Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana lemahnya kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak dapat menghentikan perdarahan yang terjadi dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak perdarahan post partum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering
untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme
utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena
kegagalan mekanisme ini. Perdarahan post partum secara fisiologis dikontrol oleh
serabut-serabut myometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-
serabut myometrium tersebut tidak berkontraksi. Atonia uteri menyebabkan
terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hypovolemic.1
Komplikasi pada atonia uteri yaitu perdarahan post partum primer yang dapat
mengakibatkan syok. Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi
komplikasi lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam
keadaan anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai
oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ
seperti gagal ginjal mendadak atau Akut kidney injury (AKI) dan nekrosis kelenjar
hipofisis pars anterior yang bisa menyebabkan efek jangka panjang berupa Sheehan
sindrom.2
Akut Respiratory Distress Syndrom (ARDS) atau Sindrom Gangguan
Pernapasan Akut adalah suatu kondisi di mana paru-paru menderita cedera berat yang
meluas, menghalangi kemampuannya untuk mengambil oksigen. Acute respiratory
distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi
yaitu mencapai 60%. 3

1
Pneumonia terkait ventilator (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang
terjadi 48-72 jam atau segera setelah intubasi endotrakeal, yang ditandai dengan
keberadaan infiltrat baru atau terjadinya perkembangan infiltrat, tanda infeksi
sistemik (demam, perubahan hitung sel darah putih), perubahan pada karakteristik
sputum, dan deteksi agen penyebab. VAP berkontribusi terhadap sekitar separuh dari
semua kasus pneumonia yang terjadi di rumah sakit (hospital-acquired pneumonia).
Ini adalah infeksi nosokomial kedua terbanyak di unit perawatan intensif (ICU) dan
yang paling umum pada pasien dengan ventilasi mekanik.4
Pneumonia terkait ventilator (VAP) dapat berkontribusi terhadap mortalitas
terkait dengan sindroma distres nafas akut (ARDS). Sindroma distres nafas akut
(ARDS) tetap membawa angka mortalitas yang tinggi. Pneumonia terkait ventilator
(VAP) adalah komplikasi ARDS yang dapat meningkatkan resiko kegagalan organ
multipel dan kematian. Namun, dampak pneumonia nosokomial pada mortalitas pada
pasien dengan ventilasi mekanik tetap kontrovesial.3,4
Pada makalah ini, akan dibahas satu kasus kematian seorang pasien, wanita
umur 36 tahun dengan diagnosa Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum +
ARDS ec VAP + Sepsis + Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia
uteri pada P3A0H3 post SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC1x + anemia berat
perbaikan + Trombositopenia perbaikan + Post HD ai AKI rifle stage III. Pembahasan
pada kasus pasien ini akan dititik beratkan pada tatalaksan dan mekanisme kematiaan
berdasarkan diagnosa pasien diatas.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Nama : Ny. Fitra Dina Suami : Tn.Andi


Umur : 36 tahun Umur : 38 tahun
No. Rekam Medik : 01035145 Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Padang Pendidikan : SMA
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 14 Desember 2018

Anamnesa
Seorang pasien, wanita umur 36 tahun, masuk ruang resusitasi IGD RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada tanggal 14/12/18 pukul 09.15 WIB rujukan dari RS Swasta di
Padang dengan diagnosa Syok hipovolemik ec HPP pada P3A0H3 post SCTPP a.i
bekas SC 1x + PEB

Primary Survey
Airway : Paten, NRM 12 l/menit  SpO2 77%
Breathing : Spontan, 30x/mnt
Circulation : TD : 70/50 mmHg, ND : 130x/mnt, akral dingin, CRT > 2dtk 
terpasang infus 2 jalur  Loading cairan, Urin 0cc
Ib : IVFD RL + 20IU oxytocin + 0,4mg Methylergometrin, tetes cepat
II : fima HES, tetes cepat
KU Kes TD Nd Nfs T
Berat Somnolen 90/60mmHg 120 30 36,9°
• Mata : Konjungtiva anemis +/+
• Abdomen : Fundus teraba 2 jari di atas pusat
kontraksi (+) lemah

3
• Gen : V/U tenang PPV (+) tidak aktif, stolcell (+) 
dilakukan eksplorasi  perdarahan tidak aktif
• Ekstremitas : akral dingin

Diagnosa :
Penurunan kesadaran ec Syok Hipovolemik ec Early HPP ec Atonia uteri pada
P3A0H3 post SCTPP diluar ai bekas SC 1x + PEB

Tatalaksana :
 Kontrol KU, VS, PPV, Kontraksi
 Informed consent
 Resusitasi cairan
 Masase uterus
 Uterotonika :
1. Bolus methylergometrin 0,2mg
2. Drip oxitocyn 20 IU + methylergometrin 0,4 mg dalam 500 cc RL tetesan
cepat
3. Misoprostol 800 mcg sublingual
 Siapkan 4 unit PRC + 2 WB tanpa crossmatch
 Lapor dpjp Anestesi untuk kemungkinan intubasi
Rencana : Stabilisasi

Riwayat Penyakit Sekarang :


• Sebelumnya pasien melahirkan anak ke-3 secara SCTPP ai bekas SC 1x di RS
Swasta di Padang pada tanggal 13/12/18 jam 18.30 WIB, lahir bayi laki-laki
BB 2600 gr. Setelah selesai pengawasan di ruang RR OK, pasien dipindahkan
ke ruang rawatan dengan terpasang infus dan cateter. Diruang rawat pasien
mengalami perdarahan, membasahi 1 helai laken. Didapatkan tekanan darah
100/60mmHg. Kemudian pasien diberikan uterotonika melalui infus dan
misoprostol per rectal, kemudian dikatakan perdarahan berkurang.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan Hb 7,6 gr/dl dan

4
dilakukan transfusi PRC 2 unit dan dilakukan pemantauan pada pasien. Pagi
harinya pasien kembali mengalami perdarahan, didapatan TD 90/50mmHg.
Pasien diberikan loading cairan RL 1000 cc dan fimahess 1 kolf tetesan cepat,
didapatkan urine (-) di kateter. Dilakukan pengecekan Hb ulang didapatkan
Hb 6 gr/dl. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil padang karena
keadaan umum pasien semakin memburuk. Pasien dirujuk dengan terpasang
infus 2 line , O2 4L/mnt dan terpasang kateter urin.
• Di ruang resusitasi IGD RSUP Dr. M. Djamil didapatkan kesadaran pasien
menurun, TD 70/50mmHg, Nadi 130xmnt. Perdarahan pervaginam (+) tidak
aktif. Dilakukan resusitasi cairan dan dimasukkan darah 1 WB dan 2 PRC dan
dikonsulkan ke SpAn untuk tatalaksana resusitasi selanjutnya.
• ANC kontrol teratur selama kehamilan di bidan saat usia kehamilan 2,4 dan 6
bulan. Tidak pernah kontrol kehamilan ke Sp.OG. Tidak pernah didapatkan
TD tinggi selama kontrol kehamilan.
• BAK (-) terpasang kateter

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat tekanan darah tinggi saat kehamilan sebelumnya ada.
Tekanan darah dikatakan normal setelah persalinan.
 Riwayat mengalami perdarahan setelah persalinan pada kehamilan
sebelumnya disangkal
 Tidak ada riwayat alergi penyakit asma, penyakit paru, DM, penyakit
jantung, hati, dan ginjal lainnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat keluarga mempunyai penyakit keturunan, menular dan kejiwaan.
Riwayat Perkawinan : 2x tahun 2007 dan 2011
Riwayat Kehamilan / Abortus / Persalinan : 3/ 0 / 3
1. 2007, perempuan, 2700, spontan, dukun anak, hidup
2. 2011, laki-laki, 3000 gr, spontan, dukun anak, hidup

5
3. 2018, perempuan, 2.600 gr, SCTPP ai PEB, SpOG, hidup

Riwayat Kontrasepsi : (-)


Riwayat Imunisasi : (-)
Pemeriksaan Fisik
KU : Buruk
Kesadaran : Somnolen
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit

Tinggi Badan : 158 cm


BB : 60 kg
BB sebelum hamil : 52 kg
BMI : 24 (Normal)
LILA : 27 cm
Urin (via cateter) : 0 cc

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik


Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorak :
- Cor
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS ICS V
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
oKanan : ICS IV parasternal dekstra
oKiri : ICS II midclavikula sinistra
oAtas : ICS II parasternal sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung murni reguler, murmur (-)

- Pulmo

6
 Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris, kiri=kanan
 Palpasi : vokal fremitus, kiri=kanan
 Perkusi : sonor, kiri=kanan
 Auskultasi : vesikuler, kiri=kanan, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : lihat status obstetrikus
Genitalia : lihat status obstetrikus
Ekstremitas : Pitting edema +/+, Refleks Fisiologis +/+, Refleks
Patologis -/-

Status Obstetrikus
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak sedikit membuncit, sikatrik (+) fanenstile
Palpasi : FUT teraba 2 jari di atas pusat, kontraksi lemah
NT(-), NL (-), DM(-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU(+) normal
Genitalia :
I : Vulva/Uretra tenang, perdarahan pervaginam (-)
USG :

