”Dalam sabda ini, Nabi menjelaskan manfaat yang akan kita dapatkan jika kita gemar berteman
dengan orang yang baik. Sebaliknya, Nabi juga menjelaskan kerugian yang akan kita dapatkan
jika kita berteman dengan orang yang buruk perangainya. Ini secara tidak langsung merupakan
perintah dari Nabi agar kita memilih orang yang baik sebagai teman karib atau teman dekat kita.
Sebaliknya, beliau melarang kita untuk menjadikan orang-orang yang jahat sebagai teman karib
kita.Para ulama sendiri membagi teman menjadi empat macam. Pertama, teman yang seperti
makanan. Kita setiap hari pasti membutuhkan makanan. Tanpa makanan, kita akan mati. Makanan
adalah sesuatu yang bisa membuat kita terus bertahan hidup. Demikian pula, kita membutuhkan
teman yang seperti ini. Teman yang bisa menjaga kelangsungan hidup kita, baik secara jasmani
maupun secara ruhani. Rekan kerja dan rekan bisnis kita adalah contoh teman yang bisa menjaga
kelangsungan hidup kita secara jasmani. Ulama, pembimbing dan guru adalah contoh teman yang
bisa menjaga kelangsungan hidup kita secara ruhani. Itulah teman-teman yang senantiasa kita
butuhkan setiap saat.Kedua, teman yang seperti obat. Namanya obat pasti hanya kita perlukan saat
sakit saja. Disamping itu, jenis obat yang kita konsumsi pun harus sesuai dengan sakit yang kita
derita. Demikian pula takaran atau dosisnya pun harus tepat, tidak boleh berlebihan. Seperti inilah
teman yang hanya kita butuhkan pada saat-saat tertentu saja. Tidak setiap saat kita membutuhkan
kehadirannya. Demikian pula kita hanya perlu berhubungan dengannya seperlunya saja dan tidak
boleh sampai berlebihan.Teman macam pertama dan kedua inilah yang bisa kita jadikan sebagai
teman karib atau teman dekat.Ketiga, teman yang seperti penyakit. Tentu saja teman seperti ini
tidak bisa kita jadikan sebagai teman karib. Akan tetapi, bukan berarti kita sama sekali memutus
hubungan dengannya. Sebaliknya, kita memiliki kewajiban untuk berusaha menyembuhkannya.
Sebagaimana penyakit ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada yang parah, demikian pula
teman yang satu ini. Keadaannya berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Namun bagaimanapun, ia
tetap berpotensi menularkan penyakitnya kepada diri kita. Karena itu kita harus tetap berhati-hati
ketika berinteraksi dengannya.Keempat, teman yang seperti racun. Ini adalah teman yang
mematikan! Sama sekali tidak ada kebaikannya bagi diri kita. Ia juga hampir-hampir tidak
memiliki peluang lagi untuk berubah menjadi baik. Karena itu, kita harus ekstra waspada terhadap
orang-orang semacam ini.Pertemanan dengan orang-orang yang baik dan shalih akan menjadi
pupuk bagi keimanan kita. Pertemuan dengan mereka akan menyegarkan dan meningkatkan
keimanan kita. Nasihat-nasihat mereka ibarat siraman air di tanah yang tandus. Berbagai hal yang
bermanfaat juga akan tercipta dari pertemanan dengan mereka.Sebaliknya, pertemanan dengan
orang-orang yang gemar bermaksiat dan dalam rangka kemaksiatan adalah fatamorgana.
Pertemanan dengan mereka adalah pertemanan yang bersifat semu. Sekalipun di dunia ini
pertemanan semacam ini bisa berlangsung akrab, akan tetapi pada hari kiamat kelak justru akan
menjadi penyesalan. ”Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan Fulan
sebagai teman akrabku.”Ketika itu, satu orang dengan yang lainnya akan saling berlepas tangan.
“Ketika orang-orang yang diikuti (kesesatannya) berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa, (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (kesesatan temannya): ‘Seandainya kami dapat
kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka (teman-teman yang telah
menyesatkan aku), sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.’ Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka; dan sekali-
kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al-Baqarah: 166-167) Bahkan, pada hari
kiamat itu orang-orang yang saling berteman dalam kemaksiatan akan menjadi musuh satu sama
lain karena saling mempersalahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Teman-teman akrab
pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang
bertakwa.” (QS Az-Zukhruf: 67).
ْ علَ ْي ُك
َ م
حرَام َ م َ م وَأَ ْع َر
ْ ض ُك ْ م وَأَ ْموَالَ ُك
ْ ن ِدمَاء َُك
َّ ِ إ....
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan dan harga diri kalian haram atas
kalian….”[1]
Karena itu, kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum adalah haram untuk dinodai
oleh muslim yang lain. Bagaimana lagi jika di antara muslim yang satu dengan yang lainnya terjalin
ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus? Bagaimana mungkin ia tidak menjaga
kehormatan saudaranya itu? Padahal telah terjalin antara mereka tali persaudaraan khusus yang
tidak terjalin untuk selain mereka. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan
saudaranya yang jauh darinya, padahal diantara mereka tidak ada ikatan atau kecintaan yang
khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama saudaranya yang diantara mereka terdapat hubungan
dan rasa cinta, ada saling-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat
kepada Allah dan beribadah kepada-Nya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!
Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memiliki
tali ukhuwwah yang khusus maupun yang umum):
Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor anjing, jika pemiliknya berbuat baik kepadanya
maka ia akan menunaikan tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan nyawanya demi membela
pemiliknya yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis tadi berkata, ”Pengutamaan anjing-
anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,” disebabkan banyaknya orang yang berkhianat.
Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-
rahasia pribadi saudaranya, namun tidak lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan
menyebutkan aib-aib saudaranya yang terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui
bahwa ia akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai
musuh, tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan
janji. Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib
saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak
seorang muslim atas saudaranya adalah harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan
yang khusus.
2. Engkau tidak bertanya secara detail kepada saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut campur
pada permasalahan-permasalahan yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya engkau
melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang menyebabkan
engkau datang ke tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke Fulan? Ada apa
antara engkau dengan Fulan?," dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merupakan bentuk turut
campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ingin agar engkau turut campur
dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya kepadamu. Jika dia menyembunyikan hal itu,
maka tentu karena ada maslahatnya. Disamping itu, merupakan kebaikan nilai keislaman seseorang
jika ia meninggalkan apa yang bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
baginya.”[3].
Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu tempat,
maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau bertanya
tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahumu
tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia pribadi sekaligus privasi.
3. Engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang
pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang
seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai orang tersebut.
Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat tentang permasalahan tersebut,
maka ia kabarkan kepadamu karena engkau adalah orang khusus, karena engkau adalah
sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru. Jika engkau adalah sahabat
sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu melainkan untuk dijaga, bukan
disebarkan (meskipun dia tidak memintamu untuk merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali
persaudaraan yang khusus adalah adanya rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya:
ي أَمَانَة
َ ع ْن ُه َف ِه
َ َت َّ ث ُث
َ م ْال َتف ٍ د ْي َ ِل ب
ِ ح َ ج َ ح َّد
ُ ث ال َّر َ ل إِ َذا ُ ال َّر
ُ ج
“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang
dikabari tersebut[4] maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari)”[5].
Hal ini merupakan amanah, dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta menjaga
kehormatan. Sebab, jika engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan
merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada orang-
orang, “Fulan talah berpendapat seperti ini; Fulan telah berkata tentang si Fulan begini dan begitu."
Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaraan jika engkau menyebarkan
darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!
Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang kepada saudaranya, yang diantara mereka terjalin
tali persaudaraan yang khusus, lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakan apa yang akan dia
ceritakan. Dia berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu jangan kau beritahu
siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada orang ketiga, sambil
berkata: “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau beritahukan kepada siapapun.” Akhirnya
kabar tersebut pun tersebar di masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini.
ِ د ْيثِ َق
ُ م ْي َ س ْي ِر ْال
ِ ن َفإِن َّ ُه بِ َن ْفسٍ َوت َ ْك ْ ِ سر جَا َو َز ا ُّ ُ
ن ِ ح ِ إلث َن ْي ِ ِ وَكل
Setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati dan tidak usah
diceritakan[6]
Ini merupakan realita. Jika seseorang memilih orang lain untuk menjadi sahabat atau saudaranya,
lalu ia menceritakan rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak diceritakan kepada
orang ketiga). Terlebih lagi jika dia memang meminta hal itu. Jika dia tidak memintanya, maka
keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
ي أَمَانَة
َ ع ْن ُه َف ِه
َ َت َّ د ْيثٍ ُث
َ م ْال َتف َ ِل ب
ِ ح َ ح َّد
ُ ث ال َّر
َ ج َ ل إِ َذا ُ ال َّر
ُ ج
“Seseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari
tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”
Bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya
untuk menceritakannya kepada orang lain?![7].
Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari
menyebutkan aib yang dilihatnya pada saudaranya, keluarga saudaranya, karib kerabatnya, atau
pada aib yang dia dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon saudaranya –dan
saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia mendengar dari rumah
saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia berkata kepada orang-orang, “Saya
mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau ia melihatnya dalam keadaan yang tidak baik,
kemudian ia kabarkan aib-aib tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga kehormatan saudara sesama
muslim. Bahkan ini termasuk menodai kehormatan saudara.
Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang jelek
tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia mengucapkan
perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya hukumnya wajib. Bukan
justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya. Sebaliknya, engkau diperintahkan
untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. "Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan
darahnya, hartanya, dan kehormatannya".
Mengenai pembahasan nasehat antar saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.
خوَانًا ِ سوا َوال َ تَ َقاطَ ُعوا َوال َ تَدَابَ ُروا و َُك ْونُ ْوا
ِ عبَا َد
ِ ِهللا إ َّ سوا َوال َ تَج
ُ َس َّ ال تَح
ُ َس
“Janganlah kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan, dan
jangan saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai hamba-hamba Allah.”[8]
Hadits ini mengandung dua kalimat. Yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits
yang disepakati keshahihannya ini:
Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama –ada khilaf dalam masalah
ini[9]-, tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indra penglihatan,
sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman Allah:
ِ ِن َر ْوح
هللا ُ ه َوالَتَ ْي َئ
ْ سوا ِم ِ َ ف َو أ
ِ خ ْي ُ ن ُي ْو
َ س ْ سوا ِم ٍ ه ُبوا َف َتح
ُ َس َ ي ا ْذ
َّ يا بن
“Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah
kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Firman Allah:
ِ َف َو أ
ِ خ ْي
ه ُ ن ُي ْو
َ س ْ سوا ِم ٍ َف َتح
ُ َس
"carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya", diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari berita.
ْ ض ُك
ً م بَ ْع
ضا ُ َب بَ ْع
ْ سوا َوال َ ي َْغت َّ َوال َ تَج
ُ َس
“Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing
sebahagian yang lain” (Yusuf: 87)
Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan
melihat saudaramu, lalu engkau mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya berjalan di suatu
jalan, kemudian engkau mengikutinya hingga engkau tahu aibnya. Janganlah kau lakukan hal ini.
Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya.
Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau bertanya-tanya tentang aib saudaramu, padahal ia
termasuk saudara-saudaramu seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin antara engkau
dengan mereka tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan.
Janganlah engkau ber-tahassus dan janganlah engkau ber-tajassus terhadapnya. Seorang muslim
dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin secara umum,
bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah
yang khusus.
bersambung ....
Artikel: www.firanda.com
Catatan kaki:
[2] Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Khalaf bin al-Marzaban. Beliau meninggal
tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat (III/37).
Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrahim Yusuf, diterbitkan oleh Daarul Kutub al-Mishriyah,
terdiri dari 39 halaman. Penulis berkata di awal risalahnya:
"Aku menyebutkan (kepadamu) –semoga Allah memuliakanmu- tentang zaman kita dan rusaknya
hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlak mereka rusak dan tabiat mereka
tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari sahabat yang baik.
Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk tidak menceritakan
aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang sedang tersesat di sebuah
jalan yang membingungkan, semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia semakin jauh dari tujuan.
Kenyataannya sebagaimana yang aku paparkan. Diriwayatkan dari Abu Dzarr al-Ghifari radhiyallahu
'anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi
kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.” Sebagian mereka berkata, “Dahulu
kami khawatir para sahabat kami ditimpa kebanyakan janji dan terlalu sering minta maaf (karena
menyelisihi janji). Kami khawatir mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan
mencampurkan permintaan maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang
beralasan dengan kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah
meninggal… (maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka
cuek dan tidak minta maaf)." Fadhlul Kilab, hal 5-6.
Beliau juga berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memuliakanmu- bahwa anjing lebih sayang kepada
pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang sahabat kepada
sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apa-apa yang dimiliki oleh
tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si anjing tetap menjalankan
tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia tidak akan merendahkan
tuannya meskipun tuannya merendahkannya. Diriwayatkan kepada kami bahwa ada seseorang
berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat kepadaku!” Orang bijak itu berkata,
“Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat
baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing
membuat anjing itu lapar dan memukulnya, namun ia tetap menjalankan tugasnya.” 'Umar pernah
melihat seorang arab badui yang membawa seekor anjing. Maka 'Umar pun berkata kepadanya,
“Apa yang bersamamu?” Orang arab badui menjawab, “Wahai Amirul mukminin, sebaik-baik
sahabat adalah yang jika engkau memberinya maka ia berterimakasih, dan jika engkau tidak
memberinya maka ia bersabar.” Maka 'Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah
sahabatmu.” Ibnu 'Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata
kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang
berterimakasih kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” Fadhlul Kilab, hal 12.
[3] HR At-Tirmidzi (2317) dan Ibnu Majah (3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[4] Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling
yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri
karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan
bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia
mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan
dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara, "Rahasiakanlah kabar ini!"
Pandapat yang kedua, makna berpaling adalah, setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari
yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq
al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada
pendapat yang kedua.
[6] Maksudnya, jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan rahasia lagi.
Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga, biasanya rahasia
tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga pun akan
membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama menjadi rahasia
umum.
[7] Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaitan akan
datang menggelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya orang mulia
yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak:
ْ َ حرَارِ ُق ُب ْو ُر األ
ِسرَار ْ َ ب األ
ُ قل ْو
Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai selesai
mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”
Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam hatinya.
Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya bersahabat,
maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi menjatuhkannya.
Dikatakan dalam syair,
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak
[9] Lihat Fat-hul Baari (X/592) dan Tafsir Ibn Katsir, Surat al-Hujuraat: 12.