Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

SPINAL CORD INJURY

a. Pengertian
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord
injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang
ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008). Trauma pada tulang
belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu
ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang
atau spinal kord (Muttaqin, 2008).

b. Etiologi
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Olahraga
3) Luka tembak atau tikam
4) Kelainan tulang : mielitis, osteoporosis, tumor.
5) Klasifikasi
Cedera tulang
- Stabil
- non-stabil
Cedera neurologis
- tanpa defisit neurologi
- Disertai gejala neurologis
6) Mekanisme Cedera Medulla Spinalis
Hiperfleksi
Hiperekstensi
Kompresi\
c. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera
dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada
tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera
spinal cord dapat berupa memar, kontusio, laserasi dengan atau tanpa
gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta
kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri,
oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan
eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular
total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia
dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total
terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien
akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan
yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika
terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami
tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat
kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan
fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih
baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang
tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi
defekasi dan berkemih.
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:
a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak
ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah
transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1,
C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap
ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan
sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan
ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara
intermitten saja
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan
dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia
pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas
seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai
koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan
aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan
biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk
karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke
posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8
harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri

b. Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan
lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis
parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan,
seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat
T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12,
semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian
bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara
mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
T3 Aksilla
T5 Putting susu
T6 Prosesus xifoid
T7, T8 Margin kostal bawah
T10 Umbilikus
T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian
belakang dari bokong
L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan
area sadel

d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis,
perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha

e. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


1) Klasifikasi Frankel:
Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
2) Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : Motoris dan sensoris normal
d. Tanda gejala
1) Antara C1 sampai C5: Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya
pasien meninggal.
2) Antara C5 dan C6: Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan
fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7: Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi
pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks
bisep.
4) Antara C7 dan C8: Paralisis kaki dan tangan
5) C8 sampai T1: Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial
anhidrosis), paralisis kaki.
6) Antara T11 dan T12: Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7) T12 sampai L1: Paralisis di bawah lutut.
8) Cauda equine: Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya
nyeri dan biasanya nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi,
kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1: Kehilangan kontrol bowel
dan bladder secara total.

e. Penatalaksanaan
Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV
untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan
punggung bila memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk
fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong
Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace
haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan
(laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk
mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X ditemui
spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal
servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis
mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi
atau dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89).

Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula


spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap
kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C
(Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin
memburuk.
Test dignostik
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography
(CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang
belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi
tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan
berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan
bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya
diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah
servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan.
Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses
odontoid pada bidang antero-posterior.
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal:
• Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan
stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’.
Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam
posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan
’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik.
Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa
gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose
Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
• Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
• Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan
stabilisasi dengan ’approach’anterior atau posterior.
• Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan
otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program
kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
1. Pohon masalah

Faktor kecelakaan,
jatuh, cedera lain

Trauma tulang
belakang Kontusio spinal cord Perdarahan Iskemik

Fraktur vertebra Shock Perfusi jaringan


Nyeri tidak efektif
hemoragic
Gangguan pd spinal cord
Kematian

Hilang fungsi motorik sensorik

Hilang fungsi motorik Mual muntah Risiko


sensorik aspirasi

Kelemahan otot Gangguan kontrol Kerusakan syaraf Hambatan


pernafasan VU dan rektum ekstremitas mobilitas fisik

Suplai oksigen Kelumpuhan Defisit


Inkontinensia urin
menurun perawatan diri
dan alvi
Peningkatan
Mekanisme bedrest
kompensasi Perubahan pola
eliminasi Risiko kerusakan
integritas kulit
Pola nafas
tidak efektif
4. Asuhan keperawatan
Pengkajian
1. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
• Penyakit stroke
• Infeksi otak
• DM
• Diare dan muntah yang berlebihan
• Tumor otak
• Intoksiaksi insektisida
• Trauma kepala
• Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan Fisik
• Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan
• Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
• Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
• Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan,
adanya quadriplegia, paraplegia.
• Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post
spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor
neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).
• Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
• Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.
• Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan
penglihatan.
• Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stress ulcer, feses keras atau inkontinensia.
• Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
• Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
• Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus
• Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, enjakulasi, menstruasi tidak teratur.
• Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.

Diagnosa Keperawatan
• Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan
paralisis otot abdominal dan interkostal
• Kerusakan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuskular
• Nyeri b.d. adanya cedera
• Gangguan eliminasi alvi /konstipasi b.d. gangguan neuromuskular
• Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
• Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,
kehilangan sensori dan mobilitas.
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Aktivitas (NIC)

1 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan selama <24 Airway management
berhubungan dengan jam, pasien menunjukkan keefektifan pola 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
kelumpuhan otot diafragma nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil: ventilasi
Menunjukkan jalan nafas yang paten 2. Pasang mayo bila perlu
Do: sesak nafas, terdapat tarikan (klien tidak merasa tercekik, irama 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
diafragma, sianosis, hasil GDA: nafas, frekuensi pernafasan dalam 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
PaO2 < 80, PaCo2 > 45, RR = rentang normal, tidak ada suara nafas tambahan
28 x/menit abnormal) 5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Ds: pasien mengatakan kesulitan Tanda Tanda vital dalam rentang normal keseimbangan.
bernafas (tekanan darah, nadi, pernafasan) 6. Monitor respirasi dan status O2
7. Monitor vital sign
2 Kerusakan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity Daily Living
berhubungan dng kelumpuhan, selama 3x 24 jam, gangguan mobilitas 1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
kerusakan muskuloskelettal dan fisik teratasi dengan kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
neuromuskuler  Klien meningkat dalam aktivitas fisik ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
 Mengerti tujuan dari peningkatan 3. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
Do: ada kontraktur, kekuatan mobilitas dan bantu penuhi kebutuhan ADL
otot (ROM menurun), cedera  Memverbalisasikan perasaan dalam 4. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
atau lesi pada servikal meningkatkan kekuatan dan 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
Ds: pasien mengatakan tidak kemampuan berpindah dan berikan bantuan jika diperlukan
dapat melakukan pergerakan  Memperagakan penggunaan alat 6. Libatkan keluarga dan ajarkan cara
pada tangan dan kaki Bantu untuk mobilisasi memakaikan pakaian pada pasien
3 Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pain Management
adanya cedera, pengobatan dan selama 3x24 jam, Pasien tidak mengalami 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
namanya imobilitas nyeri, dengan kriteria hasil: komperhensif termasuk lokasi,
 Mampu mengontrol nyeri (tahu karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
Do: wajah pasien meringis, prnyebab nyeri, mampu menggunakan faktor presipitasi
skala nyeri 4-6, luka atau lesi di tekhnik nonfarmakologi untuk 2. Observasi reaksi nonverbal dari
tempat yang mengalami cedera mencari nyeri, mencari bantuan) ketidaknyamanan
Ds: pasien mengeluh nyeri pada 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
daerah yang cedera  Melaporkan bahwa nyeri berkurang dan menemukan dukungan
dengan menggunakan manajemen 4. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
 Mampu mengenali nyeri (skala, pencahayaan dan kebisingan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Menyatakan rasa nyaman setelah 6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
nyeri berkurang napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres

 Tanda vital dalam rentang normal hangat/dingin

 Tidak mengalami gangguan tidur 7. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri


8. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
4 Gangguan eliminasi alvi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Usus
/konstipasi berhubungan dengan selama 3x24 jam, konstipasi pasien teratasi 1. Identifikasi faktor-faktor yang
gangguan neuromuskular dengan kriteria hasil: menyebabkan konstipasi
 Pola BAB dalam batas normal 2. Monitor tanda-tanda ruptur
Do: jika dilakukan palpasi pada  Feses lunak bowel/peritonitis
abdomen akan didapatkan  Cairan dan serat adekuat 3. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan
tegang atau keras pada abdomen  Aktivitas adekuat dan serat) terhadap eliminasi
pasien,  Hidrasi adekuat 4. Jelaskan pada klien konsekuensi
Ds: pasien mengatakan tidak menggunakan laxative dalam waktu yang
dapat atau sulit untuk BAB lama

5 Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management


berhubungan dengan tirah selama 3x24 jam, Gangguan integritas 1. Hindari kerutan padaa tempat tidur
baring lama, kehilangan sensori kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: 2. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
dan imobilitas  Integritas kulit yang baik bisa dua jam sekali
dipertahankan 3. Monitor kulit akan adanya kemerahan
Do: adanya kemerahan,  Melaporkan adanya gangguan sensasi 4. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
bernanah, kulit lembab, luka atau nyeri pada daerah kulit yang derah yang tertekan
dekubitus mengalami gangguan 5. Monitor status nutrisi pasien
Ds: pasien mengatakan nyeri  Menunjukkan pemahaman dalam 6. Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang
pada punggung proses perbaikan kulit dan mencegah yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika
terjadinya sedera berulang merubah posisi pasien.
 Mampu melindungi kulit dan 7. Jaga kebersihan alat tenun
mempertahankan kelembaban kulit dan 8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
perawatan alami pemberian tinggi protein, mineral dan
 Sensasi dan warna kulit normal vitamin
Daftar pustaka
Bruner & Suddarth, 2005, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG-
Kedokteran, Jakarta.
Doenges, Moorhause & Geisher, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan,
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien,
ECG- Kedokteran, Jakarta.
Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta.
Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius,
FK-UI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai