Anda di halaman 1dari 28

LAMPIRAN PERATURAN DIREKSI

RS JIWA ISLAM KLENDER


NOMOR : 34/X/PD/RSJIK/08/2018
TENTANG PANDUAN RESUSITASI

BAB I
DEFINISI

A. PENGERTIAN
1. Pelayanan Resusitasi : pelayanan yang dilakukan terhadap pasien gawat
darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien, dengan respirasi buatan dan
kompresi dada untuk me-restart jantung dan paru-paru.
2. Bantuan Hidup Dasar : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak tanpa menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
3. Bantuan Hidup Lanjut : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak dengan menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
4. Blue Code system : sistem respon cepat untuk resusitasi darurat dan
stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi di dalam area Rumah Sakit yang
membutuhkan perhatian segera.
Sistem Kode biru (blue code system) akan segera di lakukan bila ditemukan
seseorang dengan serangan jantung atau pernafasan (tidak responsif,
pulseless, tidak bernafas) dan pasien membutuhkan Resusitasi Jantung Paru
(RJP)
5. Pasien gawat darurat : adalah pasien yang berada dalam ancaman kematian
dan memerlukan pertolongan resusitasi ( RJP ) segera.
6. Pasien gawat : pasien yang terancam jiwanya tetapi belum memerlukan
resusitasi.

1
BAB II
RUANG LINGKUP

Panduan Pelayanan Resusitasi ini berlaku untuk semua lingkungan di Rumah


sakit jiwa islam klender, dari mulai pintu gerbang masuk sampai ke semua unit
pelayanan.

2
BAB III
TATALAKSANA PELAYANAN

Dalam melaksanakan pelayanan Resusitasi ada 2 tahapan yaitu :


A. Tatalaksana Bantuan Hidup Dasar
Dalam bantuan hidup dasar, kita harus mampu memahami :
1. Apa yang dimaksud dengan :
a. Penilaian awal
b. Jalan napas
c. Pernapasan (ventilasi)
d. sirkulasi
2. Bagaimana melakukan resusitasi jantung paru sampai pada tingkat
kecakapan yang memuaskan.
3. Bagaimana meletakkan pasien pada posisi “recovery”
4. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar
(BHD)

BHD untuk mempertahankan pernapasan dan sirkulasi yang adekuat sampai


kondisi yang menyebabkan henti napas dan henti jantung dapat diatasi. BHD
dilakukan tanpa bantuan alat. BHD yang dilakukan dengan bantuan alat (jalan
napas buatan atau sungkup muka) disebut “BHD dengan bantuan jalan napas”
(Basic Life Support with Airway Adjunct)
Sirkulasi yang berhenti 3-4 menit akan mengakibatkan kerusakan otak yang
permanen. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu itu jadi
lebih pendek

Bantuan Hidup Dasar Dewasa

CHAIN OF SURVIVAL PADA HENTI JANTUNG

3
Urutan Tindakan
Gambar 1

1. Pastikan keselamatan penolong dengan pasien terjamin.


2. Periksa pasien dan lihat responnya.
Goyang bahunya dan bertanya cukup keras “Apakah kamu baik-baik
saja?” atau “Siapa namanya?” atau “Coba buka mata” (gb. 1)

a. Bila Pasien Menjawab Atau Bergerak :


1) Biarkan pasien tetap pada posisi ditemukan (kecuali ada bahaya
pada posisi tersebut).
2) Periksa keadaan pasien secara berkala dan teratur.

b. Bila Pasien Tidak Memberi Respons :


1) Berteriak mencari bantuan
2) Buka jalan napas dengan mendorong dahi dan mengangkat
dagu (gb. 2)
3) Posisikan telapak tangan pada dahi sambil mendorong dahi ke
belakang (head tilt). Ibu jari dan telunjuk harus bebas agar dapat
digunakan menutup
hidup jika perlu memberikan napas buatan. Pada waktu yang
sama, ujung jari tangan yang lain mengangkat dagu (chin lift).
Jika ada kecurigaan trauma leher jangan melakukan head tilt

4
Gambar 2

3. Sambil mempertahankan jalan napas bebas, LIHAT, DENGAR, RABA


ada tidaknya udara pernapasan keluar masuk (10 detik) :
a. Lihat pergerakan dada naik turun.
b. Dengar suara napas pada mulut napas.
c. Raba gerak hawa pernapasan dengan pipi (gb. 3)

Gambar 3
4. JIKA PERNAPASAN MEMADAI :
a. Posisikan pasien pada ‘recovery position” (jika tidak ada kecurigaan
trauma leher).
b. Pastikan pernapasan tetap ada
c. Cari bantuan

5
5. JIKA TIDAK BERNAPAS :
a. Cari bantuan
b. Terlentangkan pasien
c. Singkirkan semua sumbatan yang terlihat di mulut pasien (misal gigi
yang terlepas).
d. Beri 2 napas buatan yang efektif, setiap napas harus disertai
ekshalasi.
Cara :
1) Pertahankan ‘head tilt-chin lift’.
2) Jepit hidung dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan yang
melakukan ‘head tilt’ (gb. 4)
3) Buka sedikit mulut pasien.
4) Ambil napas panjang dan tempelkan rapat-rapat bibir penolong
melingkari mulut pasien, lalu tiup selama 1, 5-2 detik. Lihat
apakah dada terangkat (gb. 5).
5) Tetap pertahankan ‘head tilt-chin lift’, lepas mulut penolong dari
mulut pasien, lihat apakah dada pasien turun waktu ekshalasi
(gb. 6)
6) Ambil napas lagi dan ulangi meniup, dan seterusnya.

e. Jika mengalami kesulitan memberikan napas buatan yang efektif :


1) Periksa lagi apakah mulut pasien sudah bersih dari sumbatan
(gb. 7).
2) Periksa apakah posisi ‘head tilt-chin lift’ sudah benar.
3) Usahakan lagi memberi napas buatan sampai 5 kali untuk
mendapatkan paling sedikit 2 napas buatan yang efektif.

6
Gambar 7

6. Periksa tanda-tanda sirkulasi (meskipun napas buatan belum berhasil)


(10 detik) :
a. Cari apakah ada gerakan pasien (gerakan menelan atau bernapas)
b. Raba nadi carotis (gb. 8)

Gambar 8

7. Jika Yakin Ada Tanda-Tanda Sirkulasi


a. Lanjutkan napas buatan sampai pasien bisa bernapas sendiri.
b. Tiap menit periksa lagi tanda-tanda sirkulasi (10 detik)
c. Jika pasien mulai bernapas, tapi tetap tidak sadar, posisikan pada
‘recovery position’.
d. Periksa kondisinya dan siap mengembalikan pada posisi terlentang
untuk diberi napas buatan.
8. Jika Tidak Ada Tanda-Tanda Sirkulasi
a. Mulai pijat jantung
Cara :
- Tentukan lokasi pijatan setengah-bagian-bawah tulang dada
(sternum) dengan telunjuk dan jari tengah menyusur bawah iga
(gb. 9) sampai titik temu dengan sternum (gb. 10).

7
Gambar 9 Gambar 10

- Tempatkan tumit tangan satunya di atas sternum tepat di


samping telunjuk tersebut. Itu adalah titik tumpu pijat jantung
(gb. 11)

Gambar 11
- Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah
berada tepat di titik pijat jantung.
- Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut
menekan (gb. 12)

Gambar 12

8
- Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada pasien
dengan siku lengan lurus, menekan sternum sedalam 4-5 cm
(1, 5 – 2 inci) (gb. 13).
-

Gambar 13

- Ulangi gerakan pijat, lepas, pijat, lepas sekitar 100 kali/menit


(kira-kira 2 pijatan/detik). Rasio waktu memijat dan melepas
adalah 1 : 1).
- Setiap setelah 30 kali pijat jantung, lakukan ‘head tilt-chin lift’
dan beri 2 napas buatan efektif. Lalu pijat jantung lagi 30 kali
dan seterusnya (30:2). (gb. 14)

Gambar 14

Gambar 14
9. Lanjutkan resusitasi sampai ada tanda-tanda kehidupan kembali, atau
bantuan yang lebih mampu datang atau penolong kelelahan sehinga
kalau diteruskan akan membahayakan penolong.
10. Bilamana mencari bantuan ?
a) Sangat penting bagi penolong untuk sesegera mungkin mencari
bantuan.

9
b) Jika ada dua penolong, salah satu melakukan resusitasi, sedangkan
lainnya mencari bantuan.
c) Jika hanya ada satu penolong, lakukan resusistasi minimal 1 menit
dulu sebelum berusaha mencari bantuan.

B. Resusitasi Dengan 2 Penolong


Cara pertama adalah melakukan cara ‘1 penolong’ secara bergantian. Tetapi jika
kedua penolong terlatih untuk BLS. Cara ‘2 penolong’ adalah lebih efektif karena
ventilasi lebih baik dan pijat jantung lebih teratur serta tidak banyak sela. Seorang
melakukan pijat jantung yang lain memberikan napas buatan.
Rasio pijat jantung : napas buatan tetap 30 : 2.
Jika menggunakan cara “2 penolong” ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Jika berubah dari 1 penolong ke 2 penolong, penolong baru mengambil alih
pijat jantung setelah penolong pertama selesai memberi 2 napas buatan.
Selama penolong pertama memberikan napas buatan, penolong yang baru
datang mencari posisi pijat yang benar. Posisi kedua penolong
berseberangan dari pasien.
2. Pemijat jantung melakukan hitungan dengan suara cukup keras seraya
memijat.
3. ‘Head tilt=chin lift’ harus tetap dipertahankan sepanjang waktu. Setiap napas
buatan perlu waktu 1, 5-2 detik. Pijat jantung dimulai segera setelah mulut
pemberi napas buatan lepas dari mulut pasien.
4. jika penolong ingin berganti tempat, penolong pijat jantung memberi aba-aba.
Pindah tempat dilakukan akhir pijat jantung ke-30, segera pindah ke posisi
napas buatan dan memberi 2 napas buatan. Penolong yang semula memberi
napas buatan pindah ke posisi pijat jantung dan memijat segera setalah
napas buatan.

C. Tersedak (Choking)
Jika tersedak menyebabkan sumbatan jalan napas parsial (sebagian), pasien
dapat melepaskan sumbatan tersebut dengan batuk. Sebaliknya sumbatan total
menyebabkan asfiksia yang perlu segera ditolong.

10
1. Jika pasien sadar dan masih bernapas, coba perintahkan untuk batuk. Jika
pasien tampak sianosis, tetapi masih sadar, lakukan ‘back blows’ (gb. 15).
Cara :
a. Penolong berdiri di samping agak ke kebelakang dari pasien.
b. Sangga dadanya dan sedikit bungkukan.
c. Beri 5 pukulan tajam dengan tumit tangan diantaran kedua tulang berlikat
(scapulae) untuk melepas sumbatan.

Gambar 15 Gambar 16 Gamb

Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17

2. Jika ‘back blows’ tidak berhasil, lakukan ‘abdominal thrust’ / heimlich


maneuver (gb. 16)
a. Penolong berdiri di belakang pasien, rangkul pasien, kepalkan satu
tangan penolong pada perut bagian atas dan pegang dengan tangan
yang lain.
b. Tarik dengan kuat ke dalam dan ke atas untuk mendorong udara paru
secara mendadak dan mendorong benda asing dari jalan napas (gb. 17).
c. Lakukan ‘abdominal thrust’ ini 5 kali berturut-turut. Jika tidak berhasil
kembali lakukan ‘black blows’ abdominal thrust dan seterusnya.

3. Jika pasien tampak sianosis dan tidak sadar :


a. Coba korek rongga mulut dengan jari, untuk menyingkirkan benda asing
dari mulut/pharynx.
b. Lakukan ‘abdominal thrust’ pada posisi terlentang di lantai (gb. 18)
1) Penolong berlutut diantara paha pasien atau salah satu sisi pasien,
letakkan tumit tangan di abdomeal atas diantara umbilicus dan titik
temu iga bawah.

11
2) Letakkan tangan yang lain di atasnya. Hati-hati jangan menekan iga
tersebut.
3) Tekan kuat dan cepat kea rah bawah dan kepala.
4) Lakukan ‘abdominal thrust’ini 5 kali berturut-turut. Jika tidak berhasil
kembali lakukan ‘black blows’ ‘abdominal thrust’ dan seterusnya.

Gambar 18

Recovery Position
Jika pasien kembali bernapas dan teraba sirkulasi spontan, maka
pertolongan ditujukan untuk mempertahankan jalan napas bebas dari
sumbatan pangkal lidah dan memperkecil kemungkinan aspirasi isi lambung
/ muntahan.
Untuk itu pasien diatur pada posisi ‘recovery’ (gb. 19, 20).
1. Lengan yang dekat penolong diluruskan kearah kepala.
2. Lengan yang satunya menyilang dada, kemudian tekankan tangan
tersebut ke pipinya.
3. Dengan tangan penolong yang lain raih tungkai di atas lutut dan angkat.
4. Tarik tungkai sehingga tubuh pasien tergulung ke arah penolong.
Baringkan miring dengan tungkai atas membentuk sudut dan menahan
tubuh dengan stabil agar tidak menelungkup.
5. Periksa penapasan secara teratur.

12
Gambar 19

Gambar 20
Variasi Teknik Resusitasi Jantung Paru :
1. Pernapasan mulut ke hidung :
Cara ini dilakukan bila cara mulut ke mulut sulit, misalnya karena pasien
ompong, resusitasi di dalam air (dimana satu tangan penolong menopang
tubuh sehingga tidak bisa memencet hidung) dan jika mulut penolong
lebih kecil daripada mulut pasien.
Cara pernapasan mulut ke hidung :
Katupkan mulut pasien disertai ‘chin lift’, kemudian tiupkan udaran seperti
pada pernapasan mulut ke mulut. Buka mulut pasien waktu ekshalasi.

2. Cedera tulang leher :


Jika ada kecurigaan cedera sumsum tulang belakang (jatuh) dari
ketinggian, rupadaksa daerah kepala-leher atau jatuh ke air dangkal)
penolong harus hati-hati saat mengangkat dan melakukan resusitasi.
a. Sumbu kepala-leher-dada harus satu garis lurur. Kepala
dipertahankan pada posisi netral (tidak menengadah, tidak
menunduk), dengan cara memberi alas papan dan kantung pasir di
kanan kiri kepala. Lebih baik jika ada cervical collar (penahan leher).
b. Usahakan pasien berbaring horizontal karena sering terjadi
hipotensi.

13
c. Untuk membuka jalan napas, cara yang terbaik adalah ‘jaw thrust’.
Teknik ‘head tilt’ hanya boleh dengan gerakan seminimal mungkin.

Perlu diingat bahwa jika gagal membebaskan jalan napas dan memberi
pernapasan, pasien akan meninggal. Namun jika karena memberi
pernapasan terjadi kerusakan sumsum tulang belakang maka kelumpuhan
(tetraplegia) adalah tragedy.
Ringkasan :
Keberhasilan Bantuan Hidup Dasar sangat tergantung pada kecepatan
pelaksanaannya. Usahakan terus melakukan BHD sampai datang bantuan
untuk Bantuan Hidup Lanjut.

D. RJP Pada Anak & Bayi


Setelah jalan napas terbuka dan 2 hembusan napa telah diberikan, penolong
menentukan perlu / tidaknya kompresi dada.
1. Penilaian sirkulasi :
a. Pemeriksaan denyut
Jika kontraksi tidak efektif atau tidak ada akan teraba denyut nadi pada
arteri sentral. Beberapa penelitian telah melaporkan kesulitan yang
dihadapi petugas dalam menentukan lokasi dari denyut nadi perifer dan
menghitung jumlah denyut nadi pada anak. Jika anak tidak bernapas
dengan spontan, denyut nadi dan stroke volume tidak cukup jadi
diperlukan kompresi dada.

b. Pemeriksaan denyut nadi bayi Leher bayi (< 1 tahun) sangat pendek
sehingga sulit untuk mencari arteri karotis dengan cepat, sehingga
dianjurkan untuk meraba A. branchialis, juga sering diraba A. Femoralis.
A. brachialis terletak dilengan atas antara sendi bahu dan sendi siku
letakkan ibu diluar lengan, kemudian digunakan jari telunjuk dan jari
tengah.

14
Gambar 21

1) jika denyut teraba namun tidak ada nafas spontan :


 Berikan napas buatan dengan kecepatan 20 kali per menti (setiap
3 menit) untuk anak / bayi sehingga dapat bernapas spontan.
 Setelah memberikan 20 hembusan napas, aktifkan system EMS.
2) Jika denyut nadi tidak teraba atau denyut kurang dari 60 kali / menit
dan dampak tanda-tanda perfusi sistematik yang buruk :
 Mulai pijat jantung
 Koordinasi antara pijat jantung dan ventilasi
 Setelah 20 kali siklus kompresi dan ventilasi, aktifkan system
EMS.

c. Pemeriksaan Denyut Nadi Anak


Pada anak / 1 tahun A Karotis adalah arteri sentral yang paling mudah
diraba. Arteri karotis di daerah leher diantara trachea dan otot
sternocleidomastoideus. Untuk meraba arteri tersebut :
1) Cari cartilage typoid (jakun) dengan dua atau tiga jari sambil tetap
mempertahankan Head Tilt dengan tangan lainnya.
2) Letakkan jari anda pada cekungan leher antara trachea dan otot
sternocleidomastoideus.
3) Raba denyutan arteri.

15
Gambar 22
Jika denyut teraba namun tidak ada napas spontan :
 Berikan napas buatan dengan kecepatan 20 kali per menit/setiap 3 detik
untuk anak/bayi sehingga dapat bernapas spontan.
 Setelah memberikan 2 hembusan napas, aktifikan EMS.
Jika denyut nadi tidak teraba denyut kurang dari 60 kali/menit dan tampak
tanda-tanda perfusi sistematik yang buruk :
 Mulai pijat jantung.
 Koordinasi antara pijat jantung dan ventilasi.
 Setelah melakukan 20 kali siklus kompresi dan ventilasi, aktifikan
system EMS

2. Pijat Jantung / Kompresi dada Luar


Karena jantung terletak sedikit tinggi dalam rangga toraks pada pasien-
pasien muda, kompresi dada luar hendaknya diberikan 2 jari pada 1 jari
dibawah titik potong garis susu dengan sternum pada bayi dan pada
pertengahan bawah sternum pada anak :

Gambar 23

16
Penekanan sternum 1, 5-2, 5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak
diperlukan penekanan 2, 5-4 cm pada anak yang lebih besar, hendaknya
digunakan pangkal telapak tangan utnuk kompresi dada luar.
a. Pijat Jantung Bayi
1) Gunakan satu tangan untuk menjadi posisi kepala (jika tangan anda
tidak berada di punggung anak). Hal ini memungkinkan kita untuk
memberikan ventilasi tanpa harus merubah posisi kepala lagi.
2) Gunakan tangan lainnya untuk menekan dada.
3) Kecepatan pijatan sekurang-kurangnya 100 kali per menit.
4) Ratio kompresi dan ventlasi adalah 15 : 2.

Gambar 24 Gambar 25

b. Pijat Jantung pada Anak


Yang dimaksud anak disini adalah umum 1 tahun s/d 8 tahun. Anak / 8
tahun pijat jantung seperti pada orang dewasa.
1) Gunakan satu tangan untuk mempertahankan posisi kepala sehingga
ventilasi dapat diberikan tanpa merubah posisi kepala lagi.
2) dilakukan kompresi dengan pangkal telapak tangan dengan
kecepatan 100 kali per menit dengan rasio 30 : 2

Gambar 26

17
Pijat jantung selalu harus disertai dengan pemberian napas buatan. Pada
akhir dari pijatan ke lima, diberikan waktu 1 hingga 1, 5 detik untuk ventilasi.
Ratio 15:2 untuk akan dan bayi digunakan baik dengan 1 atau 2 penolong
(teknik dengan 2 penolong sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan).
Anak dan bayi harus dievaluasi kembali setelah 20 siklus kompresi dan
ventilasi (kurang lebih 1 menit) dan setiap beberapa menit berikutnya untuk
melihat adanya tanda napas spontan atau adanya denyut.

3. Penilaian Hasil RJP


a. Korban menjadi sadar kembali
b. Korban dinyatakan mata, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP
yang terlambat diberikan atau pertolongan resusitasi tanpa resusitasi
otak, biasanya tak dapat memulihkan fungsi susunan syaraf pusat (SSP).
Dalam keadaan darurat ini, korban dapat dinyatakan mati setelah dimulai
resusitasi korban tetap tidak sadar, tidak timbul napas spontan dan
refleks muntah (Gag refleks), serta pupi tetap dilatasi 15-30 menit atau
lebih, kecuali kalau korban hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturate
atau anesthesia umum.
c. Korban belum dapat dinyatakan meninggal dan belum timbul denyut
jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut, yaitu
Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
d. denyut jantung spontan timbul, tetapi korban belum puluh kesadarannya,
napas spontan bisa ada, bisa tidak ada.

18
E. Tatalaksana Bantuan Hidup Lanjut
Berdasarkan American Heart Association (AHA) pada Advanced Cardio-vascular
Life Support (ACLS) 2010 tentang Adult Cardiac Arrest, dikemukakan bahwa
kunci bertahan hidup pada cardiac arrest adalah Basic Live Support (BLS) dan
sistem ACLS yang terintegrasi dengan baik. Dasar berhasilnya ACLS adalah
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang berkualitas, dan untuk VF/ pulseless VT
diperlukan defibrilasi yang cepat dan tepat.

Cardiac arrest dengan penatalaksanaan awal yang baik, dilakukan oleh


penolong berpengalaman dan terampil, angka survival dapat meningkat dari 7,
5% menjadi 22, 4%.Pada cardiac arrest arrhythmia, insiden berulangnya
mencapai 36, 0%, dengan angka survival yang tentunya akan menurun jika
dibandingkan dengan serangan pertama (23, 1%).

19
1. Ventricular tachycardia (VT) tanpa nadi

Ventricular tachicardi adalah suatu kondisi dimana kontraksi ventrikel yang


sangat cepat yang mengakibatkan tidak terjadinya akumulasi darah di
ventrikel yang akan dialirkan ke seluruh tubuh. Sehingga disebut dengan
irama Cardiac arrest.

2. Ventricular fibrilasi (VF)

Ventrikel fibrilasi adalahadalah suatu kondisi dimana pada ventrikel tidak


terjadi kontraksi yang adekuat (hanya bergetar) yang mengakibatkan tidak
terjadinya akumulasi darah di ventrikel yang akan dialirkan ke seluruh tubuh.
Sehingga disebut dengan irama Cardiac arrest.

3. Pulselles electrical activity (PEA)

PEA adalah suatu kondisi dimana terdapat impuls listrik pada jantung
(gelombang EKG pada monitor) namun tidak dapat membuat jantung
berkontraksi. Hal ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan palpasi pada
nadi karotis. Pada saat kita melihat adanya gelombang EKG namun tidak
ada denyutan nadi arteri maka disebut dengan Pulselles electrical activity
(PEA). Pada kebanyakan kasus gelombang EKG yang terlihat saat terjadi
PEA cenderung dengan irama jantung yang (HR) dibawah normal
(Bradicardia)

20
4. Asistole.

Asistole adalah kondisi dimana jantung berhenti tidak ada kontraksi jantung
dan tidak adanya impuls listrik (gelombang EKG) pada monitor. Pada
gelombang EKG hanya tampak garis lurus tidak ada gambaran gelombang
EKG. Untuk memastikan bahwa pasien mengalami asistole, petugas
kesehatan harus melakukan juga pengecekan nadi arteri (karotis). Pada
pasien yang telah terpasang monitor, dipastikan electrode atau kabel EKG
tidak terlepas untuk memastikan apakah betul gelombang tersebut adalah
asistole atau bukan. Biasanya pada pasien yang telah terpasang monitoring
invasive (menggunakan arteri line) akan terlihat juga pada saat gelombang
EKG asistole akan tampak gelombang arteri flat atau lurus.

21
Algoritma Penatalaksanaan Cardiac Arrest

Gambar 1. ACLS Algoritma Penatalaksanaan Cardiac Arrest

Gambar 1 memperlihatkan algoritma pada cardiac arrest berdasarkan AHA The


2010 ACLS. Secara keseluruhan algoritma ini sudah disederhanakan dan
dirancang untuk meningkatkan RJP pada tatalaksana dari cardiac arrest. Periode
pause RJP harus dibuat sesingkat mungkin, hanya pada saat memeriksa irama
jantung, shock VF/VT, periksa nadi, atau memasang advanced airway.

22
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit
100 kali permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube,
dapat dilakukan kompresi jantung luar sedikitnya 100 kali permenit, dengan terus
melakukan ventilasi tanpa berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6
sampai 8 detik (8 sampai 10 kali permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari berlebihnya jumlah ventilasi yang diberikan.
a. Ventricular Fibrillation/Pulseless Ventricular Tachycardia
Ketika minitor menampilkan irama VF/Pulseless VT maka sebaiknya
langsung charge defibrillator, kemudian amankan sekitar supaya tidak
terkena shock dengan mengucapkan “clear”, segera berikan sebuah shock,
semua ini dilakukan secepat mungkin. RJP kemudian kembali dilanjutkan
selama 2 menit setelah dilakukan shock, sebelum memeriksaan irama
jantung dan nadi berikutnya.

Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan
RJP ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP
dihentikan dan shock kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung
dilanjutkan kembali selama 2 menit, dan nilai irama dan nadi kembali.
Penolong yang memberikan kompresi jantung luar sebaiknya digantikan
setiap 2 menit untuk mengurangi kelelahan. Kualitas RJP sebaiknya
dimonitor berdasarkan parameter mekanis dan fisiologi.

Medikamentosa pada VF/VT mengunakan amiodarone. Amiodarone


merupakan agen antiaritmia lapis pertama (first-line antiarrhythmic) pada
cardiac arrest, karena secara kinis telah terbukti meningkatkan tercapainya
Return of Spontaneous Circulation (ROSC) pasien VF dan Pulseless VT.
Amiodarone harus dipertimbangkan ketika VF/VT yang tidak memberikan
respon pada RJP, defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika tidak terdapat
amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti, tetapi dari
beberapa study klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam
meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat hanya dapat diberikan pada
Torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.

23
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental
pada algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan
penyebab reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama
jantung pada irama sinus. Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium
harus dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti coronary
angiography dan PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass
dapat dilakukan pada kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC,
perawatan post-cardiac arrest dapat segera dimulai.

b. Pulseless Electrical Activity (PEA) / Asistole


Ketika monitor menunjukkan nonshockable rhythm, RJP harus segera
dilakukan, dimulai dengan kompresi jantung, dilakukan selama 2 menit
sebelum kembali menilai irama jantung. Jika setelah penilaian irama jantung
didapatkan an organized rhythm, penilaian nadi harus dilakukan. Jika nadi
teraba, perawatan post-cardiac arrest harus segera dilakukan. Jika irama
tetap asistole atau nadi tidak teraba (PEA), RJP harus kembali dilajutkan,
kompresi jantung selama 2 menit, dan setelah itu nilai kembali irama jantung.

Vasopressor dapat diberikan secepat mungkin dengan maksud untuk


meningkatkan aliran darah miokardium dan cerebral (myocardial and cerebral
blood flow) selama RJP dan pencapaian ROSC. Berdasarkan evidence yang
ada, atropine selama PEA atau asistole, tidak memberikan efek terapeutik
untuk ROSC. Karena alasan inilah, atropine tidak dipakai lagi pada algoritma
cardiac arrest.

PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat di koreksi jika
dapat teridentifikasi penyebanya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari
RJP sebaiknya penolong melakukan penilain terhadap 5H dan 5T untuk
menyelidiki kemungkinan penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat
dipasang segera advanced airway untuk mencapai oksigensi atau ventilasi
yang adekuat. PEA yang disebabkan oleh severe volume loss atau sepsis
dapat dikoreksi dengan kristaloid IV. PEA oleh kehilangan banyak darah,
dapat dilakukan transfusi darah. Jika emboli paru dicurigai sebagai penyebab
cardiac arrest, terapi fibrinolitik emperis dapat dilakukan. PEA oleh tension

24
pneumothorax, needle decompression dapat dilakukan untuk terapi awal.
Jika mungkin dapat dilakukan echocardiografi untuk mengetahui intravascular
volume status, cardiac temponade, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas
ventrikel kiri, dan pergerakan regional wall. Asistole biasanya merupakan end-
stage rhythm yang terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang
buruk. Pada pasien yang telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac
arrest dapat segera dimulai.

c. Medikasi Pada Cardiac Arrest


Tujuan utama pada terapi farmakologi selama cardiac arrest adalah fasilitasi
pengembalian dan menjaga irama spontan jantung sehingga perfusi jaringan
tetap terjaga. Untuk mencapai hal tersebut, terapi obat ACLS lebih sering
dihubungkan dengan peningkatan tercapainya ROSC dan penanganan lebih
lanjut di rumah sakit, bukan untuk memperbaiki long-term survival dengan
neurologic outcome yang baik.
1) Vasopressor
Pemberian vasopressor agent pada stage manapun selama
penatalaksanaan VF, PEA, atau asistole terbukti dapat meningkatkan
survival neurologically intact setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Vasopressor juga terbukti dapat meningkatkan tercapainya ROSC pada
saat RJP.

2) Epinephrine
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac
arrest, utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat
meningkatkan CPP (coronary perfusion pressure/aortic relaxation
“diastolic” pressure minus right atrial relaxation “diastolic” pressure) dan
tekanan perfusi cerebral selama RJP. Untuk efek β-adrenergik dari
epinephrine, masih kontoversi karena berefek meningkatkan kerja
miokardium dan mengurangi perfusi sub-endokardial.Berdasarkan
kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika pemberian 1 mg epinephrine
IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis lebih tinggi
hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-

25
blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat
atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan
dosis 2 mg sampai 2, 5 mg.

3) Vasopressin.
Vasopressin adalah nonadrenergic peripheral vasoconstrictor yang juga
dapat mengakibatkan vasokonstriksi pada koroner dan ginjal.
Berdasarkan 3 meta-analysis trials dan 2 randomized controlled clinical
trials (RCTs), mendapatkan pemberian vasopressin dikombinasi dengan
epinephrine tidak memberikan perbedaan bermakna jika dibandingkan
pemberian epinephrine tanpa kombinasi vasopressine. Oleh karena itu,
vasopressine single dose 40 unit IV tidak lagi dipakai dalam algoritma
cardiac arrest.

4) Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan
juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF atau Pulseless VT yang tidak
memberikan respon terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis
pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV.
Pada blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5
mg/KgBB secara bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau
Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan pemberian placebo atau
lidocaine 1, 5 mg/KgBB.

5) Precordial Thump
Penggunaan precordial thump pada pasien cardiac arrest masih
kontroversi. Ketika dilakukan pada VF/VT atau PEA, precordial thum
masih tergolong aman, tetapi tidak terbukti bermakna menghentikan
aritmia yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, sebaiknya precordial
thum hanya dilakukan sebagai intervensi awal terhadap unstable
ventricular tachyarrhythmias ketika defibrillator tidak ada atau belum siap
shock, tetapi setelah itu harus melakukan RJP, kemudian shock bila
defibrillator telah siap.

26
BAB IV
DOKUMENTASI

Dokumentasi yang dilaksanakan dalam pelayanan resusitasi ini adalah :


1. Lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
2. Formulir Observasi TTV
3. Lembar Code Blue

27
BAB V
PENUTUP

Demikian Panduan Pelayanan Resusitasi sebagai acuan dalam memberikan


asuhan pada pasien dengan resiko tinggi yang mengalami kegawadaruratan
dengan tujuan dapat lebih meningkatkan lagi terkait Keselamatan Pasien di
RSJIK

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2018
DIREKSI
RS. Jiwa Islam Klender

Dr.Prasila Darwin.Sp.KJ
DIREKTUR UTAMA

28

Anda mungkin juga menyukai