Anda di halaman 1dari 13

Nama : Salsabila Fitria Khansa Tanggal Praktikum : 7 November 2018

NIM : 1606298 Tanggal Laporan : 21 November 2018

Judul : Fermentasi dan Pengawetan Sayur dan Buah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sayur dan buah merupakan salah satu bahan makanan yang sangat
penting. Di dalam sayur dan buah terkandung berbagai macam nutrisi yang
diperlukan bagi tubuh seperti vitamin, mineral, dan air. Sayur dan buah memilki
karakterestik mudah rusak sehingga hanya dapat bertahan beberapa waktu
hingga mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh
perubahan fisik dan adanya organisme yang melakukan aktivitas biologi di dalam
sayuran tersebut. Proses kerusakan tersebut dapat dimulai ketika sayur dan
buah telah dipanen.

Untuk meminimalisir adanya kerusakan pada sayur dan buah caranya


adalah dengan melakukan metode fermentasi untuk mengawetkan bahan
makanan. Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses
pengolahan pangan dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme secara
terkontrol untuk meningkatkan keawetan pangan dengan dioproduksinya asam
dan/atau alkohol, untuk menghasilkan produk dengan karekateristik flavor dan
aroma yang khas, atau untuk menghasilkan pangan dengan mutu dan nilai yang
lebih baik. Selain itu caranya dapat juga dengan melakukan metode penggulaan.
Penggulaan adalah proses pengolahan dan pengawetan menggunakan gula
pada konsentrasi tinggi. Gula dapat berfungsi sebagai pengawet karena adanya
gula maka Aw bahan mengalami penurunan, sehingga air yang ada tidak dapat
digunakan untuk pertumbuhan mikroba. Gula tersebut berfungsi untuk memberi
rasa pada produk dan mengawetkan produk dengan menghambat bakteri yang
menyebabkan pembusukan. Praktikum kali ini telah melakukan berbagai macam
pembuatan produk fermentasi dari sayur dan buah yaitu sayur asin, sauerkraut,
pikel cabe, dan asinan salak. Dan untuk produk penggulaannya yaitu
marmalade, selai, jeli, chutney

No Pengamatan Sayur asin Sauerkraut Pikel cabai Asinan


Mangga
1. Bobot awal (g) 144 100 140 457
2. Bobot akhir (g) 125 135 142 325
3. Rendemen (%) 86,8 135 101,42 77,02
4. pH awal 5 5 3 3
5. pH akhir 6 4 3 3
6. Lama 7 hari 7 hari 8 hari 2 Hari
fermentasi
7. Warna Hijau (+++) Putih Cabe : Kuning
kekuningan Merah keputihan
(++) keorangean (++)
Air : keruh
8. Aroma Tidak sedap Asam Asam (++) Khas
(+++) seperti acar Khas cabe asinan
(++) (+++) mangga
(++)
9. Tekstur Lembek Lunak (++) Keras (+) Keras (+)
(++)
Liat (++)
10. Rasa - - Asin Asam (+++)
Asin (++)

1. Sayur Asin
Sayur asin merupakan suatu produk yang mempunyai cita rasa
yang khas, yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam
laktat. (Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Pangan,
1981).
Dalam proses fermentasi sayuran digunakan bakteri alami yang
terdapat dalam sayur-sayuran, yaitu sawi hijau. Jenis bakteri asam
laktat yang dibiarkan aktif adalah Leuconostoc mesenteroide,
Lactobacillus cucumeris, L. plantarum dan L. pentoaceticus. Pada
awal fermentasi, bakteri yang aktif dalam jumlah besar adalah bakteri
coliform, seperti Aerobacter cloacer, yang menghasilkan gas dan
asam-asam yang mudah menguap dan pada kondisi tersebut aktif
pula bakteri Flavo-bacterium rhenanus, yang menghasilkan senyawa-
senyawa pembentuk cita rasa yaitu kombinasi dari asam dan alkohol
pembentuk ester. Fermentasi dilakukan dalam keadaan anaerob,
namun bila dalam tempat fermentasi ada udara, akan mengakibatkan
terjadinya proses pembusukan pada sayur asin. Fermentasi pada
pembuatan sawi hijau asin merupakan fermentasi spontan, karena
tidak dilakukan penambahan mikroorganisme tertentu secara sengaja.
Mikroorganisme yang muncul saat proses fermentasi dapat berasal
dari sawi hijau, udara, media, peralatan, manusia, atau bahan-bahan
lain yang digunakan dalam proses pengolahan.
Dalam pembuatan sayur asin, sawi segar mula – mula didiamkan
sehari pada suhu ruang. Tujuannya pendiaman ini adalah untuk
mendapatkan struktur jaringan sawi yang lebih lunak sehingga
memudahkan untuk proses berikutnya. Kemudian proses
penambahan garam dan penggilasan hingga cairan dalam jaringan
keluar. Penambahan garam tersebut berfungsi untuk mengurangi
bakteri pembusuk dan menyeleksi bakteri yang dikehendaki dan
garam juga menyebabkan cairan yang terdapat dalam sawi tertarik
keluar melalui proses osmosis. Selain itu, konsentrasi garam yang
terlalu rendah (kurang dari 2,5%) mengakibatkan tumbuhnya bakteri
proteolitik (bakteri yang menguraikan protein). Sedangkan konsentrasi
garam lebih dari 10% akan memungkinkan tumbuhnya bakteri halofilik
(bakteri yang menyenangi kadar garam tinggi). Oleh karena itu,
konsentrasi garam harus dipertahankan selama proses fermentasi.
Media yang digunakan pada proses fermentasi sawi hijau ini adalah
bubur beras putih atau biasa dikenal dengan bubur tajin dengan
fungsi sebagai media pertumbuhan bakteri asam laktat yang
menyediakan kebutuhan nutrisi terutama sebagai sumber karbon
untuk aktivitasnya. Bubur Tajin mengandung pati amilosa, jadi pada
saat fermentasi mengakibatkan adanya peningkatan gula reduksi
pada bahan. Pati yang berupa amilosa tersebut didegradasi oleh
bakteri asam laktat menjadi glukosa dan maltosa. Glukosa dipecah
oleh bakteri asam laktat menjadi asam laktat. Glukosa dan maltosa
yang masih terdapat dalam air tajin terukur sebagai gula reduksi
(Steinkraus, 1983).
Setelah penyimpanan selama 7 hari, sayur tersebut memiliki
aroma yang tidak sedap. Hal itu disebabkan karena selama proses
fermentasi tampak tumbuh selaput keputih-putihan mycoderma di
atas larutan garam, jadi selaput tersebut merupakan mikoorganisme
yang menyebabkan bau tidak sedap. Lalu sayur asin ini berwarna
hijau, dan memiliki pH akhir yaitu 6, pH tersebut mengalami kenaikan
dari pH awalnya yaitu 5. Selain itu tekstur akhir dari sayur asin ini
adalah pelunakan (softening). Pelunakan tekstur disebabkan oleh
perubahan kimia biasa sebagai akibat proses pengolahan maupun
aktivitas enzim pektinolitik atau enzim selulolitik yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Bakteri yang berperan dalam kerusakan ini antara
lain Bacillus subtilis, Bacillus polymixa, Achromobacter, Erwinia,
Enterobacter, Achromonas, dan Eschericia. Selain bakteri, kapang
dan khamir juga berperan dalam terjadinya kerusakan ini. Kapang
yang terlibat adalah Penicillium chrysogenum, sedangkan khamir
yang terlibat adalah Saccharomyces oleaginosus (Vaughn, 1982).
Dan rendemen yang dihasilkan pada sayur asin adalah 86,8%. Maka
apabila diinginkan hasil produksi 125 g sayur asin, maka diperlukan
bahan baku sawi sebanyak 144 g.
2. Sauerkraut
Sauerkraut dalam kemasan adalah suatu produk makanan hasil
fermentasi irisan atau cincangan kubis (Brassica oleracea) segar yang
diawetkan didalam kemasan larutan garam atau cairan fermentasi
juice Kraut dengan atau tanpa pemanasan (SNI 01-2600-1992).
Pada praktikum sauerkraut ini, pengawetannya dengan melakukan
fermentasi spontan yaitu tidak menambahkan starter bakteri. Bakteri
asam laktat secara alami yang terdapat dalam sayuran kubis.
Proses pembuatan sauerkraut yaitu dengan penambahan garam pada
kubis dan pengadukan serata mungkin sambil ditekan-tekan dan
mengeluarkan air. Penekanan dan pemberian garam pada proses
peragian/pengawetan dimaksudkan agar cairan dalam kubis keluar
dan mencegah pembusukan. Cairan bahan tersebut banyak
mengandung gula, protein, lemak dan mineral yang merupakan media
selektif bagi pertumbuhan bakteri dan mikroba lain. Setelah itu
prosesnya adalah pemasukkan kubis kedalam botol wadah, kubis
tersebut harus tercelup semua ke dalam larutan garam, hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan khamir dan
kapang yang tidak diinginkan selama proses fermentasi. Setelah itu.
penambahan merica bubuk pada fermentasi sauerkraut yang
berfungsi sebagai zat antimikroba. Zat antimikroba adalah senyawa
yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Zat antimikroba dapat bersifat membunuh
mikroorganisme (microbicidal) atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (microbiostatic). Dalam industri pangan zat
antimikroba digunakan dalam teknik pengawetan makanan. Hal ini
dikarenakan makanan dan minuman mengalami kerusakan karena
aktivitas mikroorganisme. aktivitas mikroorganisme ini selain
menyebabkan kerusakan juga dapat menghasilkan toksin yang
mengakibatkan keracunan (Anonim, 2010). Merica juga mempunyai
kemampuan menghambat jamur dan bakteri. Antimikroba yang
berperan pada merica yaitu jenis capcaisin. Capcaisin merupakan
komponen aktif dominan yang berperan terhadap aktivitas
antimikroba merica. Setelah itu, permukaan botol wadah ditutupi
dengan lembaran plastik, lalu diletakan pemberat diatasnya yang
berisi larutan garam dengan kosentrasi sama. Fungsinya untuk
mengurangi udara dalam irisan sawi. Toples disimpan dalam ruangan
gelap.
Leuconostoc mesenteroides memulai fermentasi yang kemudian
dilanjutkan oleh jenis yang lebih tahan asam yaitu Lactobacillus
brevis, Lactobacillus plantarum dan Peiococcus sereviseae. Suhu di
antara 25-30oC merupakan suhu optimal untuk mutu produk dan
fermentasi yang sempurna dapat terjadi dalam waktu 2-3 minggu
(Purnomo, 1985).
Garam pada pembuat sauerkraut ini menarik air dan zat-zat gizi
dari jaringan sayuran. Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk
pertumbuhan bakteri asam laktat yang telah terdapat di permukaan
daun-daun kubis. Garam dan asam yang dihasilkan dari proses
fermentasi akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang
tidak diinginkan dan menunda pelunakan jaringan kubis yang
disebabkan oleh kerja enzim. Jika konsentrasi garam yang digunakan
untuk proses fermentasi terlalu rendah, maka terjadi proses
pelunakan jaringan buah dan sayur akibat dari aktivitas enzim
pektinolitik. Enzim ini berfungsi untuk mendegradasi molekul pektin
yang banyak ditemukan pada sel tanaman. Sebaliknya apabila jumlah
garam yang terlalu banyak justru akan menunda fermentasi alamiah,
menyebabkan warna menjadi gelap, dan memungkinkan pula
pertumbuhan khamir (Buckle d. , 1987)
Setelah penyimpanan selama 7 hari, sauerkraut ini memiliki warna
akhir atau yang telah terfermentasi yaitu putih kekuningan. Warna
awal dari kubis yaitu hijau. Hasil dari pembuatan sauerkraut yang
telah dibuat sesuai dengan karakteristik standar fermentasi sauerkraut
yaitu putih kekuningan. Warna putih kekuningan ini diperoleh dari
serangkaian proses pada saat fermentasi. Hal ini sesuai dengan
karakteristik keberhasilan dari fermentasi sauerkraut. Selain itu dari
aroma, aroma yang dihasilkan pada proses fermentasi yaitu asam
seperti acar. Yang menjadi ciri khas aroma dari sauerkraut sendiri
yaitu aroma dari bahan baku untuk pembuatan sauerkraut masih ada.
Sauerkraut yang telah dibuat berbahan baku kubis, sehingga aroma
sayur kubis masih terdapat pada produk hasil fermentasi ini.
Kemudian dari tekstur, tekstur yang dihasilkan dari pembuatan
sauerkraut ini adalah agak lunak. Hal ini terjadi karena kandungan air
yang ada dalam sayur kubis terdorong keluar, sehingga menghasilkan
air walaupun sedikit dan membuat tekstur renyah kubis menjadi lunak.
Konsistensi lunak yang dihasilkan sauerkraut sesuai dengan
karakteristik keberhasilan pembuatan sauerkraut yaitu lunak. pH akhir
dari sauerkraut ini adalah 4. Dan rendemen yang dihasilkan pada
sauerkraut adalah 135%. Maka apabila diinginkan hasil produksi 135
g sauerkraut, maka diperlukan bahan baku kubis sebanyak 100 g.
3. Pikel Cabai
Menurut Bender (2002), pikel adalah produk makanan hasil
perendaman dalam larutan garam 6-10 % sehingga mengalami
fermentasi asam laktat. Gula dalam bahan yang difermentasi akan
diubah menjadi asam laktat dalam waktu tertentu sampai kadar asam
mencapai 1 %. Media yang digunakan pada fermentasi pikel cabai
adalah larutan garam dan cuka.
Proses pembuatan pikel diawali dengan mensortasi bahan yaitu
cabai, kemudian bahan dicuci hingga bersih agar terhindar dari
kontaminasi mikroorganisme merugikan. Cabai kemudian di blansing
selama 3 menit dan dilanjutkan dengan penyiraman cabai yang sudah
diblansing dengan air dingin. Tujuan dari blansing adalah untuk
menonaktifkan enzim alami yang terdapat pada cabai, membunuh
sebagian jasad renik yang terdapat pada cabai, mematikan jaringan-
jaringan cabai, menghilangkan kotoran yang melekat pada cabai,
menghilangkan zat-zat penyebab lendir pada cabai, mengeluarkan
gas-gas termasuk O2 dalam jaringan cabai, mempertahankan mutu
sensorik dan nutrisi dari cabai. Kemudian bahan direndam dalam
larutan perendam yang terdiri dari 1 liter air matang + 50g garam
dapur + 50ml cuka lalu disimpan ditempat galap selama kurang lebih
satu minggu. Fungsi penambahan garam adalah untuk menekan
pertumbuhan bakteri pembusuk yang mungkin ada pada cabai.
Pembuatan pikel ini digunakan penggaraman awal, kemudian
diikuti oleh fermentasi asam laktat yang dimulai oleh Leuconostoc
mesenteroides dan diselesaikan oleh bakteri asam laktat lainnya
seperti Lactobacillus brevis dan Lactobacillus plantarum.
Setelah penyimpanan selama 8 hari, pikel cabai ini memiliki warna
akhir atau yang telah terfermentasi yaitu merah keorangean dengan
air disekelilingnya yang keruh. Pikel yang telah dibuat berbahan baku
cabai, sehingga aroma cabai masih terdapat pada produk hasil
fermentasi ini. Selanjutnya tekstur, tekstur yang dihasilkan pada
pembuatan pikel ini adalah keras. Untuk rasa yang dihasilkan pada
pembuatan pikel ini asin, karena terlalu lamanya perendaman
sehingga membuat larutan garam yang masuk ke cabai lebih banyak.
pH yang dihasilkan pada pembuatan pikel cabai ini adalah 3, pH
tersebut tidak mencapai pH pikel cabai pada umumnya, karena pikel
cabai seharusnya memiliki pH 4. Dan rendemen yang dihasilkan pada
pikel cabai adalah 101,42%. Maka apabila diinginkan hasil produksi
142 g pikel cabai, maka diperlukan bahan baku cabai sebanyak 140
g.
4. Asinan Mangga
Asinan mangga merupakan mangga yang diawetkan dengan jalan
fermentasi asam. Bakteri yang digunakan adalah Lactobacillus sp.,
Streptococcus sp., dan Pediococcus. Bakteri ini adalah bakteri yang
bersifat anerob fakultatif, bakteri ini bekerja dengan cara merubah
laktosa dan gula lainya menjadi asam laktat melalui aktivitas enzim
protease. Asam laktat yang terbentuk dapat membatasi pertumbuhan
mikroorganisme lain dan memberikan rasa khas pada mangga yang
difermentasi.
Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba pada
fermentasi asinan mangga adalah larutan garam dan gula.
Penambahan gula dan garam ke dalam bahan pangan dalam
konsentrasi tinggi sebagian air menjadi tidak tersedia untuk
pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) akan berkurang
(Buckle d. , 1987). Selain menurunkan aw, mekanisme pengawetan
dengan garam dapat memecahkan membran sel mikroba karena
garam memiliki tekanan osmotik yang tinggi. Dan untuk gula
merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya
diubah menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi
sebagai pengawet produk asinan. Mangga ini ditempatkan dalam
wadah tertutup agar bakteri anaerob dapat bekerja melakukan
fermentasi.
Setelah penyimpanan selama 2 hari, asinan mangga ini memiliki
warna kuning keputihan, warna khas mangga menjadi pudar. Asinan
yang telah dibuat berbahan baku mangga, sehingga aroma mangga
masih terdapat pada produk hasil fermentasi ini. Selanjutnya tekstur,
tekstur yang dihasilkan pada pembuatan asinan mangga ini adalah
keras. pH yang dihasilkan pada pembuatan asinan mangga ini adalah
3. Berarti dapat dikatakan bahwa, pada pembuatan asinan mangga ini
berhasil karena pH asinan mangga yang sesuai standar yaitu < 4,5.
pH berasam tinggi yaitu < 4,5 ini bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme pembusuk (kapang dan khamir) dengan cara
penambahan asam cuka hingga mencapai pH 3,6. Selain itu, juga
bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk karena pH 4,5
adalah pH kritis yang merupakan pH dimana C.butulinum mulai
dapat tumbuh. Maka dari itu, untuk rasa yang dihasilkan pada
pembuatan asinan mangga ini lebih dominan rasa asam dibandingkan
dengan rasa asin.
Dan rendemen yang dihasilkan pada asinan mangga adalah
77,02%. Maka apabila diinginkan hasil produksi 325 g asinan
mangga, maka diperlukan bahan baku manga sebanyak 457 g.

No Pengamatan Marmalade Selai Jelly Chutney


1. Bobot awal (g) 680 291,5 397 687
2. Bobot akhir (g) 299 150 559 385
3. Rendemen (%) 14,98 51,45 86,2 56,04
4. pH awal 3,5 5,5 4 3
5. pH akhir 4 3,5 3 3
6. Padatan (oBrix) - 38 46 56
7. Kenampakan Kental Halus Kental (++) Kental
keseluruhan bertekstur bertekstur
8. Kekentalan +++ +++ ++ +++
9. Warna Kuning Orange Kuning Cokelat
keorangean (+++) keorangean (+++)
(+++)
10. Aroma Caramel Khas Khas nanas Khas
pepaya, pepaya (+) rempah
nanas (+++) (+++)
11. Tekstur Kental, Lengket, Kenyal (++) Kental
lengket, lunak bertekstur
jendol
12. Rasa Manis Manis Manis Manis (++)
asam (+++) (+++) Asam (+)
Asam (+) Asam (+++) Rempah
(+++)
13. Daya Oles - +++ - +++

5. Marmalade
Pada praktikum kali ini, bahan dasar marmalade adalah buah
pepaya dan nanas. Marmalade adalah buah yang diolah menjadi
bubur buah dengan ditambahkan gula dan asam pada konsentrasi
tertentu. Marmalade mengalami pengentalan dengan pemanasan.
Irisan kulit atau potongan buah merupakan ciri khas produk ini. Selain
buah, terdapat bahan dasar lainnya yaitu gula pasir yang berfungsi
sebagai penambah citarasa manis serta pengawet alami dan pektin
yang berfungsi untuk membantu dalam pembentukan gel dalam
marmalade.
Tekstur marmalade tidak sepekat selai karena buah yang
digunakan tidak mengandung banyak ampas/pati. Pada
prinsipnya hampir semua jenis buah-buahan dapat dibuat
marmalade, terutama buah yang mengandung pektin. Pektin adalah
senyawa polisakarida yang berguna untuk membentuk gel dengan
gula pada suasana asam.
Mekanisme pembentukan gel yaitu berdasarkan pemanasan bubur
buah dengan menambah gula, pektin, dan asam sitrat sehingga
menyebabkan kadar airnya berkurang dan membentuk gel. Hal
tersebut terjadi karena adanya pemutusan ikatan hidrogen yang
disertai dengan energi panas (pemanasan) makakarbohidrat yang
mempunyai gugus -OH dapat mengikat air melalui ikatan
hidrogen (Sudarmadji, 1989). Marmalade yang sesuai dengan SNI
dilihat dari berbagai sifat diantaranya keadaan tekstur, bau, rasa,
dan warna. Warna marmalade yang sesuai SNI adalah warna kuning
bening, tekturnya lengket lembut, rasa dan baunya khas buah.
Warna yang dihasilkan dari pembuatan marmalade adalah kuning
keorangean. Hal ini dapat disebabkan karena pada warna dasar dari
bahan tersebut yaitu pepaya dan nanas yaitu kuning keorangean.
Selain itu pada saat pengadukan di pemanasan yaitu stabil sehingga
warna yang dihasilkan tetap baik dan sesuai dengan SNI. Untuk rasa
dan aroma pada pembuatan marmalade ini sudah sesuai dengan SNI
yaitu rasanya manis, dan aroma nya khas buah pepaya, nanas dan
karamel. Marmalade beraroma karamel karena pada pemanasan
pada saat pemasakan. Tetapi untuk tekstur, dari pembuatan
marmalade ini memiliki tekstur yang menjendal.
6. Selai
Pada praktikum kali ini, bahan dasar selai adalah buah pepaya.
Javanmard dan Ednan (2010) menyatakan bahwa selai merupakan
makanan yang dapat dibuat secara sederhana yaitu buah – buahan
yang berasa asam. Pembuatan selain dipengaruhi oleh berbagai
parameter seperti jenis buah, suhu, dan teknologi proses. Menurut
Yulian (2011), selai berbentuk semipadat dan terbuat dari campuran
45 bagian berat buah – buahan dan 55 berat gula. Selai dibuat
dengan dihancurkan, ditambahkan gula, dan dimasak sampai
mengental. Penambahan gula sangat penting untuk memperoleh
tekstur, penampakan dan rasa yang baik (Syahrumsyah, 2010).
Pada saat praktikum, bahan untuk pembuatan selai adalah
pepaya. Karena pepaya merupakan salah satu buah-buahan yang
memiliki kandungan pektin banyak, Oleh karena itu dalam proses
pembuatannya tidak perlu ditambahkan pektin untuk membentuk gel
pada selai. Pektin adalah komponen yang diperlukan untuk
membentuk gel (kekentalan) pada produk selai. Pektin merupakan
senyawa heteropolisakarida penyusun dinding sel tanaman yang
tersusun atas asam D-galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan
1,4 α-galaturonat dan secara alami terdapat pada buah-buahan dalam
jumlah besar dengan kadar yang berbeda-beda. Tergantung pada
tingkat kematangannya semakin tinggi tingkat kematangan buah,
semakin rendah kandungan pektinnya (Naufalin, 2015). Kemampuan
pektin membentuk gel dengan gula, asam, dan air sangat diperlukan
dalam pembuatan selai. Penambahan gula akan mempengaruhi
keseimbangan pektin-air yang ada dan meniadakan kemantapan
petin (Latifah, 2013).
Dari hasil pengamatan selai pepaya ini memiliki kekentalan (+++),
karena pektin yang terkandung dalam pepaya atau sari buah pepaya
yang bereaksi dengan gula dan asam membuat selai ini menjadi
kental. Selain itu memiliki warna orange, warna orange ini dihasilkan
dari warna yang terdapat dari bahan buah – buahan nya yaitu pepaya.
Selain itu aromanya juga masih terdapat khas pepaya. Kemudian
untuk tekstur, tekstur dari selai pepaya ini lengket dan lunak. Rasa
dari selai ini yaitu manis karena adanya penambahan gula dan juga
asam karena pada proses pembuatannya pH awal nya adalah 5,5.
Untuk buah yang memiliki pH > 3 – 3,5 maka ditambahkan dengan 1/2
sdt asam sitrat. Penambahan asam sitrat ini berfungsi untuk mengatur
pH dan menghindari pengkristalan gula. pH yang dihasilkan pada
selai pepaya ini adalah 3,5. Rendemen selai adalah 51,45. Hal ini
disebabkan karena pada saat proses pengolahan selai pepaya
dipengaruhi tingkat kematangan buah tersebut. Karena pepaya yang
digunakan ini masih matang sehingga masih banyak kandungan
pektin di dalamnya sehingga akan mempercepat penggumpalan
dalam pembuatannya menjadi selai. Hasilnya akan mempengaruhi
jumlah selai yang terbentuk dan akan berpengaruh pada jumlah
rendemen yang dihasilkan. Untuk berat selai, berat selai lebih rendah
daripada berat sari buah, ini disebabkan karena sari buah diserap
oleh larutan gula sehingga kandungan air berkurang sangat signifikan.
Dan untuk daya oles, makin tinggi kadar gula, makin berlurang air
yang ditahan oleh struktur (Desrosier, 1988). Oleh karena itu dengan
adanya proporsi daging buah pepaya yang tinggi maka produk selai
pepaya ini memiliki daya oles yang baik, hal tersebut juga dapat
dipengaruhi dari kadar gula dalam pepaya.
7. Jelly
Pada praktikum kali ini, bahan dasar jelly adalah buah nanas,
gelatin, air dan gula. Penggunakan dengan buah nanas dikarenakan
buah nanas mempunyai serat yang tinggi dan mengandung protein
sehingga cocok dijadikan sebagai bahan utama pembuatan jelly.
Kemudian serbuk gelatin digunakan sebagai pembentuk pektin
sehingga menghasilkan jelly. Akan tetapi, pada saat praktikum bahan
serbuk gelatin diganti dengan agar-agar dikarenakan tidak
ditemukannya gelatin serbuk. Kemudian, air disini digunakan sebagai
pelarut. Dan gula berfungsi sebagai pemanis, pengental, dan juga
dapat berfungsi sebagai pengawet.
Dari hasil pengamatan jelly ini memiliki aroma yang lemah. Hal itu
dikarenakan nanas yang digunakan setengah matang. Apabila nanas
yang digunakan matang maka jelly yang dihasilkan beraroma kuat.
Hal ini menunjukan bahwa penambahan pektin mempengaruhi aroma
dari jelly. Berdasarkan pernyataaan Anonim (2010) bahwa
penambahan pektin pada pembuatan jelly juga akan menimbulkan
bau busuk pada jelly, apabila dilakukan penyimpanan dalam waktu
lama. Selain itu jelly nanas memiliki warna kuning keorangean, warna
ini dihasilkan dari warna yang terdapat dari bahan buah – buahan nya
yaitu nanas.
Rasa pada jelly nanas dipengaruhi dari penambahan gula
terhadap rasa jeli nanas. Gula berfungsi sebagai rasa manis dan
pengawet, gula juga mempunyai peranan khusus yang sifatnya
tergantung dengan pektin dan asam. Banyaknya gula yang
ditambahkan tergantung pada kandungan pektin dan asam.
Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan air dan pektin
yang ada. Buah yang kandungan pektinnya rendah seperti nanas,
maka penambahan gula sebaiknya lebih sedikit daripada bagian
buahnya.
Kekentalan pada jelly nanas tersebut terendah diantara produk
penggulaan lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena bahan pada
pembuatan jelly ini yaitu nanas yang memiliki kandungan pektin
rendah, maka penambahan gula lebih sedikit daripada bagian
buahnya. Semakin rendah konsentrasi pektin, maka semakin rendah
kekentalan larutannya karena pektin merupakan bahan pengental
sedangkan gula membantu pektin untuk membentuk gel yang
mengental, sehingga jelly yang dihasilkan semakin kenyal. Hal ini
menunjukan bahwa gula dan pektin merupakan faktor utama
pembentukan jelly.
pH akhir pada jelly nanas adalah 3. Berdasarkan teori, pH
optimum pembentukan gel dari pektin adalah pH 2,8 – 3,2. Dan
apabila pH diatas 3,5 maka gel tidak akan terbentuk. Sedangkan pH
dibawah 2,5 maka gel yang terbentuk terlalu keras (Jelen, 1985). Jadi
dapat disimpulkan bahwa pembuatan jelly nanas ini berhasil.
8. Chutney
Pada praktikum kali ini, bahan dasar chutney adalah buah pepaya.
Chutney terbuat dari potongan buah-buahan dan atau sayuran yang
dimasak dalam campuran manis dan asam dari tumbuhan, rempah-
rempah, gula dan cuka. Berdasarakan hasil pengamatan, rasa
chutney yang diperoleh adalah manis, asam dan lebih ke rasa
rempah. Rasa asam pada chutney pepaya yang diperoleh saat
pengamatan berasal dari asam sitrat. Tujuan dari penambahan asam
tersebut selain untuk meningkatkan cita rasa juga untuk
mengawetkan chutney selama penyimpanan. Berdasarkan deskripsi
rasa chutney yang digambarkan oleh Tarwiyah (2001) yakni berasa
pedas, asam dan merangsang. Hingga kini belum ada standar baku
baik yang diterbitkan oleh SNI maupun standar lainnya sehingga lebih
sulit untuk membandingkan kualitas chutney yang diperoleh dengan
chutney yang ada dipasaran. Berdasarkan hasil pengamatan, pH
chutney yang diperoleh 3. Selain itu untuk kenampakan keseluruhan
dan kekentalan memiliki hasil yang kental bertekstur. Dan warna nya
yaitu coklat, hal ini dapat terjadi karena adanya pemanasan pada saat
pemasakan. Untuk aroma yaitu memiliki aroma yang dominan rempah
yang ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh formulasi penambahan
bumbu halus atau rempah yang tidak seimbang dan tidak disesuaikan
dengan karakteristik fisikokimia yang dimiliki oleh setiap masing-
masing rempah yang ditambahkan. Dan untuk daya oles yaitu
memiliki hasil yang baik, hal tersebut juga dapat dipengaruhi dari
kadar gula dalam pepaya.
Total padatan terlarut pada chutney ini yaitu 56o brix. Pengukuran
total padatan terlarut dengan satuan Brix menunjukan banyaknya gula
yang terlarut dalam chutney diukur semakin besar derajat Brix yang
terbaca maka kandungan gula pada chutney semakin besar. Padatan
terlarut erat kaitannya dengan kandungan karbohidrat dalam bahan,
padatan tersebut dapat dihasilkan dari penambahan gula saat proses
pemasakan maupun berasal dari gula alami dari pepaya, dimana
menurut Tjahjadi (2008) karbohidrat dalam sayur dan buah terdiri dari
monosakarida,oligosakarida dan polisakarida yang terlarut dalam
cairan sel sayuran dan buah. Monosakarida utama adalah glukosa,
fruktosa, manosa, xylosa dan arabinosa. Oligosakarida berupa
sukrosa dan selain itu karbohidrat juga ditemukan dalam bentuk pati
yang selama penyimpanan akan terurai menjadi gula sederhana.
BAB V. PENUTUP

5.1 Simpulan
1. Karakteristik sayur dan buah yang cocok untuk difermentasi adalah
yang belum terlalu matang, karena jika matang maka tekstur dari
fementasi tersebut akan kurang baik yaitu lunak dan lembek.
2. Prosedur fermentasi yang sesuai dengan karakteristik sayur dan buah
dapat dilihat dari penggunaan setiap bahannya. Terdapat beberapa
yang harus diperhatikan dalam prosesnya yaitu pH, suhu, kandungan
garam yang ditambahkanm dan waktu penyimpanan.
3. Karakteristik produk fermentasi sayur dan buah adalah berasa asam,
mengandung alkohol walaupun dalam kadar rendah (fermentasi gula),
tekstur lebih lunak dibandingkan dengan bahan baku segar, dan
aroma yang khas.
4. Karakteristik buah yang cocok diolah dengan metode penggulaan
yaitu memiliki kematangan yang rendah, karena pada bahan yang
belum matang memiliki konsentrasi pektin yang tinggi. Pektin berguna
untuk bahan pengental agar hasil dari penggulaan tersebut berhasil.
5. Karakteristik sifat organoleptik buah yang diolah dengan metode
penggulaan yaitu memiliki kenampakan keseluruhan yang kental,
memiliki rasa yang manis, warna dan aroma masih terdapat khas
buah, dan memiliki tekstur yang kenyal.
5.2 Saran
Saat praktikum diharapkan praktikan lebih tertib, sehingga waktu yang
digunakan dapat digunakan dengan efektif dan efisien. Selain itu
ketelitian pada saat praktikum juga diperlukan untuk mendapatkan hasil
yang sesuai dan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Pangan. (1981).

Bender, D. (2002). Introduction To Nutrition and Metabolism Third Edition.


London: Taylor & Francis e-Library.

Buckle, K. (1987). Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press.

Latifah, Rudi, N., & Choirunissa, A. (2013). Pembuatan Selai Lembaran Terong
Belanda . Jurnal Teknologi Pangan.

Naufalin, R., Friska, C., & Dian, M. (2015). Pepaya Aneka Olahan Sehat.
Yogyakarta: Plantaxia.

Pangan, P. P. (1981). Sayur Asin (Paket Industri Pangan untuk Daerah


Pedesaan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Purnomo, H. (1985). Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press.

Vaughn. (1982). Lactic Acid Fermentation of Cabbage, Cucumber, Olives and


Other Product. In Prescott and Dunns Industrial Microbiology. . Texas:
Fourth edition. AVI Publishing Co.

Anda mungkin juga menyukai