Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH PSIKOSOSIAL

PADA REMAJA

Tugas ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah


Ilmu Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :
Septiani Puspa Dewi 220112160015
Dini Aprilia 220112160089
Fiska Oktori 220112160097
Ida Rosida 220112160103
Rias Ganjar Pratiwi 220112160119
Tantri Novianti 220112160131

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa remaja sering disebut sebagai masa transisi, sebab pada masa ini
seseorang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja ini
berlangsung antara usia 10 – 19 tahun. Masa remaja terdiri dari, masa remaja awal
(10 – 12 tahun), masa remaja pertengahan (13 – 15 tahun) dan masa masa remaja
akhir (16 – 19 tahun) (Sarwono, 2015). Pada masa remaja ini terjadi banyak
perubahan baik biologis, psikologis maupun sosial (Kusumawati, 2010).
Perubahan yang terjadi pada masa remaja ini seringkali memicu terjadinya
konflik antara remaja dengan dirinya sendiri (konflik internal) maupun konflik
dengan lingkungan sekitarnya (konflik eksternal). Apabila konflik ini tidak
diselesaikan dengan baik maka akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan remaja tersebut di masa yang akan datang, terutama terhadap
pematangan karakternya dan tidak jarang dapat memicu terjadinya gangguan
mental.
Menurut Erik Erikson, dalam tahap perkembangan individu selalu
mengalami krisis. Krisis yang dialami bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik
balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensial yang mempunyai kutub
positif dan kutub negatif. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, maka akan
semakin sehat perkembangannya. Keberhasilan individu dalam menjalankan tugas-
tugas perkembangannya sangat menentukan perkembangan pada fase berikutnya.
Perkembangan psikologis pada masa remaja yang utama yaitu pembentukan
identitas, pembentukan identitas ini diharapkan tercapai pada akhir masa remaja.
Selama masa remaja, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena ia akan
berusaha mencari identitas dan mendefinisikan “siapakah” saya saat ini dan akan
menjadi “siapakah” atau menjadi “apakah” saya pada masa yang akan datang.
Perkembangan identitas ini juga akan memberikan landasan bagi perkembangan
psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.
Selama masa ini, remaja akan memiliki perasaan tentang identitasnya
sendiri. remaja akan merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang. Remaja sangat
peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya dan menjadi mudah
tersinggung serta merasa malu. Selama pencarian identitas ini tingkah laku remaja
tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi.
Pertumbuhan identitas berkembang seiring dengan bertambahnya
pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya, baik pendidikan dari keluarga,
sekolah maupun dari masyarakat dimana remaja itu tinggal. Lingkungan sangat
berpengaruh terhadap proses pembentukan identitas diri remaja.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui masalah psikososial yang terjadi pada masa remaja dan
mengetahui asuhan keperawatan psikososial pada remaja
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep remaja
2. Mengetahui asuhan keperawatan dengan masalah psikososial pada masa
remaja
1.3 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan studi literatur dari beberapa buku dan
media internet.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari tiga bab, setiap bab mempunyai pokok
bahasan masing-masing yang saling berkaitan, dengan susunan sebagai
berikut :
BAB I Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode penulisan
dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Teori


Mencakup konsep psikososial pada remaja meliputi pengertian, tahap
perkembanan remaja, karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja,
cirri-ciri remaja, masalah pada remaja dan asuhan keperawatan psikososial
pada masa remaja.
BAB III Penutup
Berisi tentang kesimpulan dari serangkaian makalah dan saran-saran.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Psikososial Pada Remaja
2.1.1 Pengertian
Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
artinya tumbuh kearah kematangan. Kematangan bukan berarti kematangan fisik
saja, tetapi terutama kematangan social-psikologis. Menurut World Health
Organization (WHO) definisi remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual,
individu.
2. Individu mengalami perkembangan psikososial dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relative lebih mandiri.
Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental/emosionalnya.
Seseorang yang sehat mentalnya akan bereaksi dengan cara yang positif dalam
banyak situasi. Berbeda dengan orang yang tidak stabil mentalnya, ia akan bereaksi
negatif terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup.

2.1.2 Tahap Perkembangan Remaja


Menurut Erikson, perkembangan kepribadian seseorang berasal dari
pengalaman sosial sepanjang hidupnya sehingga disebut sebagai perkembangan
psikososial. Tahap perkembangan psikososial pada masa remaja berusia 12-19
tahun, pada tahap ini remaja mengalami identitas versus rasa bingung yang artinya
selama masa remaja anak memperjuangkan rasa identitas pribadinya dan mulai
mengeksplorasinya satu persatu. Disini anak akan mempertanyakan “siapakah aku
yang sebenarnya?” dan “dapat menjadi apakah aku?”. Remaja yang mendapatkan
dorongan kuat dan positif akan membangun karakter diri yang kuat dan memiliki
keyakinan bahwa mereka bisa. Rasa bingung hanya akan terjadi bila anak tidak
dibimbing untuk memahami apa yang tidak mereka pahami.
Tahap perkembangan psikososial remaja dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Perkembangan psikososial remaja awal (10-14 tahun)
Perkembangan psikososial awal diantaranya:
1) Cemas terhadap penampilan badan/fisik
2) Perubahan hormonal
3) Menyatakan kebebasan dan merasa sebagai seorang individu, tidak hanya
sebagai anggota keluarga
4) Perilaku memberontak dan melawan
5) Kawan menjadi lebih penting
6) Perasaan memiliki terhadap teman sebaya. Anak laki-laki membentuk gang,
kelompok, anak perempuan mempunyai sahabat
7) Sangat menuntut keadilan tapi cenderung mmelihat sesuatu sebagai hitam
putih serta dari sisi pandang mereka sendiri.
2. Perkembangan psikososial remaja pertengahan (15-16 tahun)
Perkembangan psikososial pertengahan diantaranya:
1) Lebih mampu berkompromi
2) Belajar berpikir secara independen dan membuat keputusan sendiri
3) Terus menerus bereksperimen untuk mendapatkan citra diri yang dirasakan
nyaman bagi mereka
4) Merasa perlu mengumpulkan pengalaman baru, mengujinya walaupun
berisiko
5) Tidak lagi berfokus pada diri sendiri
6) Membangun norma/nilai dan mengembangkan realitas
7) Membutuhkan lebih banyak teman dan rasa setia kawan
8) Mulai membina hubungan lawan jenis
9) Intelektual lebih berkembang dan ingin tahu banyak hal berfikir abstrak
10) Berkembangnya keterampilan intelektual khusus
11) Mengembangkan minat yang besar terhadap bidang seni dan olah raga
12) Senang berpetualang, ingin bepergian sendiri
3. Perkembangan psikososial remaja awal (17-19 tahun)
Perkembangan psikososial akhir diantaranya:
1) ideal
2) terlibat dalam kehidupan, pekerjaan dan hubungan diluar keluarga
3) haus belajar untuk mencapai kemandirian baik dalam bidang financial
maupun emosional
4) lebih mampu membuat hubungan yang stabil dengan lawan jenis
5) merasa sebagai orang dewasa yang setara dengan anggota keluarga lainnya
6) hampir siap untuk menjadi orang dewasa yang mandiri

2.1.3 Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja

2.1.4 Ciri-Ciri Remaja


1. Hubungan dengan Teman Sebaya
Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220)
mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai pola
hubungan timbal balik melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar
untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan
untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang
sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang
penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja.
Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah
kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih sayang (ikatan yang aman),
teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan
hubungan seksual.
Pada saat remaja, seseorang memperoleh kebebasan yang lebih besar dan
mulai membangun identitasnya sendiri. Secara emosional, mereka menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan kelompoknya dibandingkan keluarga. Krisis
identitas ini membuat remaja mengalami rasa malu, takut, dan gelisah yang
menimbulkan gangguan fungsi di rumah dan di sekolah (Potter&Perry, 2010).
Namun, dalam beberapa hal, remaja mengalami ketegangan baik akibat tekanan
kelompoknya, maupun perubahan psikososial. Sehingga remaja cenderung
melakukan tindakan yang dapat mengurangi ketegangan tersebut, misalnya
merokok dan memakai obat-obatan.
Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut Santrock
(2003: 206) yaitu :
a) Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai menanyakan nama, usia,
dan aktivitas favorit.
b) Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian.
c) Tingkah laku yang prososial seperti jujur, murah hati dan mau bekerja sama.
d) Menghargai diri sendiri dan orang lain.
e) Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan pertolongan, nasihat,
duduk berdekatan, berada dalam kelompok yang sama dan menguatkan satu
sama lain dengan memberikan pujian.
Ada pula beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya. Menurut
Hurlock (2000: 307) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
a) Akan merasa kesepian karena kebutuhan social mereka tidak terpenuhi.
b) Anak merasa tidak bahagia dan tidak aman.
c) Anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, yang dapat
menimbulkan penyimpangan kepribadian.
d) Kurang mmemiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk menjalani
proses sosialisasi.
e) Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh kegembiraan yang
dimiliki teman sebaya mereka.
f) Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki kelompok dan ini akan
meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka semakin memperkecil
peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial.
g) Akan hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi sosial terhadap mereka, dan
ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka.
h) Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan, dengan harapan akan
meningkatkan penerimaan sosial mereka.

2. Hubungan dengan Orang Tua Penuh Konflik


Hubungan dengan orang tua penuh dengan konflik ketika memasuki masa
remaja awal. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan
idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan
identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang
dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja. Collins (dalam Santrock, 2002: 42)
menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja mereka berubah dari
seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan,
dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung
berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada
remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari uraian tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang
terjadi dengan orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan
oleh Santrock, (2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan dasar bagi
pemecahan konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3)
Mencoba melakukan corah pendapat (brainstorming). 4) Mencoba bersepakat
tentang satu atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6)
Menetapkan waktu bagi suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah
dicapai.

3. Keingintahuan tentang seks yang tinggi


Seksualitas mengalami perubahan sejalan dengan individu yang terus
tumbuh dan berkembang (Potter&Perry,2010:30). Setiap tahap perkembangan
memberikan perubahan pada fungsi dan peran seksual dalam hubungan. Masa
remaja merupakan masa di mana individu menggali orientasi seksual primer
mereka lebih banyak daripada masa perkembangan manusia lainnya.
Remaja menghadapi banyak keputusan dan memerlukan informasi yang
akurat mengenai topik-topik seperti perubahan tubuh, aktivitas seksual, respons
emosi terhadap hubungan intim seksual, PMS, kontrasepsi, dan kehamilan
(Perry&Potter, 2010:31). Informasi faktual ini dapat datang dari rumah, sekolah,
buku atau pun teman sebaya. Bahkan informasi seperti ini pun,remaja mungkin
tidak mengintergrasikan penhgetahuan ini ke dalam gaya hidupnya. Mereka
mempunyai orientasi saat ini dan rasa tidak rentan. Karakteristik ini dapat
menyebabkan mereka percaya bahwa kehamilan atau penyakit tidak akan terjadi
pada mereka, dan karenanya tindak kewaspadaan tidak diperlukan. Penyuluhan
kesehatan harus diberikan dalam konteks perkembangan ini (Potter&Perry,
2005:535).
4. Mudah stres
Menurut Potter&Perry (2005:476), Selye (1976) berpendapat bahwa stres
adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu
untuk berespons atau melakukan tindakan. Stres dapat menyebabkan perasaan
negatif. Umumnya, seseorang dapat mengadaptasi stres jangka panjang maupun
jangka pendek sampai stres tersebut berlalu. Namun, jika adaptasi itu gagal
dilakukan, stres dapat memicu berbagai penyakit.
Remaja juga sangat rentan dengan stres. Sebab, di masa ini seseorang akan
memiliki keinginan serta kegiatan yang sangat banyak. Namun, apabila keinginan
dan kegiatan itu tidak berjalan atau tidak terwujudkan sebagaimana mestinya,
remaja cenderung menjadikan hal tersebut sebagai beban pikiran mereka. Sehingga
remaja mudah mengalami stres. Untuk mengobati itu, remaja menghibur diri atau
meminimalisir stres mereka dengan berkumpul atau bersenang-senang dengan
teman sebayanya.

2.1.5 Masalah Remaja


Masalah aktual kesehatan mental remaja saat ini:

1. Perubahan psikoseksual
Produksi hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi fungsi
otak, emosi, dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual
yang merupakan manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga
terjadi modifikasi dari dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan
terhadap tokoh-tokoh olah raga, musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan
lainnya. Remaja sangat sensitif terhadap pandangan teman sebaya sehingga ia
seringkali membandingkan dirinya dengan remaja lain yang sebaya, bila dirinya
secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya maka hal ini dapat memicu
terjadinya perasaan malu atau rendah diri.
2. Pengaruh teman sebaya
Kelompok teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar
terhadap kehidupan seorang remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya
mempunyai peranan yang besar dalam mendorong terbentuknya berbagai
keterampilan sosial. Bagi remaja, rumah adalah landasan dasar sedangkan dunianya
adalah sekolah. Pada fase perkembangan remaja, anak tidak saja mengagumi
orangtuanya, tetapi juga mengagumi figur-figur di luar lingkungan rumah, seperti
teman sebaya, guru, orangtua temanya, olahragawan, dan lainnya.
Dengan demikian, bagi remaja hubungan yang terpenting bagi diri mereka
selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan seminatnya. Remaja mencoba
untuk bersikap independen dari keluarganya akibat peran teman sebayanya. Di lain
pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga dapat memicu timbulnya perilaku
antisosial, seperti mencuri, melanggar hak orang lain, serta membolos, dan lainnya.
3. Perilaku berisiko tinggi
Remaja kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai bentuk
dari identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah
menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut,
seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial
(mencuri, berkelahi, atau bolos) dan 50% remaja tersebut juga menunjukkan adanya
perilaku berisiko tinggi lainnya seperti mengemudi dalam keadaan mabuk,
melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi, dan perilaku criminal yang bersifat
minor. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 50% remaja pernah
menggunakan marijuana, 65% remaja merokok, dan 82% pernah mencoba
menggunakan alkohol.
Dengan melakukan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka
merasa lebih dapat diterima, menjadi pusat perhatian oleh kelompok sebayanya,
dan mengatakan bahwa melakukan perilaku berisiko tinggi merupakan kondisi
yang mendatangkan rasa kenikmatan (fun). Walaupun demikian, sebagian remaja
juga menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang berisiko sebenarnya
merupakan cara mereka untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dalam diri
mereka atau mengurangi rasa ketegangan. Dalam beberapa kasus perilaku berisiko
tinggi ini berlanjut hingga individu mencapai usia dewasa.
4. Kegagalan pembentukan identitas diri
Menurut J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang
besar menuju cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa
depan (future oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di
bidang tulisan, seni, musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori
perkembangan psikososialnya menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja
adalah membentuk identitas diri yang mantap yang didefinisikan sebagai kesadaran
akan diri sendiri serta tujuan hidup yang lebih terarah. Mereka mulai belajar dan
menyerap semua masalah yang ada dalam lingkungannya dan mulai menentukan
pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman, minat, atau pun sekolah. Di lain
pihak, kondisi ini justru seringkali memicu perseteruan dengan orangtua atau
lingkungan yang tidak mengerti makna perkembangan di masa remaja dan tetap
merasa bahwa mereka belum mampu serta memperlakukan mereka seperti anak
yang lebih kecil.
Secara perlahan, remaja mulai mencampurkan nilai-nilai moral yang
beragam yang berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai moral yang mereka anut,
dengan demikian terbentuklah superego yang khas yang merupakan ciri khas bagi
remaja tersebut sehingga terjawab pertanyaan siapakah aku? dan kemanakah tujuan
hidup saya?
Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses identitas diri ini maka terbentuk
kondisi kebingungan peran (role confusion). Role confusion ini sering dinyatakan
dalam bentuk negativisme seperti, menentang dan perasaan tidak percaya akan
kemampuan diri sendiri. Negativisme ini merupakan suatu cara untuk
mengekspresikan kemarahan akibat perasaan diri yang tidak adekuat akibat dari
gangguan dalam proses pembentukan identitas diri di masa remaja ini.
5. Gangguan perkembangan moral
Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban
yang diterima secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima
bersama tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk
memilih apa yang sesuai berdasarkan hati nuraninya. Dalam pembentukan
moralitasnya, remaja mengambil nilai etika dari orangtua dan agama dalam upaya
mengendalikan perilakunya. Selain itu, mereka juga mengambil nilai apa yang
terbaik bagi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi orangtua
untuk memberi suri teladan yang baik dan bukan hanya menuntut remaja
berperilaku baik, tetapi orangtua sendiri tidak berbuat demikian.
Secara moral, seseorang wajib menuruti standar moral yang ada namun
sebatas bila hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat manusiawi, serta
berlandaskan hak asasi manusia. Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki
usia dewasa, terbentuklah suatu konsep moralitas yang mantap dalam diri remaja.
Jika pembentukan ini terganggu maka remaja dapat menunjukkan berbagai pola
perilaku antisosial dan perilaku menentang yang tentunya mengganggu interaksi
remaja tersebut dengan lingkungannya, serta dapat memicu berbagai konflik.
6. Stres di masa remaja
Banyak hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam
masa remaja. Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi
dalam dirinya maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan
usianya. Di pihak lain, mereka juga berhadapan dengan berbagai tantangan yang
berkaitan dengan pubertas, perubahan peran sosial, dan lingkungan dalam usaha
untuk mencapai kemandirian.
Tantangan ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan masalah perilaku
dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam kehidupan remaja jika mereka
tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.
Pencegahan
Salah satu usaha pencegahan agar permasalahan remaja tidak menjadi
gangguan atau penyimpangan pada remaja adalah usaha kita untuk dapat
melakukan pengenalan awal atau deteksi dini. Beberapa instrumen skreening sudah
banyak dikembangkan untuk melakukan deteksi dini terhadap penyimpangan
masalah psikososial remaja diantaranya adalah The Child Behavior
Checklist (CBCL), Pediatric Symptom Checklist (PSC), the Strengths and
Difficulties Questionnaire (SDQ).
Pediatric symptom checklist adalah alat untuk mendeteksi secara dini
kelainan psikososial untuk mengenali adanya masalah emosional dan perilaku,
didalamnya berisi beberapa pertanyaan tentang kondisi-kondisi perilaku anak yang
dikelompokkan dalam 3 masalah yaitu atensi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Terdapat 2 versi, yaitu PSC-17 yang diisi oleh orang tua untuk anak usia 4-16 tahun
dan PSC-35 yang diisi sendiri oleh remaja (Youth-PSC) untuk remaja usia > 11
tahun.
Remaja cenderung energetik, selalu ingin tahu, emosi yang tidak stabil,
cenderung berontak dan mengukur segalanya dengan ukurannya sendiri dengan
cara berfikir yang tidak logis. Kadang remaja melakukan hal-hal diluar norma untuk
mendapatkan pengakuan tentang keberadaan dirinya dimasyarakat, salah satunya
adalah melakukan tindakan penyalahgunaan obat/zat. Ditinjau dari aspek sosial,
masalah ini bukan hanya berakibat negatif terhadap diri penyandang masalah saja,
melainkan membawa dampak juga terhadap keluarga, lingkungan sosial,
lingkungan masyarakatnya, bahkan dapat mengancam dan membahayakan masa
depan bangsa dan negara.
Beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan penyalahgunaan obat adalah
sebagai berikut:

 Penyalahgunaan zat atau bahan lainnya (NAPZA) yaitu penggunaan


zat/obat yang dapat menyebabkan ketergantungan dan efek non-terapeutik
atau non-medis pada individu sendiri sehingga menimbulkan masalah pada
kesehatan fisik/mental, atau kesejahteraan orang lain.
 NAPZA adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan/psikologi seseorang (pikiran,perasaan, perilaku) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.
 Intoksikasi obat adalah perubahan fungsi-fungsi fisiologis, psikologis,
emosi, ykecerdasan, dan lain-lain akibat penggunaan dosis obat yang
berlebihan.
 Adiksi obat adalah gangguan kronis yang ditandai dengan peningkatan
penggunaan obat meskipun terjadi kerusakan fisik, psikologis maupun
sosial pada pengguna.
 Ketergantungan psikologis adalah keinginan untuk mengkonsumsi obat
untuk memperoleh efek positif atau menghindari efek negatif akibat tidak
mengkonsumsinya.
 Ketergantungan fisik adalah adaptasi fisiologis terhadap obat yang ditandai
dengan timbulnya toleransi terhadap efek obat dan sindroma putus obat bila
dihentikan.
Tidak ada metode pencegahan yang sempurna, yang dapat diterapkan untuk
seluruh populasi. Populasi yang berbeda memerlukan tindakan pencegahan yang
berbeda pula. Pembagian metode pencegahan adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan universal, ditujukan untuk populasi umum baik untuk keluarga


maupun anak.
2. Pencegahan selektif, ditujukan bagi keluarga dan anak dengan risiko tinggi.
Risiko tersebut dapat berupa risiko demografis, lingkungan psiko-sosial dan
biologis.
3. Pencegahan terindikasi, ditujukan terhadap kasus yang mengalami berbagai
faktor risiko dalam suatu keluarga yang disfungsional.

2.2 STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN DIAGNOSA PSIKOSOSIAL

I. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN ANSIETAS

1. Pengertian
Ansietas adalah perasaan was-was, kuatir, atau tidak nyaman seakan-akan
terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman

2. Tanda dan gejala


Respons fisik:
a. Sering napas pendek
b. Nadi dan tekanan darah naik
c. Mulut kering
d. Anoreksia
e. Diare/konstipasi
f. Gelisah
g. Berkeringat
h. Tremor
i. Sakit kepala
j. Sulit tidur
Respons kognitif:
a. Lapang persepsi menyempit
b. Tidak mampu menerima informasi dari luar
c. Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya
Respons perilaku dan emosi:
a. Gerakan meremas tangan
b. Bicara berlebihan dan cepat
c. Perasaan tidak aman dan menangis

3. Intervensi Generalis Pada Klien


a. Tujuan:
 Klien mampu mengenal ansietas
 Klien mampu mengatasi ansietas melalui tehnik relaksasi
 Klien mampu memperagakan dan menggunakan tehnik relaksasi untuk
mengatasi ansietas
a. Tindakan keperawatan:
 Mendiskusikan ansietas: penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala, akibat
 Melatih teknik relaksasi fisik, pengendalian pikiran & emosi
SP1 Klien: Asesmen ansietas dan latihan relaksasi:
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian ansietas agar
proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian ansietas
3) Bantu klien mengenal ansietas:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab ansietas
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat ansietas
4) Latih teknik relaksasi:
a) Tarik napas dalam
b) Distraksi
SP2 Klien: Evaluasi ansietas, manfaat teknik relaksasi dan latihan
hipnotis diri sendiri (latihan 5 jari) dan kegiatan spiritual
1) Pertahankan rasa percaya klien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang ansietas dan kemampuan melakukan teknik
relaksasi
2) Membuat kontrak ulang: latihan pengendalian ansietas
3) Latihan hipnotis diri sendiri (lima jari) dan kegiatan spiritual

4. Intervensi Generalis pada Keluarga


a. Tujuan:
1) Keluarga mampu mengenal masalah ansietas pada anggota keluarganya
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami ansietas
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami ansietas.

b. Tindakan keperawatan pada keluarga


1) Mendiskusikan kondisi klien: ansietas, penyebab, proses terjadi,
tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat ansietas klien
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat:


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan ansietas klien dan cara
merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat ansietas klien
3) Bantu keluarga mengenal ansietas:
c) Menjelaskan ansietas, penyebab, proses terjadi, tanda dan gejala,
serta akibatnya
d) Menjelaskan cara merawat ansietas klien: tidak menambah
masalah (stres) dengan sikap positif, memotivasi cara relaksasi yg
telah dilatih perawat pada klien
e) Sertakan keluarga saat melatih teknik relaksasi pada klien dan
minta untuk memotivasi klien melakukannya
SP 2 keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara merawat
dan follow up
1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
4) Menyertakan keluarga saat melatih klien hipnotis diri sendiri (lima jari)
dan kegiatan spiritual
5) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi klien yang perlu dirujuk (lapang persepsi menyempit, tidak
mampu menerima informasi, gelisah, tidak dapat tidur) dan cara
merujuk klien

II. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKBERDAYAAN

1. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna; suatu keadaan dimana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan (NANDA, 2005).

2. Tanda dan Gejala


a. Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai
kemampuan mengendalikan atau mempengaruhi situasi.
b. Mengungkapkan tidak dapat menghasilkan sesuatu
c. Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustasi terhadap ketidakmampuan
untuk melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
d. Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran.
e. Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri
f. Menunjukkan perilaku ketidakmampuan untuk mencari informasi
tentang perawatan
g. Tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat diberikan
kesempatan
h. Enggan mengungkapkan perasaan sebenarnya
i. Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan
iritabilitas, ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah.
j. Gagal mempertahankan ide/pendapat yang berkaitan dengan orang lain
ketika mendapat perlawanan
k. Apatis dan pasif
l. Ekspresi muka murung
m. Bicara dan gerakan lambat
n. Tidur berlebihan
o. Nafsu makan tidak ada atau berlebihan
p. Menghindari orang lain

3. Intervensi Generalis Pada Klien


a. Tujuan Umum
1) Klien mampu membina hubungan saling percaya
2) Klien mampu mengenali dan mengekspresikan emosinya.
3) Klien mampu memodifikasi pola kognitif yang negatif
4) Klien mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan perawatannya sendiri.
5) Klien mampu termotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistis.

b. Tindakan Keperawatan
SP1 Klien: Assesmen ketidakberdayaan dan latihan berpikir positif
1) Bina hubungan saling percaya. Suprax125
a. Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b. Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian
ketidakberdayaan agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian ketidakberdayaan
3) Bantu klien mengenal ketidakberdayaan:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab ketidakberdayaan
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat ketidakberdayaan
d) Bantu Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan
identifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada
dalam kemampuannya untuk mengontrol
e) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidak berdayaannya
f) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien tanpa
memintanya untuk menyimpulkan
g) Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan
melalui interupsi atau subtitusi
h) Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif
i) Evaluasi ketepatan persepsi, logika dan kesimpulan yang dibuat
klien
j) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan
pendapatnya yang tidak rasional
4) Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)

SP2 Klien: Evaluasi ketidakberdayaan, manfaat mengembangkan


harapan positif dan latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan
1) Pertahankan rasa percaya klien
a. Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b. Asesmen ulang ketidakberdayaan dan kemampuan
mengembangkan pikiran postif
2) Membuat kontrak ulang: latihan mengontrol perasaan
ketidakberdayaan
3) Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan melalui peningkatan
kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan klien
(Bantu klien mengidentifikasi area-area situasi kehidupan yang dapat
dikontrolnya. Dukung kekuatan – kekuatan diri yang dapat di
identifikasi oleh klien) misalnya klien masih mampu menjalankan
peran sebagai ibu meskipun sedang sakit.

4. Intervensi Generalis pada Keluarga


a. Tujuan:

1) Keluarga mampu mengenal masalah ketidakberdayaan pada anggota


keluarganya
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
ketidakberdayaan
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
ketidakberdayaan

b. Tindakan keperawatan pada keluarga


1) Mendiskusikan kondisi klien: ketidakberdayaan, penyebab,
proses terjadi, tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat ketidakberdayaan klien
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat:


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan ketidakberdayaan klien
dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat ketidakberdayaan klien
3) Bantu keluarga mengenal ketidakberdayaan:
a) Menjelaskan ketidakberdayaan, penyebab, proses terjadi, tanda
dan gejala, serta akibatnya
b) Menjelaskan cara merawat ketidakberdayaan klien: membantu
mengembangkan motivasi bahwa klien dapat mengendalikan
situasi dan memotivasi cara afirmasi positif yang telah dilatih
perawat pada klien
2) Sertakan keluarga saat melatih afirmasi positif

SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara latihan


mengontrol perasaan ketidakberdayaan dan follow up

1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,


menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
3) Menyertakan keluarga saat melatih klien latihan mengontrol perasaan
tidak berdaya
4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi klien yang perlu dirujuk (klien tidak mau terlibat dalam
perawatan diri) dan cara merujuk klien.
III. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN KEPUTUSASAAN

1. Pengertian
Keputusaasan merupakan perasaan seorang individu yang melihat
keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan dalam menyelesaikan
masalahnya.

2. Tanda dan Gejala


a. Ungkapan kliententang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa
hampa (”Saya tidak dapat melakukan sesuatu”)
b. Sering mengeluh dan nampak murung
c. Kurang bicara atau tidak mau berbicara sama sekali
d. Menunjukkan kesedihan, afek datar atau tumpul.
e. Menarik diri dari lingkungan
f. Kontak mata kurang
g. Mengangkat bahu tanda masa bodoh
h. Nampak selalu murung atau blue mood
i. Menurun atau tidak adanya selera makan
j. Peningkatan waktu tidur
k. Penurunan keterlibatan dalam perawatan
l. Bersikap pasif dalam menerima perawatan
m. Penurunan keterlibatan atau perhatian pada orang lain yang bermakna
n. Dapat merupakan lanjutan ansietas

3. Intervensi Generalis Pada Klien:


a. Tujuan:
1) Mampu mengenal masalah keputusasaannya
2) Mampu memberdayakan diri dalam aktivitas
3) Mampu menggunakan keluarga sebagai sumber daya
b. Tindakan Keperawatan
1) Diskusi tentang kejadian yang membuat putus asa,
perasaan/pikiran/perilaku yang berubah
2) Latihan berfikir positif melalui penemuan harapan dan makna hidup
3) Latihan melakukan aktivitas untuk menumbuhkan harapan dan makna
hidup.

SP 1 Klien : Assesmen keputusasaan dan latihan berfikir positif


melalui penemuan harapan dan makna hidup
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil
klien sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian perasaan
putis asa agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian perasaan putus asa
3) Bantu klien mengenal keputusasaan:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaan
sedih/ kesendirian/ keputusasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab putus asa
c) Diskusikan perbedaan antara perasaan dan pikiran klien
terhadap kondisinya dengan kondisi real kondisi klien
d) Bantu klien menyadari akibat putus asa
e) Dukung klien untuk mengungkapkan pengalaman yang
mendukung pikiran, perasaan dan perilaku positif
4) Latih restrukturisasi pikiran melalui latihan berpikir positif dengan
mengidentifikasi harapan dan penemuan makna hidup

SP 2 Klien : Evaluasi keputusaan, manfaat berfikir positif, dan latihan


melakukan aktivitas untuk menumbuhkan harapan dan makna hidup

1) Pertahankan rasa percaya klien


a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang keputusasaan dan kemampuan melakukan restrukturisasi
pikiran
2) Membuat kontrak ulang: cara mengatasi keputusaaan
3) Diskusikan aspek positif diri sendiri, keluarga, dan lingkungan
4) Diskusikan kemampuan positif diri sendiri
5) Latih satu kemampuan positif
6) Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna untuk
menumbuhkan harapan dan makna hidup

4. Intervensi Generalis Pada Keluarga


a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah keputusasaan pada anggota
keluarganya
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
keputusasaan
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
keputusasaan
b. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan kondisi klien: keputusaan, penyebab, proses terjadi,
tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat klien dengan ansietas
3) Melatih keluarga melakukan follow up
SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat:
1 Bina hubungan saling percaya
 Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
 Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan keputusasaan klien dan
cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2 Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara merawat
klien dengan keputusasaan
3 Bantu keluarga mengenal putus asa pada klien:
 Menjelaskan keputusasaan, penyebab, proses terjadi, tanda dan
gejala, serta akibatnya
 Menjelaskan cara merawat klien dengan putus asa: menumbuhkan
harapan positif melalui restrukturisasi pikiran melalui penemuan
harapan dan makna hidup serta melatih kemampuan positif
 Sertakan keluarga saat melatih restrukturisasi pikiran dan latihan
kemampuan positif
SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara merawat dan
follow up
 Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien
 Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
 Menyertakan keluarga saat melatih klien melatih kemampuan positif
 Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah follow up dan kondisi
klien yang perlu dirujuk (muncul ide bunuh diri atau perilaku pengabaian
diri) dan cara merujuk klien
IV. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN CITRA
TUBUH

1. Pengertian
Citra tubuh merupakan komponen dari konsep diri yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Citra tubuh adalah kumpulan
dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya,
termaksud persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran,
fungsi, penampilan dan potensi. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak
puas terhadap perubahan bentuk, struktur dan fungsi tubuh karena tidak sesuai
dengan yang diinginkan.

2. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala yang dapat diobservasi pada gangguan citra tubuh adalah
a. Hilangnya bagian tubuh
b. Perubahan anggota tubuh baik bentuk maupun fungsi
c. Menyembunyikan atau memamerkan bagian tubuh yang terganggu
d. Menolak melihat bagian tubuh
e. Menolak menyentuh bagian tubuh
f. Aktifitas sosial menurun.

Beberapa penyebab gangguan citra tubuh: tindakan invasif (pasang infus,


cateter, mag slang, oksigen), operasi, perubahan fungsi (lumpuh, sesak nafas,
buta, tuli)

Sedangkan data yang bisa didapatkan saat wawancara adalah klien :


a. Menolak perubahan anggota tubuh saat ini, misalnya tidak puas dengan
hasil operasi
b. Mengatakan hal negatif tentang anggota tubuhnya yang tidak berfungsi.
c. Mengungkapkan perasaan tidak berdaya, tidak berharga, keputusasaan.
d. Menolak berinteraksi dengan orang lain.
e. Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi terhadap bagian tubuh yang
terganggu.
f. Sering mengulang-ulang mengatakan kehilangan yang terjadi.
g. Merasa asing terhadap bagian tubuh yang hilang.

3. Intervensi Generalis Pada Klien

a. Tujuan
1) Klien dapat mengidentifikasi citra tubuhnya
2) Klien dapat mengidentifikasi potensi (aspek positif) dirinya
3) Klien dapat mengetahui cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh
4) Klien dapat melakukan cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh
5) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa terganggu

b. Tindakan keperawatan

1) Asesmen citra tubuh (gangguan dan potensi) dan menerima keadaan


tubuh saat ini
2) Latih cara meningkatkan citra tubuh

SP 1 Klien : Assesmen dan menerima citra tubuh dan latihan


meningkatkan citra tubuh
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian
ketidakberdayaan agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan
pengendalian gangguan citra tubuh
3) Bantu klien mengenal gangguan citra tubuhnya:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab gangguan citra tubuh
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat gangguan citra tubuhnya
4) Diskusikan persepsi klien tentang citra tubuhnya : dulu dan saat ini,
perasaan tentang citra tubuhnya dan harapan terhadap citra tubuhnya
saat ini.
5) Diskusikan potensi bagian tubuh yang lain yang masih sehat
6) Bantu klien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu.
7) Bantu menggunakan bagian tubuh yang masih sehatBantu klienmelihat,
menyentuh bagian tubuh yang terganggu

SP2 Klien: Evaluasi citra tubuh & latihan peningkatan citra tubuh
dan sosialisasi
1) Pertahankan rasa percaya klien
a. Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b. Asesmen ulang citra tubuh dan hasil latihan peningkatan citra tubuh
2) Membuat kontrak ulang: latihan peningkatan citra tubuh
3) Motivasi klien untuk melakukan aktifitas yang mengarah pada
pembentukan tubuh yang ideal
4)Ajarkan klien meningkatkan citra tubuh dengan cara :
a) Gunakan protese, wig, kosmetik atau yang lainnya sesegera
mungkin, gunakan pakaian yang baru (jika diperlukan)
b) Motivasi klien untuk melihat bagian yang hilang secara bertahap.
5) Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara :
a. Susun jadual kegiatan sehari-hari
b. Dorong melakukan aktifitas sehari-hari dan terlibat dalam aktifitas
dalam keluarga dan sosial
c. Dorong untuk mengunjungi teman atau orang lain yang
berarti/mempunyai peran penting baginya.
d. Beri pujian terhadap keberhasilan klien melakukan interaksi
4. Intervensi Generalis pada Keluarga
a. Tujuan:

1) Keluarga mampu mengenal masalah gangguan citra tubuh pada


anggota keluarganya
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan citra tubuh
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
ketidakberdayaan

b. Tindakan keperawatan pada keluarga


1) Mendiskusikan kondisi klien gangguan citra tubuh, penyebab, proses
terjadi, tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat gangguan citra tubuh klien
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat:


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan gangguan citra tubuh
klien dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat gangguan citra tubuh klien
3) Bantu keluarga mengenal gangguan citra tubuh:
a) Menjelaskan gangguan citra tubuh, penyebab, proses terjadi, tanda
dan gejala, serta akibatnya
b) Menjelaskan cara merawat gangguan citra tubuh klien: membantu
mengembangkan motivasi bahwa klien untuk menerima kondisi
tubuhnya yang telah dilatih perawat pada klien
3) Sertakan keluarga saat melatih klien meningkatkan citra tubuh
SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, mengatasi gangguan
citra tubuh melalui aktifitas yang mengarah pada pembentukan tubuh yang
ideal dan follow up
1) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,
menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien
2) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
3) Menyertakan keluarga saat melatih klien mengatasi gangguan citra tubuh
melalui aktifitas yang mengarah pada pembentukan tubuh yang ideal
4) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi klien yang perlu dirujuk (penolakan terhadap perubahan diri
bersifat menetap dan tidak mau terlibat dalam perawatan diri) dan cara
merujuk klien
V. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN HARGA DIRI RENDAH
SITUASIONAL

1. Pengertian
Harga diri rendah situasional adalah evaluasi diri negatif yang berkembang
sebagai respons terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri
seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif (NANDA,
2005).

2. Tanda dan Gejala


a. Mengungkapkan rasa malu/bersalah
b. Mengungkapkan menjelek-jelekkan diri
c. Mengungkapkan hal-hal yang negatif tentang diri (misalnya,
ketidakberdayaan dan ketidakbergunaan)
d. Kejadian menyalahkan diri secara episodik terhadap permasalahan
hidup yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif
e. Kesulitan dalam membuat keputusan

3. Intervensi Generalis Pada Klien


a. Tujuan
1) Klien mampu meningkatkan kesadaran tentang hubungan positif
antara harga diri dan pemecahan masalah yang efektif
2) Klien mampu melakukan keterampilan positif untuk meningkatkan
harga diri
3) Klien mampu melakukan pemecahan masalah dan melakukan
umpan balik yang efektif
4) Klien mampu menyadari hubungan yang positif antara harga diri dan
kesehatan fisik

b. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan harga diri rendah : penyebab, proses terjadinya
masalah, tanda dan gejala dan akibat
2) Membantu klien mengembangkan pola pikir positif
3) Membantu mengembangkan kembali harga diri positif melalui
melalui kegiatan positif
SP1 Klien: Asesmen harga diri rendah dan latihan melakukan kegiatan
positif:
1) Bina hubungan saling percaya
c) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien sesuai
nama panggilan yang disukai
d) Menjelaskan tujuan interaksi: melatih pengendalian ansietas agar proses
penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan pengendalian
ansietas
3) Bantu klien mengenal harga diri rendah:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
b) Bantu klien mengenal penyebab harga diri rendah
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat harga diri rendah
d) Bantu klien dalam menggambarkan dengan jelas keadaan evaluasi diri yang
positif yang terdahulu
4) Bantu klien mengidentifikasi strategi pemecahan yang lalu, kekuatan,
keterbatasan serta potensi yang dimiliki
5) Jelaskan pada klien hubungan antara harga diri dan kemampuan pemecahan
masalah yang efektif
6) Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
7) Latih satu kemampuan positif yang dimiliki
8) Latih kemampuan positif yang lain
9)Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna
untuk menumbuhkan harga diri positif

SP 2 Klien : Evaluasi harga diri rendah, manfaat latihan melakukan


kemampuan positif 1, melatih kemampuan positif 2
1) Pertahankan rasa percaya klien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang harga diri rendah dan kemampuan melakukan
kegiatan positif
2) Membuat kontrak ulang: cara mengatasi harga diri rendah
3) Latih kemampuan positif ke 2
4) Evaluasi efektifitas melakukan kegiatan positif untuk
meningkatkan harga diri
5) Tekankan kembali bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif
berguna untuk menumbuhkan harga diri

4. Intervensi Generalis Pada Keluarga


a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah harga diri rendah pada
anggota keluarganya
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
harga diri rendah
3) Keluarga mampu memfollow up anggota keluarga yang mengalami
harga diri rendah

b. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan kondisi klien: keputusaan, penyebab, proses
terjadi, tanda dan gejala, akibat
2) Melatih keluarga merawat klien dengan harga diri rendah
3) Melatih keluarga melakukan follow up

SP1 Keluarga: Penjelasan kondisi klien dan cara merawat:


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri
b) Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan keputusasaan klien
dan cara merawat agar proses penyembuhan lebih cepat
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan cara
merawat klien dengan harga diri rendah
3) Bantu keluarga mengenal putus asa pada klien:
a) Menjelaskan harga diri rendah, penyebab, proses terjadi, tanda
dan gejala, serta akibatnya
b) Menjelaskan cara merawat klien dengan harag diri rendah:
menumbuhkan harga diri positif melalui melakukan kegiatan
positif
c) Sertakan keluarga saat melatih latihan kemampuan positif
SP 2 Keluarga: Evaluasi peran keluarga merawat klien, cara merawat dan
follow up

a) Pertahankan rasa percaya keluarga dengan mengucapkan salam,


menanyakan peran keluarga merawat klien & kondisi klien
b) Membuat kontrak ulang: latihan lanjutan cara merawat dan follow up
c) Menyertakan keluarga saat melatih klien melatih kemampuan positif ke
2
d) Diskusikan dengan keluarga cara perawatan di rumah, follow up dan
kondisi klien yang perlu dirujuk (kondisi pengabaian diri dan perawatan
dirinya) dan cara merujuk klien.
VI. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN DUKA CITA
DISFUNGSIONAL/KEHILANGAN

1. Pengertian
Gangguan yang terjadi setelah kematian orang terdekat, ketika pengalaman
distress yang menyertai kehilangan gagal memenuhi harapan normatif dan
bermanifestasi gangguan fungsional (NANDA, 2011).

2. Tanda dan Gejala


Subjektif
a. Penurunan rasa kesejahteraan
b. Depresi
c. Keletihan
d. Merindukan yang telah tiada, terlalu fokus memikirkan yang telah tiada
e. Distres emosi yang persisten
f. Merenung
g. Mengungkapkan secara verbal ansietas, perasaan tidak percaya, kurang
menerima kematian, linglung, kosong, terkejut, syok, marah, atau
menyalahkan diri sendiri
h. Berteriak
Objektif
a. Penurunan fungsi dalam peran kehidupan
b. Mengalami gejala somatik kehilangan
c. Menghindari duka cita
d. Tingkat keintiman rendah
e. Mencari-cari sosok almarhum
f. Menyalahkan diri sendiri
g. Kesedihan akibat perpisahan
h. Distres traumatic
3. Intervensi Generalis Pada Klien
a. Tujuan
1) Klien mampu mengatasi duka cita disfungsional yang dibuktikan
oleh keberhasilan koping, koping keluarga, daya tahan keluarga,
penyelesaian duka cita, penyesuaian psikososial: perubahan hidup
dan performa peran
2) Klien mampu menunjukkan koping yang dibuktikan oleh indikator
berikut:
 Mengidentifikasi pola koping yang efektif
 Menggunakan strategi koping yang efektif
 Mencari informasi tentang penyakit dan pengobatannya
 Menggunakan dukungan sosial yang tersedia
 Mencari bantuan profesional, sesuai dengan kebutuhan
 Melaporkan penurunan gejala fisik stres dan perasaan negatif
3) Klien menunjukkan performa peran yang dibuktikan oleh indikator
berikut:
 Kemampuan untuk memenuhi harapan peran
 Performa perilaku peran keluarga
 Performa perilaku peran komunitas
 Perasaan nyaman dengan harapan peran

b. Tindakan Keperawatan
1) Peningkatan koping: membantu klien beradaptasi dengan persepsi
stresor, perubahan, atau ancaman perubahan, atau ancaman yang
mengganggu pemenuhan kebutuhan hidup dan peran.
2) Promosi integtitas keluarga: meningkatkan ikatan dan kesatuan
keluarga
3) Dukungan keluarga: meningkatkan nilai, minat, dan tujuan keluarga
4) Fasilitasi proses duka cita: membantu mengatasi kehilangan yang
berarti dengan memfasilitasi klien untuk mengungkapkan
perasaannya
5) Promosi daya tahan: membantu klien dalam mengembangkan,
menggunakan, dan memperkuat faktor protektif yang dapat
digunakan dalam menghadapi stresor lingkungan dan sosial
6) Peningkatan peran: membantu klien dan orang terdekat atau
keluarga untuk memperbaiki hubungan dengan mengklarifikasi dan
menambahkan perilaku peran tertentu
7) Peningkatan kesadaran diri: membantu klien menggali dan
memahami pikiran, perasaan, motivasi, dan perilakunya.
SP1 Klien: Asesmen proses berduka dan peningkatan koping:
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil klien
sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi: mengatasi duka cita disfungsional dan
meningkatkan koping serta performa peran
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan untuk
meningkatkan koping
3) Bantu klien mengenal proses berduka dan koping efektif:
a) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
b) Bantu klien mengenal penyebab berduka disfungsional yang
dirasakannya
c) Bantu klien menyadari perilaku akibat proses berduka disfungsional
yang berkepanjangan
d) Bantu klien dalam menggambarkan dengan jelas keadaan evaluasi
diri yang positif yang terdahulu
4) Bantu klien mengidentifikasi strategi pemecahan yang lalu, kekuatan,
keterbatasan, potensi yang dimiliki
5) Jelaskan pada klien hubungan antara proses berduka dan kemampuan
koping yang efektif agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan performa peran
SP 2 Klien : Evaluasi proses berduka dan koping, peningkatan daya tahan,
peran, dan kesadaran diri
1) Pertahankan rasa percaya klien
a) Mengucapkan salam dan memberi motivasi
b) Asesmen ulang proses berduka dan koping
2) Membuat kontrak ulang: memperkuat faktor protektif untuk menghadapi
stresor dari berduka
3) Bantu klien mengidentifikasi faktor protektif serta dukungan keluarga atau
orang terdekat yang dimiliki
4) Diskusikan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga, dan
lingkungan
5) Bantu klien menggali dan memahami pikiran, perasaan, motivasi, dan
perilakunya
6) Bantu klien meningkatkan motivasi dan kemampuan melakukan kegiatan
positif yang dimiliki
7) Tekankan bahwa kegiatan melakukan kemampuan positif berguna untuk
meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup serta performa
peran
8) Evaluasi efektifitas melakukan kegiatan positif untuk meningkatkan daya
tahan, peran, dan kesadaran diri serta koping efektif
VII. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN KOPING INDIVIDU TIDAK
EFEKTIF: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan obat-
obatan terlarang (NAPZA)

Data fisik yang mungkin ditemukan pada klien dengan penggunaaan NAPZA pada saat
pengkajian adalah sebagai berikut:
Nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya selera makan, konstipasi, diare, perilaku sek
melanggar norma, kemunduran dalam kebersihan diri, potensial komplikasi, jantung,
hati, infeksi pada paru-paru, dsb.
Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk teratur dalam pola
hidupnya.

1 Emosional
Perasaan gelisah (takut kalau diketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak
berdaya. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk
mengontrol dan mengendalikan diri sendiri.
2 Sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien biasanya adalah teman
pengguna zat, anggota keluarga lain pengguna zat, lingkungan sekolah atau
kampus yang digunakan oleh para pengedar.
3 Intelektual
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adikitif, perasaan ragu untuk
berhenti, aktivitas sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan
terhenti. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk konsentrasi
dan meningkatkan daya pikir ke hal-hal yang posistif.
4 Spiritual
Kegiatan keagamaan tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan karena
perubahan perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain). Sasaran
yang ingin dicapai adalah mampu meningkatkan ibadah , pelaksanaan nilai-
nilai kebaikan.
5 Keluarga
Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan
pengurasan secara ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif,
dukungan moril terhadap klien tidak terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapai
adalah keluarga mampu merawat klien yang pada akhirnya mencapai tujuan
utama yaitu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relaps).

Intervensi keperawatan
Dx I : Koping individu tidak efektif sehubungan dengan tidak mampu
mengatasi keinginan menggunakan zat adiktif
Tujuan : klien mampu untuk mengatasi keinginan menggunakan zat adiktif.

Intervensi individu:
1. Identifikasi situasi yang menyebabkan timbulnya sugesti
2. Identifikasi perilaku ketika sugesti datang
3. Diskusikan cara mengalihkan pikiran dari sugesti yang lebih positif
4. Bantu klien mengekspresikan perasaannya

Intervensi Kelompok:
1. Diskusikan pengalaman mengucapkan kata-kata yang mengandung semangat
menghindari zat adiktif.
2. Motivasi keluarga untuk membantu klien mampu jujur bila sugestinya datang.
3. Diskusikan upaya keluarga membantu klien mengurangi sugesti.
4. Bantu suasana mendukung keakraban di rumah
BAB III
Kesimpulan dan Saran
Masa remaja merupakan masa dimana banyak terjadi perubahan pada diri remaja.
Dimana perubahan tersebut dapat menyebabkan timbulnya masalah pada diri remaja
tersebut. Oleh sebab itu banyak masalah psikososial yang dihadapi oleh remaja saat ini,
seperti: perubahan psikoseksual, pengaruh teman sebaya, perilaku berisiko tinggi,
kegagalan pembentukan identitas diri, gangguan perkembangan moral, dan stres di
masa remaja. Ini merupakan masalah moral yang saat ini banyak di hadapi remaja. Dari
masalah ini biasanya diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam masalah ini
seperti ansietas, ketidakberdayaan, harga diri rendah, koping diri tidak efektif dan lain-
lain. Untuk itu dapat dilakukan beberapa intervensi terhadap masalah ini seperti:
diskusikan pengalaman mengucapkan kata-kata yang mengandung semangat , motivasi
keluarga untuk membantu klien mampu jujur bila sugestinya datang, diskusikan upaya
keluarga membantu klien mengurangi sugesti, dan bantu suasana mendukung
keakraban di rumah.

Anda mungkin juga menyukai