Anda di halaman 1dari 3

1.

Teori kognitivisme dimulai dari konsep bahwa setiap seseorang pasti memiliki pengetahuan-
pengetahuan awal, baik pengetahuan yang berasal dari pengalaman lingkungan maupun
pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar-belajar sebelumnya. Pengetahuan-pengetahuan
tersebut kemudian pada suatu keadaan tertentu akan saling terhubung dan membentuk struktur
pengetahuan baru yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah yang berkembang. Contohnya
adalah pengetahuan tentang bahasa. Menurut Andiopenta (2013) setiap orang memiliki bekal
bahasa di awal kehidupannya sebagai bahasa pertamanya. Kemudian setelah memiliki
pengetahuan kebahasaan pertama seorang tersebut akan mengembangkannya menjadi bahasa
kedua melalui interaksi-interaksi social dan lingkungannya.
Begitu pula dalam matematika, melalui bahasa sehari-hari siswa sejak dini mulai diperkenalkan
dengan bahasa baru yakni bahasa symbol berupa angka-angka. Angka ini digunakan untuk
menggambarkan bahasa bilangan yang terdapat dalam fikiran. Menurut Astuti (2016) Bilangan
adalah suatu konsep matematika yang digunakan untuk pencacahan dan pengukuran. Simbol
ataupun lambang yang mewakili suatu bilangan disebut sebagai angka atau lambang.
Menurut TYE Siswono (2012) perkembangan berpikir matematis anak dari 3 sampai 5 tahun
ditandai dengan anak-anak berusaha merepresentasikan pemahaman matematisnya melalui
simbol-simbol yang didasarkan pada gabungan simbol-simbol yang ditemukan sendiri dan yang
didapat dari refleksi budaya sekitarnya. Anak sudah dapat membedakan antara bilangan-bilangan
dan huruf, meskipun mereka tidak yakin mana label yang benar. Anak sudah memiliki
kemampuan untuk menciptakan suatu simbol untuk membantu mereka mengingat bilangan-
bilangan. Anak dapat mengingat bilangan dalam situasi yang bermakna. Anak bahkan sudah
dapat merepresentasikan nol yang sebenarnya relatif terakhir untuk bilangan.
Setelah pengetahuan tentang simbol matematika diketahui oleh siswa kemudian mulailah dari
pengetahuan tersebut disusun kembali menjadi operasi bilangan. Menurut Ramaini dalam
Suwarto (2017) bahwa tahapan matematika merupakan gambaran terhadap bahasa simbol yang
dilakukan dengan tahapan konkrit, semi konkrit dan abstrak. Pada tahap ini siswa mulai
menggunakan symbol-simbol matematika untuk menghitung suatu benda, menjumlahkan dan
mengurangi banyaknya benda yang ada disekitarnya.
Pada tahap selanjutnya, setelah anak usia dini diperkenalkan operasi matematika pada benda
konkret maka dilanjutkan pada pembelajaran matematika semi konkret kemudian yang konkreet.
Hal ini selaras dengan pernyataan Almira Amir (2014) bahwa materi pelajaran matematika
diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari konsep yang sederhana, sampai kepada konsep yang
lebih sulit. Selain itu pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, dilanjutkan ke semi
konkret dan akhirnya menuju konsep abstrak. Pada tahap semi konkret ini siswa sudah tidak
perlu lagi benda-benda nyata untuk membantu dalam proses perhitungan, mereka mulai
diajarkan menghitung dengan menggunakan alat tulis. Sedangkan pada tahapan abstrak siswa
tidak lagi bergelut dengan angka, namun sudah menggunakan simbol-simbol selain angka yang
digunakan untuk mengeneralisasikan suatu konsep matematika itu sendiri.
Referensi :
Andiopenta Purba. (2013). Peranan Lingkungan Bahasa dalam Pemerolehan Bahasa Kedua.
Pena: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. Vol. 3 No. 1 Juli 2013, Hal : 13-25
Astuti (2016). Peningkatakan Kemampuan Anak Mengenal Konsep Bilangan Melalui Permainan
Kartu Angka di Kelompok B TK Aisyiyah Pulau Payung Kecamatan Rumbio Jaya.
Journal Research & Learning in Early Childhood Education. Vol.2 No.1 Tahun 2016
Hal : 90 – 99

1
TYE Siswono (2012). Belajar dan Mengajar Matematika Anak Usia Dini. Seminar Pendidikan
Anak Usia Dini di Sidoarjo tahun 2012. Diakses di www.academia.edu pada 20 Juni
2019
Suwarto (2017). Strategi Pembelajaran Operasi Bilangan dengan Benda Konkrit. UNION:
Jurnal Pendidikan Matematik, Vol 5 No 3, November 2017
Almira Amir (2014). Pembelajaran Matematika SD Dengan Menggunakan Media Manipulatif.
Jurnal Forum Paedagogik. Vol. VI, No.01 Jan 2014.

2. .
a. Wina Sanjaya (2008) menyatakan bahwa Kompetensi Dasar adalah pengetahuan,
keterampilan dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa
siswa telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan, oleh karena itulah maka
kompetensi dasar merupakan penjabaran dari kompetensi inti.
b. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan indikator adalah :
1) Dirumuskan dalam kalimat yang simpel, jelas dan mudah dipahami.
2) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
3) Tidak menggunakan kata yang bermakna ganda
4) Hanya mengandung satu tindakan.
5) Menggunakan kata kerja operasional (KKO) yang dapat diukur.
6) Mengunakan KKO yang lebih rendah tingkatnya dan atau sama dengan KKO yang
terdapat pada KD.
7) Jumlah indicator minimal untuk satu KD sama dengan jumlah amanat yang terdapat pada
KD tersebut.
8) Dalam satu KD harus ada indicator yang mengacu sekurangnya pada 2 dari 3 aspek
kompetensi ( cognitive, affektif dan psychomotor )
Referensi :
Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta : kencana prenada media group, 2008),
hlm. 170

3. Teori Belajar Kognitivisme adalah sebuah proses pembelajaran yang lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitivisme mengatakan bahwa belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Model belajar kognitif
merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model
belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Teori Belajar Kontruktivisme adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa proses belajar harus
dimulai dan dibangun pada diri siswa itu sendiri. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif
berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Dalam
teori ini siswa diberi keleluasaan untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan
pembelajarannya, tentang cara, arah dan tujuan belajarnya.
Teori Belajar Behavioristik adalah proses belajar dengan melihat perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah
laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau
output yang berupa respons.

2
Teori Belajar humanistik adalah proses pembelajaran yang dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya
lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari
pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari
dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-
konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar
dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar
sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Teori Belajar Sibernetik merupakan perkembangan dari teori belajar kognitif, yang menekankan
peristiwa belajar sebagai proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan terjadinya
perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Hakekat manajemen pembelajaran
berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan
belajarnya secara efektif dengan cara memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur
pikiran untuk memahami stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi.
Referensi :
Modul PPG (2019), Modul 3 : Teori Belajar dan Pembalajaran. Diakses pada 20 Juni 2019
Tri Suminar (2011), Tinjauan Filsafati (Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi) Manajemen
Pembelajaran Berbasis Teori Sibernetik. Jurnal Edukasi Universitas Negeri Semarang.

4. Menurut Hadjar dalam Rosyidin (2017) langkah-langkah pengembangan instrument penelitian


yaitu : (1) Mendefinisikan variable, (2) Menjabarkan variable ke dalam indikator yang lebih
rinci, (3) Menyusun butir-butir pertanyaan, (4) melakukan uji coba, (5) Menganalisis kesahihan
(validity) dan keterandalan (realibility).
Referensi :
Undang Rosyidin (2017). Evaluasi dan Asesmen Pembelajaran. Media Akademi, Yogyakarta.

5. Menurut saya pembelajaran yang paling sesuai adalah dengan menggunakan metode kooperatif
dengan model pembelajaran berbasis proyek. Karena pembelajaran berbasis proyek merupakan
pembelajaran otentik yang langsung melibatkan siswa dengan konten pembelajarannya. Menurut
Bender (2012) dan Raoda Ismail (2018) menyatakan bahwa bahwa pembelajaran berbasis proyek
merupakan salah satu model yang paling efektif yang tersedia untuk melibatkan para siswa
dengan konten pembelajaran mereka, dan untuk alasan itu, pembelajaran berbasis proyek
sekarang direkomendasikan oleh banyak pemimpin pendidikan sebagai praktik pembelajaran
terbaik.

Referensi :
Bender, W. N. (2012). Project-based learning: Differentiating instruction fot the 21st century.
Thousand Oals, CA: Corwin.
Raoda Ismail. (2018). Perbandingan keefektifan pembelajaran berbasis proyek dan
pembelajaran berbasis masalah ditinjau dari ketercapaian tujuan pembelajaran.
PYTHAGORAS : Jurnal Pendidikan Matematika, 13 (2), Hal. 181-188.

Anda mungkin juga menyukai