Uterus ukuran 14,35 x8,37 x 9,31 cm


Kesan : tidak tampak sisa plasenta
Laboratorium 1412/18

7
Darah Rutin
Hemoglobin 4,1 gr/dl 12-16
Lekosit 21.140/mm3 5.000-10.000
Trombosit 138.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 14% 40-48
PT 14,1 dtk 9,2-12,4
APTT 65,0 dtk 28,4-38,4

Diagnosis :
 Penurunan kesadaran + Syok hipovolemik teratasi ec early HPP ec atonia
pada P3A0H3 post SCTPP diluar ai PEB+ Bekas SC 1x + anemia berat dalam
perbaikan + Trombositopeni, NH1

Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV, kontraksi
Informed consent
Antibiotik profilaksis, Inj Ceftriaxone 2 gr IV
Siapkan 2 WB, 4 PRC, 2 FFP  tranfusi 1 unit WB dan 1 unit PRC di ruang
resusitasi
Konsul Dpjp ICU untuk perawatan konservatif di ICU
Rencana : konservatif

Pukul 13.00 WIB


Pasien dipindahkan ke ICU  dilakukan intubasi

Pukul 17.00 WIB (ICU)


S/ : PPV (+) aktif

O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo

8
TD : 90/50 mmHg
Nd : 123 x/mnt
Nf : 12 x/mnt on ventilator
Sat : 95%
Suhu : 35,7
Urin (via cateter): 100 cc/8 jam

Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka operasi tertutup verban, FUT tidak teraba, kotraksi (-),
NT(-),NL(-), BU (+) Normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (+) aktif
Ekstremitas : pitting udem +/+
Diagnosa :
Syok hipovolemik ec early HPP ec atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP diluar ai
PEB + Bekas SC 1x + anemia berat, NH1

Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV, kontraksi
Informed consent
Resusitasi cairan
Masase uterus
Bolus methylergometrin 0,2mg
Misoprostol 200 mcg per rectal
Konsul anastesi, lapor OK
Persiapan ICU post op
Rencana : Laparotomi (histerektomi)

Pukul 17.30 WIB

9
Dilakukan laparotomi
Setelah peritoneum dibuka, dilakukan eksplorasi, tampak darah dan stolsel
intraabdomen ±500cc
Uterus dikeluarkan, kesan : ukuran uterus lebih besar dari normal, sebesar kepala
orang dewasa, kontraksi (-), uterus teraba seperti balon terisi cairan, tampak darah
merembes keluar dari bekas jahitan SBR.
Perdarahan selama operasi 2000 cc
Rencana : Histerektomi supravaginal
Dilakukan histerektomi supravaginal
Transfusi 3 kolf WB intra operatif

Diagnosa :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas sC 1x + anemia berat dalam perbaikan, NH1

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Rawat ICU
 Observasi pasca operasi
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Transfusi WB 2 unit
 Transfusi FFP 2 unit
 Inj Ca Glukonas 3x1 amp
 Cek DR 6 jam post Op

10
Kimia Klinik
LDH 496 u/l 0 – 480
Gula darah sewaktu 193 mg/Dl < 200
D dimer 3862,24 <500
Protein total 2,2 mg/dL 6–7
Albumin 1,2 g/dL 3,5 – 5,2
Globulin 1,0 g/dL 1,3 - 2,7
Total bilirubin 0,4 mg/dL 0,1 – 1,2
SGOT 31 u/l 0 – 31
SGPT 17 u/l 0 – 34
Kalsium 8,4mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 136 Mmol/L 136 – 145
Kalium 5,5 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 105 mmol/L 97-111

11
Ureum darah 24 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 2,4 mg/dl 0,6 – 1,2
HbSAg Non reaktif
Anti HIV Non reaktif

AGD:
pHtc 7,178
pCO2 17,2
pO2 205,5
HCO3- 6,5
TCO2 7,1
BEecf -22,3

Diagnosa :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia + hipoalbuminemia + Respiratory disorder , NH1

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Rawat ICU
 Observasi pasca operasi
 Triofusin E 1000cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 4x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Inf albumin 20% 100cc

12
 Transfusi WB 3 unit
 Tranfusi PRC 4 unit
 Transfusi FFP 2 unit
 Inj Ca Glukonas 2gr
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 Cek DR 6 jam post Op

Laboratorium post Op (14/12/18) Pukul 21.30 WIB


Darah Rutin
Hemoglobin 7,7 gr/dl 12-16
Lekosit 18.360/mm3 5.000-10.000
Trombosit 54.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 23% 40-48
PT 17 dtk 9,2-12,4
APTT 61,9 dtk 28,4-38,4
D dimer 4744,64 <500

Follow up 15/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-), demam (-)

O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 101/47 mmHg
Nd : 163 x/mnt
Nf : 12 x/mnt on ventilator
Suhu : 35,7
Urin (via cateter): 330 cc
Balance cairan :-173cc
 Masuk : 3157cc
 Keluar + IWL : 330 + 3000 = 3330

13
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka operasi tertutup verban, NT(-),NL(-), BU (+) Normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 7,1 gr/dl 12-16
Lekosit 13560/mm3 5.000-10.000
Trombosit 77.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 22% 40-48
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 116 mg/Dl < 200
Protein total 3,4 mg/dL 6–7
Albumin 1,9 g/dL 3,5 – 5,2
Globulin 1,5 g/dL 1,3 - 2,7
Kalsium 8,6mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 133 Mmol/L 136 – 145
Kalium 5,9 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 102 mmol/L 97-111
Ureum darah 53 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 3,7 mg/dl 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + Syok hipovolemik teratasi + anemia berat
dalam perbaikan + + Trombositopenia + hipoalbuminemia + Respiratory disorder,
NH2

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 1cc/jam

14
 Drip norepinefrin 2,2cc/jam
 D40% 300cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Inf plasbumin 25% 100cc
 Transfusi PRC 3 unit
 Transfusi Trombosit 10 unit
 Transfusi FFP 4 unit
 Tranfusi cryopresipitat 6 unit
 Inj lasix 1 amp
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam

Follow up 16/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-) , DPO
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 126/73mmHg
Nd : 100 x/mnt
Nf : 17 x/mnt on ventilator
Suhu : 35,7
Urin (via cateter): 1690 cc
Balance cairan :+937 cc
 Masuk : 3277cc

15
 Keluar + IWL : 1690 + 650 = 2340

Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka op tertutup verban, NT(-),NL(-), BU (+) Normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 6,6 gr/dl 12-16
Lekosit 8740/mm3 5.000-10.000
Trombosit 55.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 19 % 40-48
PT 13,4 9,9-13,3
APTT 49,2 31,4-41,2

Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 143 mg/Dl < 200
Protein total 5,0 mg/dL 6–7
Albumin 2,5 g/dL 3,5 – 5,2
Globulin 2,5 g/dL 1,3 - 2,7
Kalsium 7,8 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 135 Mmol/L 136 – 145
Kalium 3,2 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 100 mmol/L 97-111
Ureum darah 74 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 4,6 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia dalam perbaikan + hipoalbuminemia dalam perbaikan + AKI +
Respiratory disorder, NH3

16
Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 1cc/jam
 Drip norepinefrin aff
 Triofusin E 1000
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Transfusi PRC 5 unit
 Transfusi Trombosit 10 unit
 Inj ca glukonas 1gr tiap masuk 1 PRC
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 KSR 3x1

Follow up 17/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-) , DPO
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 150/90mmHg
Nd : 108 x/mnt
Nf : 17 x/mnt on ventilator
Suhu : 35,7
Urin (via cateter): 2080 cc/24jam
Balance cairan :+350 cc

17
 Masuk : 3080cc
 Keluar + IWL : 2080 + 650 = 2730

Mata : Konjungtiva tdk anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka op tertutup verban, NT(-),NL(-), BU (+) Normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 10,7 gr/dl 12-16
Lekosit 11420/mm3 5.000-10.000
Trombosit 92.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 32 % 40-48
PT 11,2 9,9-13,3
APTT 39,5 31,4-41,2

Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 108 mg/Dl < 200
Protein total 5,4 mg/dL 6–7
Albumin 2,7 g/dL 3,5 – 5,2
Globulin 2,7 g/dL 1,3 - 2,7
Kalsium 8,2 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 136 Mmol/L 136 – 145
Kalium 3,6 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 100 mmol/L 97-111
Ureum darah 88 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 6,4 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2
PCT 4,34 ( High risk to severe
sepsis)

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +

18
Trombositopenia dalam perbaikan + Sepsis + hipoalbuminemia + AKI + Respiratory
disorder, NH4

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 0,5cc/jam
 D40% 300cc (12,5cc/jam)
 Triofusin E 1000 700cc
 EAS 7% 250cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Transfusi Trombosit 2 unit
 FFP 2 unit
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 KSR 3x1
 Amilodipin 1x10mg
 D5% 6x25cc per NGT
 Nephrisol 4x25cc
 Kultur dan sensitivity test sputum, darah dan urine

Follow up 18/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-) , DPO
O/ :

19
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 155/98mmHg
Nd : 108 x/mnt
Nf : 17 x/mnt on ventilator
Suhu : 35,7
Urin (via cateter): 2630cc/24jam
Balance cairan :+57 cc
 Masuk : 3387cc
 Keluar + IWL : 2630 + 700 = 3330

Mata : Konjungtiva tdk anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka op tertutup verban, NT(-),NL(-), BU (+) Normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 gr/dl 12-16
Lekosit 10300/mm3 5.000-10.000
Trombosit 89.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 34 % 40-48
PT 13,1 9,9-13,3
APTT 51 31,4-41,2
INR 1,2
D dimer 1241,52
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 115mg/Dl < 200
Albumin 2,7 g/dL 3,5 – 5,2
Globulin 2,0 g/dL 1,3 - 2,7
Kalsium 9,2 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 135 Mmol/L 136 – 145
Kalium 3,6 mmol/L 3,5-5,1

20
Klorida 100 mmol/L 97-111
Ureum darah 81 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 7,2 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia dalam perbaikan + Sepsis + hipoalbuminemia + AKI + Respiratory
disorder, NH5

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 0,5cc/jam
 D40% 300cc (12,5cc/jam)
 Triofusin E 1000 800cc
 EAS 7% 250cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500 mg (IV)
 Transfusi Trombosit 3 unit
 FFP 3 unit
 Cryopresipitat 4 unit
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 KSR 3x1
 Amilodipin 1x10mg

21
 D5% 6x25cc per NGT
 Nephrisol 4x25cc

Follow up 19/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-) , DPO
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 157/98mmHg
Nd : 112 x/mnt
Nf : 17 x/mnt on ventilator
Suhu : 36,7
Urin (via cateter): 1470cc/24jam
Balance cairan :+710 cc
 Masuk : 2280cc
 Keluar + IWL : 1470 + 700 = 3330

Mata : Konjungtiva tdk anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : Supel, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU (+)
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 11,2 gr/dl 12-16
Lekosit 6830/mm3 5.000-10.000
Trombosit 122.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 34 % 40-48

22
PT 13,2 9,9-13,3
APTT 51,4 31,4-41,2
INR 1,2
D dimer 800
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 68 mg/dl < 200
Kalsium 8,5 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 135 Mmol/L 136 – 145
Kalium 3,6 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 137 mmol/L 97-111
Ureum darah 74 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 4,5 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia dalam perbaikan + hipoalbuminemia dalam perbaikan + AKI rifle
F+ Respiratory disorder , NH6

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 0,5cc/jam
 D40% 300cc (12,5cc/jam)
 Triofusin E 1000 800cc
 EAS primer 250cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV)
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV)
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole aff
 Inj metoclopramid 3x10mg

23
 FFP 2 unit
 Cryopresipitat 4 unit
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 KSR 3x1
 Amilodipin 1x10mg
 Puasa
 Microlac supp 2x
 Konsul bagian ginjal hipertensi

Jawaban Konsul bagian ginjal hipertensi :


Diagnosis : AKI stg III ec pre renal ec dehidrasi
Tatalaksana :
 Rehidrasi  IVFD NaCl 0,9 % 6 jam per kolf
 Urinalisa
 Cek Ur / Cr per 3 hari
 saat ini tidak terdapat indikasi untuk HD

Follow up 20/12/18 Pukul 07.00 WIB


S/ : PPV (-) , DPO

O/ :
Ku : berat
Kesadaran : dpo
TD : 129/85mmHg
Nd : 127 x/mnt
Nf : 18 x/mnt on ventilator
Suhu : 36,7
Urin (via cateter): 950cc/11jam

24
Mata : Konjungtiva tdk anemis, sklera tidak ikterik
Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 11,0 gr/dl 12-16
Lekosit 8040/mm3 5.000-10.000
Trombosit 161.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 33 % 40-48
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 69 mg/dl < 200
Kalsium 8,8 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 135 Mmol/L 136 – 145
Kalium 4,8 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 102 mmol/L 97-111
Protein total 5,4gr/dl 6,6-8,7
Albumin 2,7gr/dl 3,8-5,0
Globulin 2,7 gr/dl 1,3-2,7
Ureum darah 85 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 7,6 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Hasil Kultur :
 Sputum : Klebsiella pneumoniae ssp pneumoiae  sensitif terhadap
Meropenem, Amikasin, Gentamicin, Ciprofloksaxin, dan Trimethoprim
 Darah : Staphylococcus hominis ssp hominis  sensitif terhadap
Gentamicin, Vancomycin, Tetracycline, Rifampicin dan Trimethoprim
 Urine : Enterobacter cloacae complex  sensistif terhadap Meropenem,
Amikasin, dan Trimethoprim

25
Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia dalam perbaikan + hipoalbuminemia perbaikan + AKI stg III ec pre
renal ec dehidrasi + Respiratory disorder , NH7

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 0,5cc/jam aff
 D40% 300cc (12,5cc/jam)
 Triofusin E 1000 1000cc
 EAS primer 500cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV) aff
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV) aff
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500mg (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV)
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 Air hangat 4x25-50cc
 Microlac supp 2x

Rencana : ekstubasi  pindah ruang rawatan HCU kebidanan

Pukul 09.00 WIB


Dilakukan Ekstubasi

26
Pukul 20.15 WIB
Pasien acc pindah HCU kebidanan

Pukul 21.00 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : PPV (-)
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : Somnolen
TD : 129/85mmHg
Nd : 127 x/mnt
Nf : 18 x/mnt
Suhu : 36,7

Mata : Konjungtiva tdk anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Whezing (-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 11,0 gr/dl 12-16
Lekosit 8040/mm3 5.000-10.000
Trombosit 161.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 33 % 40-48
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu 69 mg/dl < 200
Kalsium 8,8 mg/dl 8,1 – 10,4
Natrium 135 Mmol/L 136 – 145
Kalium 4,8 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 102 mmol/L 97-111
Protein total 5,4gr/dl 6,6-8,7

27
Albumin 2,7gr/dl 3,8-5,0
Globulin 2,7 gr/dl 1,3-2,7
Ureum darah 85 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 7,6 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat perbaikan + Trombositopenia
perbaikan + hipoalbuminemia perbaikan + AKI stg III ec pre renal ec dehidrasi +
Respiratory disorder , NH7

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 Drip fentanil : sedacum 0,5cc/jam aff
 D40% 300cc (12,5cc/jam)
 Triofusin E 1000 1000cc
 EAS primer 500cc
 Inj Ceftriaxon 2x1 (IV)
 Inj Transamin 3x1 gr (IV) aff
 Inj Vit K 3x10 mg (IV) (IV) aff
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj Metronidazole 3x500mg (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV)
 Nebu combivent 6x/24jam
 Nebu Flumycil 2x/24jam
 Air hangat 4x25-50cc
 Microlac supp 2x

28
Follow up 21/12.18 Pukul 07.00 WIB (HCU Kebidanan)
S/ : Penurunan kesadaran, PPV (-) , BAB (+), sesak (+), Demam (-)
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : Sopor
TD : 149/90mmHg
Nd : 110 x/mnt
Nf : 32 x/ menit (terpasang NRM 10 L/menit
Suhu : 36,7
Urin (via cateter): 200cc/6jam

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (+/+) minimal, Whezing (-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Darah Rutin
Hemoglobin 11,0 gr/dl 12-16
Lekosit 7870/mm3 5.000-10.000
Trombosit 246.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 35 % 40-48
Kimia Klinik
Ureum darah 131 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 7,4 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

AGD:
pHtc 7,48
pCO2 27
pO2 127,5
HCO3- 9,5

29
TCO2 8,3
BEecf -24,1

Diagnosis :
Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum + Dypsneu + Sepsis pada post
histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP
diluar ai PEB + Bekas Sc 1x + anemia berat perbaikan + Trombositopenia perbaikan
+ hipoalbuminemia perbaikan + AKI stage III ec prerenal ec dehidrasi, NH8

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 O2 via NRM 10 L/menit
 IVFD triofusin 20 tpm
 IVFD NaCL 0,9 % 6 jam / kolf
 Inj Meropenem 1x500 mg
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV)
 Cek ureum & kreatinin / 3 hari
 Konsul ulang penyakit dalam untuk kemungkinan Hemodialisa cito
 Konsul neurologi untuk tatalaksana penurunan kesadaran

Jawaban interne :
 Diagnosa : AKI stage III
 Setuju untuk dilakukan hemodialisa  persiapan hemodialisa

Jawaban neurologi :

30
 Brain CT-Scan , kesan dalam batas normal
 Diagnosa : Enselopati hipoksia, saat ini tidak ditemukan defisit vokal
neurologis secara klinis maupun immaging
 Anjuran kontrol ulang penyakit dalam, terapi sesuia TS

Follow up 22/12/18 Pukul 07.00 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : Penurunan kesadaran (+), PPV (-) , BAB (+), sesak (+), Demam (-)
O/ :
Ku : berat
Kesadaran : Sopor
TD : 145/115mmHg
Nd : 110 x/mnt
Nf : 32 x/ menit (terpasang NRM 10 L/menit)
Suhu : 36,7
Saturasi : 98%
Urin (via cateter) : 700cc/24jam

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (+/+) minimal,
Whezing (-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Diagnosis :
Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum + Dyspneau + sepsis pada post
histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP
diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat perbaikan + Trombositopenia perbaikan
+ hipoalbuminemia perbaikan + AKI stage III, NH9

31
Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 O2 via NRM 10 L/menit
 IVFD triofusin 20 tpm
 IVFD NaCL 0,9 % 6 jam / kolf
 Inj Meropenem 1x500 mg
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV)
 Cek ureum & kreatinin / 3 hari

Follow up 23/12/18 Pukul 07.00 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : Penurunan kesadaran (+), PPV (-) , BAB (+), sesak (+), Demam (+), meracau

O/ :
Ku : berat
Kesadaran : Sopor
TD : 180/90mmHg
Nd : 120 x/mnt
Nf : 40 x/ menit (terpasang NRM 10 L/menit)
Suhu : 38,5

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (+/+), Whezing (-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(-),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)

32
Ekstremitas : pitting udem +/+

Diagnosis :
Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum + Dyspnea ec susp
bronkopneumonia + sepsis pada post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec
Atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat
perbaikan + Trombositopebia perbaikan + hipoalbuminemia perbaikan + AKI stage
III , NH10

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 O2 via NRM 10 L/menit
 IVFD triofusin 20 tpm
 IVFD NaCL 0,9 % 6 jam / kolf
 Inj Meropenem 1x500 mg
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV)
 Cek ureum & kreatinin / 3 hari
 Konsul bagian paru

Follow up 24/12/18 Pukul 07.00 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : Penurunan kesadaran (+), PPV (-) , BAB (+), semakin sesak (+), Demam (+),
meracau
O/ :
Ku : berat

33
Kesadaran : Sopor
TD : 170/100mmHg
Nd : 150 x/mnt
Nf : 44 x/ menit (terpasang NRM 10 L/menit)
Suhu : 38,3
Saturasi : 98%

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Suara nafas bronkovesikuler, Rhonki (+/+), Whezing
(-)
Abdomen : supel, luka op tertutup verban, NT(-),NL(-), BU normal
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+

Jawaban Konsul paru :


Diagnosa : Akut respiratori distres sindrom (ARDS) ec Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) + sepsis + post histerektomi + AKI stage III + hipertensi stage II
Tatalaksana :
 O2 10L/menit via NRM
 IVFD Nacl 0,9 % 6 jam/kolf
 Vancomicin 2x500 mg
 Fartison inj 2x100mg
 Flumycil nebu 2x300mg
 Ventolin nebu 3x1
 Suction berkala
 Balance cairan
 Cek ulang kultur sputum dan sensitivity test
 Ro Thorak

34
Diagnosis :
Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum + ARDS ec VAP + Sepsis pada
post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post
SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat perbaikan + Trombositopenia
perbaikan + hipoalbuminemia perbaikan + AKI stage III, NH10

Sikap :
 Kontrol KU,VS, Kontraksi
 O2 via NRM 10 L/menit
 IVFD triofusin 20 tpm
 IVFD NaCL 0,9 % 6 jam / kolf
 Inj Meropenem 3x1gr
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg
 Inf ciprofloxacin 2x400mg (IV) aff
 Levofloxasin 1x750mg (Hr1), Levofloxasin 1x250mg (Hr2-7)
 Cek ureum & kreatinin / 3 hari
 Hemodialisa Cito
 Konsul bedah untuk pemasangan CDL

Pukul 14.00 WIB


Dilakukan hemodialisa I

Follow up 25/12/18 Pukul 00.15 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : Penurunan kesadaran (+), PPV (-) , BAB (-), sesak (+) nafas cepat dan dangkal,
Demam (+), muntah kuning kehijauan, kondisi perburukan
O/ :

35
Ku : Berat
Kesadaran : Sopor
TD : 100/52mmHg
Nd : 154 x/mnt
Nf : 53 x/ menit (terpasang NRM 10 L/menit)
Suhu : 40
Saturasi : 97%

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Thorak : Cor = Bunyi jantung reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo = Retraksi otot pernafasan (+), Suara nafas
bronkovesikuler, Rhonki (+/+), Whezing (-)
Abdomen : distensi, luka op tertutup verban, NT(+),NL(-), BU menurun
Genitalia : I = Uretra/vulva tenang, PPV (-)
Ekstremitas : pitting udem +/+
Urin : 300cc/24jam

Laboratorium tanggal 25-12-2018


Hemoglobin 10,4 gr/dl 12-16
3
Lekosit 12170/mm 5.000-10.000
Trombosit 246.000/mm3 150.000-400.000
Hematokrit 32 % 40-48
Kimia Klinik
Ureum darah 98 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin darah 3,6 mg/dl (nilai kritis) 0,6 – 1,2

Diagnosis :
Penurunan kesadaran ec susp enselopati uremikum + ARDS ec VAP + Sepsis + Post
histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP

36
diluar ai PEB + Bekas Sc 1x + anemia berat perbaikan + Trombositopenia perbaikan
+ Post HD ai AKI stage III ,NH11

Sikap :
 Pantau ketat KU,VS
 Informed concent perburukan
 O2 via NRM 10 L/menit
 IVFD triofusin 20 tpm
 IVFD NaCL 0,9 % 6 jam / kolf
 Inj Meropenem 1x500 mg
 Inj Omeprazol 2x40 mg (IV)
 Infus Parasetamol 3x1 gr (IV)
 Inj metoclopramid 3x10mg

Follow up 25/12.18 Pukul 11.15 WIB (HCU Kebidanan)


S/ : Pasien apnoe
O/ :
Ku : Berat
Kesadaran : koma
TD : tidak terukur
Nd : tidak teraba
Nf : tidak ada usaha bernafas

Mata : Pupil midriasis maksimal kiri dan kanan


Thorak : Cor = Bunyi jantung tidak terdengar
Pulmo = Pergerakan dinding dada (-), Suara nafas (-) Rhonki (-),
Whezing (-)
Ekstremitas : akral dingin

37
Pukul 01.20 WIB
EKG : Kesan asistole

Pukul 01.25 WIB


Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan paramedis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ATONIA UTERI
1. Definisi.
Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/ kontraksi otot
rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.1 Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang
berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat implantasi
plasenta. Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak
ma mpu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah.. Atonia uteri merupakan
penyebab tersering penyebab perdarahan postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari
semuap erdarahan postpartum disebabkan oleh atoni uteri. 5 Sebagaimana kita ketahui
bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit,
sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa
menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja. Atonia uteri
menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock
hypovolemik.1

38
2. Faktor Predisposisi
a. Uterus yang teregang/distensi berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar
(BB > 4000 gram) dan polihidramnion;
b. Kehamilan lewat waktu;
c. Partus lama;
d. Grande multipara;
e. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat);
f. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia );
g. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta);
h. Riwayat perdarahan postpartum;
i. Obesitas;
j. Umur > 35 tahun;
k. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.
l. Persalinan cepat (partus presipitatus).
m. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi).1

3. Etiologi
a. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan difungsi intrinsic uterus
b. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala III dengan
c. dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu mekanisme fisiologis
pelepasan
d. plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang
mengakibatkan perdarahan.
e. Anetesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksas miometrium
yang
f. berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan
perdarahan
g. postpartum.
h. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan
besar akan
i. diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam kala III.
j. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibat
keadaan
k. bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion, cenderung mempunyai daya
l. kontraksi yang jelek.
m. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung
berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang
bertahan terhadap kehilangan darah.

39
n. Grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung
bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
o. Mioma iteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan
retraksi miometrium uteri.
p. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatif seperti
forsep dan versi ekstraksi.1

4. Manajemen Atonia Uteri


a. Manajemen Standar
1) Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas
yang lembut berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian
bawah untuk merangsang uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa
gerakan berulang seperti ini akan merangsang produksi prostaglandin
dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah,
meskipun hal ini akan mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan
menyakitkan.6
2) Kompresi Bimanual
Ada beberapa macam pengertian dari kompresi bimanual,antara lain
sebagai berikut:
Kompresi bimanual adalah suatu tindakan menekan rahim diantara
kedua tangan dengan maksud merangsang rahim untuk berkontraksi
dan mengurangi perdarahan.7
Kompresi bimanual dibagi dalam dua cara yaitu :
a) Kompresi bimanual interna

Gambar 2.1 Kompresi Bimanual Internal


( Sumber : Cunningham 2014)
b) Kompresi bimanual eksterna

40
Gambar 2.2 Kompresi Bimanual Eksterna
( Sumber : Cunningham 2014)
3) Pemberian uterotonika
a) Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi
oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi
uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya
umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis
rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan
frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan
aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter,
jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat
sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain
yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dengan
menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu,
mayoritas wanita dengan atonia uterus dapat menghindari
intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai
dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik
secara intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa
ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasi dari segmen uterus
bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin
mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit),
infus intravena secara kontinu diperlukan untuk menjaga uterus

41
berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan
kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon
(250 ml / jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak
konsentrasi dicapai setelah 30 menit. Sebaliknya, jika
diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih
lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga
60 menit).7
b) Methyl Ergometrin
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi
tonik yang terus menerus melalui stimulasi reseptor α-
adrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian atas
dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk
berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis
standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit.
Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam
plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis
dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon
oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan.7
c) Misoprostol
Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang
mengikat secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3
miometrium, sehingga meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal
ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan
secara
oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan
intrauterin langsung. Pemberian melalui rektal terkait dengan
tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil
efek
samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan
rute oral atau sublingual. Misoprostol oral sebagai agent
profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif
untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan

42
pemberian oksitosin parenteral. Namun, karena kenyataan
bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama yang diperlukan
untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya
menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang
berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan
agen
profilaksis.7

b. Manajemen Bedah
1) Uterine Lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas
ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi
atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam
cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh
menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar. Penggunaan
uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya
adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus. Prinsipnya
adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan
maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi
sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan
antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang
selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi
darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas
operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.7
2) Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah
rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan
segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum
atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan
vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa

43
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum
latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa
uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium,
untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan
kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi
perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian
bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah
rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.8
i. Ligasi arteri iliaka interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter
menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm
pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian
dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna
dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi
bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka
interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis
harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri
iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.8

ii. Teknik B-Lynch


Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”,
ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan
operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum
akibat atonia uteri.8

44
iii. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang
sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang
membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per
10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal. Histerektomi merupakan
tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik
dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah
dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu
efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen
bawah rahim, servix, fornix vagina.9 Dalam tabel 1 dan gambar
1 dijelaskan langkah-langkah penanganan atonia uteri.

Tabel 1. Langkah Penanganan Atonia Uteri

45
46
Gambar 1. Alur Tatalaksana Atonia Uteri

5. Komplikasi Atonia Uteri


a. Syok hemoragik akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami
syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar.
Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan
dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani
dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau
nekrosis tubulus renal dan selanjutnya merusak bagian korteks renal

47
yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan
menyebabkan ibu tidak terselamatkan.7,10
b. Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan
perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah.
Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu
pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga pada asupan
ASI bayi.7
c. Sindrom Sheehan hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari
perdarahan postpartum sampai syok. Sindrom ini disebabkan karena
hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis pars
anterior. Gejala-gejalanya ialah hipotensi, anemia, turunnya berat
badana sampai menimbulkn kakeksia, penurunana fungsi seksual
dengan atrifi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi..7,10
d. Koagulopati intravaskuler diseminata akut (sampai 1-2 hari) terjadi
penggumpalan darah dalam waktu singkat. Hal ini mengakibatkan
sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen
dan faktor pembekuan lain (I sampai XII) dipergunakan dalam proses
penggumpalan tersebut. Oleh karena itu, keadaan ini disebut juga
koagulopati konsumtif. Kesemuanya ini berakibat terjadinya
perdarahan dari yang ringan sampai berat sehingga prognosis pasien
menjadi buruk. Penyebab keadaan ini diawali dengan pembekuan
darah yang berlebihan. Tubuh akan mengaktivasi antiplasmin untuk
menghancurkan produk pembekuan tersebut hingga jumlah faktor
pembekuan berkurang dan malah terjadi perdarahan yang berlebihan
e. Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI
saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan
blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun, meskipun
terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum

48
kreatinin dapat. Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari
kriteria berikut terpenuhi :
- Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam
waktu 48 jam atau
- Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
- Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut mewakili
tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke
deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal.11,12
Tatalaksana AKI Prerenal yaitu komposisi cairan pengganti untuk
pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai
dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat
perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline
isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai sedang
perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi
namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%)
biasanya direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan
GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau
gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam
kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran
volume dan isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan
status asam-basa harus dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung
mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif,
preload dan afterload mengurangi agen, obat asntiaritmia, dan alat bantu
mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi
pada pasien
yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit. 13, 14
B. AKUT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)

49
Akut Respiratory Distress Syndrom (ARDS) atau Sindrom Gangguan
Pernapasan Akut adalah suatu kondisi di mana paru-paru menderita cedera berat yang
meluas, menghalangi kemampuannya untuk mengambil oksigen.15
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut
yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.3
Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai
kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena peningkatan tekanan
kapiler paru. Bentuk yang lebih ringan dari ARDS disebut ALI karena ALI
merupakan prekursor ARDS. 15
American European Concencus Conference Comittee(AECC)
merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri
dari empat komponen di bawah ini (dapat dilihat pada tabel 1).16

Tabel 2. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus


Conference Committee (AECC)

Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom.4,5 Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis
menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%. Aspirasi cairan lambung menduduki
tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan
pH<2,5 akan menyebabkan penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru

50
dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar. Faktor risiko penyebab ARDS
dapat dilihat pada tabel 2.16
Tabel 3. Faktor risiko klinik ARDS

Penyebab ARDS bisa langsung, dengan agen infeksius mencapai paru-paru


melalui saluran udara atau dengan trauma di dada, atau tidak langsung dengan agen
infrksius yang tiba di paru-paru melalui aliran darah. Area yang terkena dampak pada
ARDS adalah alveoli (kantung udara), tempat oksigen masuk ke dalam darah dan
karbon dioksida yang meninggalkannya (pertukaran gas). Dinding tipis antara darah
dan udara terdiri dari kapiler darah dan dinding alveolar (alveolar-membran kapiler).
Membran alveolar-kapiler sangat halus, kurang dari 0,5 mikrometer di segmen
tertipis di mana tempat terjadinya pertukaran gas. Pada ARDS, baik sel kapiler dan
alveolar terluka, apakah itu terjadi saat proses langsung atau tidak langsung. Cedera
pada membran ini memungkinkan cairan tumpah ke paru-paru, sehingga menghambat
atau mencegah pertukaran gas. Demikianlah paru-paru menerima beban penuh dari

51
sitokin yang merusak dan molekul lainnya. Kebocoran cairan melalui alveolar -
membran kapiler dan alveoli yang tergenang mengganggu oksigenasi dan
menyebabkan sesak napas dan gangguan pernapasan. Alveolar yang tergenang cairan
bercampur dengan surfaktan paru normal dan dapat mengganggu kestabilan alveoli,
mengakibatkan mereka rusak dan akibatnya tidak bisa digunakan untuk bernafas.16
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh
atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang
menjadi faktor risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya
ronkhi kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak
respons dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian
besar kasus disertai dengan mutiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang
umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan saluran cerna
seperti perdarahan saluran cerna.17
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium:
 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia
(pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada
proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.

52
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel, peningkatan
kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab ARDSnya)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular disseminata
yang merupakan bagian dari MODS.1
Pemeriksaan radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan
lapangan paru yang relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak
bayangan radio-opak yang difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial
berikutnya tampak gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran
jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal
paru (foto supine).17
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi
pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome (MODS)
meliputi 1:
 Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
 Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma,
infeksi nosokomial atau toksisitas oksigen.
 Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ
dengan cara meminimalkan angka metabolik.
 Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan
tubuh.
 Dukungan nutrisi.

Tatalaksana pasien ARDS terdiri dari pengobatan yang tepat dari penyakit
yang mendasarinya atau penyebabnya, perawatan suportif yang sangat baik, dan
pencegahan komplikasi. Perawatan yang tepat dari infeksi yang mendasarinya sangat
penting yaitu terdiri identifikasi organisme penyebab sebaik mungkin serta pemberian
antibiotik. Ventilasi mekanik adalah komponen kunci dari perawatan suportif yang
baik. Ventilator harus diatur untuk memberikan udara yang cukup untuk memastikan

53
kadar oksigen pasien dapat tercukupi. Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP)
diterapkan untuk menjaga alveoli terbuka, dan sejumlah penyesuaian lainnya dibuat
mempertahankan nyawa pasien tnpa melukai paru ataupun organ tubuh lainnya.
Penggunaan udara kecil dari ventilator untuk menghindari cedera lebih lanjut.17
Namun jg perlu diingat penggunaan ventilasi mekanis yang lama dapat
menyebabkan cedera lebih lanjut pada paru-paru pasien yang sudah terkena ARDS.
Kadang-kadang cedera paru-yang diinduksi ventilator ini dapat menyebabkan
kerusakan yang lebih buruk dan lebih permanen daripada yang dihasilkan oleh ARDS
sendiri.17
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat terbatas.
Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang
bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih kontroversi. Studi
review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan manfaat penggunaan
surfaktan pada ARDS dewasa.17
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized
controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid sedini
mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti
methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu
ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan
ventilator dalam hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak terbukti
menurunkan angka mortalitas.13
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin dapat
menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan menurunkan
impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan oksigenasi dengan
iNO. Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak aditif pada perbaikan
oksigenasi. Sementara pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit
ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS.14

C. Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)

54
Pneumonia terkait ventilator (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang
terjadi 48-72 jam atau segera setelah intubasi endotrakeal, yang ditandai dengan
keberadaan infiltrat baru atau terjadinya perkembangan infiltrat, tanda infeksi
sistemik (demam, perubahan hitung sel darah putih), perubahan pada karakteristik
sputum, dan deteksi agen penyebab.18 VAP berkontribusi terhadap sekitar separuh dari
semua kasus pneumonia yang terjadi di rumah sakit (hospital-acquired pneumonia).
VAP diperkirakan terjadi pada 9-27% dari semua pasien dengan ventilasi mekanik,
dengan resiko tertinggi berada pada periode awal masa rawat inap. 18,19 Ini adalah
infeksi nosokomial kedua terbanyak di unit perawatan intensif (ICU) dan yang paling
umum pada pasien dengan ventilasi mekanik .18,20 Angka VAP berkisar dari 1.2
hingga 8.5 per 1,000 hari ventilator dan bergantung pada definisi yang digunakan
untuk diagnosis . Resiko untuk VAP yang paling besar adalah selama 5 hari pertama
ventilasi mekanik (3%) dengan rerata durasi antara intubasi dan terbentuknya VAP
sebesar 3.3 hari 16,21 Resiko ini menurun menjadi 2 %/hari antara hari ke 5 hingga 10
ventilasi, dan 1 %/hari setelahnya.16,21 Studi terdahulu menempatkan mortalitas terkait
untuk VAP di antara 33-50%, namun angka ini bervariasi dan sangat bergantung pada
penyakit medis yang mendasari.16 Selama bertahun-tahun, resiko kematian terkait ini
telah berkurang dan baru-baru ini diperkirakan sebesar 9-13% secara utama karena
implementasi strategi preventif. Sekitar 50% dari semua antibiotik yang diberikan di
ICU adalah untuk penanganan VAP.17 VAP onset dini didefinisikan sebagai
pneumonia yang terjadi dalam 4 hari dan ini biasanya disebabkan oleh patogen yang
sensitif terhadap antibiotik dimana VAP onset lambat lebih cenderung disebabkan
oleh bakteri resisten obat multipel (MDR) dan muncul setelah 4 hari intubasi. 16 Maka,
VAP memiliki implikasi yang serius pada pasien dewasa dengan intubasi secara
endotrakeal di ICU di seluruh dunia dan menyebabkan peningkatan hasil akhir
negatif dan biaya perawatan.
Interaksi kompleks antara selang endotrakeal, keberadaan faktor resiko,
virulensi dari bakteri yang menginvasi dan imunitas inang secara utama menentukan
perkembangan dari VAP. Keberadaan selang endotrakeal sejauh ini adalah faktor
resiko yang paling penting, yang menyebabkan gangguan dari mekanisme pertahanan

55
alami (refleks batuk dari glottis dan laring) terhadap mikroaspirasi di sekitar balon
dari selang.17,22 Bakteri infeksius mendapat akses langsung ke saluran respirasi bawah
melalui: (1) mikroaspirasi, yang dapat terjadi selama intubasi itu sendiri; (2)
perkembangan biofilm yang kaya akan bakteri (biasanya bakteri Gram-negatif dan
fungi) dalam selang endotrakeal; (3) menumpuk dan mengalirnya sekresi di sekitar
balon; dan (4) gangguan klirens sekret mukosiliaris pada aliran lendir yang
bergantung pada gravitasi dalam jalan nafas. 22 Bahan patogenik juga dapat
menumpuk di struktur anatomi sekitar, seperti lambung, sinus, nasofaring dan
orofaring, dengan penggantian flora normal dengan galur yang lebih virulen.17,23
Bahan yang kaya bakteri ini juga secara konstan terdorong maju oleh tekanan positif
yang diberikan dari ventilator.
Secara umum, bakteri yang menyebabkan VAP onset dini meliputi
Streptococcus pneumoniae (dan juga spesies streptokokus lain), Hemophilus
influenzae, methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), basilus enterik
Gram-negatif yang sensitif antibiotik, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, spesies
Enterobacter, spesies Proteus dan Serratia marcescens. Penyebab dari VAP lambat
secara umum adalah bakteri MDR, seperti methicillin-resistant S. aureus (MRSA),
Acinobacter, Pseudomonas aeruginosa, dan bakteri penghasil rantai beta laktamase
spektrum luas (ESBL).17 Prevalensi pasti dari organisme MDR bervariasi antar
institusi dan juga dalam satu institusi.18 Pasien dengan riwayat rawat inap selama ≥ 2
hari dalam 90 hari terakhir, residen rumah sakit, pasien yang mendapat kemoterapi
atau antibiotik dalam 30 hari terakhir dan pasien yang menjalani hemodialisis pada
pusat rawat jalan cukup rentan terhadap bakteri yang resisten terhadap obat.16,17
Bakteri yang umum ditemukan di orofaring dapat mencapai jumlah yang signifikan
secara klinis pada jalan nafas bagian bawah. Bakteri ini termasuk Streptococcus
viridans, Corynebacterium, coagulase-negative staphylococcus (CNS) dan spesies
Neisseria. Seringkali, VAP disebabkan oleh infeksi polimikroba. VAP dari penyebab
fungal dan viral memiliki insiden yang sangat kecil, khususnya pada inang yang
imunokompeten.16

56
Saat ini, tidak ada kriteria diagnosis baku emas yang diterima secara universal
untuk VAP. Evaluasi harian di ruang rawat inap secara bersama-sama dengan foto
polos dada hanya dapat menyarankan keberadaan atau tidak adanya VAP, namun
tidak mendefinisikan hal tersebut.24 Johanson et al. mendeskripsikan kriteria klinis
untuk diagnosis VAP sebagai berikut25 : skor infeksi pulmonal klinis (CPIS)
memperhitungkan bukti klinis, fisiologis, mikrobiologis dan radiografi untuk
memungkinkan nilai numeik untuk memprediksi keberadaan atau tidak adanya VAP
(Tabel 4)24 Meski popularitas klinis dari CPIS, debat terus berlangsung mengenai
validitas diagnostiknya
Tabel 4. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)
Parameter yang dinilai Hasil Skor
Temperatur (oCelcius) 36.5-38.4 oC 0
38.5-38.9 oC 1
≤ 36 atau ≥ 39 oC 2
Leukosit pada darah 4,000-11,000/mm3 0
(sel/mm3) < 4,000 atau > 11,000/mm3 1
≥ 500 sel Band 2
Sekret trakeal (skala visual Tidak ada 0
subyektif) Ringan/non-purulen 1
Purulen 2
Temuan radiografi (pada Tanpa infiltrate 0
foto polos dada, Infiltrat difus/bercak 1
mengeksklusi CHF dan Infiltrat terlokalisir 2
ARDS)
Hasil kultur (aspirat Tidak ada atau pertumbuhan ringan 0
endotrakeal) Pertumbuhan sedang atau pesat 1
Pertumbuhan sedang atau pesat DAN patogen 2
konsisten dengan pengecatan Gram
Status oksigenasi > 240 atau ARDS 0
(didefinisikan oleh ≤ 240 dan tidak ada ARDS 2
PaO2:FiO2)
ARDS: acute respiratory distress syndrome; CHF: congestive heart failure

Satu meta-analisis dari 13 studi yang mengevaluasi keakuratan dari CPIS dalam
mendiagnosis VAP melaporkan estimasi gabungan untuk sensitivitas dan spesifisitas
dari CPIS sebesar 65 % (95 % CI 61-69 %) dan 64 % (95 % CI 60-67 %), secara

57
berturut-turut.26 Meski kalkulasi yang tampak langsung, variabilitas antar pengamat
dalam kalkulasi CPIS tetap cukup substansial, yang mengancam penggunaan rutinnya
dalam uji klinis.27 Dari semua kriteria yang digunakan untuk menghitung CPIS, hanya
perubahan yang bergantung pada waktu pada rasio PaO 2/FiO2 pada awal VAP dapat
memberikan sedikit kekuatan prediktif untuk hasil akhir VAP pada uji klinis, yaitu
kegagalan klinis dan mortalitas.28 Namun, penelitian uji oleh Singh dan kolega
menunjukkan bahwa CPIS adalah alat klinis yang efektif untuk menentukan apakah
perlu menghentikan atau melanjutkan antibiotik selama lebih dari 3 hari. Dalam studi
itu, antibiotik dihentikan pada hari ketiga untuk pasien yang telah diacak dan
mendapat ciprofloksasin daripada perawatan standar, bila CPIS mereka tetap ≤ 6.
Pada meta-analisis oleh Klompas, keberadaan atau tidak adanya demam, peningkatan
hitung sel darah putih, atau sekresi purulen tidak secara substansial memprediksi
kemungkinan infeksi; namun, tidak adanya infiltrat baru pada foto polos dada
menurunkan kemungkinan.22 VAP harus dibedakan dari trakeo-bronkitis. Ciri klinis
dari penyakit ini dapat saling tumpang tindih, namun hanya VAP yang akan
menunjukkan keberadaan hipoksia dan keberadaan infiltrat/konsolidasi pada foto
polos dada.
Pemilihan antibiotik yang tepat bergantung pada durasi ventilasi mekanik. VAP onset
lambat (> 4 hari) memerlukan antibiotik spektrum luas sedangkan onset dini (≤ 4
hari) dapat ditangani dengan antibiotik spektrum terbatas. Pembaruan antibiogram
lokal untuk tiap rumah sakit dan tiap ICU berdasarkan pada peta bakteriologis lokal
dan kerentanan bakteri adalah penting untuk menuntun terapi empiris awal dengan
dosis optimal.16 Pada berbagai regimen antibiotik empiris, de-eskalasi adalah kunci
untuk mereduksi kemunculan resistensi.29 Penundaan dalam inisiasi terapi antibiotik
16
dapat menyebabkan resiko mortalitas yang lebih tinggi pada VAP. Tabel 5
menyoroti rekomendasi regimen terapi untuk VAP. Karena angka resistensi ayng
tinggi terhadap monoterapi yang teramati pada P. aeruginosa, terapi kombinasi selalu
direkomendasikan. Spesies asinobakter berespon paling baik terhadap karbapenem
(juga aktif terhadap Enterobactericeae yang memiliki ESBL positif), colistin,
polimiksin B dan ampisilin/sulbaktam.30,31 Meski organisme MDR biasanya

58
berhubungan dengan VAP onset lambat, bukti terbaru juga menyarankan bahwa
mereka semakin berhubungan dengan VAP onset dini.31,32 Durasi umum untuk terapi
untuk VAP onset dini adalah 8 hari dan lebih lama pada kasus VAP onset lambat atau
bila organisme MDR dicurigai atau diidentifikasi.33
Meski pemberian terapi, bila tidak ada respon yang teramati, mungkin perlu
untuk mempertimbangkan kembali diagnosis, menilai kembali organisme yang
diterapi atau mencari penyebab lain untuk tanda dan gejala. Karena tantangan terkait
dengan diagnosis VAP, khususnya di awal perjalanan penyakit, pedoman IDSA/ATS
menyoroti pentingnya penilaian kembali pasien pada 48-72 jam setelah data terkait
tersedia untuk menentukan apakah pasien harus melanjutkan terapi antibiotik untuk
VAP atau apakah diagnosis alternatif harus diperiksa.18

Tabel 5 Perbandingan rekomendasi terapi empiris awal untuk pneumonia


terkait ventilator (VAP) berdasarkan waktu onset
VAP onset dini VAP onset lambat
Sefalosporin generasi kedua atau Sefalosporin
ketiga: misal seftriakson 2g tiap hari; misal, cefepim 1-2g tiap 8 jam;
cefuroxime 1.5g tiap 8 jam; ceftazidime 2g tiap 8 jam
cefotaxime 2g tiap 8 jam ATAU
ATAU Carbapenem
Fluoroquinolon misal imipenem + cilastin 500 mg tiap
misal, levofloxacin 750 mg tiap hari; 6 jam atau 1g tiap 8 jam; meropenem
moxifloxacin 400 mg tiap hari 1g tiap 8 jam
ATAU ATAU
Aminopenisilin + beta-lactamase Beta-lactam/beta-lactamase inhibitor
inhibitor misal ampicilin+sulbactam misal piperacilin+tazobactam 4.5g tiap
3g tiap 8 jam 6 jam
ATAU PLUS
Ertapenem 1g tiap hari Aminoglikoside
misal amikasin 20mg/kg/hari;
gentamisin 7mg/kg/hari; tobramisin
7mg/kg/hari
ATAU
Fluoroquinolon antipseudomonal
misal ciprofloxacin 400mg tiap 8 jam;
levofloxacin 750 mg tiap hari

59
PLUS
Cakupan terhadap MRSA
misal vancomycin 15 mg/kg tiap 12
jam
ATAU
linezolid 600 mg tiap 12 jam
Dosis optimal termasuk penyesuaian untuk kegagalan hepatik dan renal. Dosis
terendah untuk vancomycin (15–20 mcg/ml), amikacin (< 5 mcg/ml), gentamicin
(< 1 mcg/ml) dan tobramycin (< 1 mcg/ml) harus diukur secara berkala untuk
menghindari efek samping sistemik yang tidak diinginkan. Semua dosis
rekomendasi adalah untuk infus intravena. Durasi terapi biasanya adalah 8 hari
kecuali terapi adalah untuk organisme resisten obat multipel, dimana terapi kasus
adalah selama 14 hari.

D. Acute Kidney Injury (AKI)


Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Evaluasi dan manajemen awal pasien
dengan cedera ginjal akut (AKI) harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab
yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis
termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-
langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah
memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien
dengan AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-
renal.34
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi35 :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam
waktu 48 jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

60
Tabel 6 . Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007

Tabel 7 .Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN

Adapun faktor resiko terjadi nya AKI antara lain :


 Sepsis

61
 Penyakit kritis
 Syok sirkulasi
 Dehidrasi dan deplesi cairan
 Luka Bakar
 Trauma
 Operasi jantung
 Operasi major non kardiak
 Obat Nefrotoksik
 Agen radiokontras

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI)36 :
1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi
mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal
atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari
ginjal.

2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)


Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik
dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya yaitu
peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi regional yang dapat menyebabkan
nekrosis tubular akut (NTA). Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di
negara berkembang. Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak
terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps
hemodinamik yang memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury
berhubungan secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris
tubular dan cast pada urin.

3. Obstruksi renal akut (post renal)


- Bladder outlet obstruction (post renal)

62
- Batu, trombus atau tumor di ureter

Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini,
tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau
nefrotoksisitas.37 Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan
hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari gejala tambahan, dan
pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari
AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari. Pada dasarnya tata laksana AKI
sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. 36 Jika
ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang
dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien
jatuh pada tahap AKI berikutnya.33 Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi
obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan
asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit
cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan
cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi
secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum.35
Adapun kriteria untuk memulai terapi pengganti ginal pada pasien kritis dengan
gangguan ginal akut adalah36:
- Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12 jam
- Anuria : produksi urin < 50 ml dalam 12 jam
- Hiperkalemia : Kadar potassium > 6.5 mmol/L
- Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0
- Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L
- Ensefalopati uremikum
- Neuropati / miopati uremikum
- Pericarditis uremikum
- Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau <12 mmol/L

63
- Hipertermia
- Keracunan obat

BAB IV
DISKUSI

Pada makalah ini dibahas kasus kematian seorang wanita usia 36 tahun yang
didiagnosa dengan Penurunan kesadaran ec susp ensefalopati uremikum + ARDS ec
VAP + Sepsis + Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada
P3A0H3 post SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC1x + anemia berat perbaikan +
Trombositopenia perbaikan + Post HD ai AKI rifle stage III
Awalnya yang lalu pasien menjalani operasi cesar di RS Swasta di Padang
untuk melahirkan anak ke 3 atas indikasi PEB + bekas SC 1x. Setelah dipindahkan ke
ruang rawatan pasien mengalami perdarahan post partum,dan mengalami syok.
Karena terjadi perdarahan berulang maka pasien dirujuk ke RSUP M Djamil Padang.
Saat di RSUP M Djamil dilakukan histerektomi supravaginal atas indikasi atoni uteri.
Perawatan post op dilakukan di ICU dengan terpasang ventilator karena pasien

64
didiagnosa Post histerektomi supravaginal a.i Early HPP ec Atonia uteri pada
P3A0H3 post SCTPP diluar ai PEB + Bekas SC 1x + anemia berat dalam perbaikan +
Trombositopenia + hipoalbuminemia + Respiratory disorder. Selama perawatan di
ICU didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium Ureum dan creatinin darah
mengalami peningkatan, yaitu Ur 74mg/dl, Cr 4,5 mg/dl, dan Procalsitonin 4,34
( High risk to severe sepsis). Pasien dikonsul ke bagian penyakit dalam dan belum
terdapat indikasi untuk dilakukan HD. Dari hasil pemeriksaan kultur dan sensitivity
test juga didapatkan hasil kultur Sputum : Klebsiella pneumoniae ssp pneumoiae
(sensitif terhadap Meropenem, Amikasin, Gentamicin, Ciprofloksaxin, dan
Trimethoprim), Darah : Staphylococcus hominis ssp hominis (sensitif terhadap
Gentamicin, Vancomycin, Tetracycline, Rifampicin dan Trimethoprim), dan Urine :
Enterobacter cloacae complex (sensistif terhadap Meropenem, Amikasin, dan
Trimethoprim).
Setelah dirawat 6 hari di ICU, pasien kemudian dipindahkan ke rawatan HCU
Kebidanan. 1 hari setelah dipindahkan pasien mengalamii penurunan kesadaran
disertai sesak. Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran sopor, TD 140/90
mmHg, Nd 110x/mnt, Nf 32x/mnt dengan ronkhi, hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar ureum darah 131 mg/dl, creatinin 7,4 mg/dl, AGD kesan asidosis
metabolik. Pasien dianjurkan HD dari bagian penyakit dalam. Dari bagian paru
pasien di diagnosa dengan Akut respiratori distres sindrom (ARDS) ec Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) + sepsis + post histerektomi + AKI stage III +
hipertensi stage II. Setelah HD pertama, didapatkan kadar ureum darah turun menjadi
98 mg/dl, creatinin darah 3,6mg/dl.
Satu hari setelah HD keadaan pasien makin buruk dan sesak. Pasien apnoe pukul
11.15WIB di ruang HCU Kebidanan.
Sebagai panduan agar pembahasan sesuai keilmuan yang komprehensif secara
akademis maka akan didiskusikan beberapa hal sebagai berikut : Apakah diagnosa
pada pasien ini sudah tepat dan apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

Apakah diagnosa pada pasien diatas sudah tepat?

65
Penegakan diagnosa saat awal yaitu Penurunan kesadaran ec Syok
Hipovolemik ec Early HPP ec Atonia uteri pada P3A0H3 post SCTPP diluar ai bekas
SC 1x + PEB dirasakan sudah tepat. Dari anamnesa didapatkan riwayat post SC
kurang dari 24 jam dengan perdarahan pervaginam dan syok berulang. Dari
pemeriksaan awal masuk didapatkan kesadaran somnolen, TD 70/50mmHg, Nd
130x/mnt.kontraksi uterus lemah.
Hanya saja penegakan diagnosa komplikasi yang kemudian muncul saat
perawatan pasien dirasakan terlambat dan kurang tepat. Diagnosa respiratory disorder
saat masuk mungkin bisa dipikirkan ke arah diagnosa ARDS (Acute Respiratory
Distres Syndrom). Dimana ARDS memberikan andanya adalah takipnea, retraksi
intercostal, adanya ronkhi kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau
sianosis yang tidak respons dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi
dan febris. Sebagian besar kasus disertai dengan mutiple organ dysfunction syndrome
(MODS) yang umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan
saluran cerna seperti perdarahan saluran cerna.
Penegakan diagnosa AKI pasien ini sudah memenuhi kriteria dimana telah
terjadi peningkatan kadar erum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai
referensi, yang diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu.
Penegakan diagnosa VAP pada pasien ini dirasakan sudah tepat, hanya saja
penegakan diagnosa VAP dirasakan terlambat. Pneumonia terkait ventilator (VAP)
didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48-72 jam atau segera setelah intubasi
endotrakeal, yang ditandai dengan keberadaan infiltrat baru atau terjadinya
perkembangan infiltrat, tanda infeksi sistemik (demam, perubahan hitung sel darah
putih), perubahan pada karakteristik sputum, dan deteksi agen penyebab. Hasil kultur
Sputum menunjukan Klebsiella pneumoniae ssp pneumoiae.

Bagaimana penatalaksanaan kasus ini?

Penatalksanaan pasien ini berupa tindakan life saving histerektomi


supravgainal dirasakan sudah tepat, diindikasikan oleh perdarahan pervaginam

66
berulang dan syok hipovolemik yang diakibatkan oleh atonia uteri. Namun karena
perdarahan telah terjadi berulang dan cukup lama maka muncul komplikasi-
komplikasi lain pada pasien ini, sepertri ARDS dan AKI. Penggunaan ventilator juga
merupakan salah satu factor resiko terjadinya ARDS. Penegakan diagnosa AKI stage
III dan indikasi hemodialisa lebih cepat pada pasien ini juga harus perlu
dipertimbangkan dari awal.

BAB V
KESIMPULAN

1. Penegakan diagnosa pasien ini sudah tepat tapi ada keterlambatan .


2. Penatalaksanaan pasien ini kurang adekuat.
3. Penyebab kematian pada pasien ini adalah MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome)
4. Diperlukan kerjasama yang baik antar bagian Obgyn, ICU, Penyakit dalam
dan bagian Paru untuk menatalaksana pasien ini.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Karkata MK, editor. Perdarahan Paskapersalinan (PPP). Jakarta : PT. Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009.
2. Mehta, RL, Kellum, JA, Shah, SV, et al. Acute kidney injury network: Report of
an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Crit Care 2007; 11:R31.
3. Ariano RE. Acute respiratory distress syndrome. Acute respiratory distress
syndrome. Intensive Care Med. 2004.30:51-61.
4. C ook DJ, Walter SD, Cook RJ, Grifth LE, Guyatt GH, Leasa D, Jaeschke RZ,
Brun-Buisson C: Incidence of and risk factors for ventilator-associated
pneumonia in critically ill patients. Ann Int Med 1998, 129:433–440.
5. Depkes RI. 2007. Keputusan Mentri Kesehatan RI No :
900/MENKES/VII/2007.Konsep Asuhan Kebidanan. Jakarta
6. Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA, 2008.”Uterine massage for
preventing postpartum haemorrhage (Review)” In : The Cochrane Library, Issue
3.
7. Cunningham,dkk. 2014. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Jakarta : EGC

68
8. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and
Management of postpartum Haemorrhage, No. 88, April 2000.
9. Cynthia S. Shellhaas. Complication Rates of Hysterectomy Accompanying
Cesarean Delivery. Obstetrics & Gynecology 2009. 114(2):224-229
10. Purandare CN. Urological injuries in gynecology. J Obstet Gynecol India 2007;
57(3): 203-204
11. Hau F, Gonçalves DM, Marc CS. Ureter: How to Avoid Injuries in Various
Hysterectomy Techniques. Chapter 18.
12. Bilge Y. Diagnostic Neglect Regarding Ureter Ligation After Hysterectomy. Turk
J Med Sci 2007; 37 (4): 239-242
13. Tanaka Y, et al. Ureteral catheter placement for prevention of ureteral injury
during laparoscopic hysterectomy. J. Obstet. Gynaecol. Res.2008; 34(1): 67–72
14. Jha S, Coomarasamy A, Chan KK. Ureteric injury in obstetric and
gynaecological surgery. The Obstetrician & Gynaecologist 2004;6:203–208
15. Saguil A& Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2012
16. Koh Y. Update in acute respiratory distress syndrome. Journal of Intensive Care.
2014
17. Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK
UI; 2009. Hal: 4072-4079. 6
18. A merican Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America: Guidelines
for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and
healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005, 171:388–
416.
19. H unter JD: Ventilator associated pneumonia. BMJ 2012, 344(e3325):e3325.
20. A fshari A, Pagani L, Harbarth S: Year in review 2011: Critical care – infection.
Crit Care 2012, 16:242–247.
21. R ello J, Ollendorf D, Oster G, Vera-Llonch M, Bellm L, Redman R, Kollef MH,
VAP Outcomes Scientif c Advisory Group: Epidemiology and outcomes of

69
ventilator-associated pneumonia in a large US database. Chest 2002, 122:2115–
2121.
22. Z olfaghari PS, Wyncoll DL: The tracheal tube: gateway to ventilatorassociated
pneumonia. Crit Care 2011, 15:310–317
23. G rgurich PE, Hudcova J, Lei Y, Sarwar A, Craven DE: Diagnosis of
ventilatorassociated pneumonia: controversies and working toward a gold
standard. Curr Opin Infect Dis 2013, 26:140–150.
24. K lompas M: Clinician’s Corner: Does this patient have ventilator-associated
pneumonia? JAMA 2013, 297:1583–1593
25. Johanson WG, Pierce AK, Sanford JP, Thomas GD: Nosocomial respiratory
infections with gram-negative bacilli. The signifcance of colonization of the
respiratory tract. Ann Int Med 1972, 77:701–706.
26. . Sha n J, Chen HL, Zhu JH: Diagnostic accuracy of clinical pulmonary infection
score for ventilator-associated pneumonia: a meta-analysis. Respir Care 2011,
56:1087–1094.
27. . Zil berberg MD, Shorr AF: Ventilator-associated pneumonia: the clinical
pulmonary infection score as a surrogate for diagnostics and outcome. Clin Infect
Dis 2010, 1:S131–S135.
28. Sho rr AF, Cook D, Jiang X, Muscedere J, Heyland D: Correlates of clinical
failure in ventilator-associated pneumonia: insights from a large, randomized
trial. J Crit Care 2008, 23:64–73.
29. Mast erton RG: Antibiotic de-escalation. Crit Care Clin 2011, 27:149–162.
30. Muno z-Price LS, Weinstein RA: Acinetobacter Infection. N Engl J Med 2008,
358:1271–1281.
31. Mart in-Loeches I, Deja M, Koulenti D, Dimopoulos G, Marsh B, Torres A,
Niderman MS, Rello J, EU-VAP Study Investigators: Potentially resistant
microorganisms in intubated patients with hospital-acquired pneumonia: the
interaction of ecology, shock and risk factors. Intensive Care Med 2013, 39:672–
681.
32. Pasq uale TR, Jabrocki B, Salstrom SJ, Wiemken TL, Peyrani P, Hague NZ,
Scerpella EG, Ford KD, Zervos MJ, Ramirez JA, File TM Jr, IMPACT-HAP
Study Group: Emergence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus USA300
genotype as a major cause of late-onset nosocomial pneumonia in intensive care
patients in the USA. Int J Infect Dis 2013, 17:e398–e403

70
33. Cape llier G, Mockly H, Charpentier C, Annane D, Blasco G, Desmettre T, Roch
A, Faisy C, Cousson J, Limat S, Mercier M, Papazian L: Early-onset
ventilatorassociated pneumonia in adults randomized clinical trial: comparison of
8 versus 15 days of antibiotic treatment. PloS one 2012, 7:e41290.
34. Hilton R. Acute Renal Failure. BMJ 2006; 333:786-790
35. Liu, KD, Himmelfarb, J, Paganini, E, et al. Timing of initiation of dialysis in
critically ill patients with acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol 2006;
1:915.
36. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012.
Vol.2. 19-36
37. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York:28 McGraw-Hill, Inc; 2005

71

Anda mungkin juga menyukai