Review Article
Kardiologi Indonesia
J Kardiol Indones. 2013;34:188-96
ISSN 0126/3773
188 Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013
Jurnal
Tinjauan Pustaka
Kardiologi Indonesia
J Kardiol Indones. 2013;34:188-96
ISSN 0126/3773
Sindrom preeksitasi pada Wolff-Parkinson-White (WPW) bersifat sporadik dan familial. Prevalensi pada populasi diperkira-
kan sekitar 0,1-0,3%. Risiko terjadinya kematian jantung mendadak sekitar 0,25%. Gejala yang dialami pasien WPW terjadi
karena adanya aritmia jantung, yang dapat mengancam jiwa. Pada individu dengan gambaran WPW yang asimtomatik, masih
terdapat kontroversi mengenai tatalaksana yang tepat. Kateter ablasi merupakan terapi definitif terhadap adanya sindrom
WPW, namun risiko komplikasi akibat tindakan hampir sama dengan risiko timbulnya kematian jantung mendadak pada
WPW yang asimtomatik. Oleh karena itu, diperlukan suatu algoritma untuk menentukan tatalaksana yang tepat bagi pasien
WPW yang asimtomatik.
Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013 189
Jurnal Kardiologi Indonesia
dengan preeksitasi asimtomatik. Kuantifikasi yang menyebabkan bentuk gembang delta yang makin lebih
akurat mengenai risiko kematian yang dapat terjadi dan jelas, serta pemanjangan kompleks QRS.6
masih kontroversial.3 AV junction merupakan lokasi di mana muskulatur
Pasien dengan EKG yang memiliki bentuk WPW atrium memasuki lingkaran katup mitral dan tricuspid.
dibagi mejadi 3 grup dengan perbedaan pertimbangan Struktur tersebut menghubungkan rongga atrium dan
tata laksana. Pertama, pasien dengan asimtomatik, ventrikel. Komponen septal dari struktur tersebut
pasien dengan takikardia supraventrikel (TSV) spon- merupakan satu-satunya struktur muscular yang dapat
tan, atau pasien yang datang dengan presentasi AF. mengkonduksi impuls dari atrium ke ventrikel. AP
Saat ini manajemen pasien WPW asimtomatik masih dapat mneghubungkan atrium dan ventrikel dan dapat
kontroversial, mengenai apakah pasien tersebut mem- melewati AV groove di mana pun pada anulus trikus-
butuhkan pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut. pid atau mitral, kecuali pada trigonum jaringan ikat
Guideline terbaru tadhun 1995 tidak merekomen- kanan dan kiri dimana atrium kiri tidak berada pada
dasikan studi elektrofisiologi rutin pada pasien dengan juxtaposisi langsung dengan miokard ventrikel kiri. AV
WPW asimtomatik. Pasien yang memiliki pekerjaan groove dibagi atas kuadran yang terdiri dari free wall
dengan risiko tinggi merupakan pengecualian.5 kiri, free wall kanan, posteroseptal, dan anteroseptal.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai (Gambar 1). AP yang multipel terjadi 5-10% pasien.
patofisiologi dan pendekatan tata laksana pada pasien AP didefinisikan multipel jika terpisah lebih dari 1-3
dengan EKG bentuk WPW yang asimtomatik. cm. Kombinasi paling sering dari multipel BT antara
lain posteroseptal free wall kanan.6
190 Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013
Munawar DA dkk: Sindroma Pre Eksitasi Asimtomatik: Ablasi Versus Konservatif
atrium dan ventrikel. Sehingga AP anterograde mau- retrograde terjadi via AVN. Bentuk non-klasik AVRT
pun retrograde memiliki konduksi yang konstan pada antidromik dapat menggunakan AP kedua sebagai
segala LJ sampai periode refrakter tercapai, yaitu saat jalur retrograde atau kombinasi dengan AVN. Biasanya
terdapat blok total (konduksi non-decrement). Jadi AVRT antidromik terdapat pada lateral kanan atau kiri
pada AP terdapat hukum all or none. Sebaliknya pada sebagai anterograde.
AVN, yang bergantung pada arus kalsium masuk lam-
bat (slow inward calcium current) untuk membentuk
potensial aksi, terlihat konduksi yang decremental di
mana waktu konduksi melalui AVN akan meningkat
jika panjang siklus memendek. Konduksi atrioven-
trikular akan lebih cepat melalui AP daripada AVN.
Secara klinis perbedaan ini akan sangat penting, karena
fungsi primer AVN adalah membatasi jumlah impuls
yang dihantarkan dari atrium ke ventrikel pada laju
atrium yang cepat. (contoh: atrial flutter). Pada AP,
aritmia ini akan membuat laju ventrikel sangat cepat
yang akan menimbulkan ventrikel fibrilasi.6 Gambar 2. Skema sirkuit reentri AVRT
Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013 191
Jurnal Kardiologi Indonesia
Gambar 3. Algoritma untuk mendeteksi lokasi AP dari EKG (LPS =Left posteroseptal, LP=Left posterior, LL=Left
lateral, AS=Anteroseptal, RPS= Right posteroseptal, RL=Right lateral, PS=posteroseptal, MS-Midseptal)
Shortest Pre-Excited R-R Interval (SPERRI) WPW, dinamakan sindrom WPW. Tipe aritmia yang
paling sering terjadi antara lain:6
Evaluasi non invasif pasien WPW dapat menggunakan
EKG saat terjadinya AF preeksitasi sebagai penila- AVRT
ian terhadap konduksi anterograde AP. Pengukuran
SPERRI digunakan untuk menentukan konduksi Pasien dengan AVRT biasanya mengalami TSV parok-
AP. SPERRI 220-250 ms atau lebih sering <220 ms sismal dengan onset dan terminasi yang mendadak
sering terlilhat pada pasien WPW yang mengalami dengan gejala palpitasi, nyeri dada, sesak napas, pre
henti jantung. Sebaliknya preeksitasi yang intermiten sinkop, dan sinkop (jarang). Gejalanya biasanya ringan
menggambarkan bahwa prediksi kejadian KJM rendah. dan bisa diterminasi dengan manuver Vagal. Namun
Fenomena preeksitasi yang intermiten belum dapat kadang gejala bisa terlihat berat, terutama jika disertai
sepenuhnya dimengerti, namun berhubungan dengan kelainan struktural jantung
periode refrakter dari AP dan hubungan antar sel pada
AP yang menghasilan konduksi yang variatif.4 Atrial Fibrilasi
192 Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013
Munawar DA dkk: Sindroma Pre Eksitasi Asimtomatik: Ablasi Versus Konservatif
ena AF dengan respons ventrikel cepat. Insidens ke- menjadi pilihan pendekatan terapi. Pilihan terapi far-
matian jantung mendadak diperkirakan 0,15% sampai makologis yang dapat dipakai antara lain beta bloker,
0,39% pada 3-10 tahun follow up. Sekitar 50% dari atau anti aritmia kelas 1C.6
cardiac arrest pada WPW merupakan presentasi klinis
pertama WPW
Karakteristik elektrofisiologis sindroma
pre eksitasi asimtomatik
Tatalaksana sindrom WPW simtomatik
Presentasi klinis WPW biasanya bergantung pada usia
Fase akut dan bervariasi sesuai lokasi AP. AP biasanya ditemu-
kan pada neonatus, namun biasanya lebih disebabkan
Pasien dengan AVRT serupa dengan TSV paroksismal. oleh adanya gangguan integritas elektrik pada anulus
Pada pasien dengan AVRT ortodromik dan antidro- AV daripada sebuah AP murni. Meskipun episode
mik, pengobatan ditujukan pada AP (ibutilide, pro- TVS menurun pada tahun pertama kehidupan, re-
cainamide, dan flecainide) atau pada AVN (beta bloker, kurens takikardia terjadi sekitar 30% pada usia 7-8
diltiazem, verapamil), karena keduanya merupakan tahun.4
komponen yang sangat penting pada sirkuit takikardia. Terdapat bukti-bukti bahwa pada tahun pertama
Adenosin harus digunakan dengan hati-hati karena kehidupan, AP kehilangan konduksi anterograde
dapat memicu AF dengan respons cepat pada pasien pada sekitar 40% pasien. Dengan tidak tercetusnya
dengan preeksitasi.6 TSV, diperkirakan konduksi AP juga tidak baik se-
Blok AVN tidak efektif pada AVRT antidromik cara retrograde.4, 7 Jika terjadi takikardia pada WPW
AVRT yang memiliki multipel AP sebagai anterograde pada individu usia 5 tahun atau lebih, biasanya akan
dan retrograde, karena AVN tidak masuk pada sirkuit berlangsung terus pada dekade berikutnya pada 75%
reentri. Blok AV harus digunakan dengan hati-hati individu. Dewasa muda biasanya muncul dengan
pada pasien AF, Atrial flutter, AT dengan penyerta AP. gejala aritmia, namun insidensnya sangat rendah.
Obat antiaritmia seperti ibutilide, flecainide, atau pro- Sekitar 31% orang dewasa akan kehilangan kapasitas
cainamide yang dapat memblok AP lebih disarankan. preeksitasi ventrikel dan konduksi anterograde pada
Jika terapi obat gagal atau hemodinamik tidak stabil, periode lebih dari 5 tahun. Hilangnya preeksitasi pada
maka harus dipertimbangkan kardioversi.6 anak dan remaja pada periode 5 tahun sangat bervariasi
(0-26%).4
Fase kronik Alasan dilakukan evaluasi studi EP secara invasif
pada pasien dengan WPW yang didiagnosis ber-
Kateter ablasi merupakan pilihan utama pasien sin- dasarkan EKG adalah untuk mengidentifikasi adanya
drom WPW dengan simtom (kelas I). Terapi ini dapat peningkatan risiko terjadinya KJM. Pasien dengan
menyembuhkan lebih dari 95% pasien dan memliki preeksitasi intermiten atau AP dengan konduksi an-
komplikasi yang rendah. terograde yang decremental memiliki risiko yang lebih
Pada pasien yang bukan kandidat dilakukan rendah terhadap KJM. Pasien dengan konduksi AP
ablasi, obat anti aritmia yang memblok konduksi AP retrograde yang buruk juga memliki risiko yang lebih
dapat digunakan, seperti blok kanal natrium atau rendah terhadap terjadinya KJM.4
kalium. Beta bloker dapat digunakan dapat diguna-
kan, terutama pada AP dengan konduksi anterograde
yang buruk. Verapamil, diltiazem, atau digoxin tidak Komplikasi sindrom preeksitasi
boleh digunakan untuk terapi jangka panjang pasien
dengan AP yang memungkinkan terjadi konduksi Pada studi yang dilakukan oleh Pappone dkk yang
cepat selama AF. dilakukan pada sejumlah populasi yang dilakukan
Pada pasien dengan ‘concealed’ AP dan TSV skrining EKG dan dilakukan studi elektrifisiologi,
proksismal, kateter ablasi merupakan pilihan utama ditemukan bahwa terdapat pasien yang menjadi sim-
(Kelas 1). Namun oleh karena ‘concelaed’ BT tidak tomatik (33 dari 162 pasien, 20,4%). Pasien-pasien
berhubungan dengan meningkatnya kematian jantung tersebut rata-rata lebih muda daripada yang tidak
mendadak, kateter ablasi, atau farmakologis dapat simtomatik ( 20,1+8.6 tahun vs 37.1+13.4 tahun,
Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013 193
Jurnal Kardiologi Indonesia
p<0.0001). Saat studi EP, 29 dari 33 pasien (88%) personal. Jika kateter ablasi memiliki risiko yang san-
tercetus AVRT, dan berubah menjadi AF pada 11 gat rendah, maka dapat disarankan dilakukan studi
dari 29 pasien. Setelah onset pertama, seluruh pasien EP dan ablasi.11 Studi yang diperoleh dari registri
terjadi aritmia spontan dalam bentuk TSV pada 25 ditemukan kejadian komplikasi sebanyak 3,2%. Blok
pasien dan AF pada 8 pasien. Pada pasien yang tidak AV derajat 2 dan 3 terjadi sebanyak 0,7%.7 Kejadian
tercetus takiaritmia saat studi EP, hanya 4 dari 115 blok AV ini berkaitan dengan lokasi AP, di mana jika
pasien terjadi simptom. Terjadinya AF setelah pacu dilakukan ablasi pada AP ParaHisian akan mening-
atrial yang cepat pada studi EP bukan merupakan katkan risiko komplikasi tersebut.11 Kejadian trombus
prediktor yang baik untuk memprediksi kemungkinan terjadi pada 0,3%. Pada studi PAPCA dilaporkan
terjadi takiaritmia.8 komplikasi sebanyak 4%, RBBB terjadi pada 0,5%,
Pada studi yang dilakukan oleh Teo dkk, dike- LBBB 0,1%, regurgitasi katup 0,3%. Blok AV ter-
tahui penilaian tercetusnya takikardia, adanya AP jadi pada 0,9% pasien dengan AP manifest, hanya
multipel merupakan salah satu faktor yang me- pada pasien dengan AP septal kanan atau kiri.4 Data
nyebabkan menjadi simtomatik. AP multipel akan pasien WPW asimtomatik yang dilakukan kateter
meningkatkan risiko terjadinya VF pada WPW yang ablasi menunjukkan tidak adanya kematian yang
terlihat pada pasien yang mengalami episode VF. AP terjadi sampai dengan 34 bulan. Tiga dari 57 pasien
efferctive refractory period (ERP) yang pendek juga mengalami TSV.7
berhubungan dengan timbulnya gejala, walaupun
predikter ini lebih lemah dari AP multipel maupun
tercetusnya AVRT.9 Algoritma tatalaksana WPW
Preeksitasi ventrikel merupakan penyebab utama Asimtomatik
dari KJM pada usia muda dan tidak didahului gejala
awal pada 40%. AP kiri merupakan substrat yang pal- Jika menemukan pasien dengan gambaran EKG
ing sering, dan berlokasi di subendokard sehingga me- WPW yang asimtomatik, langkah pertama yang harus
mudahkan prosedur kateter ablasi. Diketahui bahwa dilakukan adalah evaluasi non invasif untuk strati-
miokarditis atrial yang terisolasi dapat mencetuskan fikasi risiko. Pada pasien dengan risiko rendah, tidak
AF paroksismal yang mepengaruhi KJM.10 disarankan melakukan pemeriksaan lain. EKG yang
Pada studi meta-analisis baru yang dilakukan oleh terdokumentasi WPW harus diberikan pada pasien
Obeyeskere et al mengenai risiko terjadinya aritmia untuk mencegah terjadinya misdiagnosis terhadap
dan kematian jantung mendadak pada pasien dengan infark miokard atau jika terjadi aritmia pada masa
preeksitasi yang asimtomatik pada 20 studi besar, yang akan datang.11
didapatkan bahwa insidens terjadinya KJM pada in- Rekomendasi dari guideline HRS tahun 2012
dividu hanya sekitar 0.7-4.5 per 1000 tahun-orang. menunjukkan algoritma tata laksana pasien dengan
KJM hanya terdokumentasi pada 6 dari 20 studi yang pola WPW pada EKG yang asimtomatik yang ditun-
ada. Tidak ada kejadian KJM pada 14 studi lainnya. jukkan oleh gambar 4.
Kejadian TSV terlihat pada 18 studi. Terdapat 156 Pasien dengan EKG WPW manifest yang jelas
pasien dengan kejadian TSV. Laju terjadinya TSV perlu dilakukan exercise test untuk evaluasi ada nyaepi-
bervariasi antara 0 sampai 50 per 1000 tahun-orang. sode hilangnya gambaran WPW saat olahraga. Pasien
Studi ini menunjukkan bahwa secara umum risiko dengan gambaran WPW yang hilang timbul saat LJ
terjadinya KJM rendah yaitu < 2,5 per 1000 tahun- fisiologis memiliki risiko KJM yang sangat rendah.
orang. Demikian pula risiko terjadinya TSV yang juga Pada pasien yang tidak dapat dilakukan exercise test,
rendah, yaitu <25 per 1000 tahun-orang. Diketahui disarankan untuk dilakukan stratifikasi risiko dengan
bahwa anak-anak memiliki insidens yang lebih tinggi studi EP, misal pada anak-anak yang masih terlalu
daripada dewasa.7 muda.4
Perlu dipertimbangkan bahwa efek samping Pasien muda dengan SPERRI<250 ms saat AF
yang serius akibat dilakukan kateter ablasi antara meningkatkan risiko terjadinya KJM, maka ablasi
lain adalah blok AV, perforasi jantung, keterlibatan perlu dilakukan pada grup tersebut (Kelas IIA). Se-
arteri koroner, serta kejadian tromboemboli.7 Kepu- dangkan pasien dengan SPERRI>250 ms memiliki
tusan yang diambil untuk studi EP atau tidak harus risiko rendah terhadap KJM, sehingga ablasi hanya
berdasarkan usia, lokasi AP, serta faktor sosial dan dipertimbangkan pada pasien jika lokasi AP tidak akan
194 Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013
Munawar DA dkk: Sindroma Pre Eksitasi Asimtomatik: Ablasi Versus Konservatif
meningkatkan risiko ablasi seperti blok AV atau injury Prevalensinya pada populasi diketahui sekitar 1 sampai
koroner (kelas IIB). Pasien WPW asimtomatik den- 3 orang per 1000 individu. Pasien dengan pola WPW
gan kelainan struktural jantung meningkatkan risiko pada EKG terbagi menjadi asimtomatik dan sim-
terjadinya AT dan AVRT yang akan menyebabkan tomatik. Sampai saat ini masih terdapat kontroversial
gangguan hemodinamik. Ablasi dapat dilakukan tanpa mengenai tatalaksana pasien WPW yang asimtomatik.
memperhatikan karakteristik anterograde AP (Kelas Dari studi-studi yang telah dilakukan terlihat bahwa
IIB). Pasien WPW asimtomatik dengan disfungsi kejadian KJM atau aritmia yang mengancam jiwa
ventrikel karena disinkroni kontraksi dapat dilakukan pada WPW asimtomatik rendah. Namun di sisi lain
ablasi (Kelas IIB).4 ditemukan bahwa kejadian komplikasi akibat dilaku-
kannya kateter ablasi juga memiliki risiko yang hampir
sama dengan timbulnya KJM atau aritmia pada WPW
Ringkasan asimtomatik. Perlu dikomunikasikan pada pasien men-
genai risiko terjadinya aritmia dan risiko komplikasi
WPW merupakan sindroma preeksitasi ventrikel yang tindakan jika akan dilakukan tindakan studi EP dan
memiliki risiko terjadinya KJM dan aritmia maligna. kateter ablasi.
Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013 195
Jurnal Kardiologi Indonesia
196 Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 34, No. 3 • Juli - September 2013