BAB VI
PEMBAHASAN
6.2. Pembahasan
Total sampel dalam penelitian ini berjumlah 14.437 orang, sebanyak 14,6%
menunjukkan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Hasil analisis bivariat
Universitas Sriwijaya
81
Universitas Sriwijaya
82
sedangkan metode KB pil sebesar 13% pada SDKI 2002/03 dan SDKI 2007
kemudian meningkat sebesar 14% pada SDKI 2012. Selanjutnya dilihat dari Total
Fertility Rate (TFR) atau angka fertilitas total berdasarkan laporan hasil SDKI,
pada SDKI 2002/03, 2007 dan 2012 tetap sebesar 2,6 anak per wanita. Kemudian
dilihat dari angka fertilitas yang diinginkan dimana mencerminkan angka fertilitas
yang secara teoritis akan terjadi jika semua kelahiran dari kehamilan tidak
diinginkan dapat dicegah (BKKBN, et al, 2013). Angka fertilitas yang diinginkan
berdasarkan hasil laporan SDKI tahun 2002/03 yaitu 2,2 anak per wanita, hasil
laporan SDKI tahun 2007 yaitu 2,2 anak per wanita dan pada hasil laporan SDKI
tahun 2012 yaitu 2,0 anak per wanita, umumnya angka fertilitas yang diinginkan
ini lebih rendah dari angka fertilitas total. Perbandingan angka fertilitas yang
sebenarnya dan angka fertilias yang diinginkan menunjukkan dampak demografis
dari pencegahan kehamilan tidak diinginkan (BKKBN, et al, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sedgh, et al (2014) yaitu Intended and
Unintended Pregnancies Worldwide in 2012 and Recent Trends menunjukkan
bahwa persentase kehamilan tidak diinginkan di seluruh dunia menurun yaitu 43%
pada tahun 1995 kemudian menurun sebesar 42% pada tahun 2008 dan 40% pada
tahun 2012. Hasil penelitian yang sama persentase kehamilan tidak diinginkan di
negara maju terjadi penurunan dari 55% pada tahun 1995 menjadi 44% pada
tahun 2008 kemudian meningkat menjadi 47% pada tahun 2012, kemudian di
negara berkembang terjadi peningkatan dari 41% pada tahun 1995 menjadi 49%
pada tahun 2008 kemudian menurun sebesar 39% pada tahun 2012. Di benua Asia
terjadi penurunan dari 41% pada tahun 1995 menurun menjadi 39% pada tahun
2008 dan 38% pada tahun 2012. Di United States tren kejadian kehamilan tidak
diinginkan meningkat antara tahun 2001 dan tahun 2008 yaitu sebesar 48%
menjadi 51% namun menurun sebesar 45% pada tahun 2011 (Guttmacher
Institue, 2016). Penurunan angka kehamilan tidak diinginkan pada wanita pernah
menikah pada SDKI 2012 berbanding terbalik dengan angka kematian maternal
yang meningkat dari SDKI 2007 sebesar 10% meningkat menjadi 12% pada
SDKI 2012. Menurut Sedgh, et al (2014) dalam penelitiannya yaitu Intended and
Unintended Pregnancies Worldwide in 2012 and Recent Trends, kehamilan tidak
diinginkan dilihat dari konsekuensi kehamilan tidak diinginkan yaitu kelahiran
tidak diharapkan, aborsi disengaja terkait dengan aborsi tidak aman dan
Universitas Sriwijaya
83
Universitas Sriwijaya
84
Universitas Sriwijaya
85
B. Pengetahuan Metode KB
Pada penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan metode KB responden
sebagian besar tinggi (63,3%) dan sisanya rendah (36,7%). Proporsi kejadian
kehamilan tidak diinginkan menurut pengetahuan metode KB diperoleh sebagian
besar responden dengan pengetahuan tinggi mengalami kehamilan tidak
Universitas Sriwijaya
86
Universitas Sriwijaya
87
Universitas Sriwijaya
88
D. Usia
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 29,99
atau 30 tahun. sebagian besar responden berusia 20 sampai 35 tahun (75,1%).
Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan kelompok usia
menyatakan bahwa sebagian besar responden pada kelompok usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan (25,6%)
dibandingkan dengan kelompok usia 20 sampai 35 tahun yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan (10,9%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan secara statistik antara usia dengan kejadian
Universitas Sriwijaya
89
Universitas Sriwijaya
90
KB mantap atau jangka panjang. Rata-rata usia wanita pada penelitian ini adalah
30 tahun. Pada usia ini disarankan untuk menjarangkan kehamilan dengan
menggunakan metode KB. Dari penelitian ini juga dapat dilihat penggunaan
metode KB paling banyak suntik KB dan pil KB dimana jangka keefektifannya
akan menurun setelah beberapa tahun sehingga kehamilan tidak diinginkan
diperkirakan akan terjadi pada saat usia lebih dari 35 tahun.
E. Paritas
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden cenderung mempunyai
paritas atau jumlah anak yang dilahirkan sebanyak 1 sampai 3 orang (85,7%)
dibandingkan dengan responden yang mempunyai paritas lebih atau sama dengan
4 orang (14,3%). Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan
paritas menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan paritas lebih atau
sama dengan 4 orang mengalami kehamilan tidak diinginkan (35,6%)
dibandingkan dengan responden yang memiliki paritas 1 sampai 3 orang (11,1%).
Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara paritas dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan kemudian diperoleh
nilai PR 3,248 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang memiliki paritas lebih
atau sama dengan 4 orang berisiko 3,248 kali lebih besar untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita yang memiliki paritas 1
sampai 3 orang.
Hasil penelitian Habte, et al di Ethiopia tahun 2013 menyatakan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara paritas dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan kemudian resiko wanita yang pernah melahirkan anak 3-4 sebesar 1,45
(95% CI:0,66-3,21) dan wanita yang pernah melahirkan lebih dari 5 anak sebesar
2,36 (95% CI:1,01-5,49) dibandingkan dengan wanita yang belum memiliki anak.
Hasil penelitian Ikamari, et al di Kenya tahun 2013 menyatakan ada hubungan
signifikan secara statistik antara paritas degan kejadian kehamilan tidak
diinginkan kemudian wanita yang memiliki paritas lebih dari 3 anak berisiko 2,45
kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan
wanita yang belum memiliki anak. Hasil penelitian Bastola et al., di Nepal tahun
2015 menyatakan bahwa wanita yang pernah melahirkan lebih dari 2 anak
memiliki risiko 6 kali lebih besar dibandingkan wanita yang pernah melahirkan
<2 anak (95% CI: 3,66-10,33).
Universitas Sriwijaya
91
Wanita dengan jumlah anak yang dilahirkan atau paritas lebih dari 3
mempengaruhi kesehatan pada saat kehamilan dan melahirkan, kemudian nilai
anak jadi berkurang karena meningkatnya beban ekonomi bagi keluarga. Pada
penelitian ini rata-rata wanita mempunyai anak 2,22 atau 2 anak maka apabila
memiliki lebih atau sama dengan 4 orang anak cenderung merupakan kehamilan
tidak diinginkan. Wanita yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak ini
terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 35 tahun, sehingga pada usia ini apabila
memang tidak menginginkan kehamilan disarankan untuk menggunakan metode
KB jangka panjang atau metode KB mantap. Menurut penggunaan metode KB
cenderung sama antara wanita yang menggunakan metode KB yang memiliki
paritas lebih atau sama dengan 4 anak dan yang tidak menggunakan metode KB
yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak. Wanita dengan status
ekonomi rendah cenderung mempunyai paritas lebih atau sama dengan 4 orang
dimana wanita yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak cenderung
mengalami kehamilan tidak diinginkan. Proporsi wanita yang memiliki paritas
lebih atau sama dengan 4 anak lebih banyak mengalami kehamilan tidak
diinginkan sebab apabila sudah menggunakan metode KB namun terjadi
kegagalan metode KB, memang sama sekali tidak menggunakan metode KB
modern karena kurang ketersediaan dan akses ke pelayanan KB, hambatan
keuangan apabila dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah
padahal ingin menunda atau mencegah kehamilan, tidak mempunyai partisipasi
terhadap diri sendiri dalam hal menentukan jumlah anak.
F. Jarak Kelahiran
Penelitian ini menunjukkan bahwa responden memiliki rentang jarak
kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan (33,8%) kemudian responden dengan
jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan jarak kelahiran 24 sampai 58 bulan
(43,3% dan 22,8%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan menurut jarak kelahiran
paling banyak pada jarak kelahiran 24-58 bulan (25,5%) dibandingkan dengan
kelompok jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan lebih atau sama dengan 59
bulan (19,3%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan secara statistik antara jarak kelahiran dengan kejadian kehamilan tidak
diingikan. Diperoleh nilai PR 0,759 dengan interpretasi bahwa wanita dengan
Universitas Sriwijaya
92
jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan lebih atau sama dengan 59 bulan dapat
mengurangi risiko sebesar 0,759 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita dengan jarak kelahiran 24 sampai 58 bulan.
Hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian Habte, et al di Ethiopia
tahun 2013 menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak
kelahiran dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Hasil penelitian yang sama
diperoleh bahwa wanita dengan jarak kelahiran kurang dari 24 bulan memiliki
risiko 2 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita yang memiliki jarak kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan
(95% CI: 1,12-3,58). Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa wanita pada
kelompok berisiko yakni yang memiliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan
lebih atau sama dengan 59 bulan justru mengurangi resiko untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan, ini dapat disebabkan pada proporsi kelompok
berisiko lebih sedikit mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan proporsi dari wanita dengan jarak kelahiran ideal 24-58 bulan dimana
justru lebih banyak terjadi kehamilan tidak diinginkan. Menurut penggunaan
metode KB bahwa wanita yang memilliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan
dan lebih atau sama dengan 59 bulan memiliki proporsi lebih banyak
menggunakan metode KB dibandingkan wanita yang memiliki jarak kelahiran 24-
58 bulan. Usia beresiko juga sejalan dengan jarak kelahiran, pada penelitian ini,
usia wanita yang beresiko yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
memiliki proporsi lebih banyak memiliki jarak kelahiran beresiko yaitu kurang
dari 24 bulan dan lebih dari 59 bulan, artinya pada wanita dengan usia kurang dari
20 tahun cenderung memiliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun cenderung memiliki jarak kelahiran lebih atau
sama dengan 59 bulan. Jarak kelahiran adalah jarak waktu periode antara dua
kelahiran hidup yang berurutan dari seorang wanita (BKKBN, 2011). Jarak
kelahiran bagi wanita yang ideal bagi kesehatan ibu dan anak adalah jarak
kelahiran 24 sampai 58 bulan. Jarak kelahiran terlalu dekat (kurang dari 24 bulan)
dan terlalu jauh (lebih atau sama dengan 59 bulan) menyebabkan kondisi medis
ibu dan bayi beresiko tinggi. Jarak kelahiran kurang dari 24 bulan menyebabkan
terlalu singkat bagi wanita untuk memulihkan kondisi rahim sebelumnya. Jarak
kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan juga terlalu lama karena berkaitan
Universitas Sriwijaya
93
dengan usia ibu yang semakin tua sehingga menyebabkan kehamilan menjadi
berisiko.
G. Pendidikan
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden berpendidikan
SD (32%) kemudian diikuti responden berpendidikan SMA, SMP (29,2%,
24,9%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan berdasarkan tingkat pendidikan
menunjukkan bahwa kejadian kehamilan tidak diinginkan cenderung seimbang
antara wanita dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi (15% dan 14%). Hasil
analisis bivariat menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara
statistik antara pendidikan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Diperoleh
nilai PR 1,074 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang berpendidikan rendah
memiliki risiko 1,074 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan tinggi.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian oleh Ikamari et al (2013) di
Kenya menyatakan bahwa wanita dengan pendidikan primary beresiko 1,24 kali
dibandingkan wanita yang tidak memiliki pendidikan formal. Menurut Habte, et
al (2013) di Ethiopia menyatakan bahwa wanita dengan pendidikan tingkat primer
memiliki resiko sebesar 2,38 kali dibandingkan dengan wanita yang tidak
memiliki pendidikan formal (95% CI: 1,73-3,26). Dari penelitian ini diperoleh
bahwa proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan hampir sama antara
kelompok wanita dengan pendidikan rendah dan wanita yang berpendidikan
tinggi sehingga pada analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan pendidikan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Menurut
tingkat pengetahuan metode KB, proporsi wanita dengan pendidikan rendah
cenderung memiliki pengetahuan rendah tentang metode KB sedangkan wanita
dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan tinggi mengenai
metode KB. Namun pada penggunaan metode KB, proporsi hampir sama dalam
menggunakan metode KB antara wanita berpendidikan rendah dan wanita dengan
pendidikan tinggi sehingga pada penelitian ini proporsi kehamilan tidak
diinginkan juga hampir sama antara wanita berpendidikan rendah dan wanita
dengan pendidikan tinggi maka pada uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara pendidikan dan kejadian kehamilan tidak
diinginkan. Wanita dengan pendidikan tinggi juga cenderung lebih banyak
Universitas Sriwijaya
94
H. Media Informasi
Pada penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden terpapar media
informasi (87,6%) dan sisanya tidak terpapar (12,4%). Proporsi kehamilan tidak
diinginkan berdasarkan paparan media informasi menunjukkan bahwa cenderung
seimbang responden yang terpapar media informasi dan yang tidak terpapar media
informasi yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (14,8% dan 13,3%). Hasil
analisis bivariat menyatakan tidak ada hubungan secara statistik paparan media
informasi dengan kehamilan tidak diinginkan. Namun lebih lanjut diperoleh nilai
PR 1,108 diinterpretasikan bahwa wanita yang terpapar media informasi berisiko
1,108 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita yang tidak terpapar media informasi.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Geda dan Lako di Ethiopia
tahun 2011 menyatakan wanita yang mengakses media massa mengurangi resiko
sebesar 0,4 kali dibandingkan wanita yang tidak mengakses media massa.
Peneitian oleh Rahman di Bangladesh tahun 2102 menyatakan wanita yang
mengakses media massa mampu mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan
sebesar 0,73 kali dibandingkan wanita yang tidak mengakses media massa (95%
CI: 0,54-0,91). Dutta, et al., di India pada tahun 2015 menyatakan bahwa wanita
yang mengakses media massa mampu mengurangi resiko kehamilan tidak
diinginkan sebesar 0,6 (95% CI: 0,47-0,83) dibandingkan wanita yang tidak
mengakses media massa. Penelitian ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan
Universitas Sriwijaya
95
antara media informasi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan namun jika
dilihat dari proporsinya bahwa wanita pada kelompok terpapar dilaporkan lebih
banyak mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita pada
kelompok tidak terpapar. Proporsi wanita yang tidak terpapar media informasi
cenderung memiliki pengetahuan rendah sedangkan wanita yang terpapar media
informasi akan meningkatkan pengetahuannya mengenai metode KB sehingga
cenderung untuk memilih menggunakan metode KB untuk mencegah kehamilan
namun dari penelitian ini didapat bahwa terjadi kegagalan atau kesalahan
pemakaian dalam penggunaan metode KB sebab proporsi wanita yang
menggunakan metode KB dilaporkan banyak terjadi kehamilan tidak diinginkan.
Wanita dengan pendidikan tinggi juga cenderung lebih banyak terpapar media
informasi dibandingkan dengan wanita yang pendidikannya rendah. Begitu juga
dengan status ekonomi, status ekonomi rendah cenderung kurang terpapar media
informasi daripada status ekonomi menengah dan tinggi dimana hampir sama
proporsinya terpapar media informasi. Diperlukan konsultasi dengan petugas
pelayanan KB untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat terkait penggunaan
metode KB.
I. Status Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden cenderung berada pada
kategori menengah atas (21,3%). Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan
berdasarkan status ekonomi cenderung seimbang pada wanita dengan status
ekonomi rendah, menengah dan tinggi yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan (14,8%, 15,7% dan 13,9%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara status ekonomi dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan. Lebih lanjut diperoleh nilai PR 1,070 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita dengan status ekonomi rendah memiliki risiko
1,070 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita dengan status ekonomi tinggi dan nilai PR 1,149 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita dengan status ekonomi menengah memiliki risiko
1,149 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita dengan status ekonomi tinggi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kassa et al., di Ethiopia tahun 2012
menyatakan wanita dengan status ekonomi rendah mengalami kehamilan tidak
Universitas Sriwijaya
96
diinginkan dengan resiko sebesar 1,47 kali dibandingkan dengan wanita dengan
status ekonomi tinggi (95% CI:1,136-1,9). Hasil penelitian Ikamari et al di Kenya
tahun 2013 menyatakan wanita dengan status ekonomi tinggi mengurangi resiko
sebesar 0,65 dibandingkan dengan wanita dengan status ekonomi rendah. Bastola,
et al di Nepal tahun 2015 menyatakan wanita dengan status ekonomi miskin
beresiko 4,8 kali dibandingkan dengan wanita dengan status ekonomi paling
miskin (95% CI:2,64-8,86). Brown dan Eisenberg (1995) menjelaskan bahwa
status ekonomi rendah dapat mengurangi kesempatan wanita untuk memperoleh
pelayanan KB terkait akses dan hambatan keuangan untuk memperoleh metode
KB. Dilihat dari proporsi status ekonomi menengah justru lebih banyak
dilaporkan kejadian kehamilan tidak diinginkan dan proporsi kehamilan tidak
diinginkan tidak berberda secara signifikan antara status ekonomi rendah dan
tinggi. Dilihat dari tingkat pendidikan, wanita berpendidikan rendah memiliki
status ekonomi rendah, begitu juga dengan wanita dengan pendidikan tinggi
cenderung status ekonominya tinggi. Wanita dengan pendidikan tinggi dapat
diikuti dengan peningkatan status ekonomi sehingga tidak ada hambatan keuangan
dalam penggunaan metode KB. Wanita dengan status ekonomi rendah juga
cenderung kurang terpapar media informasi dibandingkan dengan wanita yang
memiliki status ekonomi menengah dan tinggi. Pemerintah perlu memberikan
perhatian lebih bagi wanita dengan status ekonomi rendah yang ingin menunda
atau mencegah kehamilan sebab kehamilan tidak diinginkan pada wanita dengan
status ekonomi rendah dapat meningkatkan risiko kesehatan ibu dan bayi karena
wanita dengan status ekonomi rendah diikuti dengan pendidikan rendah dan
kurang terpapar informasi sehingga memungkinkan kurang memperhatikan
kehamilannya dan akan berdampak pada kesehatan ibu dan bayi. Pengaruh status
ekonomi rendah, pendidikan yang tidak memadai, kurang terpapar informasi
sehingga mengurangi kesempatan untuk memperoleh metode KB dan
menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (Brown dan Eisenberg, 1995).
J. Tempat Tinggal
Pada penelitian ini menunjukkan jumlah responden menurut tempat tinggal
seimbang antara perkotaan (49,9%) dan pedesaan (50,1%). Proporsi kehamilan
tidak diinginkan menurut tempat tinggal menunjukkan bahwa responden yang
Universitas Sriwijaya
97
Universitas Sriwijaya
98
yang menikah pertama kali pada saat usia kurang atau sama dengan 20 tahun
cenderung mengalami kehamilan tidak diinginkan (16,4%) dibandingkan dengan
wanita yang menikah pertama kali pada saat usia lebih dari 20 tahun. Hasil
analisis bivariat menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara
statsitik antara usia pertama menikah dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan,
diperoleh nilai PR 1,334 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang menikah
pertama kali pada saat usia kurang atau sama dengan 20 tahun memiliki risiko
1,334 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
wanita yang menikah lebih dari 20 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Geda dan Lako di
Ethiopia tahun 2011 menyatakan bahwa wanita dengan usia nikah pertama 20-24
tahun mengurangi resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan sebesar 0,163
dibandingkan dengan wanita pada usia nikah pertama kurang dari 20 tahun.
penelitian oleh Bastola, et al di Nepal tahun 2015 menyatakan wanita dengan usia
nikah pertama lebih dari 20 tahun mengurangi resiko mengalami kehamilan tidak
diinginkan sebesar 0,54 dibandingkan dengan wanita pada usia nikah pertama
kurang dari 20 tahun (95% CI:0,34-0,86). Pada penelitian ini dilaporkan kejadian
kehamilan tidak diinginkan lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia pertama
menikah kurang atau sama dengan 20 tahun. Ini dapat disebabkan kehamilan
terjadi sebelum menikah dan pada usia muda sehingga terjadi nikah dini atau
menikah sebelum waktunya. Proporsi wanita yang menikah pertama kali pada
usia kurang atau sama dengan 20 tahun lebih banyak pada wanita dengan
pendidikan rendah sedangkan pada wanita berpendidikan tinggi cenderung
menikah pertama kali pada usia lebih dari 20 tahun. Proporsi wanita yang
menikah pertama kali pada usia kurang atau sama dengan 20 tahun juga lebih
banyak pada wanita dengan status ekonomi rendah sedangkan pada wanita dengan
status ekonomi tinggi cenderung menikah pertama kali pada usia lebih dari 20
tahun. Pernikahan di usia muda beresiko terhadap kesehatan ibu dan anak baik
fisik maupun psikis. Pada pernikahan diperlukan kesiapan dan kematangan mental
suami dan istri dan biasanya belum dicapai pada usia dibawah 20 tahun. Semakin
meningkatnya usia pertama menikah mampu mengurangi kejadian kehamilan
tidak diinginkan sebab pasangan telah siap dan mampu untuk memiliki anak
(Rahman, 2012).
Universitas Sriwijaya
99
Universitas Sriwijaya
100
Universitas Sriwijaya
101
Universitas Sriwijaya