru). Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka

didapatkan perkusi yang yang redup, auskultasi suara nafas bronkial akan

didapatkan suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring.

Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi

vesikular melemah (Amin, 2010).


Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara

yang hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik

(Amin, 2010). Pada TBC paru kelainan yang didapat tergantung pada

keterlibatan dan kelainan struktural paru serta bronkus oleh proses TBC:
- Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dll).
- Tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
- Sekret di saluran nafas serta ronki.
- Suara amforik berhubungan dengan kaviti yang berhubungan langsung

dengan bronkus (Widowati, 2013).


Pada pleuritis TBC kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, auskultasi

suara nafas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

(Widowati, 2013). Pada limfadenitis TBC terlihat pembesaran kelenjar getah

bening (KGB) paling sering di daerah leher (pikirkan juga kemungkinan

metastasis tumor). Pembesaran KGB tersebut dapat menjadi cold abses

(Widowati, 2013). Pada TBC paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas

sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostalis. Bagian paru yang sakit

menjadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang

sehat menjadi lebih hiperinflasi.

49
Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah

jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan

selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)

diikuti dengan kor pulmonal dan gagal jantung kanan, akan didapatkan tanda

seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop,

Murmur graham steel, bunyi p2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang

meningkat, hepatomegali, asites, edema (Amin, 2010).


3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien TBC terdiri

atas:

a. Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan

3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang

berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).


- Sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB

datang berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot

penampung dahak..
- Pagi: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua

segera setelah bangun tidur.


- Sewaktu: dahak dikumpulkan pada hari kedua, ketika pasien

menyerahkan dahak pagi hari.


Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut

untuk menghindari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak

minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru

50
(Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak

pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala

IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)

yaitu :
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative.
b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan.
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+).
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+).
b. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik yang menjadi standar adalah foto toraks

posteroanterior (PA) dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain

seperti top lordotik, oblik dan CT-Scan toraks dilakukan atas dasar

indikasi. Pada foto toraks rutin mungkin telah ditemukan tanda-tanda awal

TBC walaupun secara klinis belum ada gejala. Sebaliknya bila tidak ada

kelainan foto toraks biasanya kelainan tersebut baru terlihat minimal 10

minggu setelah infeksi. Pada foto toraks PA, TBC dapat memberikan

gambaran yang bermacam-macam (multiform).


a) Gambaran berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas

paru dan segmen superior bawah.


b) Kaviti terutama lebih dari satu, di kelilingi oleh bayangan opak

berawan dan nodular.


c) Bayangan bercak milier dan efusi pleura (Widowati, 2013).
Gambaran yang dicurigai sebagai lesi inaktif adalah fibrotik,

kalsifikasi, kompleks ranke, fibrotoraks dan atau penebalan pleura.

(Widowati, 2013). Luas proses yang terlibat pada foto toraks dapat

dinyatakan sebagai lesi minimal dan lesi luas. Lesi minimal apabila proses

mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas melebihi volume

paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga ke-2 dan

prosesus spinosus vertebra torakalis IV atau korpus atau korpus vertebra

51
torakalis V dan tidak dijumpai kaviti. Lesi luas apabila proses lebih luas

dari lesi minimal atau terdapat kaviti (Widowati, 2013).

c. Uji tuberkulin
Di indonesia dengan prevalensi TBC yang tinggi, sebagai alat

bantu diagnostik kurang berarti pada orang dewasa dalam penegakan

diagnosis. Uji ini bermakna bila terdapat konversi, bila atau apabila hasil

positif yang didapatkan besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji

tuberkulin dapat memberikan hasil negatif palsu (Widowati, 2013).


d. Spesimen
Spesimen terdiri dari sputum segar, bilasan lambung, urin,

cairan pleura, cairan cerebrospinal, cairan sendi, bahan biopsi, darah, atau

bahan yang dicurigai lainnya (Jawetz, 2013).


e. Dekontaminasi dan pemekatan spesimen.
Spesimen dari sputum dan darah yang tidak steril lainnya harus

dicairkan dengan N-Achetyl-L-cystein, didekontaminasi dengan Natrium

Hidroksida (NaOH) (membunuh banyak bakteri lainnya dan jamur),

dinetralkan oleh buffer, dan dikonsentrasikan dengan sentrifugasi.

Spesimen yang diproses dengan cara ini dapat digunakan untuk

pewarnaan tahan asam dan untuk kultur. Spesimen dari daerah steril,

seperti cairan cerebrospinal, tidak memerlukan prosedur dekontaminasi

dan dapat langsung disentrifugasi, diperiksa, dan dikultur (Jawetz, 2013).


f. Hapusan
Sputum, eksudat, dan materi lainnya diperiksa untuk

menemukan basil tahan asam dengan pewarnaan. Pewarnaan bilasan

lambung dan urin umumnya tidak direkomendasikan, karena mungkin

mengandung mikobakteri saprofit dan memberikan hasil yang positif.


Mikroskopi fluoresens dengan pewarnaan auramine-rhodamine

lebih sensitif dari pada pewarnan tahan asam (seperti ziehl-neelsen) dan

merupakan pewarnaan yang lebih disukai untuk spesimen klinis. Jika

52
organisme tahan asam ditemukan di dalam spesimen yang tepat, temuan

ini merupakan bukti presumptif infeksi mikobakteri (Jawetz, 2013).


g. Kultur, identifikasi, dan resistensi
Spesimen yang diproses dari daerah tidak steril dan spesimen yang

disentrifugasi dari daerah steril dapat dikultur secara langsung ke media

selektif dan non selektif. Kultur kaldu selektif merupakan metode yang

paling sensitif dan memberikan hasil yang paling cepat.


Media agar selektif (lowenstein-jensen atau middlebrook

7H10/7H11 biplate dengan antibiotik) harus diinokulasi secara paralel

dengan kultur media kaldu. Inkubasi dilakukan pada suhu 35-37 0 C dalam

5-10% CO2 sampai 8 minggu (Jawetz,. 2013).


h. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah dapat ditemukan laju endap darah (LED) yang

meningkat atau normal dan limfositosis. Kedua pemeriksaan tersebut

kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk TBC. Laju endap

darah yang normal tidak menyingkirkan TBC (Widowati, 2013).


i. Pemeriksaan histopatologik jaringan
Adalah pemeriksaan yang memberikan diagnosis pasti infeksi TBC,

bila memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. Sediaan

diambil dari biopsi organ/jaringan atau pembesaran KGB yang dicurigai.

Pemeriksaan ini dilakukan bila memang memungkinkan (Widowati,

2013).
j. Deteksi DNA
Polymerase chain reaction (PCR) memberikan jaminan yang besar

untuk deteksi cepat dan langsung M. tuberculosis di dalam spesimen

klinis. Sensitivitas keseluruhannya adalah 55-90% dengan spesifitas 99%.

Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas tertinggi jika diaplikasikan

kespesimen yang sediaan apusannya positif basil tahan asam (Jawetz,

2013).
3.2.10. Penatalaksanaan

53
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakanterdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
a. Obat Anti Tuberculosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaiturifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400mg dan etambutol 275 mg dan
 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaiturifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid.400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid,amoksilin + asam
klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
 Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ mingguatau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
 INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 Xseminggu, 15
mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hariuntuk dewasa. lntermiten :
600 mg / kali
 Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 Xseminggu
50 mg /kg BB 2 X semingggu atau
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
 Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 Xseminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
54
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
 Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
 Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis
tetap,penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama faseintensif,
sedangkan fase lanjutan dapat menggunakankombinasi dosis 2 obat
antituberkulosis seperti yang selamaini telah digunakan sesuai dengan
pedoman pengobatan.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis
tetaptersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujukke
rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
Kategori pengobatan TB
1. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3/4RH/6HE
2. Kategori 2: 2HRZES/5H3R3E3
3. Kategori 3: 2HRZ/4H3R3/4RH/6HE

3.2.11. Efek Samping Obat


Tabel 1. Efek samping ringan dari OAT
Efek samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu makan, Rifampisin Obat diminum malam
mual, sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6
Terbakar di kaki (piridoksin) 100 mg
Perhari
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan, tidak
air Seni perlu diberi apa-apa
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin &
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
Dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin

55
keseimbangan Dihentikan
Ikterik Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
sampai ikterik
menghilang
Bingung dan muntah Hampir semua obat Hentikan semua OAT
& lakukan uji fungsi
Hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok)

2.3.11. Komplikasi
Komplikasi Dini yakni pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB
usus sedangkan komplikasi lanjut yakni obstruksi jalan napas, sindrom
obstruksi pasca tuberkulosis, kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor
pulmonal, amioidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas, TB milier,
kavitas TB, pneumotorak spontan sekunder.

56
DAFTAR PUSTAKA
Amira, permatasari, 2005, Pemberantasan penyakit TBC Paru dengan Strategi DOTS,
Bagian Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Padang.
Departemen kesehatan (DEPKES) dan World Health Organization, 2008: Lembar Fakta
Tuberculosis, Jakarta
Departemen kesehatan Republik Indonesia, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta
Perhimpunan dokter paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia (Online) tersedia di:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/TBC/TBC.html, Diakses 10 Desember 2015
Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung (online) tersedia di: http://www.pedoman tatalaksana gagal jantung.com.pdf
Sudoyo, Aru.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Interna Publishing: Jakarta
Sudoyo, Aru.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Interna Publishing: Jakarta

57

Anda mungkin juga menyukai