PENDAHULUAN
Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada
sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom
tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial
secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme berbeda – beda. Ada
varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara umum dapat
dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan berbahasa serta
usia si anak.
Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat sosial dan
kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000
anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan
perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisma
dibandingkan anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak
autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.
Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah keatas.
Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis penyembuhan telah
dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga
fisik, mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan
dengan berbagai varian teknik, diantaranya teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan
secara verbal maupun non verbal.
Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang melibatkan
peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat dilakukan sendiri oleh orang tua
dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari
sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom yang diperlihatkan
oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan
sindrom yang disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap melibatkan
peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa memiliki andil atas
kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase terapi. Dengan kata lain, orang
tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga
turut menentukan tingkat perbaikan yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan
terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan
hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih
baik dari sebelumnya.
Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya penugasan dari
dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami mengenai konsep dasar dan askep
autisme itu sendiri.
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
KONSEP TEORI
2.1 Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas
dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas
atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan
pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya,
sindrom tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan
social secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma,
2004)
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah
timbul sebelum lahir.
2. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak
memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu
pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang
dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak autisme, berikut ini :
o Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana kira –
kira yang perlu ditingkatkan
o Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan program
tersebut
o Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa berjalan dengan
konsisten
o Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan hasilnya
dalam waktu singkat
o Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda harapkan
tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk diubah. Salah seorang ahli
manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil
atau gagal
o Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak autisme, yang
bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya
o Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu berekreasi juga
dianjurkan oleh para professional. Pengobatan secara psikologi dan bermain termasuk yang
dianjurkan.
Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat didalam
otak anak autis. Banyak anak autis mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-
VII. Seharusnya, dilobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje. Namun, pada anak autis jumlah
selpurkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses
penyaluran informasi antar-otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di
dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu dokter
menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai adalah dari jenis
psikotropika yang bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnya menggembirakan karena dengan
mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaan terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih mudah untuk
diajak bekerja sama.
Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997, seorang pasien
autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata, ia
kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami
kemajuan yang luar biasa (Budhiman, 2002). Kasus ini memicu penelitian-penelitian selanjutnya
pada gangguan metabolism pencernaan.
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang
memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar
anak (Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli pencernaan asal Inggris, menduga peradangan tersebut
disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu sebabnya, banyak orangtua yang kemudian
menolak imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) karena diduga menjadi biang keladi autis
pada anak. Temuan Wakefield diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.
Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang
diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri dan berbagai
toksin yang ada di lingkungan. Tetapi semua mungkin hanya merupakan pemicu saja, yang bias
terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori
yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan (Sari, 2009).
a. Faktor genetika.
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru muncul jika terjadi
kombinasi banyak gen. bias saja autisme tidak muncul, meski anak membawa gen autisme. Jadi
perlu faktor pemicu lain.Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan
adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur
ditemukan sekitar 36 – 89 %, sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian terhadap
keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang berarti 50 - 100 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi normal (Masra, 2002)
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan
logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan sekresi logam berat dari
tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam berat seperti arsenik
(As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat
kuat. Tahun 2000, Sallie Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang
diperlihatkan anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan
membaiknya gejala autis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari
otak dan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)
c. Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal,
salah satunya karena manifestasi alergi. Dari penelitian yang pernah dilakukan, dilaporkan
bahwa autisme berkaitan erat dengan alergi (Judarwanto, 2004).
Penelitian lain menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa gejala autisme
tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang
menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autisme yang menderita alergi, setelah
dilakukan penanganan eliminasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala
autisme semakin memburuk bila manifestasi alergi muncul(Judarwanto, 2004).
a. Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan, dan
dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku
pada pasien autis. Makanan yang mengandung amino phenolic itu adalah : terigu (gandum),
jagung, gula, coklat, pisang, apel. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan
bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat
sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponenamino phenolic.
Komponen amino phenolic merupakan bahan baku pembentukan neurotransmiter; jika
komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik
bagi saraf.
Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakai dalam pembuatan bir
serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan mempunyai aktivitas opiod saat protein
tidak dapat dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis mendapat diet
bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis yang tetap diberi diet
mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3
bulan, pada diet bebas gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan
afektif, motorik, dan kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan
pada kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk. Meskipun
penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tapi cukup bisa diterima
sampai sekarang.
Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah pentingnya dari farmakoterapi dan
fisioterapi, untuk itulah masalah alergi makanan pada anak dengan gangguan spektrum autisme
harus dilakukan secara holistik.
1. Epidemiologi
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh tahun yang lalu
hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang lalu 1 dari 1000, satu tahun yang
lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis
baru(Dwinoto, 2008).Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui
persis jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang. Perbandingan
laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuan akan menunjukkan gejala yang lebih
berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan
kultur. Hasil survai dari beberapa Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak
berpeluang menyandang autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan perempuan; anak laki-
laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan(Sari, 2009).Anak
laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai efek yang bertolak belakang dengan
hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron menghambat kerja RORA (retinoic acid-
related orphan receptor-alpha) yang berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen
meningkatkan kinerja RORA (Darmawan, 2009).
2. Gejala
Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak semakin jelas saat anak mencapai
usia 3 tahun, yaitu:
a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terhambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, dan
ssering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
b. Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika
dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.
c. Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang berlebih (excesive)
dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif, repetitive, namun dilain waktu terkesan
pandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti
gambar, karet, dan lain-lain, yang dibawanya kemana-mana.
d. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati dan toleransi.
Kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa
kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau
benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan
pelukan, dan seterusnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap anak autisme, tergantung dari
berat ringannya gangguan yang diderita anak (Wardhani, 2008)
a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-
masing satu gejala dari (2) dan (3)
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus ada dua gejala dari
gejala – gejala dibawah ini:
a) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi
muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
d) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2) Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu gejala dari gejala
dibawah ini :
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk
berkomunikasi secara non-verbal
d) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam prilaku, minat dan kegiatan,
minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :
a) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b) Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya
b. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:
c. Bukan disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak
Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi dari bagian otak, maka timbulah
gejala yang dapat kita amati. Baik ICD – 10 1993 (International Classification of Diseases) dari
WHO maupun DSM – IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1995, dari grup Psikiatri Amerika,
keduanya menetapkan kriteria yang sama untuk autisme anak.
, 1995
2.4 Karakteristik
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang
tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep
yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu
penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan
para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National
Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5
jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme
tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang
memahami persoalan autisme.
c. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain,
pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
a. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila
diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk
baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila
anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau
tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak
mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk,
menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang
tuanya.
c. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak
jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah
beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada
tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi
berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.
a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau
kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang
didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola
bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak
adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan
bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang
memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang
dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit,
keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek.
Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang
dengan objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara
lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa
dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok
permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan
hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang
mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara,
pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh
lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang
biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata,
wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak
imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2.7 Penatalaksanaan Autisme
1. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang
diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA) (Rudy,
2007). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif
setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman
(punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau
tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai
tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan
mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang
diberikan (Muhardi, 2009). Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi yang intensif selama
1-2 tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya
lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh terapi intensif. Bahkan pada akhir
terapi sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum(Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi (2003),
walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sedini mungkin
sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan terapi setelah usia lima
tahun akan berjalan lebih lambat.
2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan metabolism tubuh
serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang, vitamin dan obat yang dianjurkan
adalah vitamin B6, risperidone, dll(Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo (2008),
obat- obatan yang dipakai terutama untuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan
perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis yang
memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat maupun
vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat
memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu
telitilah lebih dahulu sebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme. Terapi
biomedik tidak menggantikan terapi‐terapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara,
okupasi dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan
memperbaiki “dari dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat
terjadi (Muhardi, 2009).
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang
sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respons yang
terarah.
Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensoris berarti ketidak mampuan
untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa
tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan
dalam ketrampilan persepsi , kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala
ini ada juga pada anak dengan diagnosa yang berbeda(Handojo, 2008).
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.
Gerak‐geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang
benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot ‐otot
halusnya dengan benar (Muhardi, 2009).
5. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalam pelaksanaannya harus
meibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapi menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan
non verbal yang memungkinkan orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autisme mereka
dan lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak secara mendetail guna membantu proses
penyembuhan anak.
6. Terapi Diet
a. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa
gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten
dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti
gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada
tepung terigu dan tepung bahan sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah
susu sapi segar (mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu
seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu
ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita dapat dideteksi
dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis opioid yang merupakan hasil
pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal
ini yang mendasari diet bebas gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan
kasein dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu
timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang
Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme
dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu. Menghindari
makanan sumber gluten dan kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah
beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok
dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil penelitian oleh Ishak
(2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian diet terhadap perkembangan anak
autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010), tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku
dengan terapi diet bebas gluten dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan
dengan sifat agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor yang
mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai dan efektif pada
masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010), responden penelitian tidak mengalami
perubahan dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil
dalam sosial, bahasa dan minat setelah diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang
timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai signifikansi statistik
b. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis, aspartam,
nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan dapat memperparah
keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan yang mengandung zat aditif adalah
sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain. Beberapa zat pewarna merusakDNA yang
menyebabkan mutasi genetik. Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi
saraf otak (Sunartini, 2003).
c. Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis pengaturan pola
makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat mempunyai efek buruk bagi
penyandang autisme. Bahan makanan yang harus dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga
muda dan alpokat. Efek yang dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat
dapat memperberat kebocoran usus (Budhiman, 2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk
menghindari jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat
memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan makanan ini berupa jus apel,
jus jeruk, coklat, dan anggur merah(Hariyadi, 2009).
d. Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan, disarankan juga untuk
mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme. Suplemen-suplemen tersebut adalah
vitamin C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone untuk memperbaiki jam biologis
tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak responsif
pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah, pengabaian atau keengganan
terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal masa kanak-kanak, ada kegagalan untuk
mengembangkan kerjasama dalam bermain dan persahabatan.
b. kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya bahasa atau
jika dikembangkan, sering adanya struktur gramatik yang tidak matang, penggunaan kata-kata
yang tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak.
Ekspresi non verbal yang menyertai bisa menjadi tidak sesuai atau tidak ada.
d. Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin, kereta
api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau bagian dari tubuh.
e. Tuntutan yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan sehari-hari
dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk selalu mengikuti rute yang
sama apabila pergi berbelanja).
f. Kesusahan yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang sepele dari
lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat biasanya).
3. pemeriksaan penunjang :
Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :
· Gangguan pencernaan
· Alergi makanan
· Kelainan genetik
· auto imunitas
· Menunjukan · Karakteristik
perkembangan -karakteristik ini
anak(3) meningkatkan
· Menunjukan pembentukan dan
keterlibatan mempertahankan
· Sampaikan hubungan saling
sosial(3) sikap yang mempercayai
hangat,dukungan,da
n kebersediaan
ketika pasien
berusaha untuk · Pasien
memenuhi autistik dapat
kbutuhan- merasa terancam
kebutuhandasarnya. oleh suatu
rangsangan yang
gencar pada
pasien tidak
· Muai dengan terbiasa
penguatan yang
positif pada kontak
mata ,perkenalkan
secara berangsung-
angsur dengan
sentuhan,pelukan .
· Pasien dapat
menunjukan · Berikan
kemampuan perawatan dalam
komunikasi (3) sikap yang rileks · Memahami
tidak terburu- tindakan dan
buru,dan tidak komunikasi pasien
menghakimi. serta dapat
melakukan
perawatan secara
efktif
· Untuk
membentuk
kepercayaan
· Dapat
menurunkan
kebutuhan pada
perilaku-prilaku
mutilasi diri dan
memberikan rasa
aman
· Bekerja pada
dasar satu perawat
untuk satu anak
· Tawarkan diri
kepada anak selama
waktu-waktu
meningkatnya
ansietas
BAB IV
KESIMPULAN
4.1Kesimpulan
Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi social serta
mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi. Penyebabnya karena antar jaringan otak
tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme
sangat kompleks, tak lepas dari factor genetika dan lingkungan social.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian tehnik, diantaranya
tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal maupun non verbal, dengan
melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.
Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom yang
diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan
tingkatan sindrom yang disandang anak.
Autisme masa kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat kompleks. Prevalensi
masih sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala seringkali dicetuskan oleh penyebab organ
biologis. Para Profesional harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan supaya dapat
bekerja samamelakukan pengobatan yg tepat dan terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
· Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3. FKUI : Jakarta.
· Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri. EGC :
Jakarta.
· http://dc238.4shared.com/doc/ERaVUoWJ/preview.html
· Danuatmaja, B. (2004). Menu Autis. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
· Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia Kedokteran) , 89-93.
· Judarwanto, W. (2004). Alergi Makanan dan Autisme. Retrieved November 3, 2010, from
Putra Kembara: http://putrakembara.org/fajarid.shtml
· Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan Bagaimana
Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
· Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah Dietetik
VI. Yogyakarta.