Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH AKUNTABILITAS KINERJA, OPINI AUDIT DAN

TINGKAT KEMANDIRIAN TERHADAP AUDIT DELAY PADA


PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

Penulis:
1. Lia Septia Dewi dewiliaseptia@gmail.com
2. Dewi Sarifah Tullah tullahdewisarifah@gmail.com
3. Erma Apriyanti apriyantierma02@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap audit delay pada pemerintah kabupaten / kota di Indonesia, faktor-faktor
tersebut antara lain akuntabilitas kinerja, opini audit, dan tingkat kemandirian.
Audit delay diukur dengan total lag, yaitu interval hari antara akhir periode
akuntansi sampai tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dikeluarkan oleh
BPK. Populasi penelitian ini adalah seluruh pemerintah kabupaten / kota di
Indonesia pada tahun 2014 dan 2015. Data yang digunakan merupakan data
sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif
dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
akuntabilitas kinerja, opini audit, dan tingkat kemandirian berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap audit delay pada pemerintah kabupaten / kota di
Indonesia.
Kata kunci: akuntabilitas kinerja, opini audit, tingkat kemandirian dan audit
delay.

PENDAHULUAN
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas
kepengurusan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh suatu entitas. Pelaporan
keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi
para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik
keputusan ekonomi, sosial, maupun politik. Hal tersebut didukung dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2010 bahwa informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi dari
semua kelompok pengguna. Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) tahun
2010, informasi tersebut haruslah memenuhi karakteristik kualitatif laporan
keuangan agar dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki. Karakteristik kualitatif
tersebut meliputi (a) relevan, (b) andal, (c) dapat dibandingkan dan (d) dapat
dipahami.
Mardiasmo (2000) menyebutkan bahwa salah satu karakteristik kualitatif
agar laporan keuangan bermanfaat bagi para pemakainya yaitu relevan. Seperti
yang tertuang dalam SAP tahun 2010 bahwa laporan keuangan bisa dikatakan
relevan apabila informasi yang termuat di dalamnya dapat mempengaruhi
keputusan pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu
atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi
hasil evaluasi mereka di masa lalu. Dengan demikian, informasi laporan keuangan
yang relevan dapat dihubungkan dengan maksud penggunaannya.
Salah satu unsur informasi yang relevan adalah informasi yang disajikan
tepat waktu, sehingga dapat berpengaruh dan berguna dalam pengambilan

1
keputusan. Di Indonesia batasan waktu penyampaian pelaporan keuangan daerah
telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun
2003 tentang Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan Negara pasal 31
ayat (1) menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1
Paragraf 38 (2007), disebutkan bahwa manfaat suatu laporan keuangan akan
berkura ng jika laporan tersebut tidak tersedia tepat pada waktunya. Ketepatan
waktu penerbitan laporan keuangan merupakan hal yang penting dalam
meningkatkan manfaat atas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan,
namun ketepatan waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya proses audit
sebelum laporan keuangan tersebut dipublikasikan agar para pemakai
mendapatkan keyakinan memadai atas informasi yang diterimanya. Hal ini
menimbulkan suatu masalah yang disebut sebagai audit delay yaitu interval
jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal penerimaan laporan
dipublikasikan oleh BPK dalam bentuk LHP.Hardini dan Sukirman (2016)
menyebutkan audit delay sebagai rentang waktu antara akhir periode akuntansi
hingga tanggal terbitnya laporan auditorindependen. Subekti dan Widyanti (2004)
juga menyebutkan bahwa audit delay merupakan perbedaan antara tanggal
laporan keuangan dan tanggal opini audit dalam laporan keuangan.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) tahun 2012 –
2016 dan beberapa situs online,diketahui masih terdapat pemda yang telat
melaporkanLKPD ke BPK. Sesuai dengan SAP tahun 2010, pemda seharusnya
dapat menyampaikan LKPD secara tepat waktu agar mendapatkan informasi yang
relevan. Semakin cepat daerah menyampaikan laporan keuangannya untuk diaudit
maka audit delay yang terjadipun akan semakin singkat.Berdasarkan hal tersebut
penelitian mengenai audit delay menjadi penting untuk dilakukan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk
terus mengetahui perkembangan ide atau konsep manajemen terbaru yang dapat
membawa umat manusia pada tatanan kehidupan yang lebih baik lagi. Salah
satunya adalah konsep good governance atau kepemerintahan yang baik. Salah
satu karakteristik good governance menurut United Nation Development Program
(UNDP) dalam Mardiasmo (2009) adalah accountability yang artinya
pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
Keinginan Indonesia untuk memiliki pemerintahan yang baik atau good
governance mendorong pemerintah untuk mewujudkan konsep tersebut dengan
mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini mewajibkan setiap instansi pemerintah
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PANRB) Abnur mengatakan, bahwa hasil evaluasi SAKIP kabupaten/kota tahun
2016 mengalami peningkatan 2,95 poin yaitu dari 46,92 menjadi 49,87. Walaupun
terjadi peningkatan, namun rata-rata kabupaten/kota pada tahun 2016 masih
dibawah 50, yang artinya masih pada kategori C. Sebanyak 425 kabupaten/kota

2
atau 83% dari total seluruh kabupaten/kota masih mendapat nilai di bawah B
(www.menpan.go.id).
LKPD wajib diperiksa oleh BPK sebelum diserahkan ke DPRD. Hal
tersebut telah disebutkan dalam UU No. 15 Tahun 2004 bahwa untuk
mewujudkan pengelolaan keuangan negara perlu dilakukan pemeriksaan
berdasarkan standar pemeriksaan oleh BPK yang bebas dan mandiri. Pemeriksaan
keuangan akan menghasilkan opini. Opini audit adalah pendapat suatu auditor
mengenai kewajaran suatu laporan keuangan.
IHPS 1 Tahun 2015 mengungkapkan hasil pemeriksaan atas 504 (LKPD)
Tahun 2014 dari 539 Pemerintah Daerah yang wajib menyerahkan LKPD Tahun
2014. Perkembangan opini pada 504 LKPD 2014 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut
ditunjukkan adanya kenaikan opini pada 130 LKPD atau sebesar 25,79%.
Sebanyak 104 LKPD mengalami kenaikan dari WDP menjadi WTP, dan
sebanyak 26 LKPD mengalami kenaikan opini dari TW atau TMP menjadi WDP
atau WTP. Meski terjadi kenaikan opini LKPD sebesar 25,79%, terdapat 20
LKPD (3,97% dari total LKPD yang diperiksa) memperoleh penurunan opini.
Pada saat yang sama, berdasarkan IHPS 1 Tahun 2015 persentase opini
WDP mengalami penurunan dari 59,35% menjadi 45,64%. Penurunan juga terjadi
pada jumlah LKPD yang memperoleh opini TW dan TMP. Penurunan opini
LKPD yang terjadi antara lain dari WTP menjadi WDP pada 12 LKPD.
Sementara itu, terdapat 5 LKPD yang mengalami penurunan opini dari WDP ke
TMP.
Tingkat kemandirian pemerintah daerah memperlihatkan kesiapan daerah
dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandung di dalamnya,
dinyatakan dalam persen (Rizkiano, 2011). Pengukuran tingkat kemandirian
pemerintah daerah menggunakan rasio kemandirian yaitu total pendapatan asli
daerah (PAD) dibagi total pendapatan. Daerah yang memiliki tingkat kemandirian
yang rendah akan cenderung mempunyai kemampuan keuangan daerah yang
terbatas. Hal ini akan berdampak pada kemampuan pengelolaan keuangan daerah
yang terbatas juga. Pada akhirnya akan berdampak pada kemampuan daerah
dalam menyusun laporan keuangan secara tepat waktu.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) untuk tahun anggaran 2014 dan 2015 yang
dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terhitung masih banyaknya
pemerintah daerah yang mendapatkan rasio kemandirian dibawah 20%, yang
artinya masih kurang. Hal ini membuktikan bahwa kinerja pemerintah daerah
dalam rangka memaksimalkan pendapatan asli daerahnya yang bersumber dari
pajak dan retribusi daerah belum sepenuhnya tercapai. Semakin tinggi rasio
kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah
pusat dan provinsi semakin rendah, dan demikian pula sebaiknya.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (1) Apakah akuntabilitas kinerja berpengaruh terhadap audit
delay pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia?; (2) Apakah opini audit
berpengaruh terhadap audit delay pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia?;
dan (3) Apakah tingkat keandirian berpengaruh terhadap audit delay pada
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia?. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah
adalah (1) Untuk mengetahui pengaruh akuntabilitas kinerja terhadap audit delay

3
pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia; (2) Untuk mengetahui pengaruh
opini audit terhadap audit delay pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia;
dan (3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kemandirian terhadap audit delay
pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia.

PUSTAKA, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS


Akuntabilitas Kinerja
Menurut Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, akuntabilitas kinerja adalah perwujudan kewajiban
suatu instasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Alat
untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah laporan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Tujuan sistem akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintah
yang baik dan terpercaya.
Akuntabilitas kinerja yang baik dipandang lebih bertanggung jawab dalam
melaksanakan kinerjanya termasuk dalam membuat laporan keuangan yang baik
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) akan lebih cepat sehingga
diharapkan tidak akan terjadi keterlambatan dalam penyampaian laporan
keuangan daerah. Semakin baik akuntabilitas kinerja suatu daerah maka akan
semakin singkat audit delay yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fachrurozi (2014) serta Hardini dan Sukirman (2016).
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis pertama yang diusulkan dalam
penelitian ini adalah
H1 : Akuntabilitas kinerja berpengaruh negatif terhadap audit delay
pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia
Opini Audit
MenurutUU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Pasal 16
Ayat 1 menyebutkan bahwa Opini merupakan pernyataan professional pemeriksa
mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan
yang didasarkan pada empat kriteria yakni kesesuaian dengan standar akuntansi
pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas system pengendalian
intern. Terdapat 5 (lima) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni:
(1) wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (2) wajar tanpa pengecualian
dengan paragraf penjelas, (3) wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (4)
tidak wajar (adverse opinion) dan (5) tidak menyatakan pendapat (disclaimer of
opinion).
Opini audit yang baik menunjukkan bahwa laporan keuangan telah diaudit
sesuai dengan ketentuan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) dan
bebas dari penyimpangan materiil. Hal ini menunjukkan bahwa LKPD tersebut
memiliki salah saji materiil yang cenderung kecil dan dapat menjadi gambaran
bahwa daerah tersebut memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Daerah yang
memiliki tata kelola pemerintahan yang baik tentunya akan dapat menyusun
laporan keuangannya dengan lebih cepat sehingga daerah tersebut akan lebih
cepat dalam menyampaikan laporan keuangannya kepada BPK untuk diaudit.

4
Semakin cepat laporan keuangan disusun dan dilaporkan ke BPK dan dengan
diimbangi kualitas yang baik maka akan mempersingkat audit delay. Hal
penelitian ini didukung oleh penelitian Muladi (2014), Sigit dan Fitriyani (2015),
serta Hardini dan Sukirman (2016). Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis
kedua yang diusulkan dalam penelitian ini adalah
H2 : Opini audit berpengaruh negative terhadap audit delay pada
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia
Tingkat Kemandirian
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa,
“Kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat melakukan pembiayaan
dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri, dalam rangka
asas desentralisasi.” Dwirandra (2008) juga mengemukakan kemandirian
keuangan daerah artinya daerah harus memiliki keuangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya. Rasio kemandirian keuangan daerah menggunakan
perbandingan antara pendapatan asli daerah dengan total pendapatan daerah.
Daerah yang memiliki kemandirian keuangan daerah yang cukup tinggi
untuk membiayai kebutuhan daerahnya mempengaruhi kemampuan pengelolaan
keuangan daerah yang baik. Ketika pemerintah daerah memiliki kemampuan
pengelolaan keuangan yang baik maka penyusunan LKPD akan semakin cepat.
Hal ini akan mempengaruhi kecepatan proses audit sehingga audit delay dapat
ditekan. Semakin cepat laporan keuangan disusun dan dilaporkan, dan dengan
diimbangi kualitas yang baik maka akan mempersingkat audit delay. Hal
penelitian ini didukung oleh penelitian Fachrurozi (2014). Berdasarkan uraian
tersebut maka hipotesis ketiga yang diusulkan dalam penelitian ini adalah
H3 : Tingkat kemandirian berpengaruh negative terhadap audit delay
pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia

OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN


MetodePenelitian, Populasi, dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pengujian hipotesis (hypothesis testing study)
yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan oleh peneliti mengenai
pengaruh akuntabilitas kinerja, opini audit dan tingkat kemandirian terhadap audit
delay pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2014 dan 2015
yang berjumlah 508 pemerintah daerah. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan metode sensus yaitu seluruh populasi dimasukkan ke dalam
penelitian.Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
yang diambil melalui teknik dokumentasi yang terdiri dari Laporan Hasil Evaluasi
(LHE) Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2014
dan 2015 yang dikeluarkan oleh KemenPAN-RB, daftar opini Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) yang terlampir di Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Tahun
2015 dan 2016, serta LKPD yang dikeluarkan oleh BPK dalam bentuk Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPD untuk tahun anggaran 2014 dan 2015.

5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Statistik Deskriptif
Hasil statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai minimum,
maksimum, mean (rata-rata) dan standar deviasi dari setiap variabel penelitian
yaitu akuntabilitas kinerja, opini audit, dan audit delay. Penelitian ini juga
menggunakan distribusi frekuensi dan kategori untuk mengetahui lebih rinci
mengenai variabel penelitian.
Tabel 1
Hasil Statistik Deskriptif Audit DelayTahun 2014
N Min Max Mean Std. Deviation
Audit Delay 508 63 282 141,26 31,584
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 2
Hasil Statistik Deskriptif Audit Delay Tahun 2015
N Min Max Mean Std. Deviation
Audit Delay 508 96 322 158,30 21,975
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 lamanya tenggang waktu
audit delay minimum 63 hari dan jangka waktu audit delay paling lama adalah
282 hari. Rata-rata audit delay sebesar 141,26 hari dibulatkan menjadi 141 hari
dengan standar deviasi 31,584 hari. Sedangkan Tabel 2 menunjukkan bahwa pada
tahun 2015 lamanya tenggang waktu audit delay minimum 96 hari dan jangka
waktu audit delay paling lama adalah 322 hari. Rata-rata audit delay sebesar
158,30 hari dibulatkan menjadi 158 hari dengan standar deviasi 21,975 hari.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Variabel Audit DelayTahun 2014 – 2015
Interval Kriteria Tahun 2014 Tahun 2015
No.
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
1 63 – 114 Sangat Cepat 63 12,40% 2 0,39%
2 115 - 166 Cepat 377 74,21% 388 76,38%
3 167 - 218 Sedang 46 9,06% 109 21,46%
4 219 - 270 Lambat 21 4,13% 8 1,57%
5 271 - 322 Sangat Lambat 1 0,20% 1 0,20%
Jumlah 508 100% 508 100%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Ms. Excel 16
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata audit delaypada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 141 hari masuk dalam
kategori cepatdan rata-rata audit delay pada pemerintah kabupaten/kota di
Indonesia pada tahun 2015 sebesar 158 hari masuk dalam kategori cepat juga.

6
Tabel 4
Hasil Statistik Deskriptif Akuntabilitas Kinerja Tahun 2014
N Min Max Mean Std. Deviation
Akuntabilitas Kinerja 508 0,00 70,81 41,18 15,96
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 5
Hasil Statistik Deskriptif Akuntabilitas Kinerja Tahun 2015
N Min Max Mean Std. Deviation
Akuntabilitas Kinerja 508 0,00 76,90 42,78 15,43
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 nilai akuntabilitas kinerja
pemda paling kecil sebesar 0,00 dan paling besar adalah 70,81. Rata-rata nilai
akuntabilitas kinerja sebesar 41,18 dengan standar deviasi 15,96. Sedangkan
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 nilai akuntabilitas kinerja pemda
paling kecil sebesar 0,00 dan maksimumnya adalah 76,90. Rata-rata nilai
akuntabilitas kinerja sebesar 42,78 dengan standar deviasi 15,43.
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Variabel Akuntabilitas Kinerja Tahun 2014 – 2015
Tahun 2014 Tahun 2015
No. Interval Kriteria
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
1 ˃ 90 – 100 AA 0 0% 0 0%
2 ˃ 80 – 90 A 0 0% 0 0%
3 ˃ 70 – 80 BB 2 0,39% 7 1,38%
4 ˃ 60 – 70 B 19 3,74% 30 5,91%
5 ˃ 50 – 60 CC 155 30,51% 171 33,66%
6 ˃ 30 – 50 C 232 45,67% 231 45,47%
7 ˃ 0 – 30 D 100 19,69% 69 13,58%
Jumlah 508 100% 508 100%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Ms. Excel 16
Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata akuntabilitas kinerja tahun 2014
sebesar 41,18 masuk dalam kategori C (kurang)dan rata-rata akuntabilitas kinerja
tahun 2015 sebesar 42,78 masuk dalam kategori C (kurang) juga.
Tabel 7
Hasil Statistik Deskriptif Opini Audit Tahun 2014
N Min Max Mean Std. Deviation
Opini Audit 508 1 5 3,59 1,110
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16

1
Tabel 8
Hasil Statistik Deskriptif Opini Audit Tahun 2015
N Min Max Mean Std. Deviation
Opini Audit 508 1 5 3,99 1,231
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 skor opini audit paling kecil
sebesar 1 dan paling besar adalah 5. Rata-rata skor opini audit 3,59 dibulatkan
menjadi 4 dengan standar deviasi 1,110. Sedangkan Tabel 8 menunjukkan bahwa
pada tahun 2015 skor opini audit paling kecil sebesar 1 dan maksimumnya adalah
5. Rata-rata skor opini audit 3,99 dibulatkan menjadi 4 dengan standar deviasi
1,231.
Tabel 9
Distribusi Frekuensi Variabel Opini Audit Tahun 2014 – 2015
Tahun 2014 Tahun 2015
No. Opini Audit Skor
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
1 WTP 5 144 28,35% 284 55,91%
2 WTP DPP 4 82 16,14% 0 0,00%
3 WDP 3 240 47,24% 189 37,20%
4 TW 2 5 0,99% 4 0,79%
5 TMP 1 37 7,28% 31 6,10%
Jumlah 508 100% 508 100%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Ms. Excel 16
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata opini audit tahun 2014 maupun
tahun 2015 sebesar 4 masuk dalam kategori opini audit WTP DPP.

Tabel 4.10
Statistik deskriptif tingkat kemandirian pada pemerintah kabupaten/kota di
Indonesia tahun 2014
N Min Max Mean Std. Deviation
Tingkat Kemandirian 508 0,211 78,689 9,765 8,104
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 4.11
Statistik deskriptif tingkat kemandirian pada pemerintah kabupaten/kota di
Indonesia tahun 2015
N Min Max Mean Std. Deviation
Tingkat Kemandirian 508 0,362 80,358 9,930 8,784
Valid N (listwise) 508
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Berdasarkan Tabel 4.10 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 tingkat
kemandirian paling kecil sebesar 0,211 dan paling besar adalah 78,689. Rata-rata
tingkat kemandirian sebesar 9,765 dengan standar deviasi 8,104. Sedangkan Tabel
4.11 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 tingkat kemandirian paling kecil

7
sebesar 0,362 dan paling besar adalah 80,358. Rata-rata tingkat kemandirian
sebesar 9,930 dengan standar deviasi 8,784.
Tabel 4.12
Tabel distribusi frekuensi tingkat kemandirian pada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia tahun 2014 – 2015
Tahun 2014 Tahun 2015
No. Interval Kriteria
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
1 < 10,00 Sangat Kurang 326 64,17% 327 64,37%
2 10,01 – 20,00 Kurang 145 28,54% 141 27,76%
3 20,01 – 30,00 Cukup 19 3,74% 19 3,74%
4 30,01 – 40,00 Sedang 13 2,56% 12 2,36%
5 40,01 – 50,00 Baik 3 0,60% 7 1,38%
6 > 50,00 Sangat Baik 2 0,39% 2 0,39%
Jumlah 508 100% 508 100%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Ms. Excel 16
Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kemandirian tahun 2014
maupun tahun 2015 masuk dalam kategori sangat kurang karena masih dibawah
angka 10.
Tabel 13
Hasil Uji t Statistik
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
1 (Constant) 182,999 3,220 56,827 0,000
Akuntabilitas
-0,243 0,063 -0,134 -3,844 0,000
Kinerja
Opini Audit -6,605 1,045 -0,204 -6,320 0,000
Tingkat
-0,353 0,112 -0,105 -3,145 0,002
Kemandirian
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS 16
Tabel 13 menunjukkan persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:
AD = 182,999 – 0,243 AK – 6,605 OA – 0,353 TK + ε
Berdasarkan hasil pengujian regresi pada Tabel 13 diperoleh hasil bahwa
variabel akuntabilitas kinerja berpengaruh negatif terhadap audit delay. Hal ini
terlihat dari hasil uji t dimana nilai koefisien akuntabilitas kinerja -0,243 dan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Sehingga H1diterima yaitu
akuntabilitas kinerja berpengaruh negative terhadap audit delay pada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh penelitian Fachrurozi (2014) serta Hardini dan Sukirman
(2016), yang menyatakan bahwa akuntabilitas kinerja tidak berpengaruh terhadap
audit delay. Hal ini terjadi karena perbedaan pengukuran variabel akuntabilitas
kinerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fachrurozi (2014), akuntabilitas
kinerja diukur dengan menggunakan skor akuntabilitas pemerintah dan skor
pelayanan publik pemerintah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hardini
dan Sukirman (2016), akuntabilitas kinerja diukur menggunakan skor hasil

9
evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) kabupaten/kota. Dua
penelitian terdahulu tersebut sama-sama mengukur variabel ini menggunakan data
dalam bentuk skor atau kategori, padahal data dalam bentuk kategori adalah data
yang paling rendah dalam level pengukuran data (Sujarweni, 2016). Sedangkan
dalam penelitian ini, akuntabilitas kinerja diukur menggunakan nilai hasil evaluasi
AKIP yang diterbitkan oleh KemenPAN-RB. Pengukuran variabel ini lebih akurat
karena menggunakan data berupa angka dalam arti sebenarnya yang disebut juga
dengan data rasio, yaitu data dengan tingkat pengukuran paling tinggi diantara
jenis data lainnya (Sujarweni, 2016). Data rasio merupakan data yang bersifat
angka dalam arti sesungguhnya (bukan kategori). Sehingga, pengukuran ini dinilai
lebih tepat dalam menggambarkan variabel akuntabilitas kinerja. Akuntabilitas
kinerja yang baik mencerminkan pemerintah daerah dapat
mempertanggungjawabkan kewajibannya dengan baik. Salah satu bentuk
pertanggungjawabannyaa dalah membuat laporan keuangan yang baik
berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Daerah yang memiliki
akuntabilitas kinerja yang baik tentunya akan menyusun laporan keuangannya
dengan baik. Laporan keuangan dibuat dengan baikdan sesuai SAP akan
mempengaruhi temuan auditor atas ketidakwajaran laporan keuangan. Hal ini
akan mempengaruhi kecepatan proses audit sehingga audit delaydapat ditekan.
Semakin cepat laporan keuangan disusun dan dilaporkan, dan dengan diimbangi
kualitas yang baik maka akan mempersingkat audit delay.
Berdasarkan hasil pengujian regresi pada Tabel 13 diperoleh hasil bahwa
variabel opini audit berpengaruh negatif terhadap audit delay. Hal ini terlihat dari
hasil uji t dimana nilai koefisien akuntabilitas kinerja -6,605 dan nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Sehingga H2 diterima yaitu opini audit
berpengaruh negative terhadap audit delay pada pemerintah kabupaten/kota di
Indonesia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Muladi (2014), Sigit dan Fitriyani (2015), serta Hardini dan Sukirman (2016),
bahwa variable opini audit berpengaruh terhadap audit delay. Opini audit yang
baik mengemukakan bahwa laporan keuangan telah diaudit sesuai dengan
ketentuan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) dan bebas dari
penyimpangan materiil. Hal ini menunjukkan bahwa LKPD tersebut memiliki
salahsaji materiil yang cenderung kecil dan dapat menjadi gambaran bahwa
daerah tersebut memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Daerah yang
memiliki tata kelola pemerintahan yang baik tentunya akan dapat menyusun
laporan keuangannya dengan lebih cepat sehingga daerah tersebut akan lebih
cepat dalam menyampaikan laporan keuangannya kepada BPK untuk diaudit. Hal
ini akan mempengaruhi kecepatan proses audit sehingga audit delaydapat ditekan.
Semakin cepat laporan keuangan disusun dan dilaporkan, dan dengan diimbangi
kualitas yang baik maka akan mempersingkat audit delay.
Berdasarkan hasil pengujian regresi pada Tabel 13 diperoleh hasil bahwa
variabel tingkat kemandirian berpengaruh negatif terhadap audit delay. Hal ini
terlihat dari hasil uji t dimana nilai koefisien akuntabilitas kinerja -0,353 dan nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,002. Sehingga H3 diterima yaitu tingkat
kemandirian berpengaruh negatif terhadap audit delay pada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Fachrurozi (2014) bahwa tingkat kemandirian berpengaruh terhadap audit delay.
Daerah yang memiliki kemandirian keuangan daerah yang cukup tinggi untuk

10
membiayai kebutuhan daerahnya mempengaruhi kemampuan pengelolaan
keuangan daerah yang baik. Ketika pemerintah daerah memiliki kemampuan
pengelolaan keuangan yang baik maka penyusunan LKPD akan semakin cepat.
Hal ini akan mempengaruhi kecepatan proses audit sehingga audit delay dapat
ditekan. Semakin cepat laporan keuangan disusun dan dilaporkan, dan dengan
diimbangi kualitas yang baik maka akan mempersingkat audit delay.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan pada hasil uji t statistik menunjukkan bahwa semua variabel
independen yaitu akuntabilitas kinerja, opini audit dan tingkat kemandirian
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap audit delay pada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia tahun anggaran 2014 – 2015. Penelitian ini hanya
menggunakan variabel akuntabilitas kinerja, opini audit dan tingkat kemandirian
sebagai dasar untuk mengukur audit delay. Saran bagi peneliti selanjutnya,
hendaknya menambah variabel lain atau memasukkan variabel diluar penelitian
ini yang dapat mempengaruhi audit delay.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia. 2012. Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester II Tahun 2011. Jakarta.
. 2013. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2012. Jakarta.
. 2014. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2013. Jakarta.
. 2015. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014. Jakarta.
. 2016. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2015. Jakarta.
Dwirandra. 2008. ”Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom
Kabupaten/Kota di Propinsi Bali Tahun 2002 – 2006”, Jurnal Ilmiah.
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Udayana, Denpasar.
Fachrurozi, L. 2014. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Audit delay
padapemerintah daerah Indonesia.
Hardini, Ziza Gita dan Sukirman. “Analisis Determinan Audit Delay pada
Pemerintah Kota / Kabupaten di Indonesia”, Accounting Analysis Journal,
AAJ 5 (1) (2016).
Kartiko, Sigit Wahyu dan Sylvia Veronica N.P. Siregar. “Pengaruh Opini Audit,
Kualitas Auditor, dam Sistem Informasi Akuntansi terhadap
Keterlambatan Penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemeirntah Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi 18. Universitas
Sumatera Utara, Medan. 16-19 September 2015.
Mardiasmo. 2000. Reformasi pengelolaan keuangan daerah: implementasi value
for money audit sebagai antisipasi terhadap tuntutan akuntabilitas publik.
Jurnal akuntansi dan auditing Indonesia (JAAI): Vol 4 No. 1.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Muladi, A. 2014. Faktor-faktor yang mmepengaruhi Audit delay pada pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). 2007.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah.
Republik Indonesia. Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah.

11
Subekti, Imam dan Widiyanti. 2004. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Audit Delay di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi VII. Bali: 991-
1002.
Sujarweni, V. Wiratna. 2016. Kupas Tuntas Penelitian Akuntansi dengan SPSS.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Baru Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
www.menpan.go.id. Diunduh pada 18 Februari 2017.

10

Anda mungkin juga menyukai