Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

PEMBAHASAN

Pembahasan dalam bab ini dimulai dari pengkajian sampai dengan


pendokumentasian. Sehingga dapat diketahui adanya kesenjangan antara teori dengan
penatalaksanaan tindakan asuhan keperawatan dalam kasus nyata. Selain itu juga
dapat diketahui adanya faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Tn. H dengan Hepatoma

4.1 Pembahasan Pengkajian


Kelompok melakukan pengkajian kepada pasien dengan menggunakan
pendekatan kepada klien dan keluarga. Pengkajian dilakukan pada tanggal 25
Maret 2019 dengan melakukan metode observasi, wawancara kepada keluarga,
pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi baik perawatan maupun medis. Dari
hasil pengkajian yang telah dilakukan, kelompok menemukan adanya perbedaan
antara data yang muncul menurut teori dan pada kasus nyata.
Menurut Sherman (2008), tanda dan gejala hepatoma antara lain :
a. Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering datang
berobat karena kembung dan tak nyamanatau nyeri samar di abdomen kanan
atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk intermiten atau
kontinu, sebagianmerasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor
tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri
abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen harus pikirkan ruptur
hepatoma.
b. Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas
hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di
bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus
kanan sering dapat langsung teraba massa di bawah arkus kostae kanan;
hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus atau
massa di bawah arkus kostae kiri.
c. Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan
fungsi hati.
d. Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerima makanan dalam jumlah banyak
karena terasa begah.
e. Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
f. Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor,
jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai
menggigil.
g. Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena
gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut,juga dapat karena sumbat
kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu hingga
timbul ikterusobstruktif.
h. Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut
membuncit dan pekak bergeser, seringdisertai udem kedua tungkai.
i. Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu
belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulitgatal dan lainnya, juga
manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik,
spider nevi, venodilatasi
Hal ini sesuai dengan yang ditemukan pada klien Tn. H, keluarga klien
mengatakan bahwa SMRS klien mengeluh nyeri perut sejak 1 bulan, tampak
menguning sejak 1 minggu lalu, mendadak kuning berat sejak 3 hari SMRS
disertai dengan badan lemas, sebelumnya klien demam selama 3 hari SMRS, dan
mengeluhkan sakit perut, mual, muntah, nafsu makan berkurang. Pada
pemeriksaan fisik abdomen teraba massa 2-3 cm dan pemeriksaan penunjang
USG ditemukan mass hepar dengan ectasis bileduct intrahepatic.
4.2 Pembahasan Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan teori yang ada menurut NANDA (2018) untuk kasus pasien
Hepatoma setelah dilakukan pengumpulan data pada Tn.H dan dilakukan analisa,
penulis menemukan ada tiga diagnosa keperawatan yang muncul, Diagnosa
keperawatan yang muncul adalah :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d perokok
Ketika daya tahan tubuh mengalami penurunan yang dapat disebabkan
karena usia tua, masalah gizi, maupun gangguan kesehatan, bakteri tersebut
dapat memperbanyak diri setelah menginfeksi. Infeksi yang terjadi pada
individu umumnya dapat menimbulkan gejala panas tinggi, nafas terengah,
berkeringat, dan denyut jantung meningkat cepat. Akibatnya bibir dan kuku
dapat membiru karena tubuh mengalami kekurangan oksigen. Mengeluarkan
lendir hijau saat batuk, serta nyeri pada dada (Misnadiarly, 2008 dalam Utomo
2017)
Masalah keperawatan tersebut dapat dicegah dengan penatalaksanaan
perawat dalam memberi asuhan keperawatan secara menyeluruh mulai dari
pengkajian masalah, menentukan diagnosa, keperawatan, membuat intervensi,
implementasi serta evaluasi asuhan keperawatan. Keluhan diatas dapat
ditangani dengan keperawatan dan kolaborasi dengan cara farmokologi dan
non farmokologi seperti memberikan latihan nafas dalam, serta membersihkan
jalan nafas yang tersumbat oleh sekret atau dahak. (Nanda, 2012 dalam
Utomo, 2017)
Dengan memberikan perawatan antisipatif dan preventif adalah
tindakan keperawatan yang penting antara lain, berikan dorongan untuk sering
batuk dan mengeluarkan sekresi, ajarkan latihan nafas dalam , lakukan
tindakan keperawatan kusus untuk mencegah infeksi, berikan posis semi
folwer, lakukan terapi fisik dada untuk mengencerkan sekresi dan
meningkatkan pengeluaran sekresi, pastikan bahwa peralatan pernafasan telah
dibersihkan dengan tepat. (Arifin&Ratnawati, 2015)
b. Risiko syok b.d Hipotensi, sindrom respon inflamasi sistemik

Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain
seperti ARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe
(Protocolized Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early
Septic Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis
Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral
tidak dilakukan lagi. (Mehta Y, Kochar G, 2017) Dalam protokol yang dikeluarkan
pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah dihilangkan, dan merekomendasikan
keadaan sepsis diberikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam
3 jam atau kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena
sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan
pemeriksaan kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial). (Howell
MD, Davis AM, 2017).

Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya
merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral
secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk
menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan
bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik
membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat
dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan apabila respon terhadap
pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini
telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus
terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis untuk
mengevaluasi respon dari terapi tersebut. (Backer D, Dorman T, 2017) Pemeriksaan
lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising,
ekokardiografi. . (Mehta Y, Kochar G, 2017)

Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen


penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya
penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan
antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur
.
dan identifikasi sumber penularan kuman. (Howell MD, Davis AM, 2017) Dan hal
ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi
ini berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan dalam
penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. (Backer D,
Dorman T, 2017) Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah
norepinefrin untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan ristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan
dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan status
hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum
sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). (Surviving sepsis campaign 2016).
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α
(Human Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan
sepsis. Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan thrombin dengan
menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi. (Bernard
GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al. 2001).

Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dikarenakan respon
tubuh terhadap infeksi yang mengalami disregulasi. Sepsis adalah masalah kesehatan
utama di dunia yang menyerang jutaan orang di dunia setiap tahunnya dan
menyebabkan kematian pada 1 dari 4 orang. (Surviving sepsis campaign
2016).Pengenalan dan penanganan awal untuk sepsis dan septik syok akan
meningkatkan prognosis yang baik. Pengawasan terus menerus terhadap tanda vital,
saturasi oksigen, dan jumlah urin yang dihasilkan termasuk pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaaan akan adanya laktat asidosis, disfungsi ginjal dan
hepar, abnormalitas koagulasi, gagal nafas akut harus dilakukan sesegera mungkin
pada pasien yang dicurigai menderita sepsis. Pengenalan tanda dan sumber infeksi
harus dilakukan secara bersamaan. Dan pemberian antibiotik harus diberikan
sesegera mungkin. (Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E,
Trzeciak S, et al. 2006). Perkembangan dalam dunia kedokteran menawarkan
berbagai hal baru dalam penanganan sepsis. Berbagai penelinitian klinis
menunjukkan hubungan tidak langsung antara keseimbangan cairan positif dengan
angka kematian yang meningkat pada pasien dengan sepsis. Konsep pemberian
cairan dengan pengawasan kecukupan cairan dengan penggunaan alat-alat seperti
carotid doppler peak velocity, passive leg raising, dan ekokardiografi makin diterima.
Perkembangan metode molekular untuk deteksi infeksi dan target pengobatan
(angiopentin 1, Slit2-N, sphingosine 1 phosphate, histones) mungkin menghasilkan
suatu perubahan di masa depan. (Mehta Y, Kochar G, 2017).

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet


kurang
Klien dengan Ca Hepar seringkali tidak mengalami gejala sampai
kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan dini. Pada pertumbuhan
kanker hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti penurunan
berat badan, kehilangan nafsu makan, mual, dan muntah (Umemura, 2009).
Kanker dapat menyebabkan efek merugikan yang berat bagi status
gizi. Tidak hanya sel kanker yang mengambil zat gizi dari tubuh pasien, tapi
pengobatan dan akibat fisiologis dari kanker dapat mengganggu dalam
mempertahankan kecukupan gizi. Beberapa efek potensial dari kanker
terhadap gizi : Kehilangan berat badan akibat berkurangnya makanan yang
masuk, mungkin diinduksi oleh perubahan kadar neotransmiter (serotin) pada
susunan saraf pusat; peningkatan kadar asam laktat yang diproduksi oleh
metabolisme anaerob, metode metabolisme yang disenangi oleh tumor; stres
psikologis, disguesia (perubahan dalam pengecapan); dan tidak suka terhadap
makanan tertentu. Sekitar 70% dari individu dengan kanker mengalami
keengganan atau tidak suka pada makanan tertentu, karena perubahan ambang
pengecapan terhadap beberapa komponen bau dan rasa.
Kemudian terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme basal,
peningkatan glukoneogenesis (produksi glukosa dengan pecahan glikogen,
lemak, dan protein tubuh) yang disebabkan oleh ketergantungan tumor pada
metabolisme anaerob, serta penurunan sintesis protein tubuh “Kaheksia
kanker” adalah bentuk malnutrisi berat yang ditandai dengan anoreksia, cepat
kenyang, penurunan berat badan, anemia, lemah, kehilangan otot (Marischa,
2017).
Perlu dipertimbangan pemberian nutrisi enteral dan parenteral,
Pemberial enteral jangka pendek (< 4-6 minggu) dapat menggunakan pipa
nasogastrik (NGT). Pemberian enteral jangka panjang (> 4-6 minggu)
menggunakan percutaneus endoscopic gastrostomy (PEG). Nutrisi parenteral
digunakan apabila nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi
pasien, atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdarahan
masif saluran cerna, diare berat, obstruksi usus total atau mekanik,
malabsorbsi berat. (Marischa, 2017)
Pada kasus Tn. H sebelumnya keluarga mengatakan klien
mengeluhkan sakit perut, mual, muntah, nafsu makan berkurang, dan terjadi
penurunan berat padan, klien tidak memiliki alergi makanan, saat di ruang
ICU klien mengalami penurunan kesadaran sehingga pemenuhan kebutuhan
nutrisi diberikan melalui nasogastrik tube (ngt).

Dapus
Marischa, S., Anggraini, D.I., & Putri, G.T. (2017). Malnutrisi pada Pasien Kanker.
Medula, 2015; 7(4): 71-79.
Umemura T, Ichijo T, Yoshizawa K, Tanaka E, Kiyosawa K. (2009). Epidemiology
of hepatocellular carcinoma in Japan. Journal of Gastroenterolog. 44: 102-
107.
Arifin Zainul, Ratnawati Mamik. 2015. Asuhan Keperawatan Padea Pasien
Pneumonia Dengan Ketidakefektifan Pola Nafas di Paviliun Cempaka
RSUD Jombang. Jurnal Ilmiah Keperawatan Volume 1 nomer 2.
Utomo, Rezky Putro. 2017. Upaya Memperbaiki Kebersihan Jalan Nafas Pada
Pasien Pneumonia di RS Swasta Surakarta.
Mehta Y, Kochar G. 2017. Sepsis and septic shock. Journal Cardiac Critical Care
TSS; 1(1): 3-5.

Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
2006 Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny
department management guidelines. Annals of Emergency Medicine;48(1):
28-50.

Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
2001 Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for
severe sepsis. N Eng J Med; 344 (10): 699-709.

Backer D, Dorman T.2017. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward


better care of patients with sepsis. JAMA; 317(8): 807-8.

Howell MD, Davis AM. 2017. Management of sepsis and septic shock. JAMA;
317(8): 847-8.

Anda mungkin juga menyukai