Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Komplikasi laringeal setelah tindakan tiroidektomi merupakan masalah yang sering terjadi.
Penyebab tersering dari masalah tersebut adalah cedera pada saraf berulang (recurrent laryngeal
nerve injury).1-5 Penelitian terkemuka yang dilakukan pada sejumlah kelompok besar pasien,
menunjukkan prevalensi terjadinya kelumpuhan permanen saraf rekuren mulai dari 0% setelah
operasi primer hingga 20% setelah operasi tambahan. Kunci untuk meningkatkan keberhasilan
dari penanganan tiroid sampai saat ini adalah pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan
anatomi dari kelenjar tiroid.6,7 Perkembangan besar dalam teknik dan instrumentasi pembedahan
serta kemajuan antisepsis dan teknik anestesi juga penting. Ketika tiroidektomi aman untuk
dikerjakan, komplikasi spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui, termasuk mencegah
perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari kecelakaan atau pengangkatan kelenjar 2
paratiroid. Teknik pembedahan yang berkembang saat ini berdasar pada prinsip sama, yakni
melakukan diseksi kapsul cukup luas dengan meminimalkan diseksi terhadap nervus rekuren
laringeus dan preservasi suplai darah ke kelenjar paratiroid.6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LARING

2.1.1 EMBRIOLOGI LARING

Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar
18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur faring median yang berisi
petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal
mulai terbentuk sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke kaudal merupakan
primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua
lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling proksimal dari tuba akan menjadi laring.
Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari ke 33. Sedangkan kartilago,
otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 3-4 minggu berikutnya. Hanya kartilago
epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak struktur merupakan derivat aparatus
brankialis.2

2.1.2 ANATOMI

Laring berada di depan dan sejajar dengan vertebra servikal 4 sampai 6, bagian atasnya
yang aka melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian bawahnya yg
akan berlanjut ke trakea berbentuk seperti sirkular. Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang
hyoid di bagian atas dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-
otot. Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.Tirohioid) ini akan menyebabkan
laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu
menggerakan lidah.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata,
kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri
dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang. Tulang rawan
ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple”
dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh
ligamentum krikotiroid.

Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah kartilago tiroid
berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi dengan
vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3 sampai C4. Kartilago aritenoid
mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk membuka dan menutup laring,
berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat permukaan belakang
laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut artikulasi
krikoaritenoidSepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang kartilago
kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg terdapat di dalam lipatan ariepiglotik , kartilago
kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan ariepiglotik. Sedangkan
kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.2

Gambar 2.1 Anatomi Laring

Epiglotis merupakan Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang
dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plica aryepiglottica,
berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan
masuk laring. Membrana mukosa di Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius,
terdiridari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.

Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas ligamenturn
vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago thyroidea di bagian depan
dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plica vocalis palsu adalah dua lipatan membrana
mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalam produksi suara.

Gambar 2.2 Pita Suara

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid.
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral,
dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral, ligamentum hiotiroid media, ligamentum
hioepiglotica, ligamentum ventricularis, ligamentum vocale yang menghubungkan kartilago
aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotica.

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot instrinsik,
otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik
menyebabkan gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak
diatas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahioid). Otot
ekstrinsik yang supra hyoid ialah M. Digastricus, M.Geniohioid, M.Stylohioid, dan M.Milohioid.
Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid dan M.Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang
suprahioid berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring keatas.
Otot-otot intrinsik laring ialah M. Krikoaritenoid lateral. M.Tiroepiglotica, M.vocalis,M.
Tiroaritenoid, M.Ariepiglotica, dan M.Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral
laring.Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah M.aritenoid transversum,
M.Ariteniod obliq dan M.Krioaritenoid posterior.

Gambar 2.3 otot pada laring


Rongga laring.(2)

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang
epiglottis, tuberkulum epiglotic, ligamentum tiroepiglotic, sudut antara kedua belah lamina
kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadranagularis,
kartilago aritenoid, konus elasticus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya
ialah M.aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid. Dengan adanya lipatan mukosa pada
ligamentum vocale dan ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli)
dan plica ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima
glottis, sedangkan antara kedua plica ventrikularis disebut rima vestibuli.

Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring , glotic dan subglotic. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas
plica ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotic. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada
tiap sisinya disebut ventriculus laring morgagni.

Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago.
Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak dibagian anterior,
sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di
bagian posterioir. Daerah subglotic adalah rongga laring yang terletak di bawah pita suara
(plicavocalis).

Persyarafan(2)

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.
Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada
mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas m.konstriktor faring medial,
disebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan setelah
menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus
eksternus dan ramus internus.

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan menuju
ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak disebelah medial
a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.laringeus superior
menuju ke mukosa laring.

Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan dari n.vagus.

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan


n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang
arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan mempersarafi
otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersyarafi otot-otot
intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus internus.

Gambar persarafan laring(14)

Pendarahan.(2)

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis
inferior.
Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laryngitis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini untuk berjalan
kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi
mukosa dan otot-otot laring.

Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiriod inferior dan bersama-sama dengan
n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir
bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-cabang memperdarahi
mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringis superior.

Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang yang
berjalan mendatar sepanjang membrane itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini
mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis
dengan a.laringeus superior.

Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

Pembuluh Limfe(1)(2)

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini mukosanya
tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vocal pembuluh limfa dibagi
dalam golongan superior dan inferior.

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai
servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan a.laringeus
inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa dintaranya menjalar sampai
sejauh kelenjar supraklavikular.
FISIOLOGI(2)

Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk kedalam
trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadi penutupan
aditus laring ialah akibat karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik
laring. Dalam hal ini kartilogo aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m.tiro-aritenoid dan
m.aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.

Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago arritenoid kiri dan
kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan reflex batuk, benda asing yang
telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret
yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur besar
kecilnya rima glottis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus
vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka.

Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh.
Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah.

Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan
laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan mendorong bolus makanan turun ke
hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring juga mempunyai fungsi untuk
mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.

Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plica vokalis. Bila plica vokalis
dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan,
menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk
berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. Krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan
menentukan tinggi rendahnya nada.

2.3 Tiroidektomi
2.3.1 Definisi
Thyroidectomy adalah prosedur bedah untuk mengangkat seluruh atau sebagian bagian
dari kelenjar tiroid dan biasanya dilakukan sebagai tatalaksana untuk penyakit yang berkaitan
dengan kelenjar tiroid. Penyakit- penyakit tersebut antara lain: kanker tiroid, hipertiroid
(overactive thyroid gland), nodul tiroid yang menyebabkan obstruksi, multi-nodular Goiter.4
2.3.2 Indikasi
Terdapat berbagai macam indikasi untuk dilakukannya tindakan tiroidektomi. Salah satu
indikasi tersering ialah kanker tiroid yang telah dibuktikan dengan adanya hasil biopsi. Selain
indikasi keganasan, tindakan tiroidektomi juga dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan massa
tiroid atau goiter. Pasien yang memiliki symptom disfagia, dispneu, nafas pendek (shortnes of
breath) dan/ atau suara serak (hoarseness) disebabkan oleh pembesaran goiter dapat menjalani
tindakan tiroidektomi. Tiroidektomi juga dapat dilakukan untuk kepentinga estetika dikarenakan
goiter. Hipertiroid juga termasuk indikasi untuk dilakukannya tiroidektomi. Pada wanita hamil,
tiroidektomi dilakukan jika terdapat kanker yang agresif atau adanya airway compromais.5
2.3.3 Kontraindikasi
Hipertiroid berat yang tidak terkontrol seperti Graves disesase adalah salah satu
konraindikasi relatif dari tiroidektomi. Jika terdapat keganasan tiroid selama masa kehailan,
tindakan tiroidektomi dapat dilakukan. Namun beberapa ahli menyarankan untuk menunda
tiroidektomi sampai waktu melahirkan dikarenakan resiko pada bayi yang diakibatkan dari
tindakan anestesi. 5

2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi diakibatkan tindakan tiroidektomi diantaranya perdarahan,
cedera pada saraf laring, hypoparathyroidism, hypothyroidsm, thyrotoxic storm. Bekas luka pasca
tiroidektomi yang dapat mengganggu segi kosmetika bisa dihindari tergantung lokasi insisi dan
teknik pembedahan yang digunakan.6
Cedera pada laring diakibatkan tiroidektomi dapat berupa RLN (Recurrent Laryngeal
Nerve) injury atau SLN (Superior Laryngeal Nerve) injury. RLN injury akan berdampak pada
paresis atau paralisis true vocal-fold. Evaluasi dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya RLN
injury, seperti menilai vocal fold ability menggunakan indirect dan fiberoptic laryngoscopy.
Manifestasi RLN injury dapat berupa unilateral vocal cord paralysis dan bilateral vocal cord
paralysis. Pada unilateral vocal cord paralysis, suara serak atau sesak napas mungkin tidak terlalu
jelas dalam jangka waktu hari hingga minggu. Disfagia kemungkinan dapat terlihat sebagai
manifestasi unilateral vocal cord paralysis. Pada bilateral vocal cord paralysis, biasanya terdapat
manifestasi berupa biphasic strior, respiratory distress, atau keduanya. Untuk penatalaksanaan
RLN injury dibedakan apakah paralisis vocal cord yang terjadi berupa unilateral atau bilateral.
Untuk paralisis vocal cord unilateral, prosedur korektif dapat ditunda setidaknya selama 6 bulan
untuk melihat apakah injury itu bisa reversible atau tidak. Jika tidak bisa reversible, dapat
dilakukan tindakan bedah seperti reinnervasi. Sedangkan pada paralisis vocal cord bilateral
tindakan emergency tracheotomy mungkin dibutuhkan, dan jika memungkinkan terlebih dahulu
dilakukan endotracheal intubation; cordotomy; dan arytenoidectomy untuk memperbesar jalan
napas dan memungkinkan dekanulasi tracheostomy.6
SLN injury dapat berakibat ketidakmampuan untuk mencapai high pitch sound
dikarenakan vocal fold tidak mampu memanjang. Tatalaksana yang dilakukan dapat berupa Speech
therapy.6
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Wagner HE, Seiler C. Recurrent laryngeal nerve palsy after thyroid gland surgery. Br J Surg.
1994;81(2):226-228.
2. Thomusch O, Machens A, Sekulla C, et al. Multivariate analysis of risk factors for
postoperative complications in benign goiter surgery: prospective multicenter study in
Germany. World J Surg. 2000;24(11):1335-1341.
3. Seiler CA, Glaser C, Wagner HE. Thyroid gland surgery in an endemic region. World J Surg.
1996;20(5):593-596.
4. Harness JK, Fung L, Thompson NW, Burney RE, McLeod MK. Total thyroidectomy:
complications and technique. World J Surg. 1986;10(5):781-786.
5. Edis AJ. Prevention and management of complications associated with thyroid and parathyroid
surgery. Surg Clin North Am. 1979;59(1):83-92.
6. Bliss RD, Gauger PG, Delbridge LW. Surgeon’s approach to the thyroid gland: Surgical
anatomy and the importance of technique. World Journal of Surgery 2000; 24:891-897
7. Chaudhary IA, Samiullah, Masood R, Mallhi AA. Complications of thyroid surgery: A five
year experience at Fauji Foundation Hosp., Rawalpindi. Pakistan Journal of Surgery 2006;
22(3):134-7
8. Cohen James. Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
9.

Anda mungkin juga menyukai