Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


ELIMINASI URINE DI RUANG BEDAH BOUGENVIL
RSUD. DR. SOETOMO SURABAYA

Tanggal 28 Februari 2019

Disusun oleh :

Zulfah Suhailah, S.Kep 131823143004


Julinda Malehere, S.Kep 131823143005
Asthin Thamar Genakama, S.Kep 131823143006
Albina Jenita, S.Kep 131823143007
Mohammad Dheni Ardhiyanto, S.Kep 131823143008

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Seminar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Eliminasi


Urine Pada Klien Tn. A. D di Ruangan Bedah Bougenvil RSUD Dr. Soetomo
Surabaya telah dilaksanakan pada Kamis, 28 Februari 2019 sebagai laporan
seminar atas nama :

Zulfah Suhailah, S.Kep 131823143004


Julinda Malehere, S.Kep 131823143005
Asthin Thamar Genakama, S.Kep 131823143006
Albina Jenita, S.Kep 131823143007
Mohammad Dheni Ardhiyanto, S.Kep 131823143008

Surabaya, 28 Februari 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep Asri Fatonah, S.Kep., Ns


NIP. 19830404 201404 2 002 NIP. 19761010 199803 2 004

Mengetahui,
Kepala Ruangan

Sri Yuniarti, SST


NIP. 19690605 199403 2 008
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB 2 RESUME KASUS
BAB 3 PEMBAHASAN
BAB 4 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung
kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam
terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih
secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai
ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks
saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks
miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga
dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf
sensori dari kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4)
kemudian diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi
mengirim signal pada kandung kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor
berkontraksi spinter interna berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol
kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi
abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung kemih,
biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang diusebut
urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu,
biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur., Normal miksi
sehari 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus
tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan
masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit
dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka
menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas
toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk
klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar
mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti
proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

1.2 Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami konsep gangguan
eliminasi dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan eliminasi
Tujuan Khusus :
1. Mampu memahami tentang konsep gangguan eliminasi urine dan fekal
2. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
eliminasi urine
3. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi
fekal

BAB 2
RESUME KASUS

Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A. D
Umur : 67 Thn
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng Kota Surabaya
Tanggal Masuk : 31 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 11 Februari 2019 Pkl 14.30 WIB
No. Register : 12.70.69.xx
Diagnosa Medis : Ca Rectum 1/3 Distal T4H2M0 Post Milks Proscedure +
Susp BPH
b. Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS : BAB sedikit-sedikit dan keras seperti kotoran kambing sejak bulan
Oktober 2018. Terdapat benjolan kecil pada anus.
Saat ini : Nyeri luka operasi di perut, nyeri dirasakan terus menerus seperti
diiris-iris, skala nyeri 5, nyeri bertambah bila berubah posisi. Pusing,
mual, tidak bisa BAK sejak 4 jam lalu pkl 10.30 WIB
Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Pasien mengatasi keluhan dengan mengkonsumsi sayuran dan jus buah dan
akhirnya bisa BAB namun keluhan berulang, kemudian pasien memutuskan
untuk berobat ke Puskesmas dan didiagnosa wasir serta mendapatkan obat yang
dimasukan lewat rectum namun tidak ada perubahan akhirnya pasien di rujuk ke
RSUD Dr. Soetomo.

c. Satus Kesehatan Masa Lalu


Penyakit yang pernah dialami
Pasien dengan riwayat HT dan mendapatkan terapi Amlodipin 5-10 mg
diminum setiap malam.
Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum :
Tingkat kesadaran : komposmetis
GCS : verbal : 5 Psikomotor : 6 Mata : 4
b. Tanda-tanda Vital : Nadi : 98 x/mnt regular, kuat, Suhu : 36,6 ºC, TD
150/90 mmHg, RR : 20x/mnt regular.
c. Keadaan fisik
1) Kepala dan leher :
Bentuk kepala simetris, tidak ada kaku kuduk dan pembesaran KGB,
ekspresi wajah nampak meringis kesakitan.
2) Dada :
 Paru
Pengembangan dada simetris, fremitus raba normal, perkusi sonor,
auskultasi vesikuler normal, Spo2 98%, tidak ada retraksi dan
penggunaan otot bantu pernapasan.
 Jantung
Mukosa bibir dan konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan
tekanan vena jugolaris, BJ I-II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
3) Payudara dan ketiak :
Tidak ada benjolan dan pembesaran KGB
4) Abdomen :
Terdapat luka operasi Laparatomi terbalut kassa nampak bersih, terpasang
drain produksi 200 cc warna kemerahan, terdapat stoma yang tertutup
kantong stoma, produksi feces dengan konsistensi cair warna coklat
kehitaman. Bising usus 10x/mnt, blass teraba penuh. Tampak memegang
daerah operasi dengan tangan terutama saat merubah posisi
5) Genetalia :
Tidak ada luka ataupun oedema pada daerah genitalia
6) Integumen :
Luka operasi laparatomi dan colostomy
7) Ekstremitas :
 Atas
ROM aktif, kekuatan otot 5
 Bawah
ROM aktif, kekuatan otot 5, tidak ada oedema
8) Neurologis :
 Status mental dan emosi : pasien tenang, dapat menerima kondisinya
serta menjalani perawatan dan pengobatan dengan sabar
 Pengkajian saraf kranial :
N1-N12 tidak ada masalah
 Pemeriksaan refleks :
Refleks patela +, Refleks babynski +,
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
Tanggal 01 Februari 2019

HBSAG Non Reaktif Natrium 137 mmol/L


GDS 205 mg/dl Clorida 93 mmol/L
SGOT/SGPT 21/26 ul/L PT/APTT 9,9/26,2 detik
BUN 11 mg/dl HB 14,3 g/dl
Kretinin serum 1,72 mg/dl RBC 4,66
Kalium 4,4 mmol/L WBC 8,06
2) Pemeriksaan radiologi
Thorax foto : corpulmonal normal

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS : Pasien mengeluh Prosedur operasi Nyeri Akut
nyeri luka operasi, D.0077
nyeri dirasakan terus
menerus seperti
diiris-iris, nyeri
bertambah bila
berubah posisi,
pasien kadang
terbangun dari tidur
karena nyeri.

