Anda di halaman 1dari 25

Pancasila dalam Sudut Pandang Islam

Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada tahun 1945 adalah pengorbanan umat Islam yang
amat besar demi mengangkat tali persaudaraan ditengah masyarakat multikultur di Indonesia. Hal seperti
ini bukanlah hal pertama yang dilakukan para tokoh Islam. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia,
tepatnya pada tahun 6 H terjadi hal yang kurang lebih sama. Pada saat itu adalah saat dimana perjanjian
Hudaibiyah disepakati. Perjanjian yang mengangkat nilai perdamaian antara umat Islam yang dipimpin
oleh Muhammad SAW dan kaum Quraisy memaksa Muhammad SAW menghapuskan lafadz basmallah
pada awal naskah perdamaian. Sejatinya tak ada seorang sahabatpun yang berani menghapuskan lafadz
itu yang amat sakral bagi umat islam, namun rasulullah SAW lebih memilih nilai perdamaian dan
menggantikan lafadz basmallah dengan lafadz bismika Allahumma yang dapat diterima oleh semua
pihak.

Bercermin dari hal tersebut, sekali lagi umat Islam mendapatkan ujian untuk menggantikan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, guna menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang multikultur dalam satu koridor, satu
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pancasila tidak diagamakan juga bukan buah pikir isme sekuler yang bertentangan dengan ideologi
bangsa Indonesia yang religious. Pancasila adalah produk Indonesia asli yang senantiasa mengangkat
nilai religi. Lalu seperti apakah hubungan timbal balik antara agama (Islam) dengan nilai-nilai dalam
Pancasila?

Pancasila adalah bagian ajaran agama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan persamaan
hak serta pengamalan agama dalam konteks bernegara. Dengan begitu, mengamalkan nilai-nilai
pancasila berarti mengamalkan nilai yang diajarkan agama. Nilai-nilai dalam pancasila yang sesuai
dengan ajaran Islam dapat diidentifikasikan dalam ajaran Islam. Pada sila pertama yang berbunyi
“ketuhanan yang maha esa”, bisa kita identifikasikan kedalam firman Allah SWT yang terjemahannya
dalam bahasa Indonesia adalah “katakanlah Muhammad bahwa Allah itu esa”. Hal ini menandakan
bahwa ada kesesuaian antara ajaran Islam dengan nilai sila pertama ini. Pada sila kedua, “kemanusiaan
yang adil dan beradab”, sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ar-Rahman ayat 8
yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “tegakkanlah timbangan dengan keadilan dan
jangan sekali-kali kamu berlaku curang dalam timbangan”. Pada sila yang ketiga, “persatuan
Indonesia” berkaitan erat dengan firman Allah SWT “berpegang teguhlah kamu dengan agama Allah
dan jangan kamu berpecah belah” (Q.S Ali-Imran : 103). Begitu juga dengan dua sila berikutnya yang
masing-masing bisa diidentifikasikan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 dan hadits nabi
Muhammad SAW yang shahih.

Dengan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan Pancasila semoga tidak
menjadikan kita melenceng dari agama. Sesungguhnya apa yang ada pada Pancasila dijiwai oleh hukum
Islam yang memang harus dijunjung tinggi oleh umat.

http://hukum.kompasiana.com/2013/03/02/pancasila-dalam-sudut-pandang-islam-538510.html
Pancasila dan Budaya Indonesia

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhannas

Amat menggembirakan, pada tahun 2006 terjadi perubahan dalam sikap masyarakat Indonesia yang
ingin Pancasila direvitalisasi dan dikembangkan dalam kehidupan bangsa.

Ini satu perubahan dari keadaan saat Pancasila dilecehkan, bahkan ditolak oleh banyak kalangan,
termasuk kaum muda.

Harus diakui, banyak penyelewengan dilakukan dengan kedok Pancasila. Namun itu bukan alasan untuk
menolak dan membuang Pancasila. Sukar dibayangkan kehidupan bangsa Indonesia yang sungguh-
sungguh sejahtera lahir batin tanpa Pancasila yang merupakan formulasi sikap budaya Indonesia. Di satu
pihak, kebudayaan Indonesia terbentuk dari aneka ragam budaya yang merupakan hasil budidaya
berbagai suku bangsa Indonesia.

Di pihak lain, ada garis merah yang menunjukkan persamaan sikap hidup di antara sekian banyak suku
bangsa Indonesia. Itulah yang digali Bung Karno, presiden pertama, dari kehidupan bangsa Indonesia.
Kita bersyukur, para Pendiri Bangsa Indonesia menerima pendapat Bung Karno untuk menjadikan
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia.

Harmoni

Sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia adalah bahwa manusia
Indonesia menegakkan harmoni dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat. Harmoni
atau keselarasan itulah yang tergambar dalam Pancasila berupa Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.

Sikap budaya harmonis itu banyak persamaannya dengan sikap budaya berbagai bangsa di Asia, antara
lain Jepang yang juga menegakkan harmoni dalam segenap hubungan manusianya.

Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak
Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature).
Dengan sikap budaya itu dunia Barat mengembangkan ilmu pengetahuan secara dramatis dan kehidupan
dinamis yang memandang konflik sebagai jalan kemajuan. Berdasarkan ilmu pengetahuan, Barat
mengembangkan kehidupan materiilnya dan kesanggupan meluaskan kekuasaan.

Jika sikap budaya Harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka
sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat
menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme
dan kolonialisme.

Sebagaimana dibuktikan sejarah, sikap budaya harmonis bukan sesuatu yang pasif dan status quo. Itu
terlihat dalam sejarah Indonesia dengan kesediaan untuk menerima agama Hindu, lalu Buddha, diikuti
Islam dan Kristen. Sikap budaya harmonis berusaha melihat segi positif barang luar untuk diambil dan
diintegrasikan dengan miliknya sendiri.
Namun pengambilan itu tidak membuang yang lama meski berbeda, tetapi dijaga kontinuitas
keindonesiaan. Diterima Hindu tanpa membuang yang asli, yaitu animisme dan dinamisme. Diterima
Buddha tidak menghilangkan Hindu, begitu seterusnya. Itu sebabnya Raden Patah sebagai pimpinan
kerajaan Islam Demak menyatakan Demak adalah kelanjutan Majapahit, bukan perpanjangan tangan
satu kerajaan Arab.

Sikap budaya harmonis adalah toleran. Itu dapat dilihat saat berbagai umat beragama yang berbeda,
khususnya Islam dan Kristen, bereksistensi dengan baik dan penuh gotong royong antara pemeluknya,
sebagaimana dulu dapat dilihat di Angkola Sipirok (Tapanuli) dan di Maluku.

Ketika di Indonesia, dunia Barat dengan sikap budayanya bisa diimbangi budaya harmonis, meski terjadi
penjajahan dan praktik imperialisme, kehidupan masyarakat Indonesia dapat terpelihara sesuai prinsip
harmoni, toleransi, kontinuitas.

Komunis

Namun, sejak pertengahan abad ke-20 hegemoni dunia Barat meningkat drastis, baik yang kapitalistis
maupun komunistis. Mulai saat itu bangsa Indonesia kian sukar memelihara sikap budaya harmoni,
dibuktikan kian tersisihnya sifat gotong royong dalam kehidupan, bahkan di desa- desa. Apalagi setelah
Amerika dan sekutunya mengalahkan saingannya, komunis, semangat menaklukkan dan hegemoni kuat
dirasakan di Indonesia dan dunia.

Kini, di Indonesia tidak saja sifat gotong royong sulit ditemukan, toleransi antarumat beragama makin
tiada. Dan yang lebih berbahaya, makin banyak yang mengabaikan kontinuitas keindonesiaan.

Maka, jika kita merevitalisasi Pancasila, yang harus dilakukan adalah menghidupkan dan memperkuat
sikap budaya Indonesia. Waspadai, jangan sampai revitalisasi disalahgunakan untuk membelokkan
Pancasila sesuai dengan keinginan pihak tertentu. Sebagaimana dulu PKI menerima Pancasila tetapi
sesuai dengan kepentingannya. Jangan sampai dengan alasan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka,
lalu dibelokkan dengan nama sama, seperti mengubah UUD 1945 amandemen yang jiwanya
bertentangan.

Hal ini merupakan perjuangan yang tidak mudah karena kita belum mempunyai kehidupan modern yang
berlandasan harmoni. Berbeda dengan Jepang yang sejak Restorasi Meiji berhasil merebut keunggulan
Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap menjaga kontinuitas Jepang berupa sikap
harmoni dalam kehidupan.

Perjuangan yang tidak mudah ini memerlukan kepemimpinan yang teguh, mempunyai pemahaman
budaya, tetapi juga ada visi yang luas. Sebab di satu pihak, harus ditegakkan kembali sikap harmoni,
terwujud dalam gotong royong. Di pihak lain, harus mengambil berbagai unsur luar yang bermanfaat
tanpa mengorbankan harmoni sebagai sikap budaya Indonesia. Perjuangan ini harus dilakukan dalam
kondisi dunia sekarang yang penuh konflik. Ditambah kondisi masyarakat Indonesia sendiri yang seperti
lepas kendali.

