BAB 1
PENDAHULUAN
dengan jumlah kematian akibat perdarahan post partum sebanyak 380 orang (40,32
per 100.000 kelahiran hidup). (Profil Kesehatan 2016)
Di kota bandung angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat perdarahan post
partum yang terlaporkan sebanyak 61,34 per 170.000 kelahiran hidup. (Profil
Kesehatan 2016)
Di kota cimahi angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat perdarahan post
partum yang terlaporkan sebanyak 77,36 per 170.000 kelahiran hidup. (Profil
Kesehatan 2016)
Di kabupaten bandung barat angka kematian ibu berdasarkan laporan rutin
profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu akibat
perdarahan post partum yang terlaporkan sebanyak 105,5 per 170.000 kelahiran
hidup. (Profil Kesehatan 2016)
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu
penyebab kematian ibu melahirkan. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu
melahirkan adalah perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan,
hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Haemoragic Post Partum (HPP)
adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya
bayi . (Williams, 1998)
Penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder adalah
grandemultipara yaitu jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan yang
dilakukan dengan tindakan, pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan
persalinan oleh dukun, persalinan dengan tindakan paksa, persalinan dengan
narkosa. (Ai, 2014)
Penyebab utama perdarahan post partum primer yaitu atonia uteri (50-60%),
retensio plasenta (16-17%), sisa plasenta (23-24%), laserasi jalan lahir (4-5%).
Perdarahan post partum primer adalah yang terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebabnya adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 PENDARAHAN POST PARTUM
Utara Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina
dan perineum (Muhaj, 2009).
1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada kehamilan cukup bulan
aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak
berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat
mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya
plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman
pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi (JNPK/ Jaringan
Nasional Pelatihan Klinik, 2007).
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri adalah;
a) uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan.
b) Kala I atau II yang memanjang.
c) Persalinan cepat (partus presipitatus).
d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
(augmentasi).
e) Infeksi intrapartum.
f) Multiparitas tinggi.
g) Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklampsia/eklampsia (JNPK, 2007).
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu
kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca
persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi (JNPK, 2007).
8
a) Partus lama.
b) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil; seperti pada
kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar.
c) Multiparitas.
d) Anestesi yang dalam.
e) Anestesi lumbal. Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam
penanganan kala III persalinan, dengan cara memijat uterus dan
mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya belum terlepas dari uterus (Wiknjosastro, 2002).
a. Diagnosis
Perdarahan pasca presalinan ditandai juga dengan timbulnya perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama,
tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total
tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala tersebut baru tampak pada kehilangan
darah 20%.
Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan
pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan - setelah anak lahir,
secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan 1 jam sesudahnya.
Apabila terjadi perdarahan pasca persalinan dan plasenta belum lahir, perlu
diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir,
perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat
perlukaan jalan lahir.
Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi,
sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik.
Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang
9
adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah
sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya
kematian karena perdarahan pasca persalinan dapat dicegah.
Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita
masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak.
Perdarahan pasca persalinan merupakan sebab utama kematian dalam persalinan
(Wiknjosastro, 2002)
b. Penanganan Atonia Uteri
Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas
normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila
sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan pasca persalinan,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa
pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta
(Wiknjosastro, 2002)
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu;
1) Menyuntikan Oksitosin; sebelum menyuntikkan oksitosin lakukakan terlebih
dahulu pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
Selanjutnya suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar
paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu.
2) Peregangan Tali Pusat Terkendali; peregangan tali pusat ini dilakukan dengan
memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian
bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva. Saat uterus kontraksi,
menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan
uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. Tindakan selanjutnya yang dapat
dilakukan adalah dengan mengeluarkan plasenta; jika dengan penegangan tali
pusat terkendali, tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya
10
pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan
menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva. Bila tali pusat bertambah panjang
tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5-10 cm
dari vulva. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama
15 menit, suntikkan ulang 10 IU Oksitosin intramuskuler . kemudian periksa
kandung kemih dan lakukan kateterisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila
belum lahir lakukan tindakan plasenta manual.
Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan
hatihati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara
perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
3) Masase Uterus; segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4
jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
Kemudian dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan; kelengkapan plasenta dan ketuban; kontraksi uterus dan perlukaan
jalan lahir (Hadijono, 2006).
