Anda di halaman 1dari 22

80

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini menggunakan data sekunder SDKI tahun 2002/03, 2007 dan
2012 untuk mengetahui tren kejadian kehamilan tidak diinginkan dan
menggunakan data sekunder SDKI 2012 untuk menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan pada wanita pernah
menikah usia 15-49 tahun di Indonesia. Data SDKI merupakan data survei
nasional yang mencakup seluruh Indonesia sehingga sampelnya mewakili pada
populasi di Indoneisa. Penelitian ini menggunakan data sekunder SDKI sehingga
efisien dari segi waktu dan biaya. Namun peneliti menyadari bahwa masih
terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Desain dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional
(potong lintang). Desain penelitian cross sectional melihat hubungan exposure
dan outcome pada waktu yang bersamaan. Pengumpulan data dalam desain
cross sectional, baik variabel independen dan variabel dependen dilakukan
secara bersama-sama atau sekaligus. Kelebihannya ialah efesien pada dana,
waktu dan tenaga. Kelemahan dari desain cross sectional ialah keterbatasan
dimensi dari interpretasi sebab akibat sehingga kurang mengetahui apakah
sebab atau akibat terlebih dahulu dari suatu kondisi kesehatan atau penyakit
(Najmah, 2015).
2. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua responden SDKI,
namun terdapat sejumlah data yang missing pada variabel-variabel yang
digunakan sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini berkurang. Data yang
terdapat missing ini oleh karena ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh
responden.
3. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan
lingkup pertanyaan yang ada pada kuesioner SDKI. Sehingga variabel yang
diteliti terbatas pada variabel yang ada pada SDKI. Faktor yang tidak diteliti
misalnya ras/etnik, agama, ras/etnik pasangan.

6.2. Pembahasan
Total sampel dalam penelitian ini berjumlah 14.437 orang, sebanyak 14,6%
menunjukkan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Hasil analisis bivariat

Universitas Sriwijaya
81

menunjukkan bahwa penggunaan metode KB, pengetahuan metode KB,


pengetahuan siklus ovulasi, usia, paritas, jarak kelahiran, tempat tinggal, usia
pertama menikah dan partisipasi wanita dalam pengambilan keputusan rumah
tangga berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Sedangkan
variabel pendidikan, media informasi, status ekonomi tidak memiliki hubungan
yang bermakna dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan.

6.2.1 Tren dan Angka Kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan


Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan baik peningkatan maupun
penurunan kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan SDKI tahun 2002/03,
2007 dan 2012. Berdasarkan analisis SDKI tahun 2002/03 dan tahun 2007
ditemukan terjadi peningkatan dari 17% menjadi 20,2% kemudian menurun
menjadi 14,7 % pada SDKI tahun 2012 dari masing-masing total responden pada
penelitian ini. Dalam SDKI, responden diwawancarai mengenai anak yang
dilahirkan selama lima tahun dan anak yang sedang dikandung untuk menentukan
apakah kehamilan tersebut diinginkan atau tidak diinginkan (BKKBN, et al,
2013). Angka kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan hasil laporan
SDKI tahun 2002/03 yaitu sebesar 16,8%, hasil laporan SDKI tahun 2007 sebesar
19,7% dan hasil laporan SDKI tahun 2012 sebesar 13,6%. Kecenderungan
kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan hasil laporan SDKI tersebut
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu terjadi peningkatan dari
SDKI tahun 2002/03 dan SDKI tahun 2007 kemudian penurunan persentase pada
SDKI tahun 2012 dan persentase masing-masing periode hampir sama tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian ini.
Menurut WHO (2005) menyatakan penyebab terjadinya kehamilan tidak
diinginkan adalah karena pasangan yang tidak menggunakan kontrasepsi atau
metode kontrasepsi yang digunakan gagal/kegagalan kontrasepsi. Berdasarkan
laporan hasil SDKI, prevalensi pemakaian metode KB pada wanita pernah
menikah usia 15-49 tahun pada SDKI 2002/03 sebesar 60% kemudian meningkat
pada SDKI 2007 sebesar 61% dan meningkat sebesar 62% pada SDKI 2012.
Kemudian dilihat dari metode KB yang digunakan berdasarkan laporan hasil
SDKI, metode KB yang paling banyak digunakan adalah suntik KB dan pil KB
dari SDKI 2002/03, 2007 dan 2012. Pada SDKI 2002/03 pemakaian metode KB
suntik sebesar 28% dan meningkat menjadi 32% pada SDKI 2007 dan SDKI 2012

Universitas Sriwijaya
82

sedangkan metode KB pil sebesar 13% pada SDKI 2002/03 dan SDKI 2007
kemudian meningkat sebesar 14% pada SDKI 2012. Selanjutnya dilihat dari Total
Fertility Rate (TFR) atau angka fertilitas total berdasarkan laporan hasil SDKI,
pada SDKI 2002/03, 2007 dan 2012 tetap sebesar 2,6 anak per wanita. Kemudian
dilihat dari angka fertilitas yang diinginkan dimana mencerminkan angka fertilitas
yang secara teoritis akan terjadi jika semua kelahiran dari kehamilan tidak
diinginkan dapat dicegah (BKKBN, et al, 2013). Angka fertilitas yang diinginkan
berdasarkan hasil laporan SDKI tahun 2002/03 yaitu 2,2 anak per wanita, hasil
laporan SDKI tahun 2007 yaitu 2,2 anak per wanita dan pada hasil laporan SDKI
tahun 2012 yaitu 2,0 anak per wanita, umumnya angka fertilitas yang diinginkan
ini lebih rendah dari angka fertilitas total. Perbandingan angka fertilitas yang
sebenarnya dan angka fertilias yang diinginkan menunjukkan dampak demografis
dari pencegahan kehamilan tidak diinginkan (BKKBN, et al, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sedgh, et al (2014) yaitu Intended and
Unintended Pregnancies Worldwide in 2012 and Recent Trends menunjukkan
bahwa persentase kehamilan tidak diinginkan di seluruh dunia menurun yaitu 43%
pada tahun 1995 kemudian menurun sebesar 42% pada tahun 2008 dan 40% pada
tahun 2012. Hasil penelitian yang sama persentase kehamilan tidak diinginkan di
negara maju terjadi penurunan dari 55% pada tahun 1995 menjadi 44% pada
tahun 2008 kemudian meningkat menjadi 47% pada tahun 2012, kemudian di
negara berkembang terjadi peningkatan dari 41% pada tahun 1995 menjadi 49%
pada tahun 2008 kemudian menurun sebesar 39% pada tahun 2012. Di benua Asia
terjadi penurunan dari 41% pada tahun 1995 menurun menjadi 39% pada tahun
2008 dan 38% pada tahun 2012. Di United States tren kejadian kehamilan tidak
diinginkan meningkat antara tahun 2001 dan tahun 2008 yaitu sebesar 48%
menjadi 51% namun menurun sebesar 45% pada tahun 2011 (Guttmacher
Institue, 2016). Penurunan angka kehamilan tidak diinginkan pada wanita pernah
menikah pada SDKI 2012 berbanding terbalik dengan angka kematian maternal
yang meningkat dari SDKI 2007 sebesar 10% meningkat menjadi 12% pada
SDKI 2012. Menurut Sedgh, et al (2014) dalam penelitiannya yaitu Intended and
Unintended Pregnancies Worldwide in 2012 and Recent Trends, kehamilan tidak
diinginkan dilihat dari konsekuensi kehamilan tidak diinginkan yaitu kelahiran
tidak diharapkan, aborsi disengaja terkait dengan aborsi tidak aman dan

Universitas Sriwijaya
83

keguguran. Sehingga peningkatan angka kematian maternal berbanding terbalik


dengan penurunan angka kehamilan tidak diinginkan pada SDKI 2012 sebab pada
SDKI, kehamilan tidak diinginkan ditentukan dari kelahiran tidak direncanakan
yakni dari jumlah kelahiran selama lima tahun sebelum survei termasuk
kehamilan saat survei dimana tidak berakhir dengan aborsi. Namun upaya untuk
mengurangi angka kematian maternal melalui program KB, salah satunya tetap
berupaya untuk mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan sehingga
mengurangi aborsi terkait dengan apabila berakhir dengan tindakan aborsi tidak
aman. Kemudian kehamilan tidak diinginkan juga beresiko pada kesehatan ibu
dan bayi apabila berakhir dengan persalinan, ini terkait dengan kesadaran ibu
untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi selama kehamilan sampai persalinan dan
akan beresiko mengalami kematian terkait selama kehamilan sampai persalinan
(Brown danEisenberg, 1995). Namun penurunan angka kehamilan tidak
diinginkan juga menunjukkan bahwa program pemerintah yaitu program KB
melalui pemakaian metode KB untuk membatasi kehamilan meningkat dan
keberhasilan program terkait pemakaian metode KB tersebut. Walaupun perlu
untuk meningkatkan promosi metode KB jangka panjang atau metode KB mantap
untuk upaya membatasi kehamilan supaya lebih efektif.
Hasil penelitian pada analisis determinan menunjukkan persentase kejadian
kehamilan tidak diinginkan sebesar 14,6% pada wanita pernah menikah dari hasil
SDKI 2012. Hasil penelitian Syafitri (2012) berdasarkan SDKI 2007 persentase
kejadian kehamilan tidak diinginkan sebesar 19,1%. Angka kejadian kehamilan
tidak diinginkan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain.
Dilihat dari hasil penelitian oleh Sedgh, et al (2014) bahwa pada tahun 2012
persentase kejadian kehamilan tidak diinginkan di seluruh dunia sebesar 40%, di
negara maju sebesar 47%, di negara berkembang sebesar 39%, di Asia sebesar
38%, di benua Asia tenggara sebesar 44%. Di negara pakistan persentase kejadian
kehamilan tidak diinginkan sebesar 46% pada tahun 2012 (Sathar Z et al. dalam
Guttmacher Institue, 2015). Di United States persentase kejadian kehamilan tidak
diinginkan sebesar 45% pada tahun 2011 (Guttmacher Institue, 2016).

6.2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kehamilan Tidak


Diinginkan
A. Penggunaan Metode KB

Universitas Sriwijaya
84

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar wanita


menggunakan metode KB mencapai (91,1%) dan sisanya tidak menggunakan
metode KB (8,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan proporsi kehamilan tidak
diinginkan berdasarkan penggunaan metode KB, diperoleh proporsi lebih besar
kejadian kehamilan tidak diinginkan pada wanita yang menggunakan metode KB
(15,3%) apabila dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan metode
KB (8%). Berdasarkan analisis bivariat penggunaan metode KB dengan kejadian
kehamilan tidak diinginkan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
secara statistik antara wanita yang menggunakan metode KB dengan kejadian
kehamilan tidak diinginkan. Hasil analisis bivariat diperoleh nilai PR 1,910
dengan interpretasi bahwa wanita yang menggunakan metode KB memiliki risiko
mengalami kehamilan tidak diinginkan sebesar 1,910 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan metode KB.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Habte, et al di Ethiopia tahun 2013 menyatakan ada hubungan yang siginifikan
secara statistik (pvalue=0,00) wanita yang menggunakan metode KB dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan dengan risiko 1,79 kali lebih besar bagi
wanita yang menggunakan metode KB untuk mengalami kehamilan tidak
diinginkan dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan metode KB
(95%CI:1,31-2,45). Hasil yang sama pada penelitian Rahman, et al di Bangladesh
tahun 2012 menyatakan bahwa wanita yang memakai metode KB beresiko 1,82
kali mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan wanita yang tidak
memakai metode KB (95%CI:1,31-2,68). mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan wanita yang tidak memakai metode KB. Namun tidak sejalan pada
penelitian Adhikari, et al di Nepal tahun 2009 menyatakan wanita yang
menggunakan metode KB mengurangi resiko sebesar 0,99 kali untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan dibandingkan wanita yang tidak memakai metode KB.
Brown dan Eisenberg (1995) menyatakan bahwa kehamilan tidak diinginkan
dapat disebabkan dari kegagalan penggunaan metode KB, kesalahan pemakaian
metode KB atau sama sekali tidak menggunakan metode KB. Dari sudut pandang
praktis kesehatan, penting untuk menyadari bahwa kehamilan tidak diinginkan
dapat terjadi baik dari wanita yang tidak menggunakan metode KB dan wanita
yang menggunakan metode KB yang mengalami kegagalan metode KB atau

Universitas Sriwijaya
85

kesalahan pemakaian, serta strategi yang diperlukan untuk mengurangi kejadian


kehamilan tidak diinginkan di masing-masing dua kelompok ini pun mungkin
akan berbeda. Misalnya, sosialisasi bagi wanita yang sedang menggunakan
metode KB untuk lebih berhati-hati dengan metode-metode kontrasepsi atau
menggunakan metode yang lebih efektif (misalnya, penggunaan metode KB
jangka panjang) dan akan berbeda apabila pada wanita yang memiliki risiko
kehamilan tidak diinginkan sebab aktif secara seksual namun tidak menginginkan
kehamilan dan sama sekali tidak menggunakan metode KB (Brown & Eisenberg,
1995).
Pada penelitian ini dilihat dari proporsi penggunaan metode KB justru lebih
banyak wanita yang menggunakan metode KB mengalami kehamilan tidak
diinginkan. Hal ini karena terdapat kegagalan metode KB atau kesalahan
pemakaian metode KB karena kurangnya keterampilan dalam menggunakan
metode KB atau pemilihan metode KB kurang efektif. Pada penelitian ini
menunjukkan metode KB yang paling banyak digunakan ialah suntik KB dan pil
KB. Penggunaan metode KB berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita untuk
mengontrol kehamilan atau kelahiran. Program pemerintah dalam meningkatkan
penggunaan metode KB bagi wanita usia subur atau pasangan usia subur tercapai
namun perlu ada kajian atau evaluasi ulang terkait metode KB yang umum
dipakai oleh wanita berpasangan dan meningkatkan keterampilan pemakaian
metode KB oleh petugas bagi akseptor KB untuk menurunkan kejadian kehamilan
tidak diinginkan. Wanita yang tidak memakai metode KB juga perlu mendapat
perhatian dari pemerintah, alasan untuk tidak memakai metode KB bisa
disebabkan tidak setuju terhadap efek dari penggunaan metode KB, kurang
ketersediaan atau akses pelayanan KB di wilayahnya, hambatan dari keuangan
seperti biaya untuk setiap kali menggunakan metode KB di pelayanan KB. Ini
bisa menjadi kajian untuk meningkatkan ketercapaian dan keefektifan program
penggunaan metode KB oleh pemerintah.

B. Pengetahuan Metode KB
Pada penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan metode KB responden
sebagian besar tinggi (63,3%) dan sisanya rendah (36,7%). Proporsi kejadian
kehamilan tidak diinginkan menurut pengetahuan metode KB diperoleh sebagian
besar responden dengan pengetahuan tinggi mengalami kehamilan tidak

Universitas Sriwijaya
86

diinginkan (16,2%) dibandingkan dengan responden dengan pengetahuan rendah


yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (11,9%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara wanita
yang memiliki pengetahuan rendah mengenai metode KB dengan kejadian
kehamilan tidak diinginkan dan diperoleh nilai PR 0,733 dapat diinterpretasikan
bahwa wanita dengan pengetahuan rendah dapat mengurangi risiko 0,733 kali
untuk mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita yang
memiliki pengetahuan tinggi.
Hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian Adhikari et al., di Nepal
tahun 2009 menyatakan bahwa wanita yang memiliki pengetahuan tinggi
mengenai metode KB dapat mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan
sebesar 0,6 kali dibandingkan wanita dengan pengetahuan rendah mengenai
metode KB. Brown dan Eisenberg (1995) menyatakan bahwa setiap orang dapat
mempelajari mengenai metode KB seperti risiko dan manfaatnya dari berbagai
sumber. Wanita yang memiliki pengetahuan tentang metode KB termasuk
bagaimana menggunakannnya, risiko dan manfaat penggunaan dapat
menggunakan metode KB sesuai keinginannya untuk mengontrol kehamilan dan
mencegah kehamilan tidak diinginkan. Namun kurang luasnya pengetahuan di
antara penyedia layanan metode KB dan akseptor KB mengenai metode KB
menunjukkan terdapat kekurangan informasi dasar tentang semua cara metode KB
yang tersedia, kesalahan informasi ini dapat menyebabkan rendahnya penggunaan
metode KB dan menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (Brown dan Eisenberg,
1995).
Pada penelitian ini wanita yang memiliki pengetahuan rendah mengenai
metode KB mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan, jika dilihat dari
proporsi responden yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berdasarkan
pengetahuan metode KB bahwa lebih sedikit terjadi kehamilan tidak diinginkan
pada wanita yang berpengetahuan rendah sehingga menyebabkan menurunkan
risiko kehamilan tidak diinginkan. Pengetahuan metode KB berkaitan dengan
keinginan seorang wanita untuk menggunakan metode KB. Pada penelitian ini
proporsi wanita dengan pengetahuan rendah lebih sedikit untuk menggunakan
metode KB dibandingkan dengan wanita yang memiliki pengetahuan tinggi
mengenai metode KB cenderung untuk menggunakan metode KB sehingga

Universitas Sriwijaya
87

berisiko mengalami kehamilan tidak diinginkan. Tingkat pendidikan dalam


penilitian ini sejalan dengan tingkat pengetahuan, proporsi wanita dengan
pendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan rendah sehingga cenderung
tidak menggunakan metode sedangkan wanita dengan pendidikan tinggi
cenderung memiliki pengetahuan tinggi mengenai metode KB maka akan
memilihi menggunakan metode KB dan beresiko mengalami kehamilan tidak
diinginkan. Kemudian proporsi wanita yang tidak terpapar media informasi
cenderung memiliki pengetahuan rendah sedangkan wanita yang terpapar media
informasi akan meningkatkan pengetahuannya mengenai metode KB sehingga
cenderung untuk memilih menggunakan metode KB dan beresiko mengalami
kehamilan tidak diinginkan.

C. Pengetahuan Siklus Ovulasi


Pada penelitian ini responden cenderung tidak mengetahui waktu siklus
ovulasi (80,1%) dibandingkan responden yang menjawab benar kapan waktu
siklus ovulasi (19,9%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan menurut pengetahuan
siklus ovulasi diperoleh sebagian besar responden yang mengetahui waktu siklus
ovulasi mengalami kehamilan tidak diinginkan (18%) dibandingkan responden
yang tidak mengetahui waktu siklus ovulasi (13,8%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara pengetahuan
siklus ovulasi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Kemudian didapatkan
nilai PR 1,309 artinya bahwa wanita yang memiliki pengetahuan siklus ovulasi
berisiko 1,309 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita yang tidak mengetahui waktu siklus ovulasi.
Hasil penelitian Habte, et al di Ethiopia tahun 2013 menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan siklus ovulasi dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan (pvalue=0,00) namun penelitian Habte, et al
menunjukkan wanita yang mengetahui waktu siklus ovulasi dapat mengurangi
resiko kehamilan tidak diinginkan sebesar 0,55 dibandingkan wanita yang tidak
mengetahui waktu siklus ovulasi (95% CI:0,35-0,85). Hasil penelitian Acharya, et
al di Nepal tahun 2015 menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan wanita tentang siklus ovulasi dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan. Brown dan Eisenberg (1995) menyatakan bahwa wanita sering
memilliki informasi yang terbatas dan sering salah paham tentang masa subur,

Universitas Sriwijaya
88

waktu kesuburan/siklus ovulasi dalam siklus mentruasi padahal pengetahuan ini


penting untuk mengontrol kehamilan tidak diinginkan terutama bagi wanita yang
memilih untuk menggunakan metode KB kalender/tradisional dan metode KB
jangka pendek misalnya pil namun masih terdapat informasi yang salah tentang
kesehatan reproduksi manusia dan kontrasepsi karena kurang luasnya informasi
yang akurat mengenai kesehatan reproduksi.
Pada penelitian ini ditemukan proporsi wanita yang memiliki pengetahuan
siklus ovulasi lebih banyak mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
wanita yang tidak tahu waktu siklus ovulasi sehingga menyebabkan wanita yang
memiliki pengetahuan siklus ovulasi justru berisiko mengalami kehamilan tidak
diinginkan. Ini bisa disebabkan terdapat kesalahpahaman dalam menentukan
waktu terjadinya siklus ovulasi bagi diri sendiri meskipun memiliki pengetahuan
tersebut. Bagi wanita yang mengetahui waktu terjadinya siklus ovulasi dan
memilih untuk mengunakan metode KB kalender/pantang berkala atau modern
misalnya pil disarankan untuk tetap berkonsultasi ke pelayanan kesehatan atau
pelayanan KB di wilayahnya supaya dapat menentukan waktu masa subur/siklus
ovulasi yang akurat dari petugas kesehatan. Pendidikan rendah cenderung tidak
mengetahui waktu siklus ovulasi dan pendidikan tinggi meningkatkan
pengetahuan siklus ovulasi. Sejalan dengan paparan media informasi bahwa
wanita yang terpapar media informasi lebih banyak memiliki pengetahuan siklus
ovulasi sedangkan wanita yang tidak terpapar informasi cenderung tidak
mengetahui waktu siklus ovulasi. Begitu juga dengan status ekonomi, proporsi
wanita dengan status ekonomi tinggi lebih banyak memiliki pengetahuan siklus
ovulasi.

D. Usia
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 29,99
atau 30 tahun. sebagian besar responden berusia 20 sampai 35 tahun (75,1%).
Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan kelompok usia
menyatakan bahwa sebagian besar responden pada kelompok usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan (25,6%)
dibandingkan dengan kelompok usia 20 sampai 35 tahun yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan (10,9%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan secara statistik antara usia dengan kejadian

Universitas Sriwijaya
89

kehamilan tidak diinginkan. Diperoleh nilai PR 2,343 dengan interpretasi bahwa


wanita yang berada pada kelompok usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun memiliki risiko 2,343 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak
diinginkan dibandingkan wanita yang berada pada kelompok usia 20 sampai 35
tahun.
Penelitian oleh Adhikari et al., di Nepal tahun 2009 menyatakan bahwa
semakin tinggi usia wanita, semakin tinggi kemungkinan memiliki kehamilan
tidak diinginkan. Sejalan dengan penelitian Rahman di Bangladesh tahun 2012
menyatakan bahwa bahwa semakin tinggi usia wanita, semakin tinggi
kemungkinan dia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Penelitian oleh
Kassa et al., di Kersa, Ethiopia Timur tahun 2012 menyatakan bahwa wanita
berusia lebih dari 40 tahun berisiko 1,3 kali lebih besar mengalami kehamilan
tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita berusia kurang dari 20 tahun.
Penelitian oleh Dutta et al., di India tahun 2015 menyatakan wanita pada
kelompok usia 25-34 tahun berisiko mengalami kehamilan tidak diinginkan 3,4
kali lebih besar dibandingkan dengan waita pada usia 15-24 tahun dan wanita
pada kelompok usia lebih dari 35 tahun memiliki risiko 7,7 kali lebih besar
mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita pada usia 15-
24 tahun. Kehamilan saat usia muda (<20 tahun) atau usia tua (>35 tahun)
mempunyai risiko tinggi terhadap kesehatan ibu dan anak (Brown dan Eisenberg,
1995). Wanita pada usia muda seharusnya menunda kehamilan sebab secara fisik,
rahim wanita belum siap untuk hamil dan melahirkan dan secara mental belum
siap untuk menjadi ibu.
Pada penelitian ini menemukan kejadian kehamilan tidak diinginkan terjadi
tidak hanya pada usia <20 tahun dan >35 tahun tetapi pada usia 20-35 tahun
terdapat proporsi yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Ini menunjukkan
bahwa kehamilan tidak diinginkan dapat terjadi pada kelompok usia manapun.
Pada wanita kelompok usia <20 tahun dan >35 tahun serta 20-35 tahun proporsi
menggunakan metode KB hampir seimbang sehingga pada kelompok usia
manapun beresiko mengalami kehamilan tidak diinginkan dan oleh karena paling
banyak menggunakan metode suntik KB dan pil KB sehingga rentan mengalami
terjadi kegagalan pemakaian metode KB. Bagi usia lebih dari 35 tahun dan
memang tidak menginginkan kehamilan disarankan untuk menggunakan metode

Universitas Sriwijaya
90

KB mantap atau jangka panjang. Rata-rata usia wanita pada penelitian ini adalah
30 tahun. Pada usia ini disarankan untuk menjarangkan kehamilan dengan
menggunakan metode KB. Dari penelitian ini juga dapat dilihat penggunaan
metode KB paling banyak suntik KB dan pil KB dimana jangka keefektifannya
akan menurun setelah beberapa tahun sehingga kehamilan tidak diinginkan
diperkirakan akan terjadi pada saat usia lebih dari 35 tahun.

E. Paritas
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden cenderung mempunyai
paritas atau jumlah anak yang dilahirkan sebanyak 1 sampai 3 orang (85,7%)
dibandingkan dengan responden yang mempunyai paritas lebih atau sama dengan
4 orang (14,3%). Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan berdasarkan
paritas menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan paritas lebih atau
sama dengan 4 orang mengalami kehamilan tidak diinginkan (35,6%)
dibandingkan dengan responden yang memiliki paritas 1 sampai 3 orang (11,1%).
Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara paritas dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan kemudian diperoleh
nilai PR 3,248 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang memiliki paritas lebih
atau sama dengan 4 orang berisiko 3,248 kali lebih besar untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita yang memiliki paritas 1
sampai 3 orang.
Hasil penelitian Habte, et al di Ethiopia tahun 2013 menyatakan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara paritas dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan kemudian resiko wanita yang pernah melahirkan anak 3-4 sebesar 1,45
(95% CI:0,66-3,21) dan wanita yang pernah melahirkan lebih dari 5 anak sebesar
2,36 (95% CI:1,01-5,49) dibandingkan dengan wanita yang belum memiliki anak.
Hasil penelitian Ikamari, et al di Kenya tahun 2013 menyatakan ada hubungan
signifikan secara statistik antara paritas degan kejadian kehamilan tidak
diinginkan kemudian wanita yang memiliki paritas lebih dari 3 anak berisiko 2,45
kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan
wanita yang belum memiliki anak. Hasil penelitian Bastola et al., di Nepal tahun
2015 menyatakan bahwa wanita yang pernah melahirkan lebih dari 2 anak
memiliki risiko 6 kali lebih besar dibandingkan wanita yang pernah melahirkan
<2 anak (95% CI: 3,66-10,33).

Universitas Sriwijaya
91

Wanita dengan jumlah anak yang dilahirkan atau paritas lebih dari 3
mempengaruhi kesehatan pada saat kehamilan dan melahirkan, kemudian nilai
anak jadi berkurang karena meningkatnya beban ekonomi bagi keluarga. Pada
penelitian ini rata-rata wanita mempunyai anak 2,22 atau 2 anak maka apabila
memiliki lebih atau sama dengan 4 orang anak cenderung merupakan kehamilan
tidak diinginkan. Wanita yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak ini
terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 35 tahun, sehingga pada usia ini apabila
memang tidak menginginkan kehamilan disarankan untuk menggunakan metode
KB jangka panjang atau metode KB mantap. Menurut penggunaan metode KB
cenderung sama antara wanita yang menggunakan metode KB yang memiliki
paritas lebih atau sama dengan 4 anak dan yang tidak menggunakan metode KB
yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak. Wanita dengan status
ekonomi rendah cenderung mempunyai paritas lebih atau sama dengan 4 orang
dimana wanita yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 anak cenderung
mengalami kehamilan tidak diinginkan. Proporsi wanita yang memiliki paritas
lebih atau sama dengan 4 anak lebih banyak mengalami kehamilan tidak
diinginkan sebab apabila sudah menggunakan metode KB namun terjadi
kegagalan metode KB, memang sama sekali tidak menggunakan metode KB
modern karena kurang ketersediaan dan akses ke pelayanan KB, hambatan
keuangan apabila dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah
padahal ingin menunda atau mencegah kehamilan, tidak mempunyai partisipasi
terhadap diri sendiri dalam hal menentukan jumlah anak.

F. Jarak Kelahiran
Penelitian ini menunjukkan bahwa responden memiliki rentang jarak
kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan (33,8%) kemudian responden dengan
jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan jarak kelahiran 24 sampai 58 bulan
(43,3% dan 22,8%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan menurut jarak kelahiran
paling banyak pada jarak kelahiran 24-58 bulan (25,5%) dibandingkan dengan
kelompok jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan lebih atau sama dengan 59
bulan (19,3%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan secara statistik antara jarak kelahiran dengan kejadian kehamilan tidak
diingikan. Diperoleh nilai PR 0,759 dengan interpretasi bahwa wanita dengan

Universitas Sriwijaya
92

jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan lebih atau sama dengan 59 bulan dapat
mengurangi risiko sebesar 0,759 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita dengan jarak kelahiran 24 sampai 58 bulan.
Hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian Habte, et al di Ethiopia
tahun 2013 menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak
kelahiran dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Hasil penelitian yang sama
diperoleh bahwa wanita dengan jarak kelahiran kurang dari 24 bulan memiliki
risiko 2 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita yang memiliki jarak kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan
(95% CI: 1,12-3,58). Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa wanita pada
kelompok berisiko yakni yang memiliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan
lebih atau sama dengan 59 bulan justru mengurangi resiko untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan, ini dapat disebabkan pada proporsi kelompok
berisiko lebih sedikit mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan proporsi dari wanita dengan jarak kelahiran ideal 24-58 bulan dimana
justru lebih banyak terjadi kehamilan tidak diinginkan. Menurut penggunaan
metode KB bahwa wanita yang memilliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan
dan lebih atau sama dengan 59 bulan memiliki proporsi lebih banyak
menggunakan metode KB dibandingkan wanita yang memiliki jarak kelahiran 24-
58 bulan. Usia beresiko juga sejalan dengan jarak kelahiran, pada penelitian ini,
usia wanita yang beresiko yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
memiliki proporsi lebih banyak memiliki jarak kelahiran beresiko yaitu kurang
dari 24 bulan dan lebih dari 59 bulan, artinya pada wanita dengan usia kurang dari
20 tahun cenderung memiliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan dan wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun cenderung memiliki jarak kelahiran lebih atau
sama dengan 59 bulan. Jarak kelahiran adalah jarak waktu periode antara dua
kelahiran hidup yang berurutan dari seorang wanita (BKKBN, 2011). Jarak
kelahiran bagi wanita yang ideal bagi kesehatan ibu dan anak adalah jarak
kelahiran 24 sampai 58 bulan. Jarak kelahiran terlalu dekat (kurang dari 24 bulan)
dan terlalu jauh (lebih atau sama dengan 59 bulan) menyebabkan kondisi medis
ibu dan bayi beresiko tinggi. Jarak kelahiran kurang dari 24 bulan menyebabkan
terlalu singkat bagi wanita untuk memulihkan kondisi rahim sebelumnya. Jarak
kelahiran lebih atau sama dengan 59 bulan juga terlalu lama karena berkaitan

Universitas Sriwijaya
93

dengan usia ibu yang semakin tua sehingga menyebabkan kehamilan menjadi
berisiko.

G. Pendidikan
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden berpendidikan
SD (32%) kemudian diikuti responden berpendidikan SMA, SMP (29,2%,
24,9%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan berdasarkan tingkat pendidikan
menunjukkan bahwa kejadian kehamilan tidak diinginkan cenderung seimbang
antara wanita dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggi (15% dan 14%). Hasil
analisis bivariat menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara
statistik antara pendidikan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Diperoleh
nilai PR 1,074 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang berpendidikan rendah
memiliki risiko 1,074 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan tinggi.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian oleh Ikamari et al (2013) di
Kenya menyatakan bahwa wanita dengan pendidikan primary beresiko 1,24 kali
dibandingkan wanita yang tidak memiliki pendidikan formal. Menurut Habte, et
al (2013) di Ethiopia menyatakan bahwa wanita dengan pendidikan tingkat primer
memiliki resiko sebesar 2,38 kali dibandingkan dengan wanita yang tidak
memiliki pendidikan formal (95% CI: 1,73-3,26). Dari penelitian ini diperoleh
bahwa proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan hampir sama antara
kelompok wanita dengan pendidikan rendah dan wanita yang berpendidikan
tinggi sehingga pada analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan pendidikan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Menurut
tingkat pengetahuan metode KB, proporsi wanita dengan pendidikan rendah
cenderung memiliki pengetahuan rendah tentang metode KB sedangkan wanita
dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan tinggi mengenai
metode KB. Namun pada penggunaan metode KB, proporsi hampir sama dalam
menggunakan metode KB antara wanita berpendidikan rendah dan wanita dengan
pendidikan tinggi sehingga pada penelitian ini proporsi kehamilan tidak
diinginkan juga hampir sama antara wanita berpendidikan rendah dan wanita
dengan pendidikan tinggi maka pada uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara pendidikan dan kejadian kehamilan tidak
diinginkan. Wanita dengan pendidikan tinggi juga cenderung lebih banyak

Universitas Sriwijaya
94

terpapar media informasi dibandingkan dengan wanita yang pendidikannya


rendah. Berdasarkan status ekonomi, wanita berpendidikan rendah memiliki status
ekonomi rendah, begitu juga dengan wanita dengan pendidikan tinggi cenderung
status ekonominya tinggi. Wanita dengan pendidikan tinggi memungkinkan lebih
memahami untuk mencegah kehamilan melalui pemanfaatan pelayanan KB dan
lebih mudah dalam mendapatkan informasi karena paparan media informasinya
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita berpendidikan rendah. Wanita dengan
pendidikan tinggi dapat diikuti dengan peningkatan status ekonomi sehingga tidak
ada hambatan keuangan dalam penggunaan metode KB. Wanita yang
berpendidikan rendah, kurang terpapar informasi dan status ekonomi rendah
mempengaruhi penggunaan metode KB, dalam hal ini tidak menggunakan metode
KB sehingga beresiko mengalami kehamilan tidak diinginkan.

H. Media Informasi
Pada penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden terpapar media
informasi (87,6%) dan sisanya tidak terpapar (12,4%). Proporsi kehamilan tidak
diinginkan berdasarkan paparan media informasi menunjukkan bahwa cenderung
seimbang responden yang terpapar media informasi dan yang tidak terpapar media
informasi yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (14,8% dan 13,3%). Hasil
analisis bivariat menyatakan tidak ada hubungan secara statistik paparan media
informasi dengan kehamilan tidak diinginkan. Namun lebih lanjut diperoleh nilai
PR 1,108 diinterpretasikan bahwa wanita yang terpapar media informasi berisiko
1,108 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita yang tidak terpapar media informasi.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Geda dan Lako di Ethiopia
tahun 2011 menyatakan wanita yang mengakses media massa mengurangi resiko
sebesar 0,4 kali dibandingkan wanita yang tidak mengakses media massa.
Peneitian oleh Rahman di Bangladesh tahun 2102 menyatakan wanita yang
mengakses media massa mampu mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan
sebesar 0,73 kali dibandingkan wanita yang tidak mengakses media massa (95%
CI: 0,54-0,91). Dutta, et al., di India pada tahun 2015 menyatakan bahwa wanita
yang mengakses media massa mampu mengurangi resiko kehamilan tidak
diinginkan sebesar 0,6 (95% CI: 0,47-0,83) dibandingkan wanita yang tidak
mengakses media massa. Penelitian ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan

Universitas Sriwijaya
95

antara media informasi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan namun jika
dilihat dari proporsinya bahwa wanita pada kelompok terpapar dilaporkan lebih
banyak mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita pada
kelompok tidak terpapar. Proporsi wanita yang tidak terpapar media informasi
cenderung memiliki pengetahuan rendah sedangkan wanita yang terpapar media
informasi akan meningkatkan pengetahuannya mengenai metode KB sehingga
cenderung untuk memilih menggunakan metode KB untuk mencegah kehamilan
namun dari penelitian ini didapat bahwa terjadi kegagalan atau kesalahan
pemakaian dalam penggunaan metode KB sebab proporsi wanita yang
menggunakan metode KB dilaporkan banyak terjadi kehamilan tidak diinginkan.
Wanita dengan pendidikan tinggi juga cenderung lebih banyak terpapar media
informasi dibandingkan dengan wanita yang pendidikannya rendah. Begitu juga
dengan status ekonomi, status ekonomi rendah cenderung kurang terpapar media
informasi daripada status ekonomi menengah dan tinggi dimana hampir sama
proporsinya terpapar media informasi. Diperlukan konsultasi dengan petugas
pelayanan KB untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat terkait penggunaan
metode KB.

I. Status Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden cenderung berada pada
kategori menengah atas (21,3%). Proporsi kejadian kehamilan tidak diinginkan
berdasarkan status ekonomi cenderung seimbang pada wanita dengan status
ekonomi rendah, menengah dan tinggi yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan (14,8%, 15,7% dan 13,9%). Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara status ekonomi dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan. Lebih lanjut diperoleh nilai PR 1,070 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita dengan status ekonomi rendah memiliki risiko
1,070 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita dengan status ekonomi tinggi dan nilai PR 1,149 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita dengan status ekonomi menengah memiliki risiko
1,149 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita dengan status ekonomi tinggi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kassa et al., di Ethiopia tahun 2012
menyatakan wanita dengan status ekonomi rendah mengalami kehamilan tidak

Universitas Sriwijaya
96

diinginkan dengan resiko sebesar 1,47 kali dibandingkan dengan wanita dengan
status ekonomi tinggi (95% CI:1,136-1,9). Hasil penelitian Ikamari et al di Kenya
tahun 2013 menyatakan wanita dengan status ekonomi tinggi mengurangi resiko
sebesar 0,65 dibandingkan dengan wanita dengan status ekonomi rendah. Bastola,
et al di Nepal tahun 2015 menyatakan wanita dengan status ekonomi miskin
beresiko 4,8 kali dibandingkan dengan wanita dengan status ekonomi paling
miskin (95% CI:2,64-8,86). Brown dan Eisenberg (1995) menjelaskan bahwa
status ekonomi rendah dapat mengurangi kesempatan wanita untuk memperoleh
pelayanan KB terkait akses dan hambatan keuangan untuk memperoleh metode
KB. Dilihat dari proporsi status ekonomi menengah justru lebih banyak
dilaporkan kejadian kehamilan tidak diinginkan dan proporsi kehamilan tidak
diinginkan tidak berberda secara signifikan antara status ekonomi rendah dan
tinggi. Dilihat dari tingkat pendidikan, wanita berpendidikan rendah memiliki
status ekonomi rendah, begitu juga dengan wanita dengan pendidikan tinggi
cenderung status ekonominya tinggi. Wanita dengan pendidikan tinggi dapat
diikuti dengan peningkatan status ekonomi sehingga tidak ada hambatan keuangan
dalam penggunaan metode KB. Wanita dengan status ekonomi rendah juga
cenderung kurang terpapar media informasi dibandingkan dengan wanita yang
memiliki status ekonomi menengah dan tinggi. Pemerintah perlu memberikan
perhatian lebih bagi wanita dengan status ekonomi rendah yang ingin menunda
atau mencegah kehamilan sebab kehamilan tidak diinginkan pada wanita dengan
status ekonomi rendah dapat meningkatkan risiko kesehatan ibu dan bayi karena
wanita dengan status ekonomi rendah diikuti dengan pendidikan rendah dan
kurang terpapar informasi sehingga memungkinkan kurang memperhatikan
kehamilannya dan akan berdampak pada kesehatan ibu dan bayi. Pengaruh status
ekonomi rendah, pendidikan yang tidak memadai, kurang terpapar informasi
sehingga mengurangi kesempatan untuk memperoleh metode KB dan
menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (Brown dan Eisenberg, 1995).

J. Tempat Tinggal
Pada penelitian ini menunjukkan jumlah responden menurut tempat tinggal
seimbang antara perkotaan (49,9%) dan pedesaan (50,1%). Proporsi kehamilan
tidak diinginkan menurut tempat tinggal menunjukkan bahwa responden yang

Universitas Sriwijaya
97

tinggal di perkotaan cenderung mengalami kehamilan tidak diinginkan (16,5%)


dibandingkan dengan responden yang tinggal di pedesaan (12,8%). Hasil analisis
bivariat menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tempat tinggal
dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Diperoleh nilai PR 1,291 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita yang tinggal di perkotaan memiliki risiko sebesar
1,291 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan wanita yang tinggal di pedesaan.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Bastola, et al di Nepal
tahun 2015 menyatakan bahwa wanita yang tinggal di pedesaan memiliki resiko
sebesar 1.89 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan
wanita yang tinggal di perkotaan (95% CI:1,30-2,75). Wanita yang tinggal di
pedesaan cenderung lebih tinggi untuk memiliki pendidikan rendah dan wanita
yang tinggal di perkotaan cenderung untuk berpendidikan tinggi. Wanita yang
tinggal di perkotaan lebih mungkin untuk terpapar media informasi daripada
wanita yang tinggal di pedesaan. Kemudian dihubungkan dengan pengetahuan
metode KB, wanita yang tinggal di perkotaan cenderung lebih tinggi memiliki
pengetahuan metode KB dibandingkan dengan wanita yang tinggal di pedesaan
cenderung lebih rendah memiliki pengetahuan metode KB. Wanita yang tinggal di
perkotaan juga cenderung memiliki pengetahuan siklus ovulasi dibandingkan
dengan wnaita yang tinggal di pedesaan sebab wanita yang tinggal di perkotaan
lebih mudah terpapar media informasi. Pada jarak kelahiran, proporsi jarak
kelahiran beresiko (kurang dari 24 tahun dan lebih atau sama dengan dengan 59
bulan) hampir sama antara wanita yang tinggal di perkotaan dan pedesaan. Wanita
yang tinggal di perkotaan lebih mudah dalam mendapatkan pelayanan metode KB
sehingga memiliki risiko mengalami kehamilan tidak diinginkan. Perlu adanya
evaluasi dari pemerintah terkait penggunaan metode KB terutama di perkotaan
yang aksesnya lebih mudah sebab diperkotaan dilaporkan lebih banyak terjadi
kehamilan tidak diinginkan.

K. Usia Pertama Menikah


Pada penelitian ini menunjukkan responden cenderung menikah pertama
kali pada usia kurang atau sama dengan 20 tahun (56,2%) dibandingkan dengan
responden yang menikah lebih dari 20 tahun. Proporsi kejadian kehamilan tidak
diinginkan menurut usia pertama kali menikah menunjukkan bahwa responden

Universitas Sriwijaya
98

yang menikah pertama kali pada saat usia kurang atau sama dengan 20 tahun
cenderung mengalami kehamilan tidak diinginkan (16,4%) dibandingkan dengan
wanita yang menikah pertama kali pada saat usia lebih dari 20 tahun. Hasil
analisis bivariat menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara
statsitik antara usia pertama menikah dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan,
diperoleh nilai PR 1,334 dapat diinterpretasikan bahwa wanita yang menikah
pertama kali pada saat usia kurang atau sama dengan 20 tahun memiliki risiko
1,334 kali lebih besar mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
wanita yang menikah lebih dari 20 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Geda dan Lako di
Ethiopia tahun 2011 menyatakan bahwa wanita dengan usia nikah pertama 20-24
tahun mengurangi resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan sebesar 0,163
dibandingkan dengan wanita pada usia nikah pertama kurang dari 20 tahun.
penelitian oleh Bastola, et al di Nepal tahun 2015 menyatakan wanita dengan usia
nikah pertama lebih dari 20 tahun mengurangi resiko mengalami kehamilan tidak
diinginkan sebesar 0,54 dibandingkan dengan wanita pada usia nikah pertama
kurang dari 20 tahun (95% CI:0,34-0,86). Pada penelitian ini dilaporkan kejadian
kehamilan tidak diinginkan lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia pertama
menikah kurang atau sama dengan 20 tahun. Ini dapat disebabkan kehamilan
terjadi sebelum menikah dan pada usia muda sehingga terjadi nikah dini atau
menikah sebelum waktunya. Proporsi wanita yang menikah pertama kali pada
usia kurang atau sama dengan 20 tahun lebih banyak pada wanita dengan
pendidikan rendah sedangkan pada wanita berpendidikan tinggi cenderung
menikah pertama kali pada usia lebih dari 20 tahun. Proporsi wanita yang
menikah pertama kali pada usia kurang atau sama dengan 20 tahun juga lebih
banyak pada wanita dengan status ekonomi rendah sedangkan pada wanita dengan
status ekonomi tinggi cenderung menikah pertama kali pada usia lebih dari 20
tahun. Pernikahan di usia muda beresiko terhadap kesehatan ibu dan anak baik
fisik maupun psikis. Pada pernikahan diperlukan kesiapan dan kematangan mental
suami dan istri dan biasanya belum dicapai pada usia dibawah 20 tahun. Semakin
meningkatnya usia pertama menikah mampu mengurangi kejadian kehamilan
tidak diinginkan sebab pasangan telah siap dan mampu untuk memiliki anak
(Rahman, 2012).

Universitas Sriwijaya
99

L. Partisipasi Wanita Dalam Pengambilan Keputusan


Hasil penelitian ini menunjukkan dari tiga indikator pengambilan keputusan
rumah tangga yang melibatkan wanita sebagian besar pengambilan keputusan oleh
istri bersama suami/pasangan (88,3%). Proporsi kehamilan tidak diinginkan
berdasarkan partisipasi wanita dalam pengambilan keputusan rumah tangga
menunjukkan bahwa pengambilan keputusan rumah tangga oleh terutama istri
paling banyak mengalami kehamilan tidak diinginkan (20,2%) dibandingkan
pengambilan keputusan rumah tangga oleh terutama suami dan istri bersama-sama
suami cenderung sama (13,8% dan 14,3%). Hasil analisis bivariat terlihat bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan rumah tangga
terutama suami dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan sedangkan ada
hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan rumah tangga terutama
istri dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Diperoleh nilai PR 1,519 dapat
diinterpretasikan bahwa wanita yang dalam pengambilan keputusan rumah tangga
oleh terutama istri memiliki risiko 1,519 kali lebih besar mengalami kehamilan
tidak diinginkan dibandingkan dengan wanita yang dalam pengambilan keputusan
rumah tangga oleh wanita bersama suami/pasangan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Geda
dan Lako (2011) menyatakan bahwa wanita yang tidak memiliki partisipasi dalam
pengambilan keputusan beresiko 4,3 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita yang memiliki partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Hasil penelitian Bastola et al (2015) menyatakan pada variabel
partisipasi wanita dalam pengambilan keputusan pada perawatan kesehatan
dirinya, wanita yang kurang memiliki partisipasi/pengambilan keputusan
bersama-sama suami beresiko 1,7 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan
dibandingkan dengan wanita yang sama sekali tidak memiliki
partisipasi/pengambilan keputusan oleh terutama suami (95% CI:0,96-3,03). Hasil
penelitian Acharya et al (2015) menyatakan bahwa wanita dengan partisipasi
penuh/terutama istri dalam pengambilan keputusan dapat mengurangi resiko
kehamilan tidak diinginkan sebesar 0,7 dibandingkan dengan wanita yang tidak
memiliki partisipasi/terutama suami (95% CI:0,51-0,98). Hasil penelitian Dutta et
al (2015) menyatakan bahwa wanita yang tidak memiliki partisipasi/terutama

Universitas Sriwijaya
100

suami beresiko sebesar 2 kali dibandingkan dengan wanita yang memiliki


partisipasi (95% CI:1,16-3,64).
Brown dan Eisenberg (1995) menjelaskan pentingnya keseteraan gender
bagi wanita terkait kesehatan reproduksinya. Wanita mempunyai hak untuk
membatasi kehamilan karena berhubungan dengan kesehatannya. Penelitian ini
dilaporkan bahwa pengambilan keputusan oleh terutama istri justru lebih banyak
terjadi kehamilan tidak diinginkan sedangkan proporsi kehamilan tidak diinginkan
pada wanita dalam kelompok pengambilan keputusan terutama suami dan istri
bersama suami cenderung seimbang. Pada penggunaan metode KB, wanita yang
dalam pengambilan keputusan rumah tangga bersama-sama suami lebih banyak
menggunakan metode KB. Menurut pendidikan, baik pendidikan rendah dan
pendidikan tinggi hampir sama menunjukkan pengambilan keputusan didasarkan
pada keputusan istri bersama-sama suami. Ini berarti ada komunikasi dan sikap
suami atau pertimbangan suami untuk membatasi jumlah anak sehingga
mendukung istri untuk membatasi kehamilan seperti menggunakan metode KB
bagi istri. Ada kesadaran suami untuk merawat kesehatan ibu dan bayi dengan
membatasi kehamilan dan mempertimbangkan jumlah anak yang ideal bagi
keluarganya sehingga mendukung keputusan istri untuk menggunakan metode
KB. Wanita yang memiliki partisipasi lebih dalam pengambilan keputusan lebih
mungkin untuk menentukan dalam mengontrol kehamilan terkait kesehatan
reproduksinya dan dapat menentukan untuk menggunakan metode KB namun dari
penelitian ini wanita yang menggunakan metode KB lebih banyak mengalami
kehamilan tidak diinginkan sebab terjadi kegagalan atau kesalahan pemakaian
metode KB sebab metode KB yang banyak digunakan ialah suntik KB dan pil
KB.

6.2.3 Faktor Paling Berhubungan Dengan Kejadian Kehamilan Tidak


Diinginkan
Pada penelitian ini faktor yang paling berhubungan dengan kejadian
kehamilan tidak diinginkan pada wanita pernah menikah usia 15-49 tahun di
Indonesia dianalisis menggunakan multivariat regresi logistik ganda model
prediksi. Tujuan analisis multivariat regresi logistik ganda model prediksi untuk
melihat hubungan beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen.

Universitas Sriwijaya
101

Berdasarkan hasil analisis multivariat bahwa variabel yang berhubungan secara


bermakna dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan adalah penggunaan metode
KB, pengetahuan metode KB, usia, paritas, jarak kelahiran, tempat tinggal, usia
pertama menikah, pengetahuan siklus ovulasi, media informasi, status ekonomi,
partisipasi wanita dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Berdasarkan hasil
analisis menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap
kejadian kehamilan tidak diinginkan adalah variabel paritas sebab variabel paritas
mempunyai nilai PRadjusted paling tinggi yaitu PRadjusted = 2,339 (95% CI: 1,948–
2,810) artinya ibu yang memiliki paritas lebih atau sama dengan 4 orang berisiko
2,339 kali lebih besar untuk mengalami kehamilan tidak diinginkan dibandingkan
dengan ibu yang memiliki paritas 1 sampai 3 orang setelah dikontrol variabel lain.
Pertimbangan jumlah anak bagi pasangan penting untuk meningkatkan
kesehatan reproduksi ibu sebab semakin sering seorang ibu melahirkan anak maka
akan semakin berisiko memiliki kematian dalam persalinan. Maka program
perencanaan kehamilan oleh pemerintah harus ditingkatkan karena dapat
mencegah terjadinya kehamilan tidak diinginkan.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai