Anda di halaman 1dari 133

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN RUMAH DAN STATUS

IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK


USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS TEMINDUNG
SAMARINDA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Di Ajukan Oleh
Rini Maysa
17111024110291

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2018
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Rini Maysa


NIM : 16.113082.3.1360
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : Hubungan Antara Lingkungan Rumah Dan Status
Penelitian Imunisasi Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Usia
1-5 Tahun Di Puskesmas Temindung Samarinda

Menyatakan bahwa penelitian yang saya tulis ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang
lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa terdapat plagiat dalam


penelitian ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan per
Undang-Undangan (Permendiknas No. 17, tahun 2010)

Samarinda, Febuari 2018

Materai

Rini Maysa
NIM: 17111024110291
LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN RUMAH DAN STATUS


IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK
USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS TEMINDUNG
SAMARINDA

SKRIPSI
Di Susun Oleh
Rini Maysa
17111024110291

Disetujui untuk diujikan


Pada tanggal, 09 Febuari 2018

Pembimbing I

Dr.Hj. Nunung Herlina, S.Kep, M.pd


NIDN 8830940017

Mengetahui,
Koordinator Mata Ajar Penelitian

Ns. Faried Rahman Hidayat, S.Kep.,M.Kes


NIDN 1112068002
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN RUMAH DAN STATUS


IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK
USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS TEMINDUNG
SAMARINDA

SKRIPSI

Di Susun Oleh
Rini Maysa
17111024110291

Diseminarkan dan Diujikan


Pada tanggal, 09 Febuari 2018

Penguji I Penguji II Penguji III

Ns. Maridi M Dirdjo, M. Kep Ns. Fatma Zulaikha, M. Kep Dr.Hj. Nunung Herlina, S.Kep, M.pd
NIDN. 1101038301
NBP : 1125037202 NIDN 8830940017
NIP 19750907 200501 1 004

Mengetahui,
Ketua
Program Studi S1 Keperawatan

Ns. Dwi Rahmah F., M.Kep


NIDN : 1119097601
Hubungan Antara Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA
Pada Anak Usia 1-5 Tahun Di Puskesmas Temindung Samarinda

Rini Maysa1, Nunung Herlina2

Abstrak

Latar belakang : Penyakit ISPA masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting untuk diperhatikan karena merupakan penyakit akut dan bahkan
dapat menyebabkan kematian pada balita di berbagai negara berkembang termasuk
negara Indonesia yang kaya akan penduduk yang masih taraf di bawah ekonomi. Secara
umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu
anak, serta faktor perilaku.
Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara lingkungan
rumah dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di
Puskesmas Temindung Samarinda.
Hasil : Hasil uji statistik dengan menggunakkan Fisher's Exact Test bahwa nilai p (0,000)
lebih kecil dari 0,05 yang artinya Ho ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status
imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung.
Hasil uji statistik dengan menggunakkan Fisher's Exact Test karena nilai sel / harapan
kurang dari 5 sehingga didapatkan bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang artinya
Ho ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status lingkungan dengan kejadian ISPA
pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung. Dari hasil penelitian yang didapat
bahwa imunisasi yang paling berhubungan dengan terjadinya ISPA dengan hasil analisis
multivariat didapatkan nilai X (33,022) > X tabel df 2 yaitu 5,991 atau dengan signifikansi
sebesar 0,000 (< 0,05). Hasil penelitian yang menggunakan analisis regresi logistik
dimana pada subvariabel status imunisasi dan lingkungan rumah memiliki p < 0,05 yaitu
0,000 > 0,05. Hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan
rumah dan imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di
Puskesmas Temindung.
Kesimpulan : ada hubungan antara lingkungan rumah dan status imunisasi dengan
kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung Samarinda.

Kata Kunci : ISPA, Imunisasi, Lingkungan

Mahasiswa S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur


1

Dosen Prodi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur


2
Relationship Between Home Environment And Immunization Status With Incidence
of Acute Respiratory Tract Infections In Children 1-5 Years At Puskesmas
Temindung Samarinda

Rini Maysa1, Nunung Herlina2

Abstract

Background: ARTI disease is still one of the important public health issues to note as it is
an acute illness and can even lead to deaths among children under five in many
developing countries, including Indonesia, which is rich in the under-resident population.
Generally, there are 3 (three) risk factors of ISPA that are environmental factor, individual
factor of child, and behavior factor.
Objective: This study aims to determine the relationship between the home environment
and immunization status with the incidence of ARTI in children aged 1-5 years at the
Puskesmas Temindung Samarinda.
Result: The result of statistic test by using Fisher's Exact Test that p (0.000) is less than
0.05 which means Ho is rejected ie there is a significant relationship between
immunization status and the incidence of ARTI in children aged 1-5 years in Puskesmas
Temindung. Result of statistic test by using Fisher's Exact Test because cell value /
expectation less than 5 so it is found that p (0.000) less than 0.05 which means Ho is
rejected that there is a significant relationship between environmental status with ARTI
occurrence in children aged 1-5 year at Temindung Health Center. From the result of the
research that immunization is most related to the occurrence of ARTI with multivariate
analysis results obtained X (33.022)> X table df 2 is 5,991 or with significance of 0.000
(<0,05). The result of the research using logistic regression analysis where in subvariabel
immunization status and home environment have p <0,05 that is 0,000 > 0,05. The result
of multivariate analysis can be concluded that house environment and immunization
variables are related to the incidence of ARTI in children aged 1-5 years in Puskesmas
Temindung.
Conclusion: there is a relationship between home environment and immunization status
with the incidence of ARTI in children aged 1-5 years at Temindung Samarinda Public
Health Center.

Keywords: ISPA, Immunization, Environment

Students of S1 Nursing University Muhammadiyah East Kalimantan


1

Lecturer of Prodi S1 nursing University Muhammadiyah East Kalimantan


2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Hubungan

Antara Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA

Pada Anak Usia 1-5 Tahun Di Puskesmas Temindung Samarinda.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan

hambatan akan tetapi semuanya bisa dilalui berkat bantuan dari berbagai

pihak. Peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar–besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Setiaji, selaku Rektor Universitas

Muhammadiyah Kalimantan Timur Samarinda

2. Bapak dr. Daud Pongtuluran, selaku kepala UPT. Puskesmas

Temindung yang telah memberikan izin dan menyetujui melakukan

penelitian ini.

3. Bapak Ghozali, M. Hasyim, M. Kes selaku Dekan Fakultas ILmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur Samarinda

4. Ibu Ns. Dwi Rahma Fitriyani.,M.Kep selaku Ketua Program Studi

Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

5. Bapak Faried Rahman H. S. Kep. Ns. M. Kes, selaku Koordinator Mata

Ajar Penelitian.
6. Ibu Dr.Hj. Nunung Herlina, S.kep, M.pd selaku pembimbing 1 dalam

pembuatan skripsi ini.

7. Bapak Ns. Maridi M Dirdjo, M. Kep selaku penguji I yang telah

memberikan saran dan masukkan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Ibu Ns. Fatma Zulaikha, M. Kep, selaku penguji II yang telah

memberikan saran dan masukkan dalam penyusunan skrispi ini.

9. Kepada Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

dan staf yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuannya selama

dibangku kuliah.

10. Keluarga besar, Ayah, Ibu, kakak yang saya cintai serta saya sayangi,

yang telah banyak memberikan doa dan dukungan baik moril maupun

materi.

11. Terima kasih kepada teman-teman S1 Keperawatan satu angkatan

alih jenjang 2016 atas kebersamaannya selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

bersifat membangun dari berbagai pihak dalam perbaikan skripsi yang

dibuat oleh penulis.

Samarinda, Febuari 2018

Peneliti
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iii
ABSTRAK.................................................................................................. iv
ABSTRACT................................................................................................ v
KATA PENGANTAR................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................... vi
DAFTAR SKEMA...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian................................................................. 6
1. Tujuan Umum............................................................... 6
2.Tujuan Khusus.............................................................. 6
D. Manfaat Penelitian............................................................... 7
1. Manfaat Teoritis............................................................ 7
2. Manfaat Praktis............................................................. 7
E. Keaslian Penelitian.............................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka.................................................................... 10
1. ISPA............................................................................... 10
a. Pengertian ISPA.................................................... 10
b. Etiologi.................................................................... 11
c. Patofisiologi............................................................ 11
d. Tanda dan Gejala................................................. 12
e. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Keparahan..... 13
f. Cara Penularan..................................................... 14
g. Faktor-faktor yang Berhubungan ISPA............. 15
2. Lingkungan .................................................................. 18
a. Pengertian Lingkungan ...................................... 18
b. Jenis-Jenis Lingkungan....................................... 18
c. Faktor-faktor Lingkungan..................................... 19
d. Cara Menjaga Kualitas Lingkungan................... 21
3. Status Imunisasi........................................................... 22
a. Pengertian Imunisasi............................................ 22
b. Manfaat dan Tujuan Imunisasi............................ 23
c. Jenis Imunisasi...................................................... 24
d. Faktor-faktor Pemberian Imunisasi.................... 28
4. Anak............................................................................... 33
a. Pengertian Anak.................................................... 33
b. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak........... 36
c. Prinsip-Prinsip Keperawatan Anak..................... 38
5. Konsep Hubungan Antara Lingkungan Rumah dan
Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Anak 41
B. Penelitian Terkait................................................................. 48
C. Kerangka Teori Penelitian.................................................. 50
D. Kerangka Konsep Penelitian............................................. 51
E. Hipotesis ............................................................................. 51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian......................................................... 55
B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 55
C. Populasi Dan Sempel Penelitian....................................... 54
D. Definisi Operasional............................................................ 57
E. Instrumen Penelitian........................................................... 58
F. Uji Validitas dan Reliabilitas............................................... 60
G. Pengolahan dan Analisa Data........................................... 62
H. Etika Penelitian.................................................................... 69
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Puskesmas Temindung..................... 61
B. Hasil Penelitian .................................................................. 62
C. Pembahasan ...................................................................... 70
D. Keterbatasan Penelitian..................................................... 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 94
B. Saran..................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Skema Kerangka Teori...................................................... 50

Skema 2.2 Skema Kerangka Konsep................................................. 51


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian............................................. 57


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3 Data Demografi

Lampiran 4 Kuesioner B Lingkungan Rumah

Lampiran 5 Lembar Observasi A Status ISPA

Lampiran 6 Lembar Observasi B Status Imunisasi

Lampiran 7 Tabulasi Data

Lampiran 8 Analisa Data


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saluran pernafasan terbagi menjadi dua, yakni saluran pernafasan

atas dan bawah. Saluran pernafasan atas (upper airway) meliputi

hidung dan faring. Kebanyakan orang menyepelekan saluran

pernafasan atas ini karena sering sekali bermasalah terutama pada

anak, karena nanti juga akan sembuh dengan sendirinya. Influenza

tanpa komplikasi pada anak biasanya membutuhkan pengobatan

symptomatic, acetaminophen atau ibuprofen untuk demam dan cairan

cukup untuk mempertahankan agar tidak dehidrasi (Hartono, 2012).

ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang

disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian

atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga

alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,

rongga telinga tengah dan pleura.

ISPA digunakan untuk mendeskripsikan flu. Gejalanya adalah

batuk dan demam. Pada bayi, obstruksi hidung dapat menyebabkan

sulit makan. Obstruksi tuba eustachius sering menyebabkan nyeri

telinga dan gendang telinga terlihat mengalami kongesti. Secara

umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.


Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam

menentukan terjadinya proses interaksi antara host dengan agent

dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besar lingkungan

terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar

manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung

maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan

sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara,

kelembapan, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA

adalah air borne disease karena salah satu penularannya melalui

udara yang tercemar dan masuk kedalam tubuh melalui saluran

pernafasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan

penting yang besar pada transmisi penyakit ISPA (Smallcrab, 2014).

Kualitas lingkungan tentunya akan berpengaruh terhadap

kesehatan manusia, untuk itu perlu dilakukan untuk pengendalian

untuk mengurangi polusi udara. Sebelum melakukan pengendalian

kita harus mengetahui dahulu sumber-sumber pencemaran, jenis

pencemaran dan lain sebagainya (Santoso, 2015).

Selain lingkungan faktor individu anak juga dapat mempengaruhi

terjadinya ISPA salah satunya status imunisasi. Bayi dan balita yang

pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan

alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian

besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis,


campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar

dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang

meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi

dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita

ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi

lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan

pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi

campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat

dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian

pneumonia dapat dicegah (Prabu, 2009).

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu

penyakit dengan memasukkan sesuatu kedalam tubuh agar tubuh

tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi

seseorang. Tujuan pemberian imunisasi yaitu untuk mencegah

terjadinya infeksi tertentu dan apabila terjadi penyakit tidak akan terlalu

parah dan dapat mencegah gejala yang dapat menimbulkan cacat

atau kematian (Yuni & Oktami, 2014).

Berdasarkan Kementerian Kesehatan (2016), data yang

didapatkan bahwa balita yang mengalami ISPA sebanyak 24.000

balita Dengan banyaknya kasus itu, Indonesia menduduki peringkat 10

di dunia dalam kasus kematian balita akibat ISPA. Jadi jumlah

kematian karena pneumonia itu sekitar 15,5 % per 2016 dan terdapat

554.650 kasus ISPA (Kemenkes, 2016).


Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Samarinda yang

didapatkan dari tahun 2016 jumlah pasien yang menderita ISPA

sebanyak 7.714 kasus, sedangkan pada tahun 2017 selama 8 bulan

terakhir baru tercatat 2.260 kasus ISPA.

Berdasarkan laporan bulanan pada Puskesmas Temindung

didapatkan angka kejadian ISPA selama 3 bulan terakhir kasus ISPA

sebanyak 736 dari semua umur. Sedangkan pada usia 1-5 tahun

selama 3 bulan terakhir tercatat 96 kasus ISPA.

Dari studi awal, peneliti melakukan pengamatan pada 10 rumah

penduduk penderita ISPA dan didapatkan hasil 33,3% rumah dengan

ventilasi tidak memenuhi syarat dan 66,7% rumah dengan

pencahayaan alami tidak memenuhi syarat. hampir semua kepala

keluarga memiliki kebiasaan merokok dimana mereka memiliki anak

yang di bawah umur 5 tahun.

Peneliti juga mecatatat di Puskesmas Temindung anak yang

dibawah 5 tahun tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap, hal ini

dikarenakan para orang tua lupa untuk melakukan imunisasi pada

anaknya, karena keluarga tidak mengizinkan anak divaksinasi, efek

samping vaksin dalam bentuk demam, lokasi imunisasi yang jauh, dan

kesibukan orangtua, sehingga pada catatan di Puskesmas Temindung

terdapat banyak kasus ISPA yang menyerang balita. Hal ini membuat

peneliti ingin meneliti tentang hubungan antara lingkungan rumah dan


status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di

Puskesmas Temindung Samarinda.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang maka dapat

dirumuskan pertanyaan masalah penelitian “Bagaimana hubungan

antara lingkungan rumah dan status imunisasi dengan kejadian ISPA

pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung Samarinda Tahun

2017”?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

adanya hubungan antara lingkungan rumah dan status imunisasi

dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden (orang tua anak) di

Puskesmas Temindung Samarinda.

b. Mengidentifikasi lingkungan rumah responden di Puskesmas

Temindung Samarinda.

c. Mengidentifikasi status imunisasi anak 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda.

d. Mengidentifikasi kejadian ISPA di Puskesmas Temindung

Samarinda.
e. Menganalisis hubungan antara lingkungan rumah dengan

kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda.

f. Menganalisis hubungan antara status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda.

g. Menganalisis manakah variabel yang paling berhubungan

dengan kejadian ISPA

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan menambah wawasan dan variabel

yang di peroleh yang telah di olah sehingga dapat di jadikan data

untuk mendukung penelitian tentang ISPA.

2. Manfaat Praktis

a. Puskesmas Temindung Samarinda

Penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan informasi

bagi Dinas kesehatan Samarinda, khususnya bagi Temindung

Samarinda dalam menunjang program kesehatan terutama

penanggulangan penyakit ISPA.

b. Orang Tua

Hasil penelitian ini diharapkan agar masyarakat khususnya

ibu mengerti dan paham tentang pentingnya melindungi buah

hatinya pada penyakit ISPA sehingga tidak menganggap


penyakit ISPA itu adalah suatu penyakit yang ringan, serta

masyarakat bisa lebih memperhatikan lingkungan sekitar

rumah dan para orang tua tidak perlu merasa cemas akan efek

dari imunisasi.

c. Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai penjelasan dan

evaluasi tentang hubungan status gizi dengan kejadian ISPA,

sehingga dapat melatih berfikir secara ilmiah terhadap suatu

permasalahan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait ini bertujuan untuk memberikan penjelasan hasil

penelitian-penelitian terdahulu.

1. Lisdianti (2015), yang meneliti tentang hubungan status imunisasi

terhadap kejadian ISPA pada anak usia balita di wilayah kerja

Puskesmas Pasir Putih Kabupaten Kotawaringin Timur. Dimana

penelitian ini menggunakan metode analitik korelasi dengan

pendekatan penelitian cross sectional, sampel yang digunakan

adalah seluruh anak balita berjumlah 73 balita. Pengambilan

sampel menggunakan teknik accidental sampling. Analisis uji

bivariat menggunakan uji chi square dengan p 0,05.

Pada penelitian ini memiliki perbedaan yaitu pada penelitian

sebelumnya mengunakan 2 variabel yang di teliti imunisasi dan

ISPA serta sampel yang diambil menggunakan teknik accidental


sampling dan analisa uji bivariat menggunakan uji chi square

sedangkan pada penelitian ini memiliki 3 variabel yang di teliti

lingkungan rumah, imunisasi dan ISPA serta teknik pengambilan

sampel dengan purposive sampling dan analisa data dilakukan

sampai multivariat.

2. Yusuf, Nur Achmad (2015), yang meneliti tentang hubungan

sanitasi rumah secara fisik, pencemaran udara dalam rumah dan

pejamu dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

pada balita di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut

Kota Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

observasional serta berdasarkan jenis desain termasuk penelitian

analitik. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara

acak sederhana (Simple Random Sampling).

Pada penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian

sebelumnya yaitu terletak pada variabel independen. Jumlah

sampel yang diambil pada penelitian diatas adalah seluruh

populasi sedangkan pada penelitian ini hanya mengambil sebagian

dari populasi yang menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu

purposive sampling sebanyak 77 responden. Untuk alat ukur hanya

menggunakan lembar observasi sedangkan pada penelitian ini

menggunakan lembar observasi yang mengacu pada variabel

lingkungan rumah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

a. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi pernafasan yang terjadi pada bayi dan balita salah

satunya bisa berupa ISPA infeksi pernafasan ini berhubungan

dengan saluran pernapasan atas dan saluran pernafasan

bawah. ISPA sendiri terdiri dari dua jenis yaitu ISPA atas dan

ISPA bawah. ISPA atas diantaranya selesma, sinusitis dan

radang tenggorokan. Sedangkan ISPA bawah diantaranya

adalah pneumonia dan bronkitis akut (Ardinasari, 2015).

ISPA adalah penyakit infeksi akut yang mengenai salah

satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk

jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan

juga pleura (Depkes, 2013).

Infeksi pernafasan menyebar dari satu struktur yang

struktur lain karena terhimpitnya membran mukus yang

membentuk garis lurus pada seluruh sistem. Akibatnya infeksi

sistem pernafasan meliputi beberapa area dari pada struktur


tunggal, walaupun efeknya berpengaruh pada penyakit

(Hartono, 2012).

b. Etiologi

Jumlah penderita ISPA kebanyakan pada anak. Etiologi

dan infeksinya mempengaruhi umur anak, musim, kondisi

tempat tinggal, dan masalah kesehatan yang ada. Penyakit

ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti

bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian

atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA

bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan

mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh

bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat

sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam

penanganannya (Hartono, 2012).

c. Patofisiologi

ISPA disebabkan oleh virus atau kuman golongan A

streptococus, stapilococus, haemophylus influenzae, clamydia

trachomatis, mycoplasma, dan pneumokokus yang menyerang

dan menginflamasi saluran pernafasan (hidung, pharing, laring)

dan memiliki manifestasi klinis seperti demam, meningismus,

anorexia, vomiting, diare, abdominal pain, sumbatan pada jalan

nafas, batuk, dan suara nafas wheezing, stridor, crackles, dan

tidak terdapatnya suara pernafasan (Hartono, 2012).


d. Tanda dan Gejala

Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit

ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana

penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk

dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan

frekuensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur.

Tanda-tanda ISPA infeksi saluran pernafasan yang paling

umum yaitu batuk. Walau demikian, tanda-tanda yang tidak

sama dapat juga mengikuti semasing infeksi saluran

pernafasan. Infeksi saluran pernafasan atas, biasanya

mempunyai tanda-tanda berbentuk hidung terhalang, hidung

beringus, bersin-bersin, batuk, nyeri otot, serta sakit

tenggorokan. Tanda-tanda lain yang mungkin saja muncul yaitu

hilangnya daya penciuman serta perasa, desakan pada telinga,

rasa perih enteng pada mata, serta demam. Infeksi saluran

pernafasan bawah, bisa mempunyai tanda-tanda berbentuk

batuk berdahak, meningkatnya ritme pernafasan, napas yang

tersengal-sengal atau sesak napas, sesak pada dada, serta

mengi. Tanda-tanda lain yang mungkin saja muncul yaitu

demam yang berulang, kesusahan makan, serta kurang tidur

pada bayi serta anak-anak (Rahmawati, 2012).

Tanda-tanda lain yang butuh diwaspadai yaitu batuk yang

berjalan sampai berminggu-minggu, muncul rasa sakit pada


dada, kehilangan berat tubuh, sampai batuk berdarah yang

dapat jadi penyebabnya paru-paru basah atau pneumonia.

Apabila di jumpai anak dengan keluhan tersebut secepatnya

menemui dokter untuk meyakinkan diagnosis dan perlakuan

medis (Rahmawati, 2012).

Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak

dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya:

1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan

yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor

(mengorok), wheezing (bunyi napas), demam.

2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai

kurang 5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran

menurun, stridor.

e. Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan

Perlu diingat, bahwa sebenarnya tidak semua batuk, pilek

dan panas disebabkan oleh kuman penyakit, tetapi dapat juga

disebabkan karena seseorang tidak tahan terhadap sesuatu,

misalnya makanan tertentu, udara dingin, debu, dan

sebagainya. Namun penyebab yang paling umum adalah

kuman penyakit. ISPA dapat menyerang anak-anak dan orang

dewasa. Tetapi bagi kita sangat penting memperhatikan ISPA

pada anak-anak, karena penyakit ini merupakan salah satu

penyebab penting kematian pada anak-anak, terutama pada


bayi dan anak-anak di bawah umur lima tahun (Balita).

klasifikasi ISPA berdasarkan tingkat keparahannyan (Depkes,

2013) yaitu :

1) ISPA ringan yaitu seseorang yang menderita ISPA ringan

apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak.

2) ISPA sedang yaitu apabila timbul gejala gejala sesak napas,

suhu tubuh lebih dari 39°C dan bila bernapas

mengeluarkan suara seperti mengorok.

3) ISPA berat yaitu gejala meliputi : kesadaran menurun, nadi

cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan

ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2

bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk

golongan umur ≤ 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu:

1) ISPA berat yaitu diisolasi dari cacing tanah dan tarikan kuat

dinding dada pada bagian bawah atau napas cepat. Batas

napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu

60x/mnt atau lebih.

2) Bukan ISPA yaitu batuk, pilek biasa (common cold), bila

tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian

bawah atau napas cepat.


f. Cara Penularan

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang

telah tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui

pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk

golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara

dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak

dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi

(Prabu, 2009).

g. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA

1) Status Gizi Balita

a) Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang

diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan

penggunaan makanan (Smallcrab, 2014). Sedangkan

status gizi didefinisikan sebagai tanda-tanda atau

penampilan yang diakibatkan oleh keadaan

keseimbangan antara pemasukan zat gizi di satu pihak

dan pengeluaran di pihak lain yang terlihat melalui

variabel tertentu. Variabel tersebut disebut indikator,

misalnya tinggi badan dan sebagainya.

b) Penilaian Status Gizi

Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi

pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah


dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal

dengan antropometri. Dalam pemakaian untuk

penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam

bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain.

Variabel tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Umur

Umur sangat memegang peranan dalam

penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan

menyebabkan interpretasi status gizi yang salah.

Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi

badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak

disertai dengan penentuan umur yang tepat.

Kesalahan yang sering muncul adalah adanya

kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah

seperti 1 tahun, 1,5 tahun dan 2 tahun. Oleh sebab

itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan

cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12

bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan

umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur

dalam hari tidak diperhitungkan.

(2) Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu ukuran yang

memberikan gambaran massa jaringan, termasuk


cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap

perubahan yang mendadak baik karena penyakit

infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.

Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks

BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan

penilaian dengan melihat perubahan berat badan

pada saat pengukuran dilakukan yang dalam

penggunaannya memberikan gambaran keadaan

kini. Berat badan paling banyak digunakan karena

hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja

tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang

dapat menggambarkan kecenderungan perubahan

situasi gizi dari waktu ke waktu.

(3) Tinggi Badan

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi

pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering

dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk

melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang

berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah

dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan

dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U (tinggi badan

menurut umur), atau juga indeks BB/TB (Berat

Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan


karena perubahan tinggi badan yang lambat dan

biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan

indeks ini pada umumnya memberikan gambaran

keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan

dan akibat tidak sehat yang menahun.

2. Lingkungan

a. Pengertian Lingkungan Rumah

Lingkungan rumah yang dapat memenuhi kebutuhan rohani

dan jasmani secara layak sebagai suatu tempat tinggal atau

perlindungan (Siahaan, 2011).

Banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus

dihadapi dan sangat mengganggu terhadap tercapainya

kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan bisa berakibat

positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati

dalam ekosistem. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah

elemennya,tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat

pulalah ekosistem tersebut. Perilaku yang kurang baik dari

manusia telah mengakibatkan perubahan ekosistem dan

timbulnya sejumlah masalah sanitasi. Persyaratan kesehatan

lingkungan perumahan dan permukiman sangat di perlukan

karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar

terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga dan

masyarakat (Siahaan, 2011).


b. Jenis-Jenis Lingkungan

Pengertian lingkungan adalah ruang lingkup hidup manusia

yang pada garis besarnya dibedakan menjadi dua yaitu

1) Lingkungan biotik atau lingkungan hidup, misalnya manusia,

binatang, tumbuh-tumbuhan. Lingkungan hidup adalah

kesatuan ruangan dengan semua benda daya keadaan dan

makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi langsung perikehidupan dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lainnya.

2) Lingkungan non biotik atau lingkungan tak hidup, biasa

dikenal pula dengan sebutan lingkungan fisik yaitu air,

udara, tanah, gunung.

c. Faktor-faktor Lingkungan yang Dapat Mempengaruhi

Terjadinya ISPA (Santoso, 2015) :

Kondisi lingkungan (polusi udara, kepadatan anggota

keluarga, keterbatasan tempat penukaran udara bersih,

kelembaban, kebersihan, musim, temperatur), ketersedian dan

efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan

infeksi untuk penyebaran (misalnya vaksin, akses terhadap

fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi) ISPA

mudah sekali tersebar, maka lingkungan yang seperti ini

merupakan faktor terjangkitnya penyakit ISPA (Santoso, 2015).


1) Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar

untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak

mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan

timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang

keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam

rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan

anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi

dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya

sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

2) Ventilasi Rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau

pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami

maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat

dijabarkan sebagai berikut:

a) Menyuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung

kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan.

b) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap

ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara

pengenceran udara

c) Menyuplai panas agar hilangnya panas badan

seimbang.
d) Menyuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan

bangunan.

e) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan

oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan

eksternal.

f) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

Ada dua macam ventilasi, yaitu:

a) Ventilasi alamiah yang dapat mengalirkan udara ke

dalam ruangan secara alamiah misalnya jendela, pintu,

lubang angin, dan lubang-lubang pada dinding.

b) Ventilasi buatan yang menggunakan alat-alat khusus

untuk mengalirkan udara ke dalam rumah, misalnya

kipas angin, dan mesin pengisap udara

Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena

berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan

kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan masuk dalam

ruangan. Luas ventilasi yang kurang dapat menyebabkan

suplai udara segar yang masuk ke dalam rumah tidak

tercukupi dan pengeluaran udara kotor ke luar rumah juga

tidak maksimal. Dengan demikian, akan menyebabkan

kualitas udara dalam rumah menjadi buruk. Berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang peraturan rumah


sehat menetapkan bahwa luas ventilasi alamiah yang

permanen minimal adalah 10% dari luas lantai. Ventilasi

yang memenuhi syarat dapat menghasilkan udara yang

nyaman dengan temperatur 220C dan kelembaban 50-70%

(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2010).

3) Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan

Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan kesehatan rumah, kepadatan hunian ruang

tidur minimal luasnya 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari 2 orang kecuali anak di bawah umur 5 tahun.

Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah

penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan

tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi

dalam rumah yang telah ada.

Menurut Winslow dan APHA, rumah yang sehat harus

memenuhi beberapa persyaratan antara lain (Suyono,2010) :

1) Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

a) Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar

matahari) maupun cahaya buatan (lampu).

Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60-120

lux. Luas jendela yang baik minimal 10%-20% dari luas

lantai.
b) Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses

pergantian udara dalam ruangan. Kualitas udara dalam

rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur

ruangan sebesar 18oC-30oC dengan kelembaban udara

sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat

10% luas lantai.

c) Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar

maupun dari dalam rumah (termasuk radiasi).

d) Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk

belajar.

2) Memenuhi Kebutuhan Psikologis

a) Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan

kebebasannya.

b) Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota

keluarga.

c) Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada

perbedaan tingkat yang ekstrem di lingkungannya.

Misalnya tingkat ekonomi.

d) Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.

e) Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus

disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Orang

tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak

diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan


perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar

sendiri.

f) Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk

terjaminnya keleluasaan bergerak, bernapas dan untuk

memudahkan membersihkan lantai.

g) Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5 tahun sebesar

4,5 m3, dan umurnya 5 tahun adalah 9m3. Artinya dalam

satu ruangan anak yang berumur 5 tahun ke bawah

diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5 x 1

x 3 m3, dan 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m3.

h) Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.

i) Hewan / ternak yang akan mengotori ruangan dan

ribut/bising hendaknya dipindahkan dari rumah dan

dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan.

3) Pencegahan Penularan Penyakit

a) Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat

kesehatan

b) Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat),

tikus dan binatang lainnya bersarang di dalam dan di

sekitar rumah.

c) Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi

syarat kesehatan.
d) Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan

higienis.

e) Luas kamar tidur maksimal 3,5m2 perorang dan tinggi

langit-langit maksimal 2,75m. Ruangan yang terlalu luas

akan menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman

secara psikologis, sedangkan apabila terlalu sempit

akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan

penularan penyakit karena terlalu dekat kontak.

f) Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih

dan bebas dari pencemaran atau gangguan serangga,

tikus dan debu.

4) Pencegahan terjadinya Kecelakaan

a) Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari

dalam ruangan dan menggantinya dengan udara segar.

b) Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah

bersarangnya serangga atau tikus, mencegah

terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.

c) Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus

memenuhi syarat bangunan sipil, terdiri dari bahan yang

baik dan kuat.

d) Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal

3m, lebar halaman antara atap tersebut minimal sama


dengan tinggi atap tersebut. Hal ini tidak berlaku bagi

perumahan yang bergandengan (couple).

e) Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar

yang rapuh/ mudah patah.

f) Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan

atau racun serangga sembarangan apabila didalam

rumah terdapat anak kecil.

g) Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak,

fitting dll) harus memenuhi standar PLN.

h) Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga

minimal 25 cm, tinggi anak tangga maksimal 18 cm,

kemiringan tangga antara 30-36. Tangga harus diberi

pegangan yang kuat dan aman.

3. Status Imunisasi

a. Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap

suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu kedalam tubuh

agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah

atau berbahaya bagi seseorang. Tujuan pemberian imunisasi

yaitu untuk mencegah terjadinya infeksi tertentu dan apabila

terjadi penyakit tidak akan terlalu parah dan dapat mencegah

gejala yang dapat menimbulkan cacat atau kematian (Yuni &

Oktami, 2014).
Vaksin adalah suatu suspensi mirkoorganisme hidup yang

dilemahkan atau mati atau bagian antigenic, agen ini yang

diberikan pada hospes potensial untuk menginduksi imunitas

dan mencegah penyakit. Dimana vaksinasi merupakan salah

satu cara mencegah penyakit yang paling murah dan efektif

(Proverawati dan Andhini, 2010).

Menurut Proverawati dan Andhini (2010), imunisasi

sebagai salah satu cara untuk menjadikan kebal pada bayi

dan anak dari berbagai penyakit, diharapkan anak atau bayi

tetap tumbuh daam keadaan sehat. Pada dasarnya dalam

tubuh sudah memiliki pertahanan secara mandiri agar

berbagai kuman yang masuk dapat dicegah, pertahanan

tubuh tersebut meliputi pertahanan non spesifik dan

pertahanan spesifik, proses mekanisme pertahanan dalam

tubuh pertama kali adalah pertahanan non spesifik seperti

komplemen dan makrofag dimana komplemen dan makrofag

ini pertama kali akan memberikan peran ketika ada kuman yag

masuk kedalam tubuh.

b. Manfaat dan Tujuan Imunisasi

Manfaat dan tujuan pemberian imunisasi memberikan

kekebalan tubuh pada bayi terhadap penyakit tertentu. Tujuan

imunisasi adalah sebagai berikut (Proverawati dan Andhini,

2010):
1) Melindungi tubuh bayi dan anak dari penyakit menular yang

dapat membahayakan bagi ibu dan anak.

2) Memberikan kekebalan pada tubuh bayi terhadap penyakit

seperti : Hepatitis, Dipteri, Polio, TBC, Tetanus, Pertusis,

Campak, dan lain-lain.

Adapun tujuan dari program imunisasi yaitu untuk

menurunkan angka kesakitan dan kematian pada anak dari

penyakit dapat dicegah dengan imunisasi.

c. Jenis Imunisasi

Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh

pemerintah dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi

wajib di Indonesia sebagaimana yang diwajibkan oleh WHO

yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B (KemeKes RI,

2015).

Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang diberikan

pada semua orang, terutama bayi dan balita sejak lahir untuk

melindungi tubuhnya dari penyakit-penyakit yang berbahaya.

Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah

imunisasi terhadap tujuh penyakit yaitu TBC, difteri, pertusis,

tetanus, poliomyelitis, campak dan hepatitis B. Ke-lima jenis

imunisasi dasar yang wajib diperoleh adalah:

1) Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang memberikan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC).


Imunisasi BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2

bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena

keberhasilannya diragukan. Imunisasi dilakukan dengan

menyuntikkan vaksin BCG secara intrakutan di insertio

deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,05 ml untuk bayi

dibawah usia 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak usia 1 tahun

atau lebih. Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus

dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%. Setelah dilarutkan harus

segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang.

Penyimpanan pada suhu < 5oC terhindar dari sinar matahari

(indoor day- light) (Lisnawati, 2011).

2) Imunisasi DPT yaitu merupakan imunisasi dengan

memberikan vaksin mengandung racun kuman yang telah

dihilangkan racunnya akan tetapi masih dapat merangsang

pembentukan zat anti (toxoid) untuk mencegah terjadinya

penyakit difteri, pertusis,dan tetanus,yang diberikan 3 kali

pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal 4

minggu.

3) Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis

yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada kaki, yang

diberikan 4 kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval

minimal 4 minggu
4) Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan kekebalan aktif terhadap penyakit

campak karena penyakit ini sangat menular, yang diberikan

1 kali pada bayi usia 9-11 bulan

5) Imunisasi hepatis B, adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B

yaitu penyakit yang dapat merusak hati, yang diberikan 3

kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal 4

minggu cakupan imunisasi lengkap pada anak, yang

merupakan gabungan dari tiap jenis imunisasi yang

didapatkan oleh seorang anak. Sejak tahun 2004

hepatitis-B disatukan dengan pemberian DPT menjadi

DPT-HB (Proverati 2010).

Imunisasi di bagi menjadi dua yaitu imunisasi aktif dan

imunisasi pasif (Wiradharma, 2012)

1) Imunisasi Aktif

Merupakan pemberian zat sebagai antigen yang

diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan

sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang

akan menghasilkan respons seluler dan humoral serta

dihasilkannya sel memori, sehingga apabila benar-benar

terjadi infeksi maka tubuh secara cepat dapat merespon.

Kekebalan bisa terbentuk saat seseorang terinfeksi secara


alamiah oleh bibit penyakit atau terinfeksi secara buatan

saat diberi vaksinasi. Kelemahan dari kekebalan aktif ini

adalah memerlukan waktu sebelum sipenderita mampu

membentuk antibodi yang tangguh untuk melawan agen

yang menyerang. Keuntungannya daya imunitas biasanya

bertahan lama bahkan bisa seumur hidup.

Kekebalan yang terbentuk setelah tubuh mengalami

penyakit menular tertentu, misalnya campak. Pada saat

bayi lahir ia dibekali dengan sistem kekebalan tubuh

bawaan dari ibunya. Inilah yang kita sebut sebagai

kekebalan pasif alamiah. Kekebalan jenis ini sangat

tergantung pada kekebalan yang dipunyai ibu.

2) Imunisasi pasif

Merupakan pemberian zat yang dihasilkan melalui

suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma

manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi

mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang

terinfeksi. Kekebalan pasif terjadi bila seseorang

mendapatkan daya imunitas dari luar dirinya. Jadi tubuh

sendiri tidak membentuk sistem kekebalan tersebut.

Kekebalan jenis ini bisa didapat langsung dari luar atau

secara alamiah. Keunggulan dari kekebalan pasif yaitu

langung dapat dipergunakan tanpa menunggu tubuh


penderita membentuknya. Kelemahannya adalah tidak

dapat berlangsung lama. Kekebalan jenis ini memang biasa

hanya bertahan beberapa minggu sampai satu bulan saja.

Kekebalan yang terbentuk setelah dengan sengaja

memasukkan vaksinasi ke dalam tubuh, misalnya : hepatitis

B, DPT, Polio. Pada keadaan ini daya imunitas diperoleh

dari luar. Kelebihanya dapat langsung dipergunakan tubuh

untuk melawan bibit penyakit, tapi sayangnya kekebalan

jenis ini biasanya mempunyai waktu efektif yang pendek.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi

Lengkap

1) Usia Ibu

Usia adalah lamanya seseorang hidup dihitung dari

tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir.

Usia merupakan konsep yang masih abstrak bahkan

cenderung menimbulkan variasi dalam pengukurannya.

Seseorang mungkin menghitung umur dengan tepat tahun

dan kelahirannya, sementara yang lain menghitungnya

dalam ukuran tahun saja (Zaluchu, 2008).

Ibu yang berusia lebih muda dan baru memiliki anak

biasanya cenderung untuk memberikan perhatian yang

lebih akan kesehatan anaknya, termasuk pemberian

imunisasi (Reza, 2006). Merujuk hal tersebut, diketahui


bahwa usia yang paling aman seorang ibu untuk

melahirkan anak adalah 20 sampai 30 tahun

Penelitian Reza (2006) disebutkan bahwa ibu yang

berusia ≥ 30 tahun cenderung untuk tidak melakukan

imunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia <

30 tahun cenderung untuk melakukan imunisasi lengkap

2,03 kali dibandingkan dengan usia ibu ≥ 30 tahun.

2) Pendidikan

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem

Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

3) Pekerjaan

Pekerjaan dapat memberikan kesempatan suatu

individu untuk sering kontak dengan individu lainnya,

bertukar informasi dan berbagi pengalaman pada ibu yang

bekerja akan memiliki pergaulan yang luas dan dapat saling

bertukar informasi dengan teman sekerjanya, sehingga

lebih terpapar dengan program-program kesehatan


khususnya imunisasi (Reza, 2016). Penelitian Darnen

(2012) menyebutkan bahwa ibu yang bekerja mempunyai

peluang 1,1 kali untuk mengimunisasikan anaknya dengan

lengkap dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

4) Jumlah anak

Kunjungan ke pos pelayanan imunisasi terkait dengan

ketersediaan waktu bagi ibu untuk mencari pelayanan

imunisasi terhadap anaknya. Oleh karena itu jumlah anak

yang dapat mempengaruhi ada tidaknya waktu bagi ibu

meninggalkan rumah untuk mendapatkan pelayanan

imunisasi kepada anaknya. Semakin banyak jumlah anak

terutama ibu yang masih mempunyai bayi yang merupakan

anak ketiga atau lebih akan membutuhkan banyak waktu

untuk mengurus anak-anaknya tersebut. Sehingga semakin

sedikit ketersediaan waktu bagi ibu untuk mendatangi

tempat pelayanan imunisasi (Reza, 2016).

Besarnya anggota keluarga diukur dengan jumlah anak

dalam keluarga. Makin banyak jumlah anak makin besar

kemungkinan ketidaktepatan pemberian imunisasi pada

anak. Keluarga yang mempunyai banyak anak

menyebabkan perhatian ibu akan terpecah, sementara

sumber daya dan waktu ibu terbatas sehingga perawatan

untuk setiap anak tidak dapat maksimal.


5) Penghasilan

Penghasilan adalah upah yang didapat oleh seseorang

setelah dia melakukan pekerjaan yang sesuai standar atau

minimum rata-rata yang telah ditetapkan. Upah atau gaji

bisa diberikan dalam bentuk apapun namun lebih jelas

menggunakan nominal nilai angka mata uang yang diterima

seseorang setiap minggu ataupun bulanan. Kesejahteraan

seorang anak dipengaruhi oleh keadaan sossial orang tua

nya. Menurut BAPPENAS status ekonomi keluarga yaitu

berkorelasi negatif, dimana angka kematian anak pada

keluarga berada/kaya lebih rendah jika dibandingkan

dengan angka pada rumah tangga miskin.Sekitar 35%

kematian anak dan balita mempunyai latar belakang yang

berkaitan dengan kejadian gizi buruk atau gizi kurang.

6) Pengetahuan

Pengetahuan adalah dari hasil tahu dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui

panca indera manusia yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba yang sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2010)


Hubungan antara status imunisasi dasar pada bayi usia

0-12 bulan lengkap dengan pengetahuan ibu tentang

imunisasi, pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, dan

jumlah anak. Di antara beberapa faktor tersebut

pengetahuan ibu tentang imunisasi merupakan suatu faktor

yang sangat erat hubungannya dengan status imunisasi

anak.

4. Anak

a. Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga

remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan

perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah

(5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada

antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang

anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan

pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan

lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik,

kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik

adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang

sama akan tetapi mempunyai perbedaan dan pertumbuhannya

(KemKes, 2014).
Demikian juga halnya perkembangan kognitif juga

mengalami perkembangan yang tidak sama. Adakalanya anak

dengan perkembangan kognitif yang cepat dan juga

adakalanya perkembangan kognitif yang lambat. Hal tersebut

juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang anak.

Perkembangan konsep diri ini sudah ada sejak bayi, akan tetapi

belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami

perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada anak.

Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hamper sama

dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping pada

anak juga sudah terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat

pada saat bayi anak menangis. Salah satu pola koping

yangdimiliki anak adalah menangis seperti bagaimana anak

lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya.

Kemudian perilaku sosial pada anak juga mengalami

perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada masa bayi

perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti

bagaimana anak mau diajak orang lain, dengan orang banyak

dengan menunjukkan keceriaan (KemKes, 2014).

Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya

perilaku sosial yang seiring dengan perkembangan usia.

Perubahan perilaku social juga dapat berubah sesuai dengan


lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau

bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2015).

Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan

kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak- kanak dan

masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih

rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman

yang terbatas, yang memengaruhi pemahaman dan persepsi

mereka mengenai dunia. Awitan penyakit bagi mereka

seringkali mendadak, dan penurunan dapat berlangsung

dengan cepat (Azis, 2015).

Faktor kontribusinya adalah sistem pernapasan dan

kardiovaskular yang belum matang, yang memiliki cadangan

lebih sedikit dibandingkan orang dewasa, serta memiliki tingkat

metabolisme yang lebih cepat, yang memerlukan curah jantung

lebih tinggi, pertukaran gas yang lebih besar dan asupan cairan

serta asupan kalori yang lebih tinggi per kilogram berat badan

di bandingkan orang dewasa. Kerentanan terhadap

ketidakseimbangan cairan pada anak adalah akibat jumlah dan

distribusi cairan tubuh. Tubuh anak terdiri dari 70-75% cairan,

di bandingkan dengan 57-60% cairan pada orang dewasa.

Pada anak-anak, sebagian besar cairan ini berada

dikompartemen cairan ekstrasel dan oleh karena itu cairan ini

lebih dapat diakses. Oleh karena itu kehilangan cairan yang


relatif sedang dapat mengurangi volume darah, menyebabkan

syok, asidosis dan kematian (Slepin, 2014).

b. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah

salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh para

pakar, karena hal tersebut merupakan aspek yang menjelaskan

mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik

maupun psikososial. Mereka menganggap bahwa selama anak

tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan

termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sering kali

para orang tua mempunyai pemahaman bahwa pertumbuhan

dan perkembangan mempunyai pengertian yang sama

(Nursalam, 2015).

1) Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan

struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena

adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga karena

bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan

pertambahan ukuran sel berarti ada pertambahan secara

kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya konsepsi,

yaitu bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI,

2000).
2) Perkembangan

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan

struktur fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang

teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil

dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ,

dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000).

Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat

kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari

masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan

berfungsinya jantung untuk memompakan darah,

kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak

untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda-benda

di sekelilingnya serta kematangan emosi dan sosial anak.

c. Prinsip-prinsip Keperawatan Anak

Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak yang

dijadikan sebagai pedoman dalam memahami filosofi

keperawatan anak. Perawat harus memahaminya, mengingat

ada beberapa prinsip yang berbeda dalam penerapan asuhan.

Di antara prinsip dalam asuhan keperawatan anak tersebut

adalah:

1) Prinsip Pertama

Anak bukan miniature orang dewasa tetapi sebagai

individu yang unik. Prinsip dan pandangan ini mengandung


arti bahwa tidak boleh memandang anak dari ukuran fisik

saja sebagaimana orang dewasa melainkan anak sebagai

individu yang unik yang mempunyai pola pertumbuhan dan

perkembangan menuju proses kematangan. Pola-pola

inilah yang harus dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk

fisiknya saja tetapi kemampuan dan kematangannya.

2) Prinsip Kedua

Anak adalah sebagai individu yang unik dan

mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap

perkembangan. Sebagai individu yang unik anak memiliki

berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain

sesuai dengan usia tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut

dapat meliputi kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi

dan cairan, aktivitas, eliminasi, istirahat, tidur, dan lain-lain.

Selain kebutuhan fisiologis tersebut, anak juga sebagai

individu yang juga membutuhkan kebutuhan psikologis,

sosial, dan spiritual.

3) Prinsip Ketiga

Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya

pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan,

bukan hanya mengobati anak yang sakit. Upaya

pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan

bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian


pada anak, mengingat anak adalah generasi penerus

bangsa

4) Prinsip Keempat

Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan

yang berfokus pada kesejahteraan anak sehingga perawat

bertanggung jawab secara komprehensif dalam

memberikan asuhan keperawatan anak.

5) Prinsip Kelima

Praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan

anak dan keluarga untuk mencegah, mengkaji,

mengintervensi, dan meningkatkan kesejahteraan hidup,

dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai

dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal).

6) Prinsip Keenam

Tujuan keperawatan anak dan remaja adalah untuk

meningkatkan maturasi atau kematangan yang sehat bagi

anak dan remaja sebagai mahluk biopsikososial dan

spiritual dalam konteks keluarga dan masyarakat. Ketujuh,

pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan

anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang sebab ilmu

tumbuh kembang ini yang akan mempelajari aspek

kehidupan anak (Azis, 2005).


B. Penelitian Terkait

1. Setianingrum (2016), tentang “Hubungan Sanitasi Rumah Dengan

Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan”. Hasil penelitian

menunjukkan sebanyak 33 (84,6%) responden dengan Sanitasi

Rumah tidak Sehat, sebanyak 12 (30,8%) responden mengalami

kejadian ISPA serta ada hubungan yang signifikan antara sanitasi

rumah dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan

Sukamerindu Kota Bengkulu.

2. Eva Suprihatin (2012), yang meneliti tentang “Hubungan

Faktor-Faktor Dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Puskesmas X

Kota Bandung”. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa terdapat

hubungan antara BBLR dan imunisasi terhadap kejadian ISPA,

serta tidak terdapat hubungan antara status gizi, kepadatan tempat

tinggal dan lingkungan fisik ventilasi terhadap kejadian ISPA.

Berdasarkan dari penelitian terkait dapat disimpulkan bahwa

sanitasi rumah serta imunisasi memiliki hubungan terjadinya ISPA

pada balita atau anak.

C. Kerangka Teori Penelitian

Menurut Sugiyono (2010) kerangka teori adalah alur atau logika

atau penalaran yang merupakan seperangkat konsep, definisi dan

proporsi yang disusun secara sistematis. Berdasarkan tujuan

penelitian diatas maka kerangka teori dalam penelitian ini adalah


Lingkungan Rumah Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA)

Lingkungan rumah yang dapat


memenuhi kebutuhan rohani dan
Infeksi akut yang mengenai
jasmani secara layak sebagai suatu salah satu bagian atau lebih dari
tempat tinggal atau perlindungan saluran nafas mulai dari hidung
(Siahaan, 2011). (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya seperti
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi
sinus, rongga telinga tengah dan
Lingkungan Rumah
juga pleura (Depkes, 2013).
1. Pencemaran udara dalam rumah
2. Ventilasi rumah
3. Kepadatan hunian rumah
Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya ISPA
1. Faktor lingkungan
Imunisasi
2. Faktor individu anak
3. Faktor perilaku.

Imunisasi adalah pemberian


kekebalan terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu Faktor - Faktor
kedalam tubuh agar tubuh tahan Mempengaruhi Status
terhadap penyakit yang sedang
Imunisasi
1.Usia Ibu
Jenis Imunisasi
2.Jenjang Pendidikan
1. BCG 4. CAMPAK
3.Pekerjaan
2. DPT 5. HEPATITIS b
3. POLIO 4.Jumlah Anak
5.Penghasilan

Gambar 2.1 Skema Kerangka Teori


D. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian

dan visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan

diukur/diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Responden Variabel X1
Lingkungan Rumah
1. Bersih ISPA
1. Umur Orang Tua
2. Kotor 1. ISPA
2. Pendidikan
2. Tidak
3. Pekerjaan
ISPA
4. Jenis kelamin Variabel X2
Anak Status Imunisasi
5. Umur anak 1. Lengkap
2. Tidak Lengkap

Gambar 2.2 Skema kerangka Konsep

Keterangan
Variabel Independen : (Variabel X1) Lingkungan Rumah
(Variabel X2) Status Imunisasi
Variabel Dependen : Kejadian ISPA
: Area Yang Di Teliti
-------------- : Area Yang tidak Di Teliti
: Arah Hubungan

E. Hipotesis / Pertanyaan Penelitian

Secara umum pengertian hipotesis berasal dari kata hipo (lemah)

dan tesis (pernyataan), secara singkat hipotesis di definisikan sebagai

pernyataan yang merupakan terkaan mengenai hubungan antara dua

variabel atau lebih. Tujuan dari hipotesis adalah untuk menjembatani

antara teori dan kenyataan, dalam hal ini hipotesis menggabungkan


dua domain. Type hipotesis yaitu Ho (hipotesis nol) untuk pengukuran

statistik dan interprestasi hasil statistik, sedangkan Ha (hipotesis

alternatif) yaitu untuk menyatakan pengaruh, hubungan dan

perbedaan antara dua atau lebih variabel. Berdasarkan kerangka

konsep diatas maka hipotesis penelitian ini adalah :

Hα : 1. Ada hubungan antara lingkungan rumah dengan kejadian

ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung

Samarinda

Ho : 2. Tidak ada hubungan antara lingkungan rumah dengan

kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda

Hα : 1. Ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian

ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung

Samarinda

Ho : 2. Tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Puskesmas

Temindung Samarinda
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian descriptive

analitik dengan pendekatan cross sectional. Arikunto (2010),

mendefinisikan cross sectional (pendekatan silang) sebagai

pengambilan data yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Nursalam (2011), mendefinisikan cross sectional (hubungan dan

asosiasi) adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu

pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen

hanya satu kali atau pada satu saat.

Penelitian ini disusun dengan menunjukkan hubungan antara

lingkungan rumah dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung Samarinda Tahun

2017.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian telah dilaksanakan di Poli Anak Puskesmas

Temindung Samarinda.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian telah dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan

Oktober-Desember 2017.
C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek yang

memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Populasi merupakan

seluruh subyek atau obyek yang tertentu yang akan di teliti. Bukan

hanya subyek atau obyek yang dipelajari saja tetapi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki subyek atau obyek tersebut

(Sugiyono, 2010).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah anak 1-5

tahun yang mengalami ISPA sebanyak 96 kasus yang mengalami

ISPA selama 3 bulan terakhir dari bulan Juli-September 2017.

2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subyek penelitian sampling. Sedangkan

sampling adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili

populasi yang ada (Hidayat, 2010). Sampel dalam penelitian ini

adalah anak usia 1-5 tahun yang berobat di Puskesmas Temindung

Samarinda. Sedangkan respondennya adalah orang tua atau wali

dari anak 1-5 tahun sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria sampel

yang akan diteliti yaitu :


a. Kriteria Inklusi

1) Ibu / Ayah / Keluarga yang membawa anaknya datang

berobat dengan keluhan batuk pilek dan demam di

Puskesmas Temindung Samarinda.

2) Bersedia menjadi responden dengan mengisi surat

persetujuan menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

1) Ibu / Ayah / Keluarga yang memiliki anak dengan riwayat

RDS (Respiratory Distress Syndrome).

2) Ibu / Ayah / Keluarga yang memiliki anak dengan penyakit

saluran pernapasan lainnya (asma dan TB paru).

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampilng adalah merupakan teknik pengambilan

sampel. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam

penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan

(Sugiyono, 2010).

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Mengenai hal ini Arikunto (2010) menjelaskan bahwa purposive

sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan

didasarkan atas strata, random, atau daerah tetap didasarkan atas

adanya tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010) purposive

sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan


tertentu artinya setiap subyek yang diambil dari populasi dipilih

dengan sengaja berdasarkan tujuan dan pertimbangan tertentu.

4. Besar Sampel

Besarnya sampel ditentukan dengan rumus dan memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi, dimana kriteria tersebut menentukan

dapat tidaknya sampel tersebut digunakan. Secara sistematis

rumus Slovin yang akan digunakan untuk menentukan jumlah

sampel adalah sebagai berikut (Sujarweni, 2014) :

Rumus Slovin

N
n 
1  N (d ) 2

Keterangan :

n : Besar sampel minimum

N : Besar populasi

d² : kesalahan (absolute ) yang dapat ditoleransi (0,05%)

Jumlah sampel yang digunakan dengan jumlah populasi 96 yaitu

N
n
1  N (d ) 2
96
n
1  96 ( 0 , 05 ) 2
96
n
1  96 ( 0 , 0025 )
96
n
1  0 , 24
96
n
1, 24
n 77 , 4

Jadi, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak

77 responden
D. Definisi Operasional

Definisi operasioal adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

dapat diamati (diukur), memungkinkan peneliti untuk melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau

fenomena yang kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain

(Nursalam, 2011). Definisi operasional dalam penelitian ini adalah

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian


Cara
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala
Ukur
Independen
Lingkungan Kondisi lingkungan Lembar Hasil ukur Ordinal
Rumah rumah yang dapat observasi lingkungan
mempengaruhi menggunakan cut
terjadinya ISPA pada off point
anak antara lain Data berdistribusi
pencemaran udara normal
didalam rumah, 1 : Lingkungan
ventilasi rumah dan rumah sehat jika
kepadatan hunian mean ≥ 9,85
rumah 0 : Lingkungan
rumah kurang
sehat jika mean <
9,85
Status Kelengkapan status Kartu 1 : imunisasi anak Ordinal
Imunisasi anak dalam Imunisasi sudah lengkap
pemberian imunisasi yaitu BCG dan
dasar yang sesuai DPT
dengan usiannya, 0 : imunisasi anak
terutama imunisasi belum lengkap jika
BCG dan DPT yang yaitu BCG dan
diberikan sebanyak 4 DPT belum di
kali pada usia 2, 4, 6, berikan
18 bulan dan usia 5
tahun
Dependen
Kejadian Keluhan batuk pilek Status 0 : ISPA Ordinal
ISPA yang disertai demam diagnosa 1 : Tidak ISPA
maupun tidak demam medis
yang berlangsung anak
selama 14 hari
((Batuk pilek, Sakit
telinga (otitis media),
Radang tenggorokan
(faringitis))
E. Instrumen Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah mengumpulkan data berupa lembar observasi. Angket adalah

suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu

yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (orang

banyak).

1. Kuesioner A, merupakan data demografi yang terdiri dari umur,

pendidikan, pekerjaan responden, umur anak, jenis kelamin anak.

2. Lembar observasi A, merupakan lembar observasi mengenai

syarat lingkungan rumah yang sehat dengan ketentuan skor 1 :

terpenuhi 2 : tidak terpenuhi

3. Lembar observasi B, merupakan lembar observasi yang berkaitan

dengan kejadian ISPA dan data diambil melalui status diagnosa

medis dari dokter dengan ketentuan skor 1 : ISPA, 0 : Tidak ISPA.

4. Lembar obersvasi C, merupakan lembar observasi yang berkaitan

dengan status imunisasi anak dan data diambil melalui kartu

imunisasi (KMS) dengan ketentuan skor 1 : imunisