Asuhan Keperawatan Masalah Psikososial
Asuhan Keperawatan Masalah Psikososial
PADA REMAJA
Disusun Oleh :
Septiani Puspa Dewi 220112160015
Dini Aprilia 220112160089
Fiska Oktori 220112160097
Ida Rosida 220112160103
Rias Ganjar Pratiwi 220112160119
Tantri Novianti 220112160131
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Psikososial Pada Remaja
2.1.1 Pengertian
Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
artinya tumbuh kearah kematangan. Kematangan bukan berarti kematangan fisik
saja, tetapi terutama kematangan social-psikologis. Menurut World Health
Organization (WHO) definisi remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual,
individu.
2. Individu mengalami perkembangan psikososial dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relative lebih mandiri.
Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental/emosionalnya.
Seseorang yang sehat mentalnya akan bereaksi dengan cara yang positif dalam
banyak situasi. Berbeda dengan orang yang tidak stabil mentalnya, ia akan bereaksi
negatif terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup.
1. Perubahan psikoseksual
Produksi hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi fungsi
otak, emosi, dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual
yang merupakan manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga
terjadi modifikasi dari dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan
terhadap tokoh-tokoh olah raga, musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan
lainnya. Remaja sangat sensitif terhadap pandangan teman sebaya sehingga ia
seringkali membandingkan dirinya dengan remaja lain yang sebaya, bila dirinya
secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya maka hal ini dapat memicu
terjadinya perasaan malu atau rendah diri.
2. Pengaruh teman sebaya
Kelompok teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar
terhadap kehidupan seorang remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya
mempunyai peranan yang besar dalam mendorong terbentuknya berbagai
keterampilan sosial. Bagi remaja, rumah adalah landasan dasar sedangkan dunianya
adalah sekolah. Pada fase perkembangan remaja, anak tidak saja mengagumi
orangtuanya, tetapi juga mengagumi figur-figur di luar lingkungan rumah, seperti
teman sebaya, guru, orangtua temanya, olahragawan, dan lainnya.
Dengan demikian, bagi remaja hubungan yang terpenting bagi diri mereka
selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan seminatnya. Remaja mencoba
untuk bersikap independen dari keluarganya akibat peran teman sebayanya. Di lain
pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga dapat memicu timbulnya perilaku
antisosial, seperti mencuri, melanggar hak orang lain, serta membolos, dan lainnya.
3. Perilaku berisiko tinggi
Remaja kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai bentuk
dari identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah
menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut,
seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial
(mencuri, berkelahi, atau bolos) dan 50% remaja tersebut juga menunjukkan adanya
perilaku berisiko tinggi lainnya seperti mengemudi dalam keadaan mabuk,
melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi, dan perilaku criminal yang bersifat
minor. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 50% remaja pernah
menggunakan marijuana, 65% remaja merokok, dan 82% pernah mencoba
menggunakan alkohol.
Dengan melakukan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka
merasa lebih dapat diterima, menjadi pusat perhatian oleh kelompok sebayanya,
dan mengatakan bahwa melakukan perilaku berisiko tinggi merupakan kondisi
yang mendatangkan rasa kenikmatan (fun). Walaupun demikian, sebagian remaja
juga menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang berisiko sebenarnya
merupakan cara mereka untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dalam diri
mereka atau mengurangi rasa ketegangan. Dalam beberapa kasus perilaku berisiko
tinggi ini berlanjut hingga individu mencapai usia dewasa.
4. Kegagalan pembentukan identitas diri
Menurut J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang
besar menuju cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa
depan (future oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di
bidang tulisan, seni, musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori
perkembangan psikososialnya menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja
adalah membentuk identitas diri yang mantap yang didefinisikan sebagai kesadaran
akan diri sendiri serta tujuan hidup yang lebih terarah. Mereka mulai belajar dan
menyerap semua masalah yang ada dalam lingkungannya dan mulai menentukan
pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman, minat, atau pun sekolah. Di lain
pihak, kondisi ini justru seringkali memicu perseteruan dengan orangtua atau
lingkungan yang tidak mengerti makna perkembangan di masa remaja dan tetap
merasa bahwa mereka belum mampu serta memperlakukan mereka seperti anak
yang lebih kecil.
Secara perlahan, remaja mulai mencampurkan nilai-nilai moral yang
beragam yang berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai moral yang mereka anut,
dengan demikian terbentuklah superego yang khas yang merupakan ciri khas bagi
remaja tersebut sehingga terjawab pertanyaan siapakah aku? dan kemanakah tujuan
hidup saya?
Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses identitas diri ini maka terbentuk
kondisi kebingungan peran (role confusion). Role confusion ini sering dinyatakan
dalam bentuk negativisme seperti, menentang dan perasaan tidak percaya akan
kemampuan diri sendiri. Negativisme ini merupakan suatu cara untuk
mengekspresikan kemarahan akibat perasaan diri yang tidak adekuat akibat dari
gangguan dalam proses pembentukan identitas diri di masa remaja ini.
5. Gangguan perkembangan moral
Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban
yang diterima secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima
bersama tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk
memilih apa yang sesuai berdasarkan hati nuraninya. Dalam pembentukan
moralitasnya, remaja mengambil nilai etika dari orangtua dan agama dalam upaya
mengendalikan perilakunya. Selain itu, mereka juga mengambil nilai apa yang
terbaik bagi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi orangtua
untuk memberi suri teladan yang baik dan bukan hanya menuntut remaja
berperilaku baik, tetapi orangtua sendiri tidak berbuat demikian.
Secara moral, seseorang wajib menuruti standar moral yang ada namun
sebatas bila hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat manusiawi, serta
berlandaskan hak asasi manusia. Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki
usia dewasa, terbentuklah suatu konsep moralitas yang mantap dalam diri remaja.
Jika pembentukan ini terganggu maka remaja dapat menunjukkan berbagai pola
perilaku antisosial dan perilaku menentang yang tentunya mengganggu interaksi
remaja tersebut dengan lingkungannya, serta dapat memicu berbagai konflik.
6. Stres di masa remaja
Banyak hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam
masa remaja. Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi
dalam dirinya maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan
usianya. Di pihak lain, mereka juga berhadapan dengan berbagai tantangan yang
berkaitan dengan pubertas, perubahan peran sosial, dan lingkungan dalam usaha
untuk mencapai kemandirian.
Tantangan ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan masalah perilaku
dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam kehidupan remaja jika mereka
tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.
Pencegahan
Salah satu usaha pencegahan agar permasalahan remaja tidak menjadi
gangguan atau penyimpangan pada remaja adalah usaha kita untuk dapat
melakukan pengenalan awal atau deteksi dini. Beberapa instrumen skreening sudah
banyak dikembangkan untuk melakukan deteksi dini terhadap penyimpangan
masalah psikososial remaja diantaranya adalah The Child Behavior
Checklist (CBCL), Pediatric Symptom Checklist (PSC), the Strengths and
Difficulties Questionnaire (SDQ).
Pediatric symptom checklist adalah alat untuk mendeteksi secara dini
kelainan psikososial untuk mengenali adanya masalah emosional dan perilaku,
didalamnya berisi beberapa pertanyaan tentang kondisi-kondisi perilaku anak yang
dikelompokkan dalam 3 masalah yaitu atensi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Terdapat 2 versi, yaitu PSC-17 yang diisi oleh orang tua untuk anak usia 4-16 tahun
dan PSC-35 yang diisi sendiri oleh remaja (Youth-PSC) untuk remaja usia > 11
tahun.
Remaja cenderung energetik, selalu ingin tahu, emosi yang tidak stabil,
cenderung berontak dan mengukur segalanya dengan ukurannya sendiri dengan
cara berfikir yang tidak logis. Kadang remaja melakukan hal-hal diluar norma untuk
mendapatkan pengakuan tentang keberadaan dirinya dimasyarakat, salah satunya
adalah melakukan tindakan penyalahgunaan obat/zat. Ditinjau dari aspek sosial,
masalah ini bukan hanya berakibat negatif terhadap diri penyandang masalah saja,
melainkan membawa dampak juga terhadap keluarga, lingkungan sosial,
lingkungan masyarakatnya, bahkan dapat mengancam dan membahayakan masa
depan bangsa dan negara.
Beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan penyalahgunaan obat adalah
sebagai berikut:
1. Pengertian
Ansietas adalah perasaan was-was, kuatir, atau tidak nyaman seakan-akan
terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman
1. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna; suatu keadaan dimana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan (NANDA, 2005).
b. Tindakan Keperawatan
SP1 Klien: Assesmen ketidakberdayaan dan latihan berpikir positif
1) Bina hubungan saling percaya. Suprax125
a. Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b. Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian
ketidakberdayaan agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian ketidakberdayaan
3) Bantu klien mengenal ketidakberdayaan:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab ketidakberdayaan
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat ketidakberdayaan
d) Bantu Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan
identifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada
dalam kemampuannya untuk mengontrol
e) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya
f) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien tanpa
memintanya untuk menyimpulkan
g) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan
melalui interupsi atau subtitusi
h) Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif
i) Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan kesimpulan yang dibuat
klien
j) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan
pendapatnya yang tidak rasional
4) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)
1. Pengertian
Keputusaasan merupakan perasaan seorang individu yang melihat
keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan dalam menyelesaikan
masalahnya.
1. Pengertian
Citra tubuh merupakan komponen dari konsep diri yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Citra tubuh adalah kumpulan
dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya,
termaksud persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran,
fungsi, penampilan dan potensi. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak
puas terhadap perubahan bentuk, struktur dan fungsi tubuh karena tidak sesuai
dengan yang diinginkan.
a. Tujuan
1) Klien dapat mengidentifikasi citra tubuhnya
2) Klien dapat mengidentifikasi potensi (aspek positif) dirinya
3) Klien dapat mengetahui cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh
4) Klien dapat melakukan cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh
5) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa terganggu
b. Tindakan keperawatan
SP2 Klien: Evaluasi citra tubuh & latihan peningkatan citra tubuh
dan sosialisasi
1) Pertahankan rasa percaya klien
a. Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b. Asesmen ulang citra tubuh dan hasil latihan peningkatan citra tubuh
2) Membuat kontrak ulang: latihan peningkatan citra tubuh
3) Motivasi klien untuk melakukan aktifitas yang mengarah pada
pembentukan tubuh yang ideal
4)Ajarkan klien meningkatkan citra tubuh dengan cara :
a) Gunakan protese, wig, kosmetik atau yang lainnya sesegera
mungkin, gunakan pakaian yang baru (jika diperlukan)
b) Motivasi klien untuk melihat bagian yang hilang secara bertahap.
5) Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara :
a. Susun jadual kegiatan sehari-hari
b. Dorong melakukan aktifitas sehari-hari dan terlibat dalam aktifitas
dalam keluarga dan sosial
c. Dorong untuk mengunjungi teman atau orang lain yang
berarti/mempunyai peran penting baginya.
d. Beri pujian terhadap keberhasilan klien melakukan interaksi
4. Intervensi Generalis pada Keluarga
a. Tujuan:
1. Pengertian
Harga diri rendah situasional adalah evaluasi diri negatif yang berkembang
sebagai respons terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri
seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif (NANDA,
2005).
b. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan harga diri rendah : penyebab, proses terjadinya
masalah, tanda dan gejala dan akibat
2) Membantu klien mengembangkan pola pikir positif
3) Membantu mengembangkan kembali harga diri positif melalui
melalui kegiatan positif
SP1 Klien: Asesmen harga diri rendah dan latihan melakukan kegiatan
positif:
1) Bina hubungan saling percaya
c) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien sesuai
nama panggilan yang disukai
d) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian ansietas agar proses
penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan pengendalian
ansietas
3) Bantu klien mengenal harga diri rendah:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab harga diri rendah
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat harga diri rendah
d) Bantu klien dalam menggambarkan dengan jelas keadaan evaluasi diri yang
positif yang terdahulu
4) Bantu klien mengidentifikasi strategi pemecahan yang lalu, kekuatan,
keterbatasan serta potensi yang dimiliki
5) Jelaskan pada klien hubungan antara harga diri dan kemampuan pemecahan
masalah yang efektif
6) Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
7) Latih satu kemampuan positif yang dimiliki
8) Latih kemampuan positif yang lain
9)Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna
untuk menumbuhkan harga diri positif
b. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan kondisi klien: keputusaan, penyebab, proses
terjadi, tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat klien dengan harga diri rendah
3) Melatih keluarga melakukan follow up
1. Pengertian
Gangguan yang terjadi setelah kematian orang terdekat, ketika pengalaman
distress yang menyertai kehilangan gagal memenuhi harapan normatif dan
bermanifestasi gangguan fungsional (NANDA, 2011).
b. Tindakan Keperawatan
1) Peningkatan koping: membantu klien beradaptasi dengan persepsi
stresor, perubahan, atau ancaman perubahan, atau ancaman yang
mengganggu pemenuhan kebutuhan hidup dan peran.
2) Promosi integtitas keluarga: meningkatkan ikatan dan kesatuan
keluarga
3) Dukungan keluarga: meningkatkan nilai, minat, dan tujuan keluarga
4) Fasilitasi proses duka cita: membantu mengatasi kehilangan yang
berarti dengan memfasilitasi klien untuk mengungkapkan
perasaannya
5) Promosi daya tahan: membantu klien dalam mengembangkan,
menggunakan, dan memperkuat faktor protektif yang dapat
digunakan dalam menghadapi stresor lingkungan dan sosial
6) Peningkatan peran: membantu klien dan orang terdekat atau
keluarga untuk memperbaiki hubungan dengan mengklarifikasi dan
menambahkan perilaku peran tertentu
7) Peningkatan kesadaran diri: membantu klien menggali dan
memahami pikiran, perasaan, motivasi, dan perilakunya.
SP1 Klien: Asesmen proses berduka dan peningkatan koping:
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: mengatasi duka cita disfungsional dan
meningkatkan koping serta performa peran
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan untuk
meningkatkan koping
3) Bantu klien mengenal proses berduka dan koping efektif:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
b) Bantu klien mengenal penyebab berduka disfungsional yang
dirasakannya
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat proses berduka disfungsional
yang berkepanjangan
d) Bantu klien dalam menggambarkan dengan jelas keadaan evaluasi
diri yang positif yang terdahulu
4) Bantu klien mengidentifikasi strategi pemecahan yang lalu, kekuatan,
keterbatasan, potensi yang dimiliki
5) Jelaskan pada klien hubungan antara proses berduka dan kemampuan
koping yang efektif agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan performa peran
SP 2 Klien : Evaluasi proses berduka dan koping, peningkatan daya tahan,
peran, dan kesadaran diri
1) Pertahankan rasa percaya klien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang proses berduka dan koping
2) Membuat kontrak ulang: memperkuat faktor protektif untuk menghadapi
stresor dari berduka
3) Bantu klien mengidentifikasi faktor protektif serta dukungan keluarga atau
orang terdekat yang dimiliki
4) Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
5) Bantu klien menggali dan memahami pikiran, perasaan, motivasi, dan
perilakunya
6) Bantu klien meningkatkan motivasi dan kemampuan melakukan kegiatan
positif yang dimiliki
7) Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna untuk
meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup serta performa
peran
8) Evaluasi efektifitas melakukan kegiatan positif untuk meningkatkan daya
tahan, peran, dan kesadaran diri serta koping efektif
VII. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN KOPING INDIVIDU TIDAK
EFEKTIF: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan obat-
obatan terlarang (NAPZA)
Data fisik yang mungkin ditemukan pada klien dengan penggunaaan NAPZA pada saat
pengkajian adalah sebagai berikut:
Nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya selera makan, konstipasi, diare, perilaku sek
melanggar norma, kemunduran dalam kebersihan diri, potensial komplikasi, jantung,
hati, infeksi pada paru-paru, dsb.
Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk teratur dalam pola
hidupnya.
1 Emosional
Perasaan gelisah (takut kalau diketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak
berdaya. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk
mengontrol dan mengendalikan diri sendiri.
2 Sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien biasanya adalah teman
pengguna zat, anggota keluarga lain pengguna zat, lingkungan sekolah atau
kampus yang digunakan oleh para pengedar.
3 Intelektual
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adikitif, perasaan ragu untuk
berhenti, aktivitas sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan
terhenti. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk konsentrasi
dan meningkatkan daya pikir ke hal-hal yang posistif.
4 Spiritual
Kegiatan keagamaan tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan karena
perubahan perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain). Sasaran
yang ingin dicapai adalah mampu meningkatkan ibadah , pelaksanaan nilai-
nilai kebaikan.
5 Keluarga
Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan
pengurasan secara ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif,
dukungan moril terhadap klien tidak terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapai
adalah keluarga mampu merawat klien yang pada akhirnya mencapai tujuan
utama yaitu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relaps).
Intervensi keperawatan
Dx I : Koping individu tidak efektif sehubungan dengan tidak mampu
mengatasi keinginan menggunakan zat adiktif
Tujuan : klien mampu untuk mengatasi keinginan menggunakan zat adiktif.
Intervensi individu:
1. Identifikasi situasi yang menyebabkan timbulnya sugesti
2. Identifikasi perilaku ketika sugesti datang
3. Diskusikan cara mengalihkan pikiran dari sugesti yang lebih positif
4. Bantu klien mengekspresikan perasaannya
Intervensi Kelompok:
1. Diskusikan pengalaman mengucapkan kata-kata yang mengandung semangat
menghindari zat adiktif.
2. Motivasi keluarga untuk membantu klien mampu jujur bila sugestinya datang.
3. Diskusikan upaya keluarga membantu klien mengurangi sugesti.
4. Bantu suasana mendukung keakraban di rumah
BAB III
Kesimpulan dan Saran
Masa remaja merupakan masa dimana banyak terjadi perubahan pada diri remaja.
Dimana perubahan tersebut dapat menyebabkan timbulnya masalah pada diri remaja
tersebut. Oleh sebab itu banyak masalah psikososial yang dihadapi oleh remaja saat ini,
seperti: perubahan psikoseksual, pengaruh teman sebaya, perilaku berisiko tinggi,
kegagalan pembentukan identitas diri, gangguan perkembangan moral, dan stres di
masa remaja. Ini merupakan masalah moral yang saat ini banyak di hadapi remaja. Dari
masalah ini biasanya diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam masalah ini
seperti ansietas, ketidakberdayaan, harga diri rendah, koping diri tidak efektif dan lain-
lain. Untuk itu dapat dilakukan beberapa intervensi terhadap masalah ini seperti:
diskusikan pengalaman mengucapkan kata-kata yang mengandung semangat , motivasi
keluarga untuk membantu klien mampu jujur bila sugestinya datang, diskusikan upaya
keluarga membantu klien mengurangi sugesti, dan bantu suasana mendukung
keakraban di rumah.