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
taktil (masase) fundus uteri, maka sebaiknya segera lakukan langkahlangkah
berikut :
a. Bersihkan bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks yang dapat menghalangi uterus berkontraksi dengan baik.
b. Pastikan bahwa kandung kemih kosong. Jika penuh dan dapat dipalpasi,
lakukan katerisasi dengan menggunakan teknik aseptik sehingga uterus
berkontraksi secara baik.
c. Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 menit untuk memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi, jika kompresi bimanual tidak berhasil
setelah 5 menit, maka diperlukan tindakan lain.
11
Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu
dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan
tidak terkendali (JNPK, 2007). Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah
lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir (Hadijono, 2006).
penggunaan forsep atau ekstraktor vakum. Dinding pembuluh darah dalam jalan
lahir mengembang selama kehamilan dan dapat terjadi perdarahan yang banyak.
Laserasi terutama cenderung terjadi pada t perineum, di daerah periuretral, dan pada
iskiadikus spinalis disepanjang aspek-aspek posterolateral vagina.
Serviks dapat menyebabkan laserasi pada dua sudut lateral sementara terjadi
dilatasi yang cepat dalam tahap pertama persalinan (Hacker, 2001).
a. Klasifikasi Klinis
1. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat
dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak
janin serta melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika, atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal. Apabila mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum
yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu.
Pada robekan tingkat dua, mukosa vagina, komisura posterior. Kulit perineum
dan otot perineum. dan pada robekan tingkat tiga sampai pada otot spinter
Sedangkan robekan tingkat empat, bisa sampai mukosa rektum (JNPK,2007).
terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin
harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada
pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah
diatasi dengan jahitan. (Wiknjosastro, 2002).
3. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2001).
Menurut tingkat perlekatannya retensio plasenta terbagi atas beberapa bagian,
antara lain adalah;
a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari jojot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta, yaitu imp
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga mencapai atau
memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ostium uteri (Saifuddin, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta, antara lain adalah;
a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari
uterus; serta pembentukan constriction ring.
b. Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta pada uterus.
c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu
dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta
pemberian anestesi (Faisal, 2008).
14
secara aseptik.
3) Baringkan ibu telentang dengan lutut ditekuk dan kedua kaki ditempat tidur.
4) Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam
10
mg IM.
5) Cuci tangan sampai kebagian siku dengan sabun, air bersih mengalir dan
handuk bersih, gunakan sarung tangan panjang steril/DTT.
6) Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
7) Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan
satu tangan sejajar lantai.
8) Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap
kebawah) kedalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
9) Setelah mencapai bukaan serviks, mintak seorang asisten/penolong lain
untuk
memegang klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan
fundus uteri.
10) Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga kekavum
uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
11) Bentangkan tanga obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari
merapat kejari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat).
12) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plsenta paling bawah.
Bila plsenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebalah
atas dan disisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding
uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu)
Bila di korpus depan maka pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat
dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus
dimana punggung tangan menghadap keatas (anterior ibu)
16
13) Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka
perluasan pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan ke
kiri sambil digeser keatas (kranial ibu) hingga semua perleketan plasenta
terlepas dari dinding uterus.
14) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
untuk
menilai tidak ada plasenta yang tertinggal.
15) Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah
uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam membawa plasenta keluar.
16) Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus
kearah dorsokranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di
dalam wadah yang telah disediakan.
17) Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lainyang
digunakan.
18) Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan
klorin 0,5% selama 10 menit.
19) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
20) Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
21) Periksa kembali tanda vital ibu.
22) Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
23) Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih di perlukan dan asuhan
lanjutan.
24) Beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu
masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.
25) Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan (JNPK, 2007).
c. Rangsang Taktil (masase) Fundus Uteri
Segera setelah plasenta lahir,Lakukan massae fundus uteri:
1) Letakkan telapak tangan pad fundus uteri.
17
2) Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak tidak
nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu untuk menarik nafas
dalam, perlahan rileks.
3) Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada
fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri.
4) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastiakan keduanya lengkap dan
utuh:
a. Periksa plasenta sisi maternal untuk memastikan bahwa semuanya
lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang hilang).
b. Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk
memastikan tidak ada bagian yang hilang.
c. Periksa plasenta sisi foetal untuk memastiakan tidak adanya
kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata).
d. Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.
5) Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus
berkontraksi . Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus
uteri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan masase uterus sehingga
mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik.
6) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca
persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan (JNPK,
2007).
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang
terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan
tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan
kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke
bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005). b. Retensio Plasenta Retensio
21
plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasent
b. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
c. Robekan Jalan Lahir
22