Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

EPISTAKSIS

Disusun Oleh

Bernadus Fransiskus Elvas Wara

11.2018.178

Dokter Pembimbing:
dr. Iwan Hertantyo Sp.THT-KL

KEPANITERAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA DEPOK

Periode 6 Mei - 8 Juni 2019

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... 2


BAB 1: PENDAHULUAN ............................................................................. 3
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1 ANATOMI HIDUNG ........................................................................ 3
2.2 VASKULARISASI HIDUNG ........................................................... 5
2.3 DEFINISI ......................................................................................... 6
2.4 ETIOLOGI ....................................................................................... 6
2.5 PATOFISIOLOGI............................................................................. 10
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA ............................................................ 12
2.7 PENATALAKSANAAN .................................................................. 14
2.8 KOMPLIKASI .................................................................................. 17
2.9 PENCEGAHAN ................................................................................ 17
2.10 PROGNOSIS ................................................................................... 18
BAB 3: KESIMPULAN ................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

2
BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat
terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan
kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah
sakit dan spesialis THT. Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan
sistemik. Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan sebagainya.
Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan vaskuler, keganasan
hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alcohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.1

Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan
berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach). Epiktasis
posterior umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis
anterior secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung
asimptomatik atau dapat secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia,
hemoptysis atau melena.

Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan memasang
tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas yang telah di basahi nasal
dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan terus menerus selama 5 menit dan sampai
20 menit. Memiringkan kepala ke depan dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior
faring, hal ini mencegah mual dan obstruksi jalan nafas.

Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah terjadinya epitaksis. Diskusi terarah
tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak mengupil, mencegah dari paparan iritan udara,
bulu dan asap, dan pengendalian alergi dapat menurunkan episode terjadinya epistaksis.

Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai definisi,
anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada epistaksis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: 1.pangkal
hidung (bridge), 2.batang hidung (dorsum), 3.puncak hidung (tip), 4.ala nasi, 5.kolumela, 6.lubang
hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus frontalis os maksila dan 3.prosesus nasalis
os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2.sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan 3.tepi anterior
kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer, 3.krista nasalis os maksila dan
4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah 1.kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan 2.kolumela.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior
sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

4
Gambar-1: Anatomi Cavum Nasi.1

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan
sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.2

5
2.2 VASKULARISASI HIDUNG

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri
etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis
anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri
etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi
menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 2. Anatomi vaskuler supplai darah septum nasi. Pleksus Kiesselbach’s atau Little’s
area, merupakan lokasi epistaksi anterior paling banyak.2

6
2.3 DEFINISI EPISTAKSIS

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90
% dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu
dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati
epistaksis secara efektif.3

. 2.4 ETIOLOGI

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. 80% perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus
Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus
tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga
dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis
meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.
Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat
ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Secara Umum penyebab
epistaksis dibagi dua yaitu :

1) Lokal

a) Trauma

Epistaksis yang berhubungan dengan tauma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat,
bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi
oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan
epistaksis.

b) Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

7
c) Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

Gambar 3. Epistaksis pada neoplasma.3

d) Sebab-sebab lain termasuk benda asing , deviasi septum dan perforasi septum.

Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan
hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan
krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital.
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan
kemudian perdarahan.

Gambar 5. Epistaksis.3

8
e) Pengaruh lingkungan

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang
pecah.4

2) Sistemik

a) Kelainan darah

Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.

b) Penyakit kardiovaskuler,

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik,
sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan
tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah
tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang
kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah
pecahnya pembuluh darah yang tipis.

2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah
meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan
rupture dari pembuluh darah.

9
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga
epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.

4. Diabetes mellitus

Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan


makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada
pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih
banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran
semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes
mellitus.

c) Infeksi sistemik akut

Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.

d) Gangguan endokrin / hormonal

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah
yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan
mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

e) Alkoholisme

Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan


terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan
kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.

10
. 2.5 PATOFISIOLOGI

Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior
hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang
utamanya.

Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan
bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa
anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa
menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus
Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma
fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering.5

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar


ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan
paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior.
Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana

Gambar 6. Epistaksis anterior.5

11
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular

Gambar 7. Epistaksis posterior.5

2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung
berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk
banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan
pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan
bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan
senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.

12
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan
alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian
yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung.

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam
hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk . Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan
dan dilakukan evaluasi.6

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif
yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa.

a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

c) Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

13
2.7 PENATALAKSANAAN

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan,


mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan
umum pasien.7

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila
penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2. Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan
dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah
septum selama beberapa menit (metode Trotter).

‘;

Gambar 8. Metode Trotter.7

b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi
dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk
membersihkan bekuan darah.

14
Gambar 9. Tampon Anterior.7

c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan
kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan
elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
d. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang
dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari
kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis
mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
e. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus
menutup koana (nares posterior)

Untuk memasang tampon Bellocq:

- Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian
ditarik ke luar melalui mulut.
- Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
- Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang
lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.

15
- Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian
diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon
posterior terfiksasi.
- Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu
kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

Gambar 10. Tampon Bellocq.7

f. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon
diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama dengan
pemasangan tampon Bellocq.

16
Gambar 11. Balon intranasal (kateter Foley) untuk mengontrol epistaksis.7

g. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi
ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
h. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.

2.8 KOMPLIKASI

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik.8

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun
mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.9

2.9 PENCEGAHAN

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain :

1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton
bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.

17
5. Bersin melalui mulut.
6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.10

2.10 PROGNOSIS

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk

18
BAB III

KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat
ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan
menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang
memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan


mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien
dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah,
foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari
tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:

a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam
hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut, menghindari
obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia
: WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi
Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited
2009 feb 28] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
4. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1] Available from:
http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28 [cited
Mar 2] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
6. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4 Available from
:http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
7. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2 [cited 2009 Mar
4] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx

8. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review. British Journal of
Hospital Medicine Vol 69 No 7.
9. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American Family Physician
Vol 71 No 2.
10. Bailey BJ et al. 2001. Head and Neck Surgery – Otolangology 3rd Edition Lippincott Williams
& Wilkins Publishers.

20

Anda mungkin juga menyukai