Anda di halaman 1dari 30

2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan menempati presentase tertinggi penyebab kematian ibu sebanyak
28%. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10-60 %.
Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca
persalinan, namun selanjutnya akan mengalami kekurangan darah yang berat
(anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan
(WHO 2017).
Berdasarkan data survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2014 untuk angka kematian ibu mengalami peningkatan yang signifikan dari 228
per 100.000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes,
2015)
Pada tahun 2014 perdarahan yaitu terutama perdarahan post partum
menyebabkan kematian ibu sebanya 30,3% di Indonesia. Selain perdarahan
penyebab kematian ibu tertinggi lainnya adalah hipertensi dalam kehamilan,
infeksi, partus lama dan abortus. (Kemenkes RI, 2015)
Angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi mengingat target SDGs
(Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 mengurangi angka kematian ibu
hingga dibawah 70 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2015). Sedangkan
berdasarkan RPJMN ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah ) 2015-2019,
target angka kematian ibu pada tahun 2019 yaitu 306 per 100.000 kelahiran hidup
(BAPPENAS, 2014)
Di Jawa Barat, angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu maternal yang terlaporkan
sebanyak 799 orang ( 84,78 per 100.000 kelahiran hidup) dengan proporsi kematian
3

dengan jumlah kematian akibat perdarahan post partum sebanyak 380 orang (40,32
per 100.000 kelahiran hidup). (Profil Kesehatan 2016)
Di kota bandung angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat perdarahan post
partum yang terlaporkan sebanyak 61,34 per 170.000 kelahiran hidup. (Profil
Kesehatan 2016)
Di kota cimahi angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat perdarahan post
partum yang terlaporkan sebanyak 77,36 per 170.000 kelahiran hidup. (Profil
Kesehatan 2016)
Di kabupaten bandung barat angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin
profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat
perdarahan post partum yang terlaporkan sebanyak 105,5 per 170.000 kelahiran
hidup. (Profil Kesehatan 2016)
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu
penyebab kematian ibu melahirkan. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu
melahirkan adalah perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan,
hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Haemoragic Post Partum (HPP)
adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya
bayi . (Williams, 1998)
Penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder adalah
grandemultipara yaitu jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan yang
dilakukan dengan tindakan, pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan
persalinan oleh dukun, persalinan dengan tindakan paksa, persalinan dengan
narkosa. (Ai, 2014)
Penyebab utama perdarahan post partum primer yaitu atonia uteri (50-60%),
retensio plasenta (16-17%), sisa plasenta (23-24%), laserasi jalan lahir (4-5%).
Perdarahan post partum primer adalah yang terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebabnya adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan
4

lahir, terbanyak dalam 2 jam pertama pasca persalinan. Perdarahan postpartum


sekunder yaitu perdarahan post partum yang terjadi setelah 24 jam pertama.
Penyebabnya adalah robekan jalan lahir, dan sisa plasenta. (Ai, 2014)
Peran bidan dalam perdarahan postpartum ini adalah upaya kesehatan preventif
atau upaya pencegahan. Deteksi dini pada masa kehamilan diantaranya
memberikan tablet FE pada ibu selama masa kehamilan, memberikan konseling
pada ibu dan keluarga bagaimana cara mencegah perdarahan post partum dengan
menjaga asupan gizi yang baik seimbang, cara pengolahan bahan makanan yang
baik dan mencukupi asupan gizi pada ibu serta rajin mengonsumsi tablet FE selama
kehamilan.
5

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 PENDARAHAN POST PARTUM

2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih


setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000). Fase dalam
persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai
penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap
sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III
persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran
plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin,
2002).
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun
merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga
berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan
wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).

2.1.2. Patofisiologi Perdarahan Pasca Persalinan


Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum
sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu
uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian
pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti.
Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian
menjadi faktor utama penyebab perdarahan pasca persalinan. 9 Universitas Sumatera
6

Utara Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina
dan perineum (Muhaj, 2009).

Diagnosis yang dapat ditegakkan terhadap perdarahan pasca persalinan ditandai


dengan :

a. Perdarahan banyak yang terus-menerus setelah bayi lahir.


b. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan
darah, nadi, dan napas cepat, pucat, ekstremitas dingin sampai terjadi syok.
c. Perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau
laserasi jalan lahir.
d. Perdarahan setelah plasenta lahir. Perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri,
sisa plasenta, atau trauma jalan lahir.
e. Riwayat partus lama, partus presipitatus, perdarahan antepartum atau penyebab
lain (Mansjoer, 1999).

Perdarahan pasca persalinan juga dapat disertai dengan komplikasi disamping


dapat menyebabkan kematian. Perdarahan pasca persalinan memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan tubuh penderita berkurang.
Perdarahan banyak, kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis
pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-
gejalanya adalah astenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi,
amenorea, dan kehilangan fungsi laktasi (Wiknjosastro, 2002).
7

2.1.3 Penyebab Perdarahan Postpartum

Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah :

1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada kehamilan cukup bulan
aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak
berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat
mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya
plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman
pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi (JNPK/ Jaringan
Nasional Pelatihan Klinik, 2007).
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri adalah;
a) uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan.
b) Kala I atau II yang memanjang.
c) Persalinan cepat (partus presipitatus).
d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
(augmentasi).
e) Infeksi intrapartum.
f) Multiparitas tinggi.
g) Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklampsia/eklampsia (JNPK, 2007).

Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu
kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca
persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi (JNPK, 2007).
8

Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari terjadinya ;

a) Partus lama.
b) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil; seperti pada
kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar.
c) Multiparitas.
d) Anestesi yang dalam.
e) Anestesi lumbal. Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam
penanganan kala III persalinan, dengan cara memijat uterus dan
mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya belum terlepas dari uterus (Wiknjosastro, 2002).
a. Diagnosis
Perdarahan pasca presalinan ditandai juga dengan timbulnya perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama,
tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total
tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala tersebut baru tampak pada kehilangan
darah 20%.
Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan
pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan - setelah anak lahir,
secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan 1 jam sesudahnya.
Apabila terjadi perdarahan pasca persalinan dan plasenta belum lahir, perlu
diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir,
perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat
perlukaan jalan lahir.
Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi,
sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik.
Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang
9

adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah
sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya
kematian karena perdarahan pasca persalinan dapat dicegah.
Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita
masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak.
Perdarahan pasca persalinan merupakan sebab utama kematian dalam persalinan
(Wiknjosastro, 2002)
b. Penanganan Atonia Uteri
Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas
normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila
sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan pasca persalinan,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa
pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta
(Wiknjosastro, 2002)
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu;
1) Menyuntikan Oksitosin; sebelum menyuntikkan oksitosin lakukakan terlebih
dahulu pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
Selanjutnya suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar
paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu.
2) Peregangan Tali Pusat Terkendali; peregangan tali pusat ini dilakukan dengan
memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian
bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva. Saat uterus kontraksi,
menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan
uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. Tindakan selanjutnya yang dapat
dilakukan adalah dengan mengeluarkan plasenta; jika dengan penegangan tali
pusat terkendali, tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya
10

pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan
menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva. Bila tali pusat bertambah panjang
tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5-10 cm
dari vulva. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama
15 menit, suntikkan ulang 10 IU Oksitosin intramuskuler . kemudian periksa
kandung kemih dan lakukan kateterisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila
belum lahir lakukan tindakan plasenta manual.
Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan
hatihati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara
perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
3) Masase Uterus; segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4
jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
Kemudian dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan; kelengkapan plasenta dan ketuban; kontraksi uterus dan perlukaan
jalan lahir (Hadijono, 2006).
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
taktil (masase) fundus uteri, maka sebaiknya segera lakukan langkahlangkah
berikut :
a. Bersihkan bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks yang dapat menghalangi uterus berkontraksi dengan baik.
b. Pastikan bahwa kandung kemih kosong. Jika penuh dan dapat dipalpasi,
lakukan katerisasi dengan menggunakan teknik aseptik sehingga uterus
berkontraksi secara baik.
c. Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 menit untuk memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi, jika kompresi bimanual tidak berhasil
setelah 5 menit, maka diperlukan tindakan lain.
11

d. Anjurkan keluarga untuk mulai membantu melakukan kompresi bimanual


eksternal.
e. Keluarkan tangan perlahan-lahan.
f. Berikan ergometrin 0,2 mg secara intramuskular (kontraindikasi hipertensi) atau
misoprostol 600-1000 mcg, sehingga dalam 5-7 menit kemudian uterus akan
berkontraksi.
g. Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 cc Ringer
Laktat + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin, sehingga
dapat membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama perdarahan dan
merangsang kontraksi uterus.
h. Ulang kompresi bimanual internal agar uterus berkontraksi dengan baik.
i. Rujuk segera. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, hal
ini menunjukkan bukan atonia sederhana, sehingga ibu membutuhkan perawatan
gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan tindakan bedah dan
transfusi darah.
j. Dampingi ibu ke tempat rujukan dan teruskan melakukan kompresi bimanual
internal. k. Lanjutkan pemberian Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 cc
larutan dengan laju 500/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga
menghabiskan 1,5 L infus. Kemudian berikan 125 cc/ jam (JNPK, 2007).

2. Robekan Jalan Lahir

Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu
dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan
tidak terkendali (JNPK, 2007). Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah
lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir (Hadijono, 2006).

Cedera selama kelahiran merupakan penyebab perdarahan postpartum kedua


terbanyak ditemukan. Selama kelahiran pervaginam, laserasi pada serviks dan
vagina dapat terjadi secara spontan tetapi lebih sering ditemukan setelah
12

penggunaan forsep atau ekstraktor vakum. Dinding pembuluh darah dalam jalan
lahir mengembang selama kehamilan dan dapat terjadi perdarahan yang banyak.
Laserasi terutama cenderung terjadi pada t perineum, di daerah periuretral, dan pada
iskiadikus spinalis disepanjang aspek-aspek posterolateral vagina.

Serviks dapat menyebabkan laserasi pada dua sudut lateral sementara terjadi
dilatasi yang cepat dalam tahap pertama persalinan (Hacker, 2001).
a. Klasifikasi Klinis
1. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat
dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak
janin serta melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika, atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal. Apabila mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum
yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu.
Pada robekan tingkat dua, mukosa vagina, komisura posterior. Kulit perineum
dan otot perineum. dan pada robekan tingkat tiga sampai pada otot spinter
Sedangkan robekan tingkat empat, bisa sampai mukosa rektum (JNPK,2007).

2. Robekan dinding vagina


Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak seberapa
sering terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering
13

terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin
harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada
pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah
diatasi dengan jahitan. (Wiknjosastro, 2002).
3. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2001).
Menurut tingkat perlekatannya retensio plasenta terbagi atas beberapa bagian,
antara lain adalah;
a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari jojot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta, yaitu imp
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga mencapai atau
memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ostium uteri (Saifuddin, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta, antara lain adalah;
a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari
uterus; serta pembentukan constriction ring.
b. Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta pada uterus.
c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu
dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta
pemberian anestesi (Faisal, 2008).
14

Kondisi umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah :


1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih
dalam.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran
konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III,
yang akan menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata). lantasi jojot
korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan myometrium
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum
penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan (Mochtar, 1998).
a. Penanganan Retensio Plasenta
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir, maka harus
diusahakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2002).
Setelah bayi lahir dilakukan dengan segera manajemen aktif kala III yaitu:
1. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir.
2.Melakukan penegangan tali pusat terkendali.
3. Massase fundus uteri.
Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi
penatalaksanan aktif persalinan kala tiga dengan memberikan oksitosin 10 IU
intramuskuler dan teruskan penenganagn tali pusat terkendali dengan hati-hati.
Teruskan melakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya.
Jika
plasenta masih tetap belum lahir, rujuk segera kerumah sakit.
Bila terjadi perdarahan, maka plasenta harus segera dilahirkan secara manual.
b. Prosedur Plasenta Manual
1) Berikan cairan IV : Nacl 0,9% atau RL dengan tetesan cepat jarum berlubang
besar (16 atau 18G) untuk mengganti cairan yang hilang sampai nadi dan
tekanan darah membaik atau kembali norma.
2) Siapkan peralatan untuk melakukan tehnik manual, yang HARUS dilakukan
15

secara aseptik.
3) Baringkan ibu telentang dengan lutut ditekuk dan kedua kaki ditempat tidur.
4) Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam
10
mg IM.
5) Cuci tangan sampai kebagian siku dengan sabun, air bersih mengalir dan
handuk bersih, gunakan sarung tangan panjang steril/DTT.
6) Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
7) Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan
satu tangan sejajar lantai.
8) Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap
kebawah) kedalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
9) Setelah mencapai bukaan serviks, mintak seorang asisten/penolong lain
untuk
memegang klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan
fundus uteri.
10) Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga kekavum
uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
11) Bentangkan tanga obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari
merapat kejari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat).
12) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plsenta paling bawah.
 Bila plsenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebalah
atas dan disisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding
uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu)
 Bila di korpus depan maka pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat
dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus
dimana punggung tangan menghadap keatas (anterior ibu)
16

13) Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka
perluasan pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan ke
kiri sambil digeser keatas (kranial ibu) hingga semua perleketan plasenta
terlepas dari dinding uterus.
14) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
untuk
menilai tidak ada plasenta yang tertinggal.
15) Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah
uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam membawa plasenta keluar.
16) Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus
kearah dorsokranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di
dalam wadah yang telah disediakan.
17) Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lainyang
digunakan.
18) Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan
klorin 0,5% selama 10 menit.
19) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
20) Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
21) Periksa kembali tanda vital ibu.
22) Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
23) Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih di perlukan dan asuhan
lanjutan.
24) Beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu
masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.
25) Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan (JNPK, 2007).
c. Rangsang Taktil (masase) Fundus Uteri
Segera setelah plasenta lahir,Lakukan massae fundus uteri:
1) Letakkan telapak tangan pad fundus uteri.
17

2) Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak tidak
nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu untuk menarik nafas
dalam, perlahan rileks.
3) Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada
fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri.
4) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastiakan keduanya lengkap dan
utuh:
a. Periksa plasenta sisi maternal untuk memastikan bahwa semuanya
lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang hilang).
b. Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk
memastikan tidak ada bagian yang hilang.
c. Periksa plasenta sisi foetal untuk memastiakan tidak adanya
kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata).
d. Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.
5) Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus
berkontraksi . Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus
uteri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan masase uterus sehingga
mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik.
6) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca
persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan (JNPK,
2007).

2.1.4 Klasifikasi Perdarahan Postpartum

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) : 1. Perdarahan


Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam
2 jam pertama. 2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan
18

yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder


disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal

2.1.5 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang
terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan
tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan
kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).

2.1.6 Diagnosis Perdarahan Postpartum

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut


ini :

NO Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis


yang selalu ada kadang-kadang ada
1.  Uterus tidak Syok Antonia Uteri
berkontraksi dan
lembek
 Pendarahan segera
setelah anak lahir
(pendarahan post
partum primer)

2.  Pendarahan segera  Pucat Robekan jalan


(P3)  Lemah lahir
 Mengigil
19

 Darah segar yang


mengalir segera
setelah bayi lahir
(P3)
 Uterus kontraksi
baik
 Placenta lengkap
3.  Placenta belum lahir  Tali pusat putus Retensio
setelah 30 menit akibat traksi placenta
 Pendarahan segera berlebihan
(P3)  Inversio uteri akibat
 Uterus kontraksi tarikan
baik  Pendarahan lanjutan
4.  Placenta atau  Uterus berkontraksi Tertinggalnya
sebagian selaput tetapi tinggi fundus sebagian
(mengandung tidak berkurang placenta
pembuluh darah)
tidak lengkap
 Pendarahan segera
(P3)

2.2 Perdarahan Postpartum Primer

2.2.1 Pengertian Perdarahan Postpartum

Primer Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang


terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan
inversio uteri (Manuaba, 1998).
20

2.2.2 Penyebab Perdarahan Postpartum Primer


a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi
setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar,
lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat
dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri
ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya
plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan
pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan
ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah
lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika
otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan
miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan
pasca persalinan (Faisal, 2008). Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada
hamil kembar, hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke
bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005). b. Retensio Plasenta Retensio
21

plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :

1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus


2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan. Bila plasenta belum
lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian
plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi
untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding
uterus disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).

Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasent

b. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
c. Robekan Jalan Lahir
22

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.


Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah
persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum.
Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah
persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus
(ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan
lahir dkoengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena.
Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan
diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi
(Manuaba, 1998).
2.2. Perilaku bidan
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang dapat
diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
lain. Menurut Skiner
(1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Meskipun perilaku adalah
bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus yang berasal
dari luar organisme,
23

namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada


karakteristik atau faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti bahwa meskipun
stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-
tiap orang berbeda.
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus
yang berbeda disebut
determinan perilaku dan terdiri atas dua bagian yaitu; 1)
Faktor internal, merupakan
karakteristik orang yang bersangkutan dan bersifat bawaan,
misalnya; tingkat
kecerdasan, emosional, dan jenis kelamin; 2) Faktor
eksternal, yakni lingkungan,
baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, maupun
politik. Faktor lingkungan
ini sering merupakan faktor yang dominan mempengaruhi
perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku juga merupakan hasil dari berbagai pengalaman
serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap, dan
28
Universitas Sumatera Utara
24

tindakan. Perilaku manusia bersifat holistik. Perilaku


profesional dari bidan
mencakup:
1. Dalam melaksanakan tugasnya, berpengang teguh pada
filosofi etika profesi
bidan dan asfek legal.
2. Bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan
keputusan klinis yang
dibuatnya.
3. Senantiasa mengikuti perkembangan pengetahuan dan
keterampilan
mutakhir secara berkala.
4. Menggunakan pencengahan universal untuk mencengah
penularan penyakit
dan strategi penggendalian infeksi.
5. Menggunakan konsultasi rujukan yang tepat selama
memberi asuhan
kebidanan.
6. Menghargai dan memanfaatkan budaya setempat
sehubungan dengan
praktik kesehatan, kehamilan, kelahiran, periode pasca
persalinan, bayi baru
lahir, dan anak.
7. Menggunakan keterampilan komunikasi.
25

8. Bekerjasama dengan dengan petugas kesehatan lain untuk


meningkatkan
pelayanan kesehatan ibu dan keluarga (Atik
purwandari,2008).
2.2.2 Pengetahuan Bidan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Dari
29
Universitas Sumatera Utara
pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang
didasari pengetahuan akan
lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Pengetahuan bidan dapat diperoleh dari pendidikan atau
pengamatan,
informasi yang didapat seseorang serta melalui pelatihan.
Pengetahuan dapat
menambah ilmu seseorangserta merupakan proses dasar dari
kehidupan manusia.
26

Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-


perubahan kualitatif
individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua
aktivitas yang dilakukan oleh
bidan seperti halnya dalam pelaksanaan penanganan
perdarahan pasca persalinan
tidak lain adalah hasil yang diperoleh dari pendidikan dan
pelatihan, sehingga dapat
memberikan dorongan didalam mencegah perdarahan pasca
persalinan
2.2.3 Sikap Bidan
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang
masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus
tertentu.
Sikap bidan merupakan pendapat atau penilaian seseorang
terhadap caracara didalam penatalaksanaan penanganan perdarahan
pasca persalinan. Sikap sering
27

diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling


dekat. Sikap membuat
seseorang setuju (mendekat) tidak setuju (menjauhi) suatu hal
tetapi ada kalanya
sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak terlalu
terwujud dalam suatu
tindakan nyata.
30
Universitas Sumatera Utara
Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang di
kemukakan Allport
dalam Notoatmodjo ( 2003), menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai tiga
komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu
objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap
yang utuh
(total attitude). Pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan
penting dalam penentuan sikap yang utuh.
28

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo,


2003) :
a. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek)
danmemperhatikan
stimulus yang diberikan oleh objek.
b. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila
ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
objek.
c. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap
tingkat tiga
(kecenderungan untuk bertindak).
d. Bertanggung jawab (responsible) yaitu yang bertanggung
jaawab atas segala
sesuatu yang telah di pilihnya dengan segala resiko adalah
merupakan sikap
yang paling tinggi.
31 i
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Praktek atau Tindakan Bidan
Tindakan merupakan perbuatan nyata atau aktivitas hasil dari
pengaruh
29

faktor internal dan eksternal individu yang didukung dengan


kondisi yang
memungkinkan tampilnya tindakan secara nyata.
Tindakan bidan merupakan perbuatan atau aktivitas yang
dilakukan oleh
bidan didalam penanganan pertolongan persalinan yang
didasarkan pada kompetensi
atau kemampuan yang dimiliki yang diperoleh dari
pengalaman dan pelatihan yang
dilakukan.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara langsung
maupun tidak
langsung. Secara langsung pengukuran tindakan dilakukan
dengan pengamatan, dan
secara tidak langsung dilakukan dengan wawancara. Praktek
atau tindakan
mempunyai beberapa tingkatan, antara lain; 1) Persepsi, yaitu
mengenal dan memilih
berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil; 2) Respons
terpimpin, yakni melakukan sesuatu sesuai dengan urutan
yang benar dan contoh; 3)
Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar
30

secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan;


4) Adopsi, merupakan
praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan
tersebut sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran
dari tindakan tersebut
(Notoatmodjo, 2003).
31

Anda mungkin juga menyukai