DO : Ekspresi wajah
nampak meringis
kesakitan, skala nyeri
5, tampak memegang
daerah operasi
dengan tangan
terutama saat
merubah posisi
Nadi 98x/mnt, TD
150/90 mmHg

DS : Pasien mengeluh BPH Retensi Urine


tidak bisa BAK sejak D.0050
4 jam lalu pkl 10.30
WIB. rasa penuh
pada kandung kemih

DO : Tampak distensi
kandung kemih
DS : Pasien mengatakan Prosedur pembedahan Resiko Infeksi
habis operasi pagi dan tindakan invasif D.0142
tadi

DO : Tampak luka
operasi laparatomi
dan colostomy,
keadaan luka tertutup
kasa bersih dan
terpasang drain
dengan produksi 200
cc warna kemerahan.
terpasang selang
epidural dan infus
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

TANGGAL /
TANGGAL
NO JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
TERATASI
DITEMUKAN
1. 11/02/2019 Nyeri Akut b/d prosedur operasi 18/02/2019
(Pasien Pulang)
2. 11/02/2019 Retensi urine b/d BPH 18/02/2019
(Pasien Pulang)
3. 11/02/2019 Resiko Infeksi b/d Prosedur pembedahan 18/02/2019
dan tindakan invasive (Pasien Pulang)
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Senin, 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 Manajemen Nyeri :
11/02/2019 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria : frekwensi, kualitas, intensitas dan skala nyeri
 Keluhan nyeri berkurang 2. Identifikasi respon nyeri non verbal
 Dapat beristirahat dengan nyaman tanpa 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
keluhan nyeri mengurangi nyeri
 Skala nyeri 0-1 4. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Ekspresi wajah nampak rileks 5. Atur posisi pasien yang nyaman dan rileks
6. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
 Nadi 60-70 x/mnt
mengurangi rasa nyeri
7. Anjurkan penggunaan teknik non farmakologi
ketika nyeri
8. Lakukan pemberian analgesic sesuai advis
9. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah
pemberian analgesik
10. Pertahankan penggunaan infus analgesik
kontinyu
11/02/2019 2. Setelah dilakukan tindakan kerawatan selama 30Kateterisasi Urine :
menit diharapkan retensio urine pasien teratasi 1. Identifikasi tanda dan gejala retensio urine
dengan kriteria : (keluhan tidak bisa BAK, distensi kandung
 Pasien bisa BAK dengan bantuan kateter kemih)
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Tidak ada distensi kandung kemih 2. Identifikasi faktor penyebab retensio urine
3. Berikan rangsangan BAK dengan teknik non
farmakologi (kompres dingin, stimulasi suara air
mengalir)
4. Kolaborasi pemasangan kateter urine
5. Jelaskan tujuan dan procedure pemasangan
kateter urine
6. Monitor eliminasi urine (volume, aroma dan
warna, konsistensi)
7. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine
8. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantong
urine
9. Pastikan selang kateter dan kantong urine
terbebas dari lipatan
10. Pastikan kantong urine di letakkan dibawah
ketinggian kandung kemih dan tidak di lantai
11. Lakukan perawatan perineal minimal 1x sehari
11/02/2019 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaPencegahan infeksi :
1x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi 1. Monitor tanda-tanda infeksi lokal (rubor, kalor,
dengan kriteria : dolor, tumor) dan sistemik (Suhu, nausea) serta
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka karakteristik luka (drainase, warna, ukuran, bau)
(rubor, kalor, dolor, tumor), tidak demam dan kondisi stoma.
 Suhu tubuh normal 36,5 C-37,5 C
0 0 2. Monitor tanda-tanda vital
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Hasil pemeriksaan laboratorium WBC 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
dalam batas normal 3,37 – 10 103/uL pasien dan lingkungan pasien
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mencuci tangan
yang benar
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
6. Lakukan perawatan kulit pada daerah insersi
selang
7. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
8. Lakukan perawatan stoma secara teratur
9. Lakukan pemberian antibiotik sesuai advis
BAB 3
PEMBAHASAN

BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN
LAMPIRAN

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
GANGGUAN ELIMINASI

A. KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN ELIMINASI


1. Pengertian
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang
yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine,
yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui
uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar,
mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi
gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi
maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke
kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
2. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi
1). Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan
ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot
sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam
hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam
semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
2). Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan
mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi
ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak
air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction
berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak
berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga
pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB
dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya
disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler,
trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi
tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar
secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus
meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas
keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang
menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh
bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang
menghasilkan CO2.
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa
internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras,
kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat
terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-
kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan
nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

3. Etiologi
1). Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan

2). Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna :
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar
volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak
bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan
pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan
yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-
penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis,
bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa
beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas
peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa
memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak
peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum
dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses
mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot
polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan
mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot
perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses
defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan
stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi
kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika
dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,
klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami
fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter
ani

4. Faktor predisposisi/Faktor pencetus


1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal
untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung
kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di
rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi
urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat
mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi
keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk
keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada
wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya
tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi
penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik
intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat
terjadi retensi urine.
5. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla
spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-
otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada
disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat
tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan
sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan
edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,
obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,
nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine
pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung
kemih yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak
menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi
muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui
saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses
di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

6. Tanda dan gejala


1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1). Ketidak nyamanan daerah pubis.
2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5). Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2). pasien sering mengompol
2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
1). Menurunnya frekuensi BAB
2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3). Nyeri rektum
b. Impaction
1). Tidak BAB
2). anoreksia
3). Kembung/kram
4). nyeri rektum
c. Diare
1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2). BAB encer dan jumlahnya banyak
3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal
cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1). pembengkakan vena pada dinding rectum
2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4). nyeri

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1). Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi
berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu,
diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan
palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna,
konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur
abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan
penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu
kecoklatan (obstruksi empedu);
Bayi : kekuningan pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium
Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA
(lambung, usus halus);
diet tinggi buah merah
dan sayur hijau tua (spt.
Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt
bit.
Pucat Malabsorbsi lemak; diet
tinggi susu dan produk
susu dan rendah daging.
Orange atau Infeksi usus
hijau
Konsistensi Berbentuk, lunak,Keras, kering Dehidrasi, penurunan
agak cair / motilitas usus akibat
lembek, basah. kurangnya serat, kurang
latihan, gangguan emosi
dan laksantif abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat iritasi
kolon oleh bakteri).
Bentuk Silinder (bentukMengecil, bentuk Kondisi obstruksi
rektum) dgn Æ 2,5pensil atau rektum
cm u/ orangseperti benang
dewasa
Jumlah Tergantung diet
(100 – 400 gr/hari)
Bau Aromatik :Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
dipenga-ruhi oleh
makanan yang
dimakan dan flora
bakteri.
Unsur pokok Sejumlah kecilPus Infeksi bakteri
bagian kasarMukus Konsidi peradangan
makanan yg tdkParasit Perdarahan
dicerna, potonganDarah gastrointestinal
bak-teri yang mati,Lemak dalam Malabsorbsi
sel epitel, lemak,jumlah besar Salah makan
protein, unsur-Benda asing
unsur kering
cairan pencernaan
(pigmen empedu
dll)

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi
langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur yang tidak normal.

3. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin b.d BPH
2. Konstipasi b.d kelemahan otot abdomen

4. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan
No. Diagnosa Intervensi
Kriteria Hasil
1. Retensi urin 1. Identifikasi tanda dan gejala
retensi atau inkontinensia urin
b.d BPH
2. Identifikasi faktor yang
menyebabkan retensi atau
inkontinensia urin
3. Monitor eliminasi urin
4. Catat waktu dan haluaran urin
5. Batasi asupan cairan, jika perlu
6. Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot panggul
7. Ajarkan minum yang cukup, jika
tidak ada kontraindikasi
8. Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, bila perlu.
2. Konstipasi Setelah 1. Periksa tanda dan gejala
b.d melakukan konstipasi
kelemahan tindakan 2. Periksa pergerakan usus,
otot keperawatan karakteristik feses
abdomen diharapkan 3. Identifikasi faktor resiko
pasien dapat konstipasi
BAB dengan 4. Monitor tanda dan gejala ruptur
kriteria hasil: usus dan/ peritonitis
 Pasien BAB 5. Anjurkan diet tinggi serat
1x/hari 6. Ajarkan cara mengatasi
dengan konstipasi/impaksi
kosisitensi 7. Konsultasi dengan tim medis
padat tentang penurunan/ peningkatan
lembek. frekuensi suara usus
 Bising usus 8. Kolaborasi penggunaan obat
normal 5-30 pencahar jika perlu.
x/menit.
LAPORAN PENDAHULUAN
CA RECTUM

I. Anatomi dan Fisiologi


Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m,


lebarnya 5-6 cm. Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar
berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-
zat gizi. Bakteri ini juga penting untuk fungsi normal dari usus.
Fungsi usus besar, terdiri dari :Menyerap air dari makanan, tempat
tinggal bakteri E.Coli, tempat feses. Usus besar (kolon), terdiri atas:
a. Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks vermiformis
yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing,
panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak
walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding
abdomen pada orang yang masih hidup.
b. Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen
bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah
hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan
sebagai kolon transversum.
c. Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
d. Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
e. Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum
f. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai

garis anorektal dengan panjang sekitar 12-13 cm (Sloane, 2004). Secara


fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Sfingter anal
internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot rangka
(volunter) mengitari anus (Sloane, 2004). Bagian ampula terbentang dari
sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Pada
orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu lipatan-
lipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena (Sloane, 2004).
II. Definisi Ca Colorectal

Ca Kolorectal merupakan salah satu dari keganasan pada


kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian rekti yang
terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel yang tidak
terkendali (Black & Hawks, 2014). Kanker rekti adalah kanker
yang berasal dalam permukaan rektum/rectal. Umumnya kanker
kolorektal berawal dari pertumbuhan sel yang tidak ganas,
terdapat adenoma atau berbentuk polip.
Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke sebagai berikut
(Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
1. Duke
Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi
belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding
usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada
kelenjar getah bening (Duke B).
Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum
pada organ tubuh lainnya (Duke C).
Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
2. Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1 N0 M0 A
T2 N0 M0
II A T3 N0 M0 B
II B T4 N0 M0
III A T1-T2 N1 M0 C
III B T3-T4 N1 M0
III C Any T N2 M0
IV Any T Any N M1 D
Keterangan
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi
invasi pada
lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau
ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai
peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi
peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis

III. Etiologi dan Patofisiologi Ca Rectal


Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum
menurut Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever (2010) sebagai berikut:
- Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971)
dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan
kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein
dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet
rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi
karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa
transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
- Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
- Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip
bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat
menjadi kanker.
- Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun
memiliki risiko yang lebih besar.
- Riwayat kanker pribadi

Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat


terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita
dengan riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium),
atau payudara mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi untuk
terkena kanker rectal.
- Riwayat kanker rektal pada keluarga

Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka


kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika
terkena kanker pada usia muda.
- Faktor gaya hidup

Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi


lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat
risiko yang lebih besar terkena kanker colorectal serta kebiasaan
sering menahan tinja/defekasi yang sering.
- Usia di atas 50

Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua.
Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini
didiagnosis setelah usia 50 tahun ke atas.
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan
kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi
maligna (Ignatavicius & Workman, 2006). Karsinogen adalah substansi yang
mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang bersifat
otonom dan maligna.Trasformasi maligna diduga mempunyai sedikitnya tiga
tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010), yaitu:
a. Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memicu sel menjadi
ganas. Perubahan ini disebabkan oleh status karsinogen berupa bahan kimia,
virus, radiasi atau sinar matahari yang berperan sebagai inisiator dan bereaksi
dengan DNA yang menyebabkan DNA pecah dan mengalami hambatan
perbaikan DNA. Perubahan ini mungkin dipulihkan melalui mekanisme
perbaikan DNA atau dapat mengakibatkan mutasi selular permanen. Mutasi ini
biasanya tidak signifikan bagi sel-sel sampai terjadi karsinogenesis tahap
kedua.
b. Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi abnormal.
Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi
ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara faktor kedua dengan sel
yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen
penyebabnya disebut complete carcinogen karena melengkapi tahap inisiasi
dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi
genetik dalam sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan
pasangan gen dan merubah pola komunikasi antarsel. Pada masa antara inisiasi
dan promosi merupakan kunci konsep dalam pencegahan kanker, karena bila
pada tahap ini dilakukan pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti
makanan berlemak, obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan risiko
terbentuknya formasi neoplastik.
c. Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker atau
karsinogenesis. Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama inisiasi dan
promosi kini melakukan perilaku maligna. Sel-sel ini sekarang menampakkan
suatu kecenderungan untuk menginvasi jaringan yang berdekatan
(bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara
pasti. Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi
dianggap bukan sebagai penyebab langsung. Hipotesa penyebab yang lain
adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker
kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan
perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu
masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Bakteri dapat mengubah
asam empedu, yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan
lemak, menjadi suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker. Senyawa-
senyawa tersebut disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam empedu secara
normal dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak. Semakin banyak lemak
yang dikonsumsi, maka asam empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan
semakin banyak pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beberapa
bahan makanan yang banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta
daging dan makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat
meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang kaya akan gula.
Patologi kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang
tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip
(sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat
dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak
menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang
relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar.
Polip jinak dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas
dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu secara
infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon;
melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke
sistem portal; penyebaran secara transperitoneal; penyebaran ke luka jahitan,
insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek
sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi
pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan
perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.

Polip adenoma

Polip maligna

Menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya

Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh
yang lain

IV. Manifestasi Klinis

Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan


mencari bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan
pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rectal Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever (2010). Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker,
tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi.
Gejala yang paling menonjol adalah (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever,
2010):
- Perubahan kebiasaan defekasi
- Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
- Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
- Anoreksia
- Penurunan berat badan tanpa alasan
- Keletihan
- Mual dan muntah-muntah
- Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
- Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
- Perut sering terasa kembung atau keram perut
- Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang
tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya
konstipasi), serta feses berdarah.
Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai
radiks saraf, pembuluh limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala
pada tungkai atau perineum, hemoroid, nyeri pinggang bagian
bawah, keinginan defekasi, atau sering berkemih dapat timbul
sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut. Semua karsinoma
kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan, obstruksi bila
membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-kelenjar
regional, terkadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses
peritoneum.
Tumor pada rekti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai
besar sebelum menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya
lebih besar daripada kolon desendens dan dindingnya lebih mudah
melebar. Perdarahan biasanya sedikit atau tersamar. Bila karsinoma
Recti menembus ke daerah ileum akan terjadi obstruksi usus halus
dengan pelebaran bagian proksimal dan timbul nausea atau vomitus.
Pertimbangan gerontologi, insiden karsinoma kolon dan rectum
meningkat sesuai usia. Kanker ini biasanya ganas pada lansia,
gejala sering tersembunyi yaitu: keletihan hampir selalu ada akibat
anemia defisiensi besi primer, nyeri abdomen, obstruksi, tenesmus,
dan perdarahan rectal. Atau secara lain manifestasi klinisnya yaitu :
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,
penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker
kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang berbeda-beda,
tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga
dari area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung
mempunyai morfologi yang heterogen. Gambaran histopatologis
yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-95%),
adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-
4%), dan sarcoma (0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari
tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630
kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologis dari
kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2%
karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid
carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid
carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu
pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan
stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan
dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada
saat terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan
dengan derajat differensiasi buruk dan telah bermetastase jauh pada
saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang
sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase
pada saat terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak
memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh
pada saat terdiagnosa.
2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain
ialah :
 Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik
itu darah segar maupun yang berwarna hitam.
 Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar
kosong saat BAB
 Feses yang lebih kecil dari biasanya
 Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung,
rasa penuh pada perut atau nyeri
 Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
 Mual dan muntah,
 Rasa letih dan lesu
 Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan
nyeri pada daerah gluteus.

3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70%
kasus pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena
ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum
peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang.
Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan
vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastase kanker
rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda
dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta,
maka metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.
. DIAGNOSIS DAN STAGING
1. Diagnosis
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker
rektal, diantaranya ialah : 1,2,5,7,8,9,12
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik
Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan
di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan
skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada
pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak
sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung. Ada 2
gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu
penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram
yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas
tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang
menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan
bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya
juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah
mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau
apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari
lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan
pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat
digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah
mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan
fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti
kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding
anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi.
3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium
dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada
traktus gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum
dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat
sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip
atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat
colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
6) Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang
paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis
lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous
carcinomas, dan undifferentiated tumors.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat berkemih, hematuria,
sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia,
mual/muntah. Intoleransi makanan. Perubahan pada berat badan,
berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan
abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari
yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat
kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang diberikan.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop
2. Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani
keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum
kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak.
3. Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah,
sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
4. Endoskopi (protoskopi, sigmoidoscopy atau colonoscopy), dengan
menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip
atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk
mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma
rektum). Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan.
Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari
anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi
direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan
perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium
enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah,
ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
5. Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan
menilai reseklabilitas.
6. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi
umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker
kolorektal.
7. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces,
karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
8. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini
dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya
dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada
lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam
skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan
sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan
mengikuti pemotongan pembedahan.
9. Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75%
karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan
digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.
10. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium, dan kreatinin.
11. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya
dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam
usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus,
konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan
pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor
kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum
12. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
13. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah
mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
14. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan
diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren
(yang timbul kembali).
15. Pemeriksaan DNA Tinja.
B. Masalah keperawatan dan diagnosa yang mungkin muncul
1. Nyeri kronis
2. Defisit nutrisi
3. Diare
4. Konstipasi
5. Kerusakan integritas kulit
6. Risiko tinggi infeksi
C. Intervesni keperawatan
Intervensi keperawatan menurut SIKI 2018 :
1. Diagnosa Nyeri kronis
Intervensi utama : manajemen nyeri, perawatan kenyamanan, terapi relaksasi.
Intervensi pendukung : aromaterapi, dukungan hipnotis diri, dukungan
pengungkapan kebutuhan, dukungan koping keluarga, dukungan meditasi,
edukasi aktivitas/istirahat, edukasi kemoterapi, edukasi kesehatan, edukasi
manajemen stres, edukasu manajemen nyeri, edukasi perawatan stoma,
edukasi teknik napas, kompres dingin, kompres panas, latihan pernapasan,
manajemen stres, pemberian analgesik, teknik imajinasi terbimbing, yoga.
2. Diagnosa defisit nutrisi
Intervensi utama : manajemen nutrisi, promosi berat badan
Intervensi pendukung : dukungan kepatuhan program pengobatan, edukasi
diet, konseling nutrisi, konsultasi, pemantauan cairan, pemantauan nutrisi.
3. Diagnosa diare
Intervensi utama : manajemen diare, pemantauan cairan
Intervensi pendukung : dukungan perawatan diri BAB/BAK, dukungan
kepatuhan program pengobatan, konsultasi, irigasi kolostomi, insersi
intravena, manajeman cairan, manajemen elektrolit, manajemen eliminasi
fekal, manajemen nutrisi, manajemen nutrisi parenteral, pemberian obat,
pemberian obat intravena, pengontrolan infeksi, perawatan stoma, reduksi
ansietas, terapi intravena.
D. Treatment/Pengobatan dan terapi/medikasi
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan
terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien
suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun
begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium
kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical
treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy,
dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan
terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya
dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker
sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan
kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel
kanker yang tertinggal (Anderson, 2006). Tipe pembedahan
tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan
pilihan adalah sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever,
2010):
a) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
b) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter
anal)
c) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
d) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi)
Sebelum pembedahan, dilakukan radioterapi untuk mencegah sel maligna
bermetastasis dan mengurangi ukuran tumor serta membuatnya lebih mudah
direseksi. Intervensi lokal terhadap tumor setelah pembedahan adalah
implantasi isotop (radium, cesium, dan kobalt) ke dalam area tumor dan
elektrokoagulasi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi bertujuan untuk menurunkan metastasis dan mengontrol
manifestasi. Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dengan tumor yang menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (stadium II lanjut dan stadium III).Terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan
leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU
merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,
levamisole untuk meningkatkan sistem imun dan dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin.
- 5 hari Fu (Flouro-Uracil 13,5mg/kg BB/hari)
- 5 Fu dan Ca Folinat
3. Radioterapi

Pada Ca stadium II dan III lanjut, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor
sebelum dilakukan pembedahan. Radioterapi dapat menjadi terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang
digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable.
FORMAT LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
BERDASARKAN FORMAT HENDERSON

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. A. D


DENGAN DIAGNOSA MEDIS CA RECTUM 1/3 DISTAL + Susp BPH
DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN NYERI AKUT, RETENSI
URINE, RESIKO INFEKSI
DI RUANG BEDAH BOUGENVIL
TANGGAL 11 FEBRUARI 2019

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A. D
Umur : 67 Thn
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng Kota Surabaya
Tanggal Masuk : 31 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 11 Februari 2019 Pkl 14.30 WIB
No. Register : 12.70.69.xx
Diagnosa Medis : Ca Rectum 1/3 Distal T4H2M0 Post Milks Proscedure
+ Susp BPH

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. B. M
Umur : 65 Thn
Hub. Dengan Pasien : Istri
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng
Kota Surabaya
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS : BAB sedikit-sedikit dan keras seperti kotoran kambing sejak bulan
Oktober 2018. Terdapat benjolan kecil pada anus.
Saat ini : Nyeri luka operasi di perut, nyeri dirasakan terus menerus seperti
diiris-iris, skala nyeri 5, nyeri bertambah bila berubah posisi. Pusing,
mual, tidak bisa BAK sejak 4 jam lalu pkl 10.30 WIB
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Pasien mengatasi keluhan dengan mengkonsumsi sayuran dan jus buah dan
akhirnya bisa BAB namun keluhan berulang, kemudian pasien memutuskan
untuk berobat ke Puskesmas dan didiagnosa wasir serta mendapatkan obat yang
dimasukan lewat rectum namun tidak ada perubahan akhirnya pasien di rujuk ke
RSUD Dr. Soetomo.
b. Satus Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami
Pasien dengan riwayat HT dan mendapatkan terapi Amlodipin 5-10 mg
diminum setiap malam.
Pernah dirawat : tidak pernah dirawat sebelumnya
Alergi : tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
2) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll)
Saat masih muda pasien suka merokok dan dapat menghabiskan ± 1 bungkus
rokok perhari, minum kopi 2 gelas perhari namun semenjak usia tua pasien
masih sesekali merokok namun dengan frekuensi setelah makan.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mempunyai saudara dengan riwayat penyakit Stroke.
4) Diagnosa Medis dan therapy
Ca Rectum 1/3 distal T4H2M0 + Retensio Urine Susp BPH
Therapi :
Tanggal Therapy Dosis
11/02/2019  Infus Tutofusin OPS 1500 cc/24 jam
 Noropin per epidural 0,18 mg dengan syringe pump 4 cc/jam
 Levofloxacin Infus
 Metronidazole Infus 750 mg/24 jam
 Antrain Injeksi 3x500 mg IV
 Ranitidin Injeksi
3x500 mg IV
2x50 mg IV
12/02/2019 Therapy lain lanjut,
tambahan
 Vit K Injeksi 3x10 mg IV
 Kalnex Injeksi 3x500 mg IV
 Diet bubur halus
 Pasang Kateter menetap
13/02/2019 Therapy lain lanjut,
tambahan 3x0,4 mg PO
 Harnal Ocas

15/02/2019 Therapy lain lanjut,


Infus Tutofusin 1000 cc/24 jam
Diet TKTP
Harnal Ocas 1x0,4 mg PO
16/02/2019 Therapy lain lanjut,
Infus Tutofusin 500 cc/24 jam

3. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)


a. Pola Bernapas
 Sebelum sakit
Pasien dapat beraktivitas tanpa ada keluhan batuk ataupun sesak napas.
 Saat sakit
Tidak ada keluhan sesak dan batuk, tidak ada perubahan warna kulit
b. Pola makan-minum
 Sebelum sakit :
Makan 3x sehari, menu makanan nasi, lauk berupa daging, ikan, telur,
tempe, tahu, pasien jarang makan sayur dan buah.

 Saat sakit :
Pasien mengeluh mual, tidak muntah, pasien masih puasa hanya boleh
minum air sedikit-sedikit.
c. Pola Eliminasi
 Sebelum sakit :
BAK 3-4 kali sehari warna kuning kecoklatan, tidak ada keluhan BAK
BAB 1-2 kali sehari warna kuning konsistensi lembek. Sejak Oktober
2018 mulai susah BAB dan feces seperti kotoran kambing.
 Saat sakit :
BAK : pasien belum BAK sejak pkl 10.30, distensi kandung kemih,
pasien mengeluh terasa penuh pada kandung kemih
BAB : pasien dengan colostomy, terpasang kantong stoma, produksi feces
+, konsistensi cair, warna coklat kehitaman.
d. Pola aktivitas dan latihan
 Sebelum sakit :
Pasien seorang pensiunan dan menghabiskan waktu dengan mengelola
kantin bersama istrinya.
 Saat sakit :
Akivitas pasien terbatas ditempat tidur saja karena masih merasa sakit
pada daerah operasi, pusing dan terpasang infus, syringe pump via selang
epidural serta terpasang drain.
e. Pola istirahat dan tidur
 Sebelum sakit :
Tidur 6-7 jam sehari, tidak ada gangguan tidur
 Saat sakit :
Pasien dapat beristirahat dan tidur namun kadang terbangun karena nyeri.
Tidur siang 1-2 jam, tidur malam 6-7 jam
f. Pola Berpakaian
 Sebelum sakit :
Pasien dapat berpakaian secara mandiri, sehari 1-2 kali mengganti pakaian
 Saat sakit :
Pasien berpakaian dengan bantuan istri dan perawat
g. Pola rasa nyaman
 Sebelum sakit :
Tidak ada gangguan rasa nyaman
 Saat sakit :
Pasien merasa kurang nyaman karena rasa sakit pada luka operasi dan
terpasang banyak alat yang membatasi aktivitas pasien. Pasien dapat
menerima kondisinya dengan adanya stoma karena pasien sudah
mendapatkan informasi dan dukungan dari sesama penderita yang
terpasang stoma.
h. Pola Aman
 Sebelum sakit :
Pasien merasa aman karena berada dilingkungan keluarga dan tetangga
yang hidup rukun
 Saat sakit :
Pasien merasa aman karena mendapatkan dukungan dari keluarga dan
kerabat serta petugas kesehatan
i. Pola Kebersihan Diri
 Sebelum sakit :
Mandi 2x/hari menggunakan sabun dan air bersih, sikat gigi 2x sehari,
keramas 2 hari sekali, kuku selalu pendek.
 Saat sakit :
Pasien hanya di seka 1x sehari di tempat tidur menggunakan sabun dan air,
berkumur dengan listerin 2x sehari.
j. Pola Komunikasi
 Sebelum sakit :
Tidak ada gangguan komunikasi
 Saat sakit :
Pasien dapat berkomunikasi dengan lancar, menggunakan bahasa
Indonesia, orientasi orang dan tempat baik, pasien kooperatif selama
perawatan

k. Pola Beribadah
 Sebelum sakit :
Pasien menjalankan ibadah Sholat 5 waktu dan Sholat Jumat di Mesjid
dekat rumah
 Saat sakit :
Pasien menjalankan Sholat di tempat tidur saja
l. Pola Produktifitas
 Sebelum sakit :
Pasien bekerja dengan berjualan makanan di kantin bersama istrinya
 Saat sakit :
Pasien tidak dapat bekerja dan istrinya juga tidak dapat bekerja karena
harus menjaga pasien di RS
m. Pola Rekreasi
 Sebelum sakit :
Pasien menghabiskan waktu libur kerja dengan beristirahat dirumah saja,
jarang ada aktivitas rekreasi bersama keluarga
 Saat sakit :
Pasien bercerita dengan keluarga yang datang menjenguk dan juga
bersama pasien dan keluarga pasien yang lain
n. Pola Kebutuhan Belajar
 Sebelum sakit :
Tidak ada kebutuhan belajar
 Saat sakit :
Pasien mendapatkan informasi dan dukungan dari sesama pasien yang
menderita penyakit yang sama tentang bagaimana hidup dengan stoma
serta menjalani perawatan lanjutan pasca operasi. Pasien membutuhkan
infomasi tentang cara perawatan stoma.

4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum :
Tingkat kesadaran : komposmetis
GCS : verbal : 5 Psikomotor : 6 Mata : 4
b. Tanda-tanda Vital : Nadi : 98 x/mnt regular, kuat, Suhu : 36,6 ºC, TD
150/90 mmHg, RR : 20x/mnt regular.
c. Keadaan fisik
1) Kepala dan leher :
Bentuk kepala simetris, tidak ada kaku kuduk dan pembesaran KGB,
ekspresi wajah nampak meringis kesakitan.
2) Dada :
 Paru
Pengembangan dada simetris, fremitus raba normal, perkusi sonor,
auskultasi vesikuler normal, Spo2 98%, tidak ada retraksi dan
penggunaan otot bantu pernapasan.
 Jantung
Mukosa bibir dan konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan
tekanan vena jugolaris, BJ I-II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
3) Payudara dan ketiak :
Tidak ada benjolan dan pembesaran KGB
4) Abdomen :
Terdapat luka operasi Laparatomi terbalut kassa nampak bersih, terpasang
drain produksi 200 cc warna kemerahan, terdapat stoma yang tertutup
kantong stoma, produksi feces dengan konsistensi cair warna coklat
kehitaman. Bising usus 10x/mnt, blass teraba penuh. Tampak memegang
daerah operasi dengan tangan terutama saat merubah posisi
5) Genetalia :
Tidak ada luka ataupun oedema pada daerah genitalia
6) Integumen :
Luka operasi laparatomi dan colostomy
7) Ekstremitas :
 Atas
ROM aktif, kekuatan otot 5
 Bawah
ROM aktif, kekuatan otot 5, tidak ada oedema
8) Neurologis :
 Status mental dan emosi : pasien tenang, dapat menerima kondisinya
serta menjalani perawatan dan pengobatan dengan sabar
 Pengkajian saraf kranial :
N1-N12 tidak ada masalah
 Pemeriksaan refleks :
Refleks patela +, Refleks babynski +,
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
Tanggal 01 Februari 2019

HBSAG Non Reaktif Natrium 137 mmol/L


GDS 205 mg/dl Clorida 93 mmol/L
SGOT/SGPT 21/26 ul/L PT/APTT 9,9/26,2 detik
BUN 11 mg/dl HB 14,3 g/dl
Kretinin serum 1,72 mg/dl RBC 4,66
Kalium 4,4 mmol/L WBC 8,06

2) Pemeriksaan radiologi
Thorax foto : corpulmonal normal
3) Hasil konsultasi
SCI kelas 1
4) Pemeriksaan penunjang diagnostic lain
............................................................................................................................
5. ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS : Pasien mengeluh Prosedur operasi Nyeri Akut
nyeri luka operasi, D.0077
nyeri dirasakan terus
menerus seperti
diiris-iris, nyeri
bertambah bila
berubah posisi,
pasien kadang
terbangun dari tidur
karena nyeri.

DO : Ekspresi wajah
nampak meringis
kesakitan, skala nyeri
5, tampak memegang
daerah operasi
dengan tangan
terutama saat
merubah posisi
Nadi 98x/mnt, TD
150/90 mmHg

DS : Pasien mengeluh BPH Retensi Urine


tidak bisa BAK sejak D.0050
4 jam lalu pkl 10.30
WIB. rasa penuh
pada kandung kemih

DO : Tampak distensi
kandung kemih
DS : Pasien mengatakan Prosedur pembedahan Resiko Infeksi
habis operasi pagi dan tindakan invasif D.0142
tadi

DO : Tampak luka
operasi laparatomi
dan colostomy,
keadaan luka tertutup
kasa bersih dan
terpasang drain
dengan produksi 200
cc warna kemerahan.
terpasang selang
epidural dan infus
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

TANGGAL /
TANGGAL
NO JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
TERATASI
DITEMUKAN
1. 11/02/2019 Nyeri Akut b/d prosedur operasi 18/02/2019
(Pasien Pulang)
2. 11/02/2019 Retensi urine b/d BPH 18/02/2019
(Pasien Pulang)
3. 11/02/2019 Resiko Infeksi b/d Prosedur pembedahan 18/02/2019
dan tindakan invasive (Pasien Pulang)
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Senin, 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 Manajemen Nyeri :
11/02/2019 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyeri 11. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria : frekwensi, kualitas, intensitas dan skala nyeri
 Keluhan nyeri berkurang 12. Identifikasi respon nyeri non verbal
 Dapat beristirahat dengan nyaman tanpa 13. Identifikasi faktor yang memperberat dan
keluhan nyeri mengurangi nyeri
 Skala nyeri 0-1 14. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Ekspresi wajah nampak rileks 15. Atur posisi pasien yang nyaman dan rileks
16. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
 Nadi 60-70 x/mnt
mengurangi rasa nyeri
17. Anjurkan penggunaan teknik non farmakologi
ketika nyeri
18. Lakukan pemberian antrain 500 mg/8jam
19. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah
pemberian analgesik
20. Pertahankan penggunaan infus syring pump
noropin 0,18 mg dengan kecepatan 4cc/jam/
epidural
11/02/2019 2. Setelah dilakukan tindakan kerawatan selama 30Kateterisasi Urine :
menit diharapkan retensio urine pasien teratasi 12. Identifikasi tanda dan gejala retensio urine
dengan kriteria : (keluhan tidak bisa BAK, distensi kandung
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Pasien bisa BAK dengan bantuan kateter kemih)
 Tidak ada distensi kandung kemih 13. Identifikasi faktor penyebab retensio urine
14. Berikan rangsangan BAK dengan teknik non
farmakologi (kompres dingin, stimulasi suara air
mengalir)
15. Kolaborasi pemasangan kateter urine
16. Jelaskan tujuan dan procedure pemasangan
kateter urine
17. Monitor eliminasi urine (volume, aroma dan
warna, konsistensi)
18. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine
19. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantong
urine
20. Pastikan selang kateter dan kantong urine
terbebas dari lipatan
21. Pastikan kantong urine di letakkan dibawah
ketinggian kandung kemih dan tidak di lantai
22. Lakukan perawatan perineal minimal 1x sehari
11/02/2019 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaPencegahan infeksi :
1x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi 10. Monitor tanda-tanda infeksi lokal (rubor, kalor,
dengan kriteria : dolor, tumor) dan sistemik (Suhu, nausea) serta
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka karakteristik luka (drainase, warna, ukuran, bau)
(rubor, kalor, dolor, tumor), tidak demam dan kondisi stoma.
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Suhu tubuh normal 36,50C-37,50C 11. Monitor tanda-tanda vital
 Hasil pemeriksaan laboratorium WBC 12. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
dalam batas normal 3,37 – 10 103/uL pasien dan lingkungan pasien
13. Ajarkan pasien dan keluarga cara mencuci tangan
yang benar
14. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
15. Lakukan perawatan kulit pada daerah insersi
selang
16. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
17. Lakukan perawatan stoma secara teratur
18. Kolaborasi pemberian metronidazole infus 500
mg/8 jam dan levofloxacin infus 750 mg/24 jam
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/ Ttd
No Dx Tindakan Keperawatan
Tgl/Jam
11/02/2019 1.
15.00  Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
15.05  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
15.25  Mengajarkan teknik relaksasi dengan
menarik napas dalam dan teknik distraksi
dengan mengalihkan perhatian pasien dari
nyeri ke aktivitas yang menyenangkan
seperti membaca koran atau mendengarkan
musik
15.30  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
17.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
17.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 3, ekspresi
wajah lebih tenang
17.20
 Memonitor pemberian analgesik Noropin
0,18 mg menggunakan syringe pump dengan
kecepatan 4 cc/jam via selang epidural
 Mengkaji nyeri : pasien mengatakan nyeri
20.45
sedikit berkurang, namun nyeri bertambah
bila berubah posisi, dan kadang terbangun
karena nyeri, skala nyeri 3, expresi wajah
meringis, nadi 92x/mnt regular, kuat.
11/02/2019 2.
14.45  Melakukan kompres dingin pada daerah
simpisis dengan menggunakan air dingin
dan memberikan rangsangan suara air
mengalir dengan menuangkan air dari botol
minum ke dalam ember namun pasien tetap
tidak bisa BAK
15.10  Melakukan kolaborasi pemasangan kateter
urine : dokter setuju di lakukan pemasangan
kateter urine sementara
 Menjelaskan tujuan dan procedure
15.20 pemasangan kateter urine : pasien dan
keluarga setuju
 Pemasangan kateter urine sementara
17.30 dilakukan oleh dokter, produksi urine ±
1500 cc warna kuning kecoklatan, tidak ada
darah, tidak ada distensi kandung kemih
 Mengkaji keadaan pasien : pasien sudah
20.45 tidak terpasang kateter dan BAK keluar
spontan sedikit-sedikit, tidak ada distensi
kandung kemih
11/02/2019 3.
14.25  Mencuci tangan 6 langkah menggunakan
handsrub sesuai 5 moment mencuci tangan
15.55  Mengajarkan pasien dan keluarga cara
mencuci tangan yang benar yaitu dengan 6
langkah cuci tangan menggunakan handsrub
apabila tangan tampak bersih dan
menggunakan handwash apabila tangan
nampak kotor atau sudah terkena cairan
tubuh pasien.
16.00  Mengganti cairan infus Tutofusin OPS 21
tetes/menit.
16.20  Memonitor Suhu 36,50C, Nadi 92x/mnt
regular, kuat
17.00  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
12/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, nyeri bertambah bila berubah
posisi, pasien kadang terbangun dari tidur
karena nyeri. Skala nyeri 3.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.07  Mengidentifikasi faktor yang memperberat
nyeri apabila berubah posisi dan nyeri
berkurang dengan menekan lembut daerah
perut.
08.30  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.35  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
09.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
09.03 obat.
 Memonitor pemberian analgesik Noropin
0,18 mg menggunakan syringe pump dengan
kecepatan 4 cc/jam via selang epidural
sementara diklem pro pelepasan infus
09.15 epidural.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
10.00 wajah lebih tenang
 Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
17.15
obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
20.45  Mengkaji nyeri : Pasien mengatakan nyeri
luka operasi berkurang, sudah dapat
beristirahat lebih lama, skala nyeri 2,
ekspresi wajah nampak rileks, Nadi 88x/mnt
12/02/2019 2.
08.05  Mengidentifikasi tanda dan gejala retensio
urine : pasien mengatakan bisa BAK
spontan tapi sedikit – sedikit, tidak nyeri
saat BAK, palpasi tidak ada distensi
kandung kemih
18.00  Keluarga melaporkan pasien tidak bisa BAK
lagi.
18.03  Mengontrol pasien : pasien mengatakan
tidak bisa BAK lagi sejak tadi siang, ada
rasa dorongan untuk BAK tapi urine tidak
bisa keluar, kandung kemih teraba penuh,
pasien nampak gelisah.
18.10  Melakukan kolaborasi pemasangan kateter
urine : ACC pasang foley kateter dan
konsul urologi
18.30  Menjelaskan tujuan dan procedure
pemasangan kateter urine : pasien dan
keluarga setuju
18.45  Pemasangan foley kateter (kateter menetap)
dilakukan oleh dokter, produksi urine 1500
cc berwarna kuning mudah tidak ada darah
19.00  Menggantung urine bag di samping tempat
tidur pasien, posisi selang berada lebih
rendah dari kandung kemih dan posisi
selang tidak terlipat.
19.10  Membuang urine 1500 cc berwarna jernih
kuning mudah, bau amoniak.
12/02/2019 3.
07.45  Memonitor tanda-tanda infeksi local : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 300
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36 0C. Kondisi
stoma : stoma nampak bagus tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
terdapat feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Menggantikan infus tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Membuang cairan drain 300 cc berwarna
kemerahan dilakukan oleh dokter.
 Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
makanan TKTP untuk mempercepat proses
penyembuhan luka.
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
09.00
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
09.30
tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
12.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
16.10  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
17.00 tetes/menit.
 Menggantikan Metronidazol infus dengan
17.30 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
13/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, nyeri bertambah bila berubah
posisi, pasien kadang terbangun dari tidur
karena nyeri. Skala nyeri 3.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.20  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
09.00  Melayani injeksi Antrain 500 mg iv, tidak
ada reaksi alergi ataupun efek samping obat.
09.15  Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah lebih tenang
 Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
10.00
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
21.00
 Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
22.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
22.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
13/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 800 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
08.30  Melakukan perawatan kateter
14.00  Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O
 Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
14.30
kuning jernih dibuang
 Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
14.35
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
14.37
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengotrol produksi urine : 300 cc warna
kuning jernih dibuang
21.45  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
21.50 tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
21.52 merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O

22.00  Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O


14/02/2019
06.00
13/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 50 cc
warna kemerahan. Infeksi sistemik : pasien
tidak demam, suhu 36,60C. Kondisi stoma :
stoma nampak bersih tidak ada luka lecet
sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
08.15  Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
08.20  Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
makanan TKTP untuk mempercepat proses
penyembuhan luka : pasien hanya dapat
menghabiskan ½ porsi dari makanan yang
disajikan karena masih merasa mual
09.00  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
09.30
tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
12.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor suhu 360C, Nadi 84x/mnt
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
16.10 tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
14/02/2019 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
00.05  Memonitr EWS 0

06.00
14/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.20  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
09.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
09.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah lebih tenang
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
21.00
 Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
22.00
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
22.15
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
14/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 650 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
14.00  Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O
14.30  Mengotrol produksi urine : 450 cc warna
kuning jernih dibuang
 Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
14.35
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
14.37
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
kuning jernih dibuang
21.45  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
21.50 tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
21.52 kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O

22.00  Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O


15/02/2019
06.00
14/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 100
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,40C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Bersama dokter merawat luka dibersihkan
dengan NaCl 0.9% dan ditutup dengan
sufratule dan kassa steril. Keadaan luka
Nampak kering, tidak ada tanga-tanda
infeksi, tidak ada produksi pus.
08.30  Bersama dokter merawat stoma dan
mengganti kantong stoma, keadaan stoma
bersih, warna merah muda, tidak ada lecet
sekitar stoma. Produksi feces, cair warna
kuning kecoklatan
09.00  Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
makanan TKTP dalam porsi sedikit tapi
sering dan mengkonsumsi buah-buahan
yang lunak
09.30  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
10.00
tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
12.00
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
16.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.10 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
22.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
22.30
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
15/02/2019 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
00.05  Memonitor EWS 0

06.00
15/02/2019 1.
14.30  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
14.35  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
14.45  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
 Menganjurkan pasien untuk melakukan
14.47
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah lebih tenang dan rileks
23.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
23.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
15/02/2019 2.
14.50  Mengotrol produksi urine : 550 cc warna
kuning jernih dibuang
14.55  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
14.57  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
21.45  Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
kuning jernih dibuang
21.50  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
21.58
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
15/02/2019 3.
15.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 150
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,70C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
16.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
16.10  Memonitor EWS 0
17.00  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
17.30  Menggantikan infus Metronidazole dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
23.00 tetes/menit.
 Menggantikan Metronidazol infus dengan
23.30 infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
04.00 infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
05.00
16/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak rileks
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi semi fowler
 Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
09.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
09.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah rileks
17.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
17.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
16/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 550 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
14.30  Mengotrol produksi urine : 350 cc warna
kuning jernih dibuang
14.35  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
14.37  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
16/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 200
cc warna kemerahan dibuang. Infeksi
sistemik : pasien tidak demam, suhu 36,80C.
Kondisi stoma : stoma nampak bersih tidak
ada luka lecet sekitar stoma terpasang
kantong stoma produksi feses konsistensi
encer berwarna kekuningan.
08.00  Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
08.15  Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
makanan TKTP sedikit tapi sering. Pasien
hanya menghabiskan ¾ dari porsi yang
disiapkan.
09.00  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
09.30  Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00
infus Tutofusin OPS 7 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
12.00
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00
infus Tutofusin OPS 7 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
16.10 tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30
18/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak rileks dan
masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.10  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
18/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 700 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengedukasi keluarga cara perawatan
kateter di rumah
18/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 200
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,60C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Bersama dokter merawat luka dibersihkan
dengan NaCl 0.9% dan ditutup dengan
sufratule dan kassa steril. Keadaan luka
Nampak kering, tidak ada tanga-tanda
infeksi, tidak ada produksi pus. Drain di aff
dengan produksi 20 cc
08.20  Bersama dokter merawat stoma dan
mengganti kantong stoma, keadaan stoma
bersih, warna merah muda, tidak ada lecet
sekitar stoma. Produksi feces, cair warna
kekuningan
09.00  Melakukan Aff infus

Evaluasi Keperawatan

Hari/Tgl Evaluasi
No Dx TTd
jam
Senin 1. S: Pasien mengatakan nyeri sedikit
11-02-2019 berkurang, namun nyeri bertambah bila
jam 20.45 berubah posisi, dan kadang terbangun
karena nyeri, skala nyeri 3
O: Ku lemah, skala nyeri 3, expresi wajah
meringis, nadi 92 x/menit, regular, kuat.
A: Masalah Nyeri Akut belum teratasi
P: Intervensi no 1,2,3,4,5,7,8,9,10 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
spontan tapi sedikit - sedikit
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urine teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,6,7,8,9,10,11
dilanjutkan
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi di perut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes,
suhu 36,5 0C, Nadi 92x/mnt
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Selasa/12- 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
02-2019 berkurang, sudah dapat beristirahat lebih
Jam 20.45 lama
O: Ku sedang, skala nyeri 2, ekspresi wajah
nampak rileks, Nadi 88 x/ menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah dipasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian besar
teratasi
P: Intervensi no 6,7,8,9,10,11 dilanjutkan.
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes,
suhu 36 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Rabu, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
13/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 20.45 nyaman
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 84 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian teratasi
P: Intervensi no 5,6,7,8,9,10 dilanjutkan
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36 0C, Nadi 84x/mnt regular, kuat
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Kamis, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
14/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat lebih lama
Jam 20.45 O: Ku sedang, skala nyeri 2, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian besar
teratasi
P: Intervensi no 6,7,8,9,10 dilanjutkan
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperutampak kering, tidak
ada tanda-tanda infeksi, tidak ada pus,
stoma bersih warna merah muda, tidak
ada lecet sekitar stoma, produksi feces
cair warna kuning kecoklatan, suhu 36 0C
Masalah resiko infeksi tidak terjadi
A: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
P:
Jumat, 1. S: Pasien mengatakan nyeri dirasakan pada
15/02/2019 luka operasi di perut yang dirasakan
Jam 20.45 hilang timbul seperti diiris-iris, namun
pasien sudah dapat beristirahat lebih
lama.
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit regular kuat
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian
P: Intervensi no 6,7,8,9,10,11 dilanjutkan.
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Sabtu, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
16/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 20.45 nyaman
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian
P: Intervensi no 6,7,8,9,10 dilanjutkan.
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Senin, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
18/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 09.00 nyaman dan pasien sudah dapat
mengontrol nyeri dengan menarik napas
dalam
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 76 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang
2. S: Pasien mengatakan BAK dengan
menggunakan kateter dan ganti kateter
setiap 2 minggu
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore:


Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Penerbit Kedokteran
EGC : Jakarta.
Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical
thinking for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:
MOSBY
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media
Aesculapius. Jakarta.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri:
Elsevier Mosby
PPNI, 2017; Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia, Edisi 1, Jakarta
PPNI, 2018; Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1, Jakarta
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit volume 1.
Edisi 6. Jakarta: EGC. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies.
Potter & Perry, 2006; Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta
Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William
& Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai