BAB I
DEFINISI
A. PENGERTIAN
1. Pelayanan Resusitasi : pelayanan yang dilakukan terhadap pasien gawat
darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien, dengan respirasi buatan dan
kompresi dada untuk me-restart jantung dan paru-paru.
2. Bantuan Hidup Dasar : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak tanpa menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
3. Bantuan Hidup Lanjut : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak dengan menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
4. Blue Code system : sistem respon cepat untuk resusitasi darurat dan
stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi di dalam area Rumah Sakit yang
membutuhkan perhatian segera.
Sistem Kode biru (blue code system) akan segera di lakukan bila ditemukan
seseorang dengan serangan jantung atau pernafasan (tidak responsif,
pulseless, tidak bernafas) dan pasien membutuhkan Resusitasi Jantung Paru
(RJP)
5. Pasien gawat darurat : adalah pasien yang berada dalam ancaman kematian
dan memerlukan pertolongan resusitasi ( RJP ) segera.
6. Pasien gawat : pasien yang terancam jiwanya tetapi belum memerlukan
resusitasi.
1
BAB II
RUANG LINGKUP
2
BAB III
TATALAKSANA PELAYANAN
3
Urutan Tindakan
Gambar 1
4
Gambar 2
Gambar 3
4. JIKA PERNAPASAN MEMADAI :
a. Posisikan pasien pada ‘recovery position” (jika tidak ada kecurigaan
trauma leher).
b. Pastikan pernapasan tetap ada
c. Cari bantuan
5
5. JIKA TIDAK BERNAPAS :
a. Cari bantuan
b. Terlentangkan pasien
c. Singkirkan semua sumbatan yang terlihat di mulut pasien (misal gigi
yang terlepas).
d. Beri 2 napas buatan yang efektif, setiap napas harus disertai
ekshalasi.
Cara :
1) Pertahankan ‘head tilt-chin lift’.
2) Jepit hidung dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan yang
melakukan ‘head tilt’ (gb. 4)
3) Buka sedikit mulut pasien.
4) Ambil napas panjang dan tempelkan rapat-rapat bibir penolong
melingkari mulut pasien, lalu tiup selama 1, 5-2 detik. Lihat
apakah dada terangkat (gb. 5).
5) Tetap pertahankan ‘head tilt-chin lift’, lepas mulut penolong dari
mulut pasien, lihat apakah dada pasien turun waktu ekshalasi
(gb. 6)
6) Ambil napas lagi dan ulangi meniup, dan seterusnya.
6
Gambar 7
Gambar 8
7
Gambar 9 Gambar 10
Gambar 11
- Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah
berada tepat di titik pijat jantung.
- Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut
menekan (gb. 12)
Gambar 12
8
- Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada pasien
dengan siku lengan lurus, menekan sternum sedalam 4-5 cm
(1, 5 – 2 inci) (gb. 13).
-
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 14
9. Lanjutkan resusitasi sampai ada tanda-tanda kehidupan kembali, atau
bantuan yang lebih mampu datang atau penolong kelelahan sehinga
kalau diteruskan akan membahayakan penolong.
10. Bilamana mencari bantuan ?
a) Sangat penting bagi penolong untuk sesegera mungkin mencari
bantuan.
9
b) Jika ada dua penolong, salah satu melakukan resusitasi, sedangkan
lainnya mencari bantuan.
c) Jika hanya ada satu penolong, lakukan resusistasi minimal 1 menit
dulu sebelum berusaha mencari bantuan.
C. Tersedak (Choking)
Jika tersedak menyebabkan sumbatan jalan napas parsial (sebagian), pasien
dapat melepaskan sumbatan tersebut dengan batuk. Sebaliknya sumbatan total
menyebabkan asfiksia yang perlu segera ditolong.
10
1. Jika pasien sadar dan masih bernapas, coba perintahkan untuk batuk. Jika
pasien tampak sianosis, tetapi masih sadar, lakukan ‘back blows’ (gb. 15).
Cara :
a. Penolong berdiri di samping agak ke kebelakang dari pasien.
b. Sangga dadanya dan sedikit bungkukan.
c. Beri 5 pukulan tajam dengan tumit tangan diantaran kedua tulang berlikat
(scapulae) untuk melepas sumbatan.
11
2) Letakkan tangan yang lain di atasnya. Hati-hati jangan menekan iga
tersebut.
3) Tekan kuat dan cepat kea rah bawah dan kepala.
4) Lakukan ‘abdominal thrust’ini 5 kali berturut-turut. Jika tidak berhasil
kembali lakukan ‘black blows’ ‘abdominal thrust’ dan seterusnya.
Gambar 18
Recovery Position
Jika pasien kembali bernapas dan teraba sirkulasi spontan, maka
pertolongan ditujukan untuk mempertahankan jalan napas bebas dari
sumbatan pangkal lidah dan memperkecil kemungkinan aspirasi isi lambung
/ muntahan.
Untuk itu pasien diatur pada posisi ‘recovery’ (gb. 19, 20).
1. Lengan yang dekat penolong diluruskan kearah kepala.
2. Lengan yang satunya menyilang dada, kemudian tekankan tangan
tersebut ke pipinya.
3. Dengan tangan penolong yang lain raih tungkai di atas lutut dan angkat.
4. Tarik tungkai sehingga tubuh pasien tergulung ke arah penolong.
Baringkan miring dengan tungkai atas membentuk sudut dan menahan
tubuh dengan stabil agar tidak menelungkup.
5. Periksa penapasan secara teratur.
12
Gambar 19
Gambar 20
Variasi Teknik Resusitasi Jantung Paru :
1. Pernapasan mulut ke hidung :
Cara ini dilakukan bila cara mulut ke mulut sulit, misalnya karena pasien
ompong, resusitasi di dalam air (dimana satu tangan penolong menopang
tubuh sehingga tidak bisa memencet hidung) dan jika mulut penolong
lebih kecil daripada mulut pasien.
Cara pernapasan mulut ke hidung :
Katupkan mulut pasien disertai ‘chin lift’, kemudian tiupkan udaran seperti
pada pernapasan mulut ke mulut. Buka mulut pasien waktu ekshalasi.
13
c. Untuk membuka jalan napas, cara yang terbaik adalah ‘jaw thrust’.
Teknik ‘head tilt’ hanya boleh dengan gerakan seminimal mungkin.
Perlu diingat bahwa jika gagal membebaskan jalan napas dan memberi
pernapasan, pasien akan meninggal. Namun jika karena memberi
pernapasan terjadi kerusakan sumsum tulang belakang maka kelumpuhan
(tetraplegia) adalah tragedy.
Ringkasan :
Keberhasilan Bantuan Hidup Dasar sangat tergantung pada kecepatan
pelaksanaannya. Usahakan terus melakukan BHD sampai datang bantuan
untuk Bantuan Hidup Lanjut.
b. Pemeriksaan denyut nadi bayi Leher bayi (< 1 tahun) sangat pendek
sehingga sulit untuk mencari arteri karotis dengan cepat, sehingga
dianjurkan untuk meraba A. branchialis, juga sering diraba A. Femoralis.
A. brachialis terletak dilengan atas antara sendi bahu dan sendi siku
letakkan ibu diluar lengan, kemudian digunakan jari telunjuk dan jari
tengah.
14
Gambar 21
15
Gambar 22
Jika denyut teraba namun tidak ada napas spontan :
Berikan napas buatan dengan kecepatan 20 kali per menit/setiap 3 detik
untuk anak/bayi sehingga dapat bernapas spontan.
Setelah memberikan 2 hembusan napas, aktifikan EMS.
Jika denyut nadi tidak teraba denyut kurang dari 60 kali/menit dan tampak
tanda-tanda perfusi sistematik yang buruk :
Mulai pijat jantung.
Koordinasi antara pijat jantung dan ventilasi.
Setelah melakukan 20 kali siklus kompresi dan ventilasi, aktifikan
system EMS
Gambar 23
16
Penekanan sternum 1, 5-2, 5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak
diperlukan penekanan 2, 5-4 cm pada anak yang lebih besar, hendaknya
digunakan pangkal telapak tangan utnuk kompresi dada luar.
a. Pijat Jantung Bayi
1) Gunakan satu tangan untuk menjadi posisi kepala (jika tangan anda
tidak berada di punggung anak). Hal ini memungkinkan kita untuk
memberikan ventilasi tanpa harus merubah posisi kepala lagi.
2) Gunakan tangan lainnya untuk menekan dada.
3) Kecepatan pijatan sekurang-kurangnya 100 kali per menit.
4) Ratio kompresi dan ventlasi adalah 15 : 2.
Gambar 24 Gambar 25
Gambar 26
17
Pijat jantung selalu harus disertai dengan pemberian napas buatan. Pada
akhir dari pijatan ke lima, diberikan waktu 1 hingga 1, 5 detik untuk ventilasi.
Ratio 15:2 untuk akan dan bayi digunakan baik dengan 1 atau 2 penolong
(teknik dengan 2 penolong sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan).
Anak dan bayi harus dievaluasi kembali setelah 20 siklus kompresi dan
ventilasi (kurang lebih 1 menit) dan setiap beberapa menit berikutnya untuk
melihat adanya tanda napas spontan atau adanya denyut.
18
E. Tatalaksana Bantuan Hidup Lanjut
Berdasarkan American Heart Association (AHA) pada Advanced Cardio-vascular
Life Support (ACLS) 2010 tentang Adult Cardiac Arrest, dikemukakan bahwa
kunci bertahan hidup pada cardiac arrest adalah Basic Live Support (BLS) dan
sistem ACLS yang terintegrasi dengan baik. Dasar berhasilnya ACLS adalah
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang berkualitas, dan untuk VF/ pulseless VT
diperlukan defibrilasi yang cepat dan tepat.
19
1. Ventricular tachycardia (VT) tanpa nadi
PEA adalah suatu kondisi dimana terdapat impuls listrik pada jantung
(gelombang EKG pada monitor) namun tidak dapat membuat jantung
berkontraksi. Hal ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan palpasi pada
nadi karotis. Pada saat kita melihat adanya gelombang EKG namun tidak
ada denyutan nadi arteri maka disebut dengan Pulselles electrical activity
(PEA). Pada kebanyakan kasus gelombang EKG yang terlihat saat terjadi
PEA cenderung dengan irama jantung yang (HR) dibawah normal
(Bradicardia)
20
4. Asistole.
Asistole adalah kondisi dimana jantung berhenti tidak ada kontraksi jantung
dan tidak adanya impuls listrik (gelombang EKG) pada monitor. Pada
gelombang EKG hanya tampak garis lurus tidak ada gambaran gelombang
EKG. Untuk memastikan bahwa pasien mengalami asistole, petugas
kesehatan harus melakukan juga pengecekan nadi arteri (karotis). Pada
pasien yang telah terpasang monitor, dipastikan electrode atau kabel EKG
tidak terlepas untuk memastikan apakah betul gelombang tersebut adalah
asistole atau bukan. Biasanya pada pasien yang telah terpasang monitoring
invasive (menggunakan arteri line) akan terlihat juga pada saat gelombang
EKG asistole akan tampak gelombang arteri flat atau lurus.
21
Algoritma Penatalaksanaan Cardiac Arrest
22
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit
100 kali permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube,
dapat dilakukan kompresi jantung luar sedikitnya 100 kali permenit, dengan terus
melakukan ventilasi tanpa berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6
sampai 8 detik (8 sampai 10 kali permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari berlebihnya jumlah ventilasi yang diberikan.
a. Ventricular Fibrillation/Pulseless Ventricular Tachycardia
Ketika minitor menampilkan irama VF/Pulseless VT maka sebaiknya
langsung charge defibrillator, kemudian amankan sekitar supaya tidak
terkena shock dengan mengucapkan “clear”, segera berikan sebuah shock,
semua ini dilakukan secepat mungkin. RJP kemudian kembali dilanjutkan
selama 2 menit setelah dilakukan shock, sebelum memeriksaan irama
jantung dan nadi berikutnya.
Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan
RJP ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP
dihentikan dan shock kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung
dilanjutkan kembali selama 2 menit, dan nilai irama dan nadi kembali.
Penolong yang memberikan kompresi jantung luar sebaiknya digantikan
setiap 2 menit untuk mengurangi kelelahan. Kualitas RJP sebaiknya
dimonitor berdasarkan parameter mekanis dan fisiologi.
23
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental
pada algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan
penyebab reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama
jantung pada irama sinus. Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium
harus dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti coronary
angiography dan PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass
dapat dilakukan pada kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC,
perawatan post-cardiac arrest dapat segera dimulai.
PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat di koreksi jika
dapat teridentifikasi penyebanya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari
RJP sebaiknya penolong melakukan penilain terhadap 5H dan 5T untuk
menyelidiki kemungkinan penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat
dipasang segera advanced airway untuk mencapai oksigensi atau ventilasi
yang adekuat. PEA yang disebabkan oleh severe volume loss atau sepsis
dapat dikoreksi dengan kristaloid IV. PEA oleh kehilangan banyak darah,
dapat dilakukan transfusi darah. Jika emboli paru dicurigai sebagai penyebab
cardiac arrest, terapi fibrinolitik emperis dapat dilakukan. PEA oleh tension
24
pneumothorax, needle decompression dapat dilakukan untuk terapi awal.
Jika mungkin dapat dilakukan echocardiografi untuk mengetahui intravascular
volume status, cardiac temponade, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas
ventrikel kiri, dan pergerakan regional wall. Asistole biasanya merupakan end-
stage rhythm yang terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang
buruk. Pada pasien yang telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac
arrest dapat segera dimulai.
2) Epinephrine
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac
arrest, utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat
meningkatkan CPP (coronary perfusion pressure/aortic relaxation
“diastolic” pressure minus right atrial relaxation “diastolic” pressure) dan
tekanan perfusi cerebral selama RJP. Untuk efek β-adrenergik dari
epinephrine, masih kontoversi karena berefek meningkatkan kerja
miokardium dan mengurangi perfusi sub-endokardial.Berdasarkan
kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika pemberian 1 mg epinephrine
IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis lebih tinggi
hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-
25
blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat
atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan
dosis 2 mg sampai 2, 5 mg.
3) Vasopressin.
Vasopressin adalah nonadrenergic peripheral vasoconstrictor yang juga
dapat mengakibatkan vasokonstriksi pada koroner dan ginjal.
Berdasarkan 3 meta-analysis trials dan 2 randomized controlled clinical
trials (RCTs), mendapatkan pemberian vasopressin dikombinasi dengan
epinephrine tidak memberikan perbedaan bermakna jika dibandingkan
pemberian epinephrine tanpa kombinasi vasopressine. Oleh karena itu,
vasopressine single dose 40 unit IV tidak lagi dipakai dalam algoritma
cardiac arrest.
4) Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan
juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF atau Pulseless VT yang tidak
memberikan respon terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis
pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV.
Pada blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5
mg/KgBB secara bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau
Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan pemberian placebo atau
lidocaine 1, 5 mg/KgBB.
5) Precordial Thump
Penggunaan precordial thump pada pasien cardiac arrest masih
kontroversi. Ketika dilakukan pada VF/VT atau PEA, precordial thum
masih tergolong aman, tetapi tidak terbukti bermakna menghentikan
aritmia yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, sebaiknya precordial
thum hanya dilakukan sebagai intervensi awal terhadap unstable
ventricular tachyarrhythmias ketika defibrillator tidak ada atau belum siap
shock, tetapi setelah itu harus melakukan RJP, kemudian shock bila
defibrillator telah siap.
26
BAB IV
DOKUMENTASI
27
BAB V
PENUTUP
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2018
DIREKSI
RS. Jiwa Islam Klender
Dr.Prasila Darwin.Sp.KJ
DIREKTUR UTAMA
28