Karena diperlukan kepemimpinan yang tidak ringan dan harus berjangka lama, sebaiknya dikembangkan
kepemimpinan kolektif yang anggotanya mempunyai akar berbagai aspek kehidupan masyarakat
Indonesia. Mereka telah membuktikan kesetiaannya kepada kontinuitas Indonesia dan mempunyai
kepribadian yang berwibawa serta berbekal pengetahuan dan pengalaman.
Source : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0606/23/opini/2758329.htm

- See more at: http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=22#sthash.QmW727Xi.dpuf


http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=22

Menggali Nilai-Nilai Pancasila dalam Struktur Budaya Indonesia

A. Pengertian Nilai

Menurut Drs. Paulus Wahana, nilai tidak dapat terwujud pada dirinya sendiri dalam perwujudannya di
dunia inderawi ini. Nilai membutuhkan sesuatu untuk menjelmakannya sebagai pembawa nilai (carrier
of value). Nilai menjadi nyata ketika diwujudkan dan melekat sebagai kualitas pada barang/ keadaan/
peristiwa/ pribadi/ tindakan yang bernilai. Namun dalam dunia nilai, nilai merupakan kualitas yang
keberadaannya tidak tergantung pada pembawanya (hal bernilai).

Nilai merupakan suatu kualitas yang telah ada dan dapat ditangkap dan dirasakan manusia sebelum
mengalaminya dalam dunia inderawi. Kualitas nilai tidak tergantung pada pembawa nilai dan juga tidak
tergantung pada reaksi/ tanggapan serta penilaian kita. Nilai tidak berubah seiring dengan perubahan
pembawa nilai; nilai tidak berubah dan bersifat absolute. Nilai persahabatan tetap abadi sebagai nilai
persahabatan meskipun dalam pelaksanaan ada pengkhianatan.

Nilai merupakan kompleks kualitas yang memiliki kesesuaian serta menjadi arah tujuan bagi
kecenderungan kodrat manusia; selaras dengan kecenderungan kodrat manusia yang multi dimensional
sehingga bagi kita manusia terdapat berbagai jenis nilai, misalnya: terkait dengan kedudukan kodratnya
sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur, terdapat nilai ketuhanan, nilai keimanan, nilai religius; terkait
dengan sifat kodratnya sebagai mahluk sosial, terdapat nilai persatuan, nilai persahabatan, nilai
persaudaraan, nilai kerjasama; terkait dengan unsur kerohaniannya, terdapat nilai intelektual, nilai
rasional, nilai kebenaran, nilai kebatinan, nilai kedamaian, nilai keamanan, nilai kebebasan, nilai
kedaulatan; dan lain sebagainya.

Berdasarkan keanekaragaman bidang kehidupan manusia, dapat ditemukan berbagai bidang sebagai
berikut: nilai kesehatan, nilai sosial ekonomi, nilai sosial politik, nilai pendidikan, nilai keagamaan.
Berdasarkan langkah dan arah kegiatan mewujudkan nilai, terdapat 3 jenis nilai yaitu: nilai perantara
(bonum utile), nilai sejati yang sesungguhnya, dan nilai kesenangan yang menyertainya (bonum
delectabile).

Selain keanekaragaman nilai, terdapat suatu susunan hierarki nilai. hierarki nilai bersifat mutlak/
absolute dan mengatasi segala perubahan historis, serta membangun suatu system acuan yang absolute.
Setiap nilai, baik yang telah kita ketahui maupun yang belum kita ketahui memiliki tempatnya masing-
masing dalam hierarki nilai.

B. Nilai Moral dan Kewajiban Moral

Berdasarkan modul yang menjadi referensi kami, nilai moral ditemukan dalam perwujudan nilai- nilai
nonmoral. Nilai moral melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai- nilai lainnya dalam tata tertib
yang benar. Kebaikan moral merupakan kehendak mewujudkan nilai positif, kehendak mewujudkan
nilai lebih tinggi atau tertinggi; sedangkan kejahatan adalah kehendak memilih nilai positif, kehendak
memilih nilai yang lebih rendah atau nilai yang terendah.

Berkenaan dengan nilai moral, hanya pribadi dapat secara moral baik atau jahat. Kehendak maupun
perbuatan dapat menjadi baik atau jahat hanya sejauh sebagai tindakan pribadi atau yang dipahami
sebagai berhubungan dengan tindakan pribadi tersebut. Seorang pribadi tidak pernah hanya dapat dinilai
dan diperlakukan sebagai yang menyenangkan atau berguna, nilai- nilai ini secara hakiki merupakan
nilai barang dan nilai kejahatan.

Sesuatu yang bernilai positif harus ada dan sesuatu yang bernilai negatif harus tidak ada. Keberadaan
nilai positif pada dirinya sendiri adalah nilai positif, sebagai yang seharusnya ada; sedangkan keberadaan
nilai negatif sebagai yang seharusnya tidak ada dalam realitas inderawi. Semua kewajiban harus
memiliki dasarnya dalam nilai, yaitu bahwa suatu nilai harus ada atau tidak ada; nilai positif harus ada,
sedangkan nilai negatif harus tidak ada. Suatu ada sebagai yang secara positif harus ada itu benar,
sedangkan suatu ada sebagai yang harus tidak ada itu salah.

C. Menggali Nilai-nilai Pancasila dalam Budaya Indonesia

Drs. Paulus Wahana juga membagi lima tahap perkembangan budaya yang ada di Indonesia. Dan dalam
setiap tahapnya, terkandung unsur-unsur Pancasila yang dilihat dari lima sila yang ada. Berikut adalah
pembagian tahap-tahap perkembangan Pancasila dan unsur-unsur Pancasila di dalamnya.

a. Unsur Pancasila pada Tahap Kebudayaan Indonesia Asli


b. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Hindu
c. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Islam
d. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Kristen dan Barat
e. Unsur Pancasila pada Tahap Mencari Bentuk Kebudayaan Nasional Indonesia

A. Unsur Pancasila pada Tahap Kebudayaan Indonesia Asli

Para ahli sejarah dan antropologi dapat memperlihatkan bahwa sebelum kebudayaan Hindu masuk dan
berkembang di Indonesia, berbagai suku bangsa Indonesia telah mengenal unsur-unsur pembentuk
Pancasila. Nilai-nilai kehidupan yang dapat disebut sebagai embrio nilai-nilai Pancasila ternyata
memang sudah nampak pada tahap perkembangan ini.

Jika kita melihat dari nilai yang terdapat pada sila I Pancasila, pada masa sebelum kebudayaan Hindu
berpengaruh, orang Indonesia telah mengenal pengakuan dan pemujaan kepada sesuatu kekuatan yang
mengatasi manusia dalam segala aspeknya. Dan hal tersebut bukan sekedar animisme. Misalnya, di
Kalimantan. Orang mengenal sebutan Tuh sebagai bagian kepercayaan terhadap kekuatan yang
mengatasi manusia, yang kemudian menurun menjadi Tuhan, dan kemudian menjadi Ketuhanan (M.
Yamin). Selain itu di Jawa, orang mengenal sebutan Hyang Paring Gesang, sedangkan di Tapanuli
mengenal sebutan Ompu Debata. Dengan kata lain, hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasrnya
Indonesia telah berketuhanan sejak dahulu kala, dengan melalui berbagai cara. Misalnya, dengan
mengenal pengakuan dan pemujaan kepada sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan yang mampu
menjadi pegangan manusia. Setiap masyarakat pun memiliki sebutan dan ritual yang berbeda-beda.

Bila dilihat dari sila ke-II, rasa kemanusiaan ditunjukkan dengan kesediaan bangsa Indonesia untuk
bergaul dengan berbagai orang dari negeri jauh, sehingga terbuka jalan untuk masuknya kebudayaan
luar. Dari penelitian sejarah dapat diketahui bahwa pada zaman kuno hubungan antar bangsa sudah ada.
Kebudayaan Hindu dapat dengan mudah masuk justru karena adanya sikap terbuka dari orang-orang
Indonesia pada zaman dulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia Indonesia pada dasarnya telah
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, khususnya dalam tahap perkembangan budaya Indonesia asli.

Pada masa awal peradaban di Indonesia manusia hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang kemudian
disebut suku. Mereka hidup dalam kesatuan atau ikatan suku itu. Karena tanah masih luas dan cara hidup
yang masih sederhana mereka lebih mudah berpindah-pindah. Ikatan dengan tanah tempat tinggal masih
longgar. Walaupun mereka suka berpindah-pindah tempat, mereka tetap bersatu dengan kelompoknya
yang ada. Dengan kata lain, mereka berpindah secara berkelompok. Nilai kesatuan tersebut merupakan
unsur yang terkandung dalam Pancasila, sila ke III.

Dalam sila ke IV, terkandung nilai bahwa musyawarah dilakukan berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam
hubungannya, penelitian dalam bidang antropologi menunjukkan bahwa ikatan suku dijiwai oleh
semangat kekeluargaan yang besar, yang dalam bahasa asing disebut dengan istilah komunal
(communal). Masyarakat suku menggunakan cara berunding, berembug atau bermusyawarah untuk
menghadapi sesuatu persoalan. Masyarakat Lombok mengenal istilah begundem. Semangat
kekeluargaan juga Nampak dalam pembangunan dengan istilah gotong royong atau mapalus (Manado).
Dengan ini mereka melaksanakan kesatuan karya untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

Organisasi masyarakat, betapapun kecilnya, bertujuan untuk terwujudnya kesejahteraan bagi para
warganya. Hak milik atas tanah yang bersifat komunal tidak terlepas dari tujuan diatas. Begitu juga
pembuatan rumah- rumah besar untuk keluarga pasti dengan maksud untuk terwujudnya kesejahteraan
bersama itu pula. Hal ini nampak dalam masyarakat Mentawai, Dayak, Toraja maupun Irian. Bahkan
rumah- rumah keluarga Jawa dahulu besar- besar juga. Untuk menyelesaikan pekerjaan itu warga
masyarakat bergotong royong.

Uraian di atas menunjukkan unsur-unsur asli yang nanti akan berkembang sejalan berkembangnya
peradaban manusia Indonesia. Unsur- unsur ini sebenarnya bersifat universal, semua bangsa di dunia
mengalami tahap- tahap yang demikian itu.

B. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Hindu

Tidak dapat kita hindari bahwa adanya pengaruh budaya Hindu di beberapa aspek kehidupan. Yang
paling jelas, pengaruh itu nampak dalam hal agama. Dengan adanya pengaruh Hindu, masyarakat
Indonesia mengalami perkembangan dalam hal agama. Mereka secara lebih nyata memuja kekuatan
yang mengatasi manusia, yang tidak lagi tanpa bentuk, melainkan sebuah citra yang dibentuk oleh sosok
dewa-dewi, seperti Brahma, Wisnu, dan Syiwa, atau Adi Budha dalam paham Budha.

Pergaulan antarbangsa pun semakin intensif, misalnya dengan orang India dan Cina. Hal tersebut
menunjukan kemanusiaan yang semakin berkembang pula. Masyarakat Indonesia menerima kehadiran
orang asing untuk berkarya. Hal tersebut juga dapat memungkinkan munculnya perkawinan antarbangsa.
Orang dari daerah bahkan dari negara lain pun dapat diterima menjadi raja. Kisah Ajisaka
melambangkan sikap yang demikian itu.

Pengaruh budaya Hindu juga menyebabkan munculnya ikatan masyarakat baru, yaitu terbentuknya
kerajaan. Ikatan warga masyarakat menjadi diperluas, sedangkan ikatan dengan tanah diperkuat. Batas
wilayah kerajaan lebih nyata daripada batas wilayah kesukuan pada masa sebelumnya. Sikap
mempertahankan daerah sendiri yang biasa disebut tanah air sering diperlihatkan dalam peperangan.

Meskipun kedudukan orang yang satu dibatasi oleh aturan tertentu, yaitu kasta, akan tetapi prinsip
musyawarah masih berjalan. Raja mempunyai Dewan penasihat, sementara di kalangan masyarakat yang
jauh dari istana kebiasaan lama dalam masyarakat komunal masih hidup. Perlu diingat pula bahwa
pengaruh Hindu tidak tersebar secara merata di Indonesia.

Kesejahteraan umum nampaknya tetap mendapat perhatian walaupun masyarakat diwajibkan untuk
patuh kepada raja atau dewa. Hal tersebut nampak dari pembangunan bendungan atau tanggul,
pembebasan desa-desa tertentu. Semua itu menunjukan bahwa nilai-nilai yang menjadi embrio Pancasila
tetap bertahan.

Keberadaan orang Indonesia bersama-sama dengan orang luar, khususnya India dan Cina, penganut
agama Hindu dan Buddha memperlihatkan sikap persaudaraan mereka. Begitu juga keberadaan pemeluk
agama Hindu dan Buddha di daerah yang berdekatan, atau malahan dalam satu daerah (Negara),
memperlihatkan toleransi antara penduduk yang menghuni daerah (Negara) itu. Ini terlihat dari letak
bangunan Hindu dan Buddha di Jawa yang berdekatan. Juga terlihat arah sinkretisme antara kedua agama
seperti terlihat dalam hiasan candi Borobudur dan candi Mendut, perkawinan raja dengan putri beragama
lain, penggelaran raja Kertanegara sebagai Batara Syiwa-Budha. Dan yang mungkin menandai puncak
sinkretisme itu adalah gamabaran Tantular dalam Sutasoma (+ 1360) yang menyatakan bahwa pada
zaman Majapahit hidupalh suasana Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangiwa (meskipun
berbeda tetapi tetap satu, tiada perpecahan dalam agama).

C. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Islam

Pada akhir abad XIII, pengaruh Islam di Indonesia tampak nyata seperti yang tertuliskan pada nisan
Sultan Malik al Saleh dari Samudera Pasai. Akan tetapi, pengenalan ajaran agama Islam ke Indonesia
sudah lebih awal. Meskipun demikian, perkembangan Islam di Indonesia baru menjadi luas setelah
runtuhnya Majapahit pada abad XV.

Pengaruh pertama dari penyebaran Islam di Indonesia adalah berkembangnya agama baru, yang
mengubah pemujaan dewa menjadi pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama Islam memang
telah menyebar ke seluruh Indonesia, dan orang-orang yang dulu beragama Hindu atau Buddha telah
menjadi Islam. Namun penganut agama Hindu dan Buddha masih ada yang bertahan. Mereka
mengundurkan diri ke daerah pegunungan, seperti yang terlihat pada masyarakat Tengger di Jawa Timur.
Kalau tidak ke daerah pegunungan, mereka pindah ke pulau lain, Bali.

Ajaran agama Islam memang telah tersebar tetapi taraf keislaman masyarakat Indonesia bervariasi,
bahkan H.M.S. Mintaredja pernah mengemukakan bahwa sampai masa Orde Baru dari jumlah orang
Indonesia yang mengaku beragama Islam hanya 20% yang beragama Islam taat.

Masyarakat Indonesia yang telah menjadi Islam sanggup bekerja sama dengan orang-orang beragama
lain. Mereka tidak menjadikan agama sebagai halangan mereka untuk melakukan perdagangan
antarbangsa. Dalam politik sering kita lihat juga terjadi kerjasama itu, misalnya VOC dengan Sultan
Haji dari Banten, VOC dan Susuhan Mataram. Dalam urusan pemberangkatan haji VOC dan EIC
memberikan jasa juga.
Ternyata rasa cinta masyarakat terhadap kelompok sosial dan daerah (Negara) terus berkembang. Pada
masa perkembangan agama Islam juga memunculkan kekuatan dari Barat yang sering mengancam
kebebasan, maka bertambahnya semangat cinta terhadap kelompok dan daerah seiring dengan
bertambahnya semangat untuk mempertahankan kebebasan.

Budaya Islam juga mempengaruhi sifat kerakyatan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Di satu pihak,
Islam mengangkat derajat orang bawahan karena ajaran Uchuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
Tetapi di sisi lain, kita menyaksikan berkembangnya kerajaan-kerajaan feodal dengan rajanya yang
berkuasa secara absolut, seperti seperti kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Islam memang mengajarkan perbuatan amal (kebaikan) dan zakat fitrah (pemberian yang diwajibkan).
Akan tetapi politik raja-raja Islam sering menjauhkan rakyat dari kemungkinan beramal dan berzakat,
karena banyaknya peperangan yang mereka lakukan. Sering dijumpai desa-desa yang hanya dihuni
orang tua dan anak-anak, karena mereka yang masih kuat untuk pergi berperang, sehingga tanah
pertanian menjadi terlantar.

D. Unsur Pancasila pada Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Kristen dan Barat

Pada awal abad XVI orang Barat mulai memasuki Indonesia, meskipun pada abad-abad sebelumnya
sudah ada orang Barat yang datang ke Indonesia, seperti Marco Polo. Abad XV dan XVI memang
dikenal sebagai abad penjelajahan karena orang-orang Barat dengan keberanian dan kecerdikan
menjelajah berbagai samudera untuk menemukan negri-negri baru.

Penjelajahan itu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, dari bidang perdagangan, agama, maupun
sekedar petualangan. Penjelajahan itu juga dapat mengakibatkan timbulnya semanagt untuk menjajah
suatu wilayah.

Sikap bersahabat selalu diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia dalam menghadapi kedatangan orang-
orang asing itu. Namun kemudian, orang-orang asing itu melakukan tindakan-tindakan untuk menguasai
negri mereka. Oleh karena itu, sikap bersahabat itu berubah menjadi sikap memusuhi. Ini terbukti dari
peperangan yang terjadi melawan berbagai orang asing itu sejak abad XVI sampai awal abad XX.

Meskipun demikian, bukan berarti kedatangan orang barat hanya membawa kesukaran bagi masyarakat
atau bangsa Indonesia. Orang Barat juga menjadi perantara berkembangnya agama Kristen (Katolik dan
Protestan), yang sebenarnya agama itu lahir di dunia Timur. Sungguh naif jika mengatakan bahwa agama
Kristen berkembang berkat bantuan penjajah. Bahkan pada jaman VOC, agama Katolik merupakan
agama yang tidak diakui dan karenanya tidak mendapat kebebasan di Indonesia. Di pandang dari segi
budaya, maka berkembangnya agama Kristen di Indonesia memperkaya khasanah budaya bangsa
Indonesia.

Di lain pihak, orang Barat yang ada di Indonesia memperkenalkan berbagai unsur budaya baru, baik
yang kongkret seperti macam pakaian, cara bertani, alat transportasi modern atau teknologi pada
umumnya, dan yang abstrak seperti berbagai ide kenegaraan dan kemasyarakatan. Selain itu, dalam
pengenalan pendidikan Barat, yang sering dipandang sebagai ciri pendidikan modern.

Suka atau tidaknya dari yang dihasilkan dari pengaruh budaya Kristen dan Barat adalah kenyataan bahwa
kesatuan nasional yang kita miliki sekarang dirintis oleh kesatuan kolonial. Situasi dan kondisi
penjajahan juga memberi peluang bagi integrasi nasional, yang secara bertahap dan pasti memberi jalan
bagi pembentukan bangsa Indonesia dalam pengertian politik seperti sekarang.

Pembentukan bangsa Indonesia memang melewati tahap perjuangan. Mereka sadar bahwa perubahan
status dari orang jajahan menjadi orang merdeka hanya dapat dicapai dengan pembentukan bangsa yang
satu. Dan dengan demikian hanya dengan perjuangan pula nasib ekonomi rakyat dapat diperbaiki,
menuju ke pembentukan masyarakat baru yang adil dan makmur.

Pergerakan kebangsaan bukan saja bertujuan mereebut kemerdekaan tetapi juga bertujuan untuk
menciptakan suasana kehidupan baru yang demokratik, seperti corak demokratik yang ada di Negara-
negara Eropa. Semangat kepriyayian yang feodalistik karenanya merupakan hal yang ditolak juga.

Jadi meskipun pemerintah jajahan dengan berbagai cara berusaha menindas pergerakan kebangsaan,
namun pergerakan kebangsaan tetap tumbuh dan sanggup mempersenjatai diri dengan berbagai ide
(pemikiran) yang berasal dari barat, yang masuk ke Indonesia lewat penjajahan itu pula, seperti
kesamaan dan kebebasan, demokrasi, nasionalisme, dan sosialisme dalam konsepnya yang modern.

E. Unsur Pancasila pada Tahap Mencari Bentuk Kebudayaan Nasional Indonesia

I.5.1 Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Kebangkitan nasional ditandai oleh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta.
Perkumpulan ini memelopori berbagai perkumpulan lain di tanah air, yaitu:

1. Yang bercorak nasionalistis: Indische Partij (1912), Indische Vereniging (1908) yang kemudian
menjadinIndonesische Vereeniging (1922) dan perhimpunan Indonesia (1925), PNI (1927), Partindo dan
PNI baru (1931), Persatuan Bangsa Indonesia (PBI, 1924) yang kemudian berfusi dengan BU menjadi
Parindra (1935). Pada dasarnya Partai-partai ini menghendaki Negara yang bercorak sekuler
(memisahkan agama dari urusan Negara).

2. Yang bercorak Islam: Sarekat Dagang Islam (1911) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1912) dan
Partai Sarikat Islam Indonesia (1930), Mohammadiyah (1912), Partai Islam Indonesia (1931). Pada
dasarnya perkumpulan ini menghendaki Negara merdeka berdasarkan Islam.

3. Yang bercorak Marxistis: ISDV (1914) yang pada tahun 1920 menjadi PKI atau ISDP (Indische
Sociaal Democratische Partij, 1918). PKi menghendaki Negara komunis, SDAP menghendaki Negara
sosialis yang demokratik.

Dari uraian di atas nyata bahwa pada zaman penjajahan Belanda berkembang tiga paham politik:
Nasionalisme murni, Islamisme, dan Marxisme. Dalam tahun 1923 sebenarnya bertambah dengan satu
partai lagi, yaitu PPKD (Pakempalan Politik Katolik Djawi atau Perkumpulan Politik Katolik Jawa) yang
pada tahun 1930 berkembang menjadi PPKI (Perkumpulan Politik Katolik Indonesia). Asas Katolik
memang menjiwai perkumpulan ini, namun ia dapat digolongkan ke partai dengan golongan
nasionalisme murni, karena memang memperjuangkan Negara kebangsaan.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa orang Indonesia memang Bhinneka, akan tetapi pengalaman
sejarah telah menjadikan mereka tunggal dalam kebangsaan,seperti dinyatakan oleh para pemuda dalam
Sumpah Pemuda tahun 1928.
Dari anggaran dasar berbagai pergerakan itu kita dapat menemukan sifat dasar mereka yang
berkemanusiaan, sehingga berbagai unsur kesukuan dan ras tidak menjadi faktor penghalang. Dari
tujuan yang hendak dicapai, kitadapat menemukan perjuangan mereka untuk membentuk masyarakat
yang sejahtera seluruh anggotanya, yang dalam bahasa sekarang berarti perjuangan untuk mewujudkan
keadilan social. Untuk mencapai tujuan itu mereka menginginkan untuk pemerintahan yang demokratis,
yang menyertakan rakyat didalamya. Semua ini merupakan pandangan politik yang boleh disebut
modern

Dengan pandangan yang demikian itu jiwa keagamaan bangsa Indonesia tidaklah lenyap. Semangat
keagamaan bangsa Indonesia tetap hidup, sehingga pada masanya nanti akan dirumuskan menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Proses modernisasi tidak berakibat terkesampingnya hidup rohani.

I.5.2 Proklamasi Kemerdekaan

Penyerbuan Jepang mengakhiri pemerintahan colonial Belanda pada tahun 1942, Jepang berkuasa di
Indonesia selama 3 tahun. Namun demikian, banyak yang dialami bangsa Indonesia selama masa
penjajahan Jepang itu. Hidup keagamaan terganggu, karena upaya Jepangisasi. Gereja sering berubah
fungsinya demi kepentingan perang Jepang. Namun semangat keagamaan tidak mengendor.

Penindasan Jepang yang di luar batas justru menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya
pengembangan nilai kemanusiaan. Penindasan itu juga menyebabkan jiwa setiakawan berkorban. Ini
membuat bangsa Indonesia semakin bersatu, karena merasa senasib-sepenanggungan. Pemakaian bahasa
Indonesia yang luas akibat politik bahasa pemerintahan Jepang memberikan sumbangan yang baik bagi
penggalangan persatuan bangsa Indonesia.

Pemerintahan militer Jepang yang selalu mau menang sendiri menyadarkan bangsa Indonesia akan
baiknya demokrasi, pemerintah rakyat dengan permusyawaratan. Penderitaan luar biasa yang dialami
bangsa Indonesia selama penjajahan Jepang mendorong makin giatnya perjuangan untuk mempercepat
datangnya kemerdekaan, karena hanya dengan kemerdekaan ada kebebasan untuk mewujudkan keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Betapapun Jepang dinilai jahat, akan tetapi penjajahan Jepang di Indonesia toh di anggap mempercepat
datangnya kemerdekaan. Pemerintah Jepang juga membuka jalan bagi percepatan kemerdekaan itu
antara lain dengan mendirikan BPUPKI dan PPKI.

BPUPKI menyiapkan rancangan (konsepsi) dasar Negara Pancasila dan rancangan undang-undang
dasar, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan sedikit perubahan ditetapkan menjadi dasar Negara
dan UUD yang sah. Setelah BPUPKI menyelesaikan pekerjaannya, badan ini diganti oleh PPKI.

PPKI ini dibentuk untuk mempersiapkan dan menyelanggarakan pemindahan kekuasaan dari tangan
Jepang ke tangan Indonesia. Karena itu dalam kesempatan pertama yang diperoleh para pemimpin
Indonesia sesudah Jepang menyerah, maka mereka kemudian memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata yang ambil bagian dalam penyelenggaraan
proklamasi bukan saja para anggita PPKI melainkan juga banyak ornag lain, antaranya para pemuda
seperti Adam Malik, Chaerul Saleh dan Sukarni.

Setelah proklamasi diselenggarakan pada tanggal 17 Agustus, maka PPKI pada tanggal 18 Agustus
mengambil keputusan penting antara lain:
1.Menetapkan UUD, yang kemudian disebut UUD Proklamasi atau UUD 1945.

2. Memilih Ir.Soekarno dan Drs. Moh. Hatta masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.

Kegiatan BPUPKI dan PPKI memperlihatkan dijunjung tingginya nilai persatuan, kerukuna atau
kerjasama oleh berbagai orang atau kelompok yang terlibat. Dalam BPUPKI issue pokoknya adalah
dasar Negara: Islam atau kebangsaan murni yang netral terhadap agama. Kesepakatan yang dicapai,
berkat jasa Sukarno, adalah penerimaan Pancasila menjadi dasar dan ideology bangsa dan Negara.
Dengan ini Indonesia bukan Negara agama, tetapi juga bukan Negara sekuler, melainkan Negara
Pancasila, Negara demokrasi yang berketuhanan.

Dalam peristiwa proklamasi kita juga melihat dijunjung tingginya nilai persatuan itu oleh golongan
pemuda dan pemimpin Indonesia generasi tua. Semula mereka berselisih pendapat tentangcara dan
waktu penyelenggaraan Proklamasi, sampai-sampai terjadi penculikan Rengasdengklok dini hari tanggal
16 Agustus 1945. Akan tetapi semangat persatuan yang dijiwai oleh rasa kebangsaan menjadi motivasi
bagi kedua golongan itu sehingga sampai kepada kesepakatan juga dalam menyelenggarakan
proklamasi, untuk mendirikan negara kebangsaan. Peristiwa Rengasdengklok mendorong golongan tua
untuk cepat bertindak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

D. Nilai-nilai Pancasila Jaman Reformasi

Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah pemerintahan sebelumnya,
akhirnya kekuasaan Orde Baru pada akhir 1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu
memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi
dari sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, UUD sebagai penjabaran Pancasila dan sekaligus
merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk mengatur kehidupan bernegara sudah
mengalami perubahan agar sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Karena itu pula orde yang oleh
sementara kalangan disebut sebagai Orde Reformasi melakukan aneka perubahan mendasar guna
membangun tata pemerintahan yang baru.

Namun, upaya untuk menyalakan semangat Pancasila tidak mudah dilakukan. Bahkan, ada kesan bahwa
sejalan dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang selalu mengikutsertakan Pancasila itu,
masyarakat terkesan sungkan meskipun hanya sekedar menyebut Pancasila. Hal itu juga menunjukkan
bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tidak hanya namanya saja yang sudah dipakai lagi,
melainkan sudah mengalami penurunan kredibilitas dari masyarakat yang luar biasa. Hal tersebut
mengakibatkan menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang selalu berlomba-lomba
merebut kekuasaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka menghalalkan segala
cara untuk mewujudkan kepentingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.

E. Cara Membangkitkan Pancasila Sekarang Ini

Saat ini, nilai-nilai Pancasila semakin luntur, terutama terhadap remaja sekarang ini. Karena itu, bagi
bangsa Indonesia tidak ada pilihan lain selain mengembangkan nilai-nilai Pancasila agar keragaman
bangsa dapat dijabarkan sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam hubungan itu, perlu pula dikemukakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa bukan lagi suatu
penyeragaman melainkan suatu bentuk dari suatu yang satu dalam kebhinekaan. Pluralitas juga harus
dapat diwujudkan dalam suatu struktur kekuasaan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengelola kekuasaan agar dapat diperoleh elit politik yang lebih rumit serta peka terhadap aspirasi
masyarakat. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa konsep persatuan dan
kesatuan yang memusatkan kewenangan kepada pemerintah pusat dalam implementasinya ternyata lebih
merupakan upaya penyeragaman dan membuahkan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan.

Nasionalisme yang merupakan identitas nasional yang dilakukan oleh negara melalui indoktrinasi dan
memanipulasi simbol-simbol dan ritual yang mencerminkan supremasi negara tidak dapat dilakukan
lagi. Negara bukan lagi sebagai satu-satunya aktor dalam menentukan identitas nasional. Hal ini juga
seirama dengan semakin kompleksnya tantangan global, masyarakat merasa berhak menentukan bentuk
dan isi gagasan apa yang disebut negara kesatuan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan
zaman.

Sementara itu, perubahan paling mendasar terhadap UUD 45 adalah bagaimana prinsip kedaulatan
rakyat yang pengaturannya sangat kompleks dalam sistem kehidupan demokrasi dapat dituangkan
dalam suatu konstitusi. Hal itu harus dilakukan secara rinci dan disertai dengan rumusan yang jelas
agar tidak terjadi multi interpretasi sebagaimana terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut telah dilakukan
dengan membuat amandemen UUD 45 antara lain yang berkenaan dengan pembatasan jabatan
Presiden/Wakil Presiden sebanyak dua periode, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala
Daerah secara langsung, pembentukan parlemen dua kamar (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah), pembentukan Mahkamah Konstitusi, pembentukan Komisi Yudisial, mekanisme
pemberhentian seorang Presiden dan/Wakil Presiden dan lain sebagainya. Namun sayangnya perubahan
tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme
sehingga meskipun telah dilakukan perubahan empat kali, ternyata UUD Tahun 1945 masih
mengandung beberapa kekurangan.

Pengalaman selama lebih kurang setengah abad praktek-praktek kenegaraan yang menyeleweng dari
Pancasila telah mengakibatkan berbagai tragedi bangsa harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga
agar tidak terulang kembali. Akibat lain adalah ketertinggalan bangsa dibandingkan dengan negara-
negara lain karena bangsa Indonesia selalu disibukkan dengan masalah-masalah internal bangsa seperti
kesewenangan-wenangan penguasa, pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa serta hal-hal yang tidak
produktif lainnya sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Untuk bangkit dari keterpurukan tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia, pertama-tama dan
terutama harus kembali kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa. Caranya adalah para
pemimpin bangsa dan negara tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato,
tetapi mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam bentuk seremonial, melainkan
benar-benar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kami dapat menarik beberapa kesimpulan. Drs. Paulus Wahana dalam modulnya
mengatakan bahwa nilai tidak dapat terwujud dalam dunia inderawi. Nilai membutuhkan sesuatu untuk
menjelmakannya sebagai pembawa nilai (carrier of value). Nilai menjadi nyata ketika diwujudkan dan
melekat sebagai kualitas pada barang/ keadaan/ peristiwa/ pribadi/ tindakan yang bernilai.

Nilai juga merupakan suatu kualitas yang telah ada dan dapat ditangkap dan dirasakan manusia sebelum
mengalaminya dalam dunia inderawi. Selain itu, nilai juga tidak berubah seiring dengan perubahan
pembawa nilai; nilai tidak berubah dan bersifat absolut.
Kemudian, dalam hubungannya dengan topik yang kami jelaskan, yaitu menggali nilai-nilai Pancasila
dalam struktur budaya Indonesia, kami juga menjelaskan mengenai tahap perkembangan budaya yang
ada di Indonesia dan nilai-nilai Pancasila terdapat di dalamnya. Berikut adalah pembagian tahap-tahap
perkembangan budaya yang ada di Indonesia menurut Drs. Paulus Wahana:

1. Tahap Kebudayaan Indonesia Asli


2. Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Hindu
3. Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Islam
4. Tahap Perkembangan Pengaruh Budaya Kristen dan Barat
5. Tahap Mencari Bentuk Kebudayaan Nasional Indonesia

Menurut kelompok kami, ada hal yang saling tumpang tindih. Maksudnya, Drs. Paulus Wahana melihat
adanya nilai Pancasila dalam tahap-tahap perkembangan budaza di atas. Namun, kelompok kami juga
melihat bahwa nilai-nilai Pancasila juga dapat membentuk budaya-budaya tersebut.

Pada Tahap Kebudayaan Indonesia Asli, para ahli sejarah dan antropologi dapat memperlihatkan bahwa
sebelum kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, berbagai suku bangsa Indonesia telah
mengenal unsur-unsur pembentuk Pancasila. Nilai-nilai kehidupan yang dapat disebut sebagai embrio
nilai-nilai Pancasila ternyata memang sudah nampak pada tahap perkembangan ini, baik yang
berhubungan dengan ketuhanan maupun kesejahteraan sosial.

Kemudian, unsur Pancasila pada tahap perkembangan pengaruh budaya Hindu. Budaya Hindu juga
berpengaruh di beberapa aspek kehidupan. Yang paling jelas, pengaruh itu nampak dalam hal agama.
Mereka secara lebih nyata memuja kekuatan yang mengatasi manusia, yang tidak lagi tanpa bentuk.

Selanjutnya, pada tahap perkembangan pengaruh budaya Islam. Pada akhir abad XIII, pengaruh Islam
di Indonesia tampak. Perkembangan Islam di Indonesia baru menjadi luas setelah runtuhnya Majapahit
pada abad XV. Pengaruh budaza Islam juga jelas nampak dari bidang agama. Namun, kita juga melihat
bahwa adanya kesejahteraan sosial melalui ajaran yang terdapat dalam agama Islam, yaitu
diwajibkannya melakukan zakat fitrah terjadap sesama.

Selain itu, pada tahap perkembangan pengaruh budaya Kristen dan Barat. Abad XV dan XVI memang
dikenal sebagai abad penjelajahan karena orang-orang Barat dengan keberanian dan kecerdikan
menjelajah berbagai samudera untuk menemukan negri-negri baru. Penjelajahan itu dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor, dari bidang perdagangan, agama, maupun sekedar petualangan. Penjelajahan itu
juga dapat mengakibatkan timbulnya semangat untuk menjajah suatu wilayah.

Yang terakhir adalah menggali unsur Pancasila pada tahap mencari bentuk kebudayaan nasional
Indonesia. Menurut Drs. Paulus Wahana, pada zaman penjajahan Belanda berkembang tiga paham
politik: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa orang
Indonesia memang Bhinneka, akan tetapi pengalaman sejarah telah menjadikan mereka tunggal dalam
kebangsaan, seperti dinyatakan oleh para pemuda dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.

Pada intinya, kami menyimpulkan bahwa dalam nilai-nilai Pancasila dapat kita temui dalam struktur
budaya Indonesia yang ada. Nilai-nilai Pancasila memang tidak berwujud secara nyata namun hal
tersebut jelas telah terbentuk tanpa kita sadari secara nyata. Dan, kita pula yang membentuknya. Kita
pun tidak bisa menyalahkan nilai apabila ada hal yang bertentangan dengan hal yang seharusnya.
Daftar Pustaka

Wahana, Paulus. Bahan Kuliah Pendidikan Pancasila Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2002. Yogyakarta.

http://www.setneg.go.id/favicon.ico

http://www.dephan.go.id

LINK : http://sendaljepitpewe.blogdetik.com/2011/01/12/menggali-nilai-nilai-pancasila-dalam-
struktur-budaya-indonesia/

Bentuk-Bentuk Ideologi Politik

Dalam ilmu politik, dewasa ini berkembang banyak ideologi diantaranya adalah, kapitalisme,
liberalisme, sosialisme, pancasila dan lain sebagainya. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu
sosial yang, terutama ilmu politik yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma
baru.

Berikut ini akan dipaparkan ideoogi-ideologi yang terdapat dalam ilmu politik.

1. Kapitalisme

Kapitalisme merupakan suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik perorangan atau milik
sekelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Bapak ideologi
kapitalisme adalah Adam Smith dengan Teorinya the Wealth Of Nations, yaitu kemakmuran bangsa-
bangsa akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas, artinya ekonomi yang bebas dari campur
tangan negara.

Kapitalisme adalah sebuah ajaran yang didasarkan pada sebuah asumsi bahwa manusia secara
individu adalah makhluk yang tidak boleh dilanggar kemerdekaannya dan tidak perlu tunduk pada
batasan –batasan sosial .

2. Liberalisme

Menurut faham liberalisme, manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu yang bebas.
Manusia dalam perspektif libreralisme sebagai pribadi yang utuh dan lengkap yang terlepas dari
manusia lainnya. Manusia sebagai individu memliki potensi dan senantiasa berjuang untuk
kepentingan dirinya sendiri.

3. Sosialisme

Sosialisme merupakan suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik bersama seluruh masyarakat
atau milik negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama kapital atau
kepemilikan kapital oleh negara adalah dewa diatas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia
harus dijadikan kapital bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui
sistem kerja sama, hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, dan distribusi hasil kerja
berdasar prestasi kerja yang telah diberikan.
4. posmodernisme dan posmarsisme kedua ideologi ini karena kontradiksi

antara kapitalisme dan sosialisme yang makin menajam.sebagian besar ilmuwan politik mencari
jalan keluar dan menemukan realitas, bahwa pemikir kapitalis mencari jalan keluar berupa
posmarxisme. Kedua ideologi ini hakikatnya adalah revisionisme, mengaburkan paham kapitalisme
dan sosialisme.

A. Posmodernisme

Postmodernisme merupakan ideologi tentang hak untuk berbeda


( The Right of Different) yang menolak penyelamatan manusia dari penghisapan manusia atas
manusia yang dikumandangkan oleh ideologi sosialisme, dan menolak hegemoni dan dominasi
kapital terhadap kehidupan manusia.

B. Posmarxisme

pormaxisme merupakan ideologi kaum intelektual bekas kaum Marxist yang ingin memperbaiki
nasib rakyat jelata melalui program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah borjuis.

Pormaxisme berlawanan marxisme, yaitu ideologi lahir dari kesadaran kaum buruh untuk
mengubah nasibnya dan penindasan, penghisapan kaum kapitalis melalui revolusi sosial.

Faham Keagamaan

Ideologi keagaamaan pada hakikatnya memiliki perspektif dan tujuan yang berbeda dengan ideologi
liberalisme dan komunisme. Sebenarnya sangat sulit untuk menentukan tipologi ideologi keagamaan,
karena sangat banyak dan beraneka ragamnya wujud, gerak dan tujuan dari ideologi tersebut.

Namun secara keseluruhan terdapat suatu ciri bahwa ideologi keagamaan senantiasa mendasarkan
pemikiran, cita-cita serta moralnya pada suatu ajaran agama tertentu. Gerakan-gerakan politik yang
mendasar pada suatu ideologi keagamaan lazimnya sebagai sauatu reaksi atas ketidakadilan, penindasan,
serta pemaksaan terhadap suatu bangsa, etnis, ataupun kelompok yang mendasarkan pada suatu agama.

Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang
dan metode bagi seluruh bangsa indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan
makmur.

Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun
negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan
dan kesatuan dikalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan
tanah airnya.

Daftar Bacaan :

Trubus Rahardiansah,P. Pengantar Ilmu Politik 2006. Jakarta: Universitas Trisakti hlm. 190 -212
David Apter, 1996; Austi ranney,1990.

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005.

sumber: indra munawar.blogspot.com

Masa depan Pancasila dan Bangsa Indonesia.

Masa depan Pancasila dan Bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai landasan fundamental ideology Bangsa Indonesia yang pada rezim orde baru telah
diubah menjadi Dasar Falsafah Negara dan merupakan satu-satunya sumber dari segala sumber hukum
diIdonesia, ternyata mempunyai sejarah panjang dan dijadikan pijakan atas pembenaran kebijakan
politik bagi para penguasa.

Pancasila ditetapkan secara politik lahir pada tanggal 1 Juni 1945, dengan alasan bahwa Pancasila
diangkat dari pidato yang disampaikan Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Benarkah demikian?

Pada tanggal 1 Juni 1945,dalam pidatonya Ir. Soekarno mengusulkan lima asas yang disebut Pancasila
yaitu:

1. kebangsaan Indonesia
2. internasionalisme dan peri kemanusiaan
3. mufakat atau demokrasi
4. kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang Maha Esa.

Ternyata pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni melahirkan istilah Pancasila akan tetapi terbatas dalam
hal istilah sedangkan isi Pancasila sendiri belum mendapatkan tempat dalam posisi secara yuridis formal.

Baru kemudian Pancasila secara lengkap diakui sebagai persiapan dasar Negara dengan ditanda
tanganinya Naskah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dimana secara yuridis merupakan sebuah
Piagam yang sah dan mengikat walaupun belum mendapat pengakuan Internasional sedangkan de fakto
piagam sudah resmi ditandatangani oleh Tim perumus satu kepanitiaan yang telah mendapat pelimpahan
kekuasaan dari penguasa Jepang saat itu.

Pada tanggal 22 Juni 1945 secara de fakto maupun de yure telah disepakati sebuah rancangan Dasar
Negara yang tertuang dalam rencana Preambul UUD 45 yang berbunyi :

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemekuknya.


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apakah tanggal 22 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila ?

Kalau kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila sebagai dasar Negara baik de facto maupun
de jure telah ditetapkan dalam pembukaan UUD 45. Dengan kalimat yang berbeda pula yaitu :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apakah ini berarti apa yang disampaikan beberapa pakar hukum tata Negara yang berpendapat bahwa
hari lahirnya pancasila adalah tanggal 18 Agustus 1945 adalah yang benar ?

Ternyata Pancasila telah mengalami berkali-kali perubahan. Apakah tiap perubahan itu berarti kelahiran
baru bagi Pancasila ?

Pancasila sebagai mukadimah Konstitusi RIS dan UUD S 1950;

1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa


2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial.

Sedikit melongok kebelakang, dengan melihat kembali Dekrit Presiden 5 Juli 59, yang merupakan titik
akhir terhadap pengkhianatan atas satu ikrar suci.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah puncak kesabaran dari para pewaris cita-cita Para Syuhada yang rela
gugur. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, merupakan batas akhir dari satu kesabaran terhadap pelanggaran
sebuah Ikrar Suci.

Bila kemudian dengan sebuah kekuatan “ Dekrit Presiden “, Pancasila dikembalikan seperti saat
disepakati sebagai landasan Fundamental Ideologi Bangsa, itu artinya Pancasila yang berlaku adalah
Pancasila yang secara tersurat seperti apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 45 tanggal 18 Agusrus
1945 yang dijiwai dan tak terpisahkan dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

UUD 45 dan Dekrit Presiden 5 Juli 59.

Sidang konstituante yang berlarut-larut, tidak membawa pada satu hasil untuk membentuk satu UUD.
Maka pada 22 April 1959 dalam judul “ Res Publika” Presiden Sokarno mengajak Majelis konstituante
utuk kembali pada UUD ‘45 rumusan 18 Agustus 1945.

Pemungutan suara yang dilakukan pada tanggal 2 Juni 1959 oleh Majelis Konstituante melalui voting
atas dua opsi yaitu Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya.
Kegagalan Konstituante untuk menentukan pilihan setelah satu bulan berjalan dari pelaksanaan voting,
membawa keputusan ditetapkan oleh Presiden melalui sebuah Dekrit Presiden.

Dekrit Presiden dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta,
pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:

DEKRIT PRESIDEN

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA / PANGLIMA TERTINGGI

ANGKATAN PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat;

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945,
yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April
1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang
Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang
dipercayakan oleh rakyat kepadanya.

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur.

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA / PANGLIMA TERTINGGI

ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya
lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama rakyat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima

Tertinggi Angkatan Perang

S O E K A R N O.

Berbagai pendapat tentang Dekrit Presiden :

Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang
disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan
perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945.

Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa
berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu
rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah
dengan UUD 1945.

Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan,
pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD
1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum
di bidang keagamaan.
)* dikutip dari berbagai sumber.

€,´,€,´,水,? ,? AVqovVi_ {"actor":"4659309 1

http://sejarah.kompasiana.com/2014/04/24/masa-depan-pancasila-dan-bangsa-indonesia-649291.html

Pancasila dan Masa Depan Bangsa; Perspektif Ideologi

TANGGAL 1 Juni 2008 besok Pancasila sudah berusia 63 tahun. Tulisan berikut mencoba menyoroti
Pancasila dengan
fokus kajian ideologi. Sentralnya Pancasila bagi negara-bangsa adalah fokus status ideologinya yang
berkarakter praksis
serta memuat bahkan memperjuangkan suatu kepentingan yakni kepentingan nasional: merdeka,
berdaulat, bersatu, adil
dan makmur. Pengertian Ideologi Ideologi berbeda dari suatu filsafat dalam hal berikut. Jika filsafat
masih berada di ranah
spekulatif-refleksif, ideologi sudah berada di ranah laku tindak. Jika filsafat adalah pemikiran rasional
murni yang bisa
saja dianggap “bebas nilai” (dis interestedness), ideologi sudah berciri mendegradasi rasionalitas,
dengan dominasi
kepentingan seperti disinggung di muka. Dalam hal tipologi atau cara berpikir, ideologi mempunyai
karakter yang lebih
mendekati mitos.

Maka itu, ideologi bukanlah ilmu karena ilmu sifatnya kritis, terbuka dan menganut relativitas
kebenaran. Sedangkan
ideologi sifatnya adalah tak kritis, tertutup dan nyaris memutlakkan dirinya sebagai kebenaran.
Tampilan atau kinerja
ideologi maujud secara implikatif dalam perjuangan sering revolusioner, sedangkan ilmu berlangsung
dalam kesenyapan
karena mengandalkan gerak pikiran.

Sementara kemiripannya dengan mitos fungsi utama ideologi adalah mendistorsi realitas. Mitos purba
dilahirkan untuk
menjawab ketaksanggupan menerangkan realitas secara rasional sistematis. Ideologi di era modern
dilahirkan guna
menjawab kompleksitas kehidupan dalam sistematika yang berakar pada konsep hipotetis. Segi positif
dari ideologi yang
berciri mitis inilah diakui dunia sebagai daya dorong (impetus) dari setiap upaya perwujudan cita-cita
baik kenegara-
bangsaan maupun partai. Di sini ideologi mengejawantahkan tekad dan karakter; sehingga Roeslan
Abdulgani (Slamet
Sutrisno; 1986) menamsilkan jika pada manusia ada kekuatan hebat yang disebut mental, maka pada
negara-bangsa
namanya ideologi.

Maka itu selain sebagai cara berpikir, pengertian berikutnya ideologi adalah posisi dan keberadaannya
selaku sistem
keyakinan atau sistem nilai. Ia diterima sebagai kebenaran oleh sekelompok sosial atau negara-bangsa
selaku
gambaran dunia menyeluruh; kiblat dari metodologi sosial yang berfungsi panacea atau obat mujarab
tunggal dalam
keperluan problem solving persoalan manusia. Dan persis dalam hal inilah kalangan barat menganggap
usangnya era
ideologi bagi suatu negara-bangsa. Aktualitas Ideologi Jadi, ketika pada tahun 1960 Prof Daniel Bell
menulis buku “The
End of Ideology” banyak yang tertarik kepadanya untuk berpendapat bahwa era ideologi memang
sudah harus berakhir.
Dalam era modernitas, apalagi globalisasi, orang tidak lagi membutuhkan ideologi apapun. Salah satu
faktornya adalah
realitas teknologis yang mengikuti dan mengembangkan kejayaan era ilmu pengetahuan; ipteklah yang
akan memandu
manusia dalam problem solving dan bukan ideologi. Di negeri kita, pengikut pandangan ini di
kalangan teknolog bukan
sedikit.

Di mana-mana teknologi modern merasuki masyarakat guna memajukan diri dalam stelsel peradaban
baru. Karena
teknologi sudah menjadi sistem, ideologi sama sekali tidak diperlukan. Justru di titik itulah kesilafan
kaum teknolog;
tatkala teknologi transformatif selaku sistem dia adalah ideologi, yakni teknologisme. Buku “The End
of Ideology”
didedikasikan kepada Prof Sidney Hook, guru dari pengarang buku tersebut. Justru Sidney Hook
merespons bahwa
anggapan ideologi sudah berakhir perlu diberi kritik agar tidak melakukan simpulan dan generalisasi
yang salah.

Dijelaskan oleh Sidney Hook bahwa mesin cetak persuratkabaran di AS dan Uni Soviet (kini; Rusia)
sama-sama modern
dan canggih, namun demikian outcome dari persuratkabaran kedua negeri adidaya itu jelas berlainan
kalau bukan
berlawanan. Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan seorang
presiden
(Presiden Nixon dalam Watergate), sementara kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari
AS berhubung
begitu represif.

Malahan, dalam rezim Orde Baru dengan praktik ideologis yang juga menindis; tidak usah presiden,
bahkan Menpen
Harmoko pun dengan gampangnya membubarkan surat kabar. Apa yang memperbedakan sistem pers
di kedua negeri
itu, dan di negeri kita bukan kemodernan sistem cetaknya, melainkan praksis ideologinya. Maka itu
kalau sekarang ini
ramai diwacanakan bahwa dengan modernitas global maka ideologi menjadi relevan; akan
bagaimanakah pendirian kita
berhubung dengan warisan kenega-ra-bangsaan yang didirikan dan dipertaruhkan oleh founding
fathers yang dari
genesisnya adalah negara-bangsa yang berideologi?

Di titik krusial inilah terhampar aktualitas membincangkan kembali ideologi negara-bangsa agar gerak
kemajuan
pengindonesiaan tidak menghapus ideologinya (baca; jatidirinya); apalagi kalau tidak maju-maju.
Agaknya jelas bahwa
membincangkan ulang Pancasila (sebagai ideologi) dan masa depan bangsa, cukup pantas dan bahkan
perlu. Lebih dari
itu, “Maju” dan “Kemajuan” itu sendiri jangan dilupakan merupakan term dan konsep ideologis yang
menjadi alas dari
modernitas Barat, dengan segala plus dan minusnya.

Selain sebagai alas, dan justru sebagai alas; ia (kemajuan) membutuhkan kriteria dan intensionalitas
yang keduanya
hanya bisa ada berkat tilikan dan orientasi ideologis. Trilogi Pancasila Berdasarkan kenyataan sejarah,
budaya dan filsafat
Pancasila mempunyai tiga fungsi seperti berikut : 1. Sebagai pandangan dunia/pandangan hidup, 2.
Sebagai dasar
negara NKRI dan 3. Sebagai ideologi nasional (Pranarka, 1985). Fungsi pertama sebagai pandangan
dunia/pandangan
hidup Pancasila memberi alas dan orientasi sistem kepengetahuan dan sistem nilai bagi kebutuhan
proses membangsa
dan menegara atau to be keindonesiaan sepanjang masa.

Fungsi ke dua adalah sebagai dasar negara yang berkenaan dengan sistem dan dasar hukum nasional,
di antaranya
guna mengantisipasi kehadiran sistem hukum “pra-nasional” yang bersumber ajaran keagamaan dan
etnisitas eksklusif
dalam tata hukum nasional yang sering kontroversial. Adapun fungsi ke tiga Pancasila sebagai ideologi
nasional adalah
fungsi “pragmatis” di mana laku tindak keindonesiaan menjadi keniscayaan komunitas kebangsaan.
Aktualitas Pancasila
sebagai Ideologi Nasional Aktualitas wacana Pancasila sebagai ideologi nasional pertama-tama adalah
mengungkit
kemudian perlu menggugat kesadaran dan penyadaran diri kita selaku nasion; sebab “nasional” itu
adalah istilah yang
kata dasarnya nasion.

Dalam kerangka teori fungsi-fungsi ideologi, ideologi memiliki fungsi legitimasi (Weber) dan fungsi
integrasi (Geertz).
Maka itu untuk keperluan aktualisasi diri nasion, (ideologi) Pancasila perlu dinetralisir serta
dieliminasi dari fungsi
distorsinya, dibuat dengan elegan fungsi legitimasinya dan diperdalam fungsi integratifnya. Dari lain
pihak kini makin perlu
dinyatakan bahwa NKRI dengan Pancasila itu identik, ibarat air cucuran atap yang pasti mengalir
secara konsisten melalui
dan dalam alurnya atap tersebut (Notonagoro, 1967). Ketika dialektika dan akulturasi sudah
merupakan watak
keindonesiaan sejak lama, demikian pula dalam respons terhadap modernitas-global, dialektika dan
akulturasi tidak
boleh bergeser ke arah dikte dan pembebekan di mana Indonesia (baca: Pancasila) dibiarkan nir-peran
dalam realitas
objek dan bukan subjek.

Di sini penting agaknya disitir “Trisakti”-nya Sukarno: “berdaulat di bidang politik, berdikari di
bidang ekonomi dan
berkepribadian di bidang kebudayaan”. Di lain pihak, penting pula pendirian Moh Hatta agar Pancasila
tidak tampil
eksklusif hanya penghias bibir (lipstick) akan tetapi berfungsi sebagai garam, tidak tampak namun
terasakan. Tamsil ini
diambil dari tendensi tampilan eksklusif kelompok minoritas ekonomi dan “disambung” dengan
gerakan tertentu
keagamaan eksklusif di negeri kita akhir-akhir ini.

Padahal, Pancasila itu sendiri sebagai ideologi memiliki watak inklusif, terbukti dari simbolisme yang
melekatinya,
“Bhinneka Tunggal Ika”. Aktualitas ideologi Pancasila tidak bisa terlepas dari kognisi dan refleksi
filosofinya, bahwa
Pancasila adalah wahana dan mandala kebudayaan nasional yang mampu mengatasi kecenderungan
modern
peradaban dunia. Artinya, ilmu dan teknologi yang bagaimana pun pasti mempengaruhi pembentukan
kebudayaan dunia,
perlu dibuat distingsi yang cerdas kapan dan di mana iptek adalah budaya (terkait sistem nilai) dan
iptek adalah
peradaban (yang dianggap bebas nilai).

Iptek, yang digerakkan oleh kekuatan nalar atau rasionalitas dalam absorbsinya ke dalam masyarakat
Indonesia
menunggu arahan dan “semprit” dari Pancasila ke arah pengelolaan tidak hanya dimensi etisnya,
melainkan sampai
dimensi kepengetahuan atau epistemologinya, bahkan segi metafisika sebab sila Ketuhanan YME
mengajarkan tentang
Realitas Ilahi (yang tak dikenal dalam iptek yang positivistik).

Keberhasilan membangun epistemologi alternatif non- berat dicontohkan oleh bangsa Cina, semisal
dengan sistem
pengobatannya yang diakui dunia. Iptek di mana pun selain segi manfaat dan kemajuannya ternyata
telah memicu aneka
krisis dunia sebab ada latar yang ditunjukkan oleh Nicholas Maxwell (2004) sebagai faktor utama
krisis-krisis itu, yakni
realitas science without wisdom.

Pancasila sesungguhnya mengajarkan dimensi wisdom itu, namun belum banyak dilakukan
elaborasinya baik dalam
ranah ilmu yang akademis dan ranah politik yang pragmatis. Studi Komparatif Ideologi Pancasila
Ideologi-ideologi Barat
modern bersumberkan filsafat rasionalisme dan individualisme yang menghasilkan paham modern
hak-hak asasi
manusia dan demokrasi Barat.

Pancasila sebagai ideologi bersumberkan filsafat kebangsaan di mana masing-masing pemikiran


filosofi terkait sejarah
dan budaya yang berlainan, untuk mana lahir disiplin Sosiologi Pengetahuan sebagaimana dirintis dan
dikembangkan
oleh Marheim, Merton, Luchan dan sebagainya. Sebagai implikasinya, misalnya, adopsi HAM ke
dalam konstitusi mestinya
tidak dimaksudkan dalam kerangka mengubah sifat dasar konstitusi cq UUD 1945, melainkan dalam
rangka tujuan
lainnya. Yakni, membatasi kekuasaan agar tidak absolut, memperkaitkan hak dan kewajiban,
membangun civil society
dan demokratisasi. Maka itu, sekian banyak pasal-pasal HAM dalam amandemen UUD 1945 tidak
dimaksudkan mencari
kerangka filosofi-ideologis kebarat-baratan.

Pancasila perlu diperkuat kredibilitasnya untuk menjaga agar bangsa ini tidak kebobolan dalam
pembiaran realitas baru:
teknologi sebagai ideologi; pembangunan ekonomi sebagai ideologi berhubung semua itu harus tetap
berjalan dalam
aturan main nasion, dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi nasional. Akhirnya, pengembangan
ideologi Pancasila
bisa ditempuh melalui cara-cara komparatif terhadap keberhasilan dan kegagalan ideologi-ideologi
besar dunia.

q-o/c (3643-2008) *)

Oleh: Drs Slamet Sutrisno MSi, Pengajar Pancasila di UGM Yogyakarta.

sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=165278&actmenu=39

http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=379:pancasila-dan-
masa-depan-bangsa-perspektif-ideologi&catid=49:sosiologi&Itemid=93

Pancasila di Mata Dunia


Sebagai dasar dari Negara kita tercinta,Indonesia,tentunya Pancasila bukan merupakan sesuatu hal yang
baru.Apalagi seharusnya kita sebagai generasi penerus bangsa harusnya menghayati nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.Waaupun pada kenyataannnya sekarang bahwa keberadaan Pancasila
dipandang sebelah mata sehingga timbul banyak penyimpangan. Bahkan yang lebih ironis lagi,banyak
pula generasi sekarang ini yang bahkan tidak mampu menghafal 5 sila dari pancasila itu sendiri.Contoh
penyimpangan lain misalnya banyaknya tawuran antar pelajar dan korupsi yang belum dapat kita atasi.
Saya pribadi pun mungkin merasakan dan berpikir bahwa Pancasila tidak banyak berperan di dalam
kehidupan saya karena saya tidak mengenal Pancasila itu banyak diamalkan dan terkesan
membosankan.Namun setelah saya mempelajarinya lebih jauh di bangku kuliah pada mata kulaih
Pendidikan Pancasila,saya menyadari bahwa ternyata nilai-nilai Pancasila begitu kompleks.Sangat
memperhatikan detail dari Negara kita sendiri.Tercermin pada 5 sila nya yang memang merupakan
esensi dasar yang sangat penting bagi Negara,mulai dari
Ketuhanan,Kemanusiaan,Persatuan,Kerakyatan,dan Keadilan.
Hal luar biasa mengenai pancasila juga baru saya ketahui saat membaca sebuah berita di salah satu
halaman berita website antara.com bahwa Pancasila sejak dari dulu sebenarnya sudah banyak diakui
oleh beberapa petinggi ataupun professor Negara lain sebagai dasar negara yang sempurna.Berikut
penjelasan yang dimuat di portal berita online tersebut :
1. Prof. Dr. Pyotr Hessling ,di kota Rotterdam, Belanda, 20 Oktober 1990

Beliau mengasuh mata kuliah Studi Internasional Organisasi dan Manajemen pada Fakultas
Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam di hadapan para staf asistennya yang sedang
dibimbingnya menyelesaikan thesis Ph D, tiga orang berasal dari Indonesia Soeksmono Besar
Martokoesoemo, Petrus Suryadi Sutrisno dan Santo Koesoebjono serta Penelope (Penny) Webb,
asistennya Michael Porter, secara mengagumkan menjelaskan
konsep “musyawarah” dan “mufakat” ala Indonesia sebagai dasar dalam pembangunan
kelembagaan bagi suatu organisasi dan manajemen.

2. Datuk Seri DR Mahathir Mohammad, di saat resepsi pernikahan Marina Mahathir, puteri mantan
Perdana Menteri (PM) Malaysia pada Juni 1986

Satu dari tiga pendukung utama kepemimpinan Mahathir Mohammad yang hadir di resepsi sempat
mendiskusikan pentingnya rakyat Malaysia belajar nilai-nilai (asas) kenegaraan kebangsaan, seperti
Pancasila, meskipun Malaysia juga memiliki Rukun Negara yang juga berisi lima dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Saat itu salah seorang pendukung Mahathir mengatakan, betapa
pentingnya nilai-nilai pemersatu, nilai-nilai kebersamaan dan kesadaran menciptakan suasana
kehidupan sosial yang selaras, serasi dan toleran.

3. Mahasiswa yang mempelajari ilmu politik di Universiti Kebangsaan Malaysia menjelang era 1990
an

Mengatakan bahwa teman-teman di Indonesia memiliki faktor pengikat atau pemersatu yang kokoh
dibandingkan Malaysia, faktor pengikat itu adalah nilai-nilai Pancasila.

4. Presiden AS Barrack Obama saja ketika didaulat bicara di kampus Universitas Indonesia Depok, 10
November 2010

menyebut Pancasila secara positif. Hal itu sekali lagi ikut membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila
memiliki sisi yang universal bukan hanya nilai-nilai lokal yang diakui makna dan eksistensinya
dalam kehidupan masyarakat Indonesia tapi juga di luar bumi Indonesia.

Dari sedikit uraian diatas seharusnya kta merasa malu bahwa selama ini kita banyak mengabaikan
dasar Negara kita yang bahkan dimata dunia pun dipandang sangat sempurna dibandingkan dengan
Negara-negara lain.Semoga melalui tulisan singkat ini tidak hanya berguna bagi saya sendiri,tetapi
juga dapat menggugah hati teman-teman sebagai generasi penerus bangsa.

sumber :
http://www.antaranews.com/berita/261846/sisi-universal-pancasila-di-mata-dunia

Anda mungkin juga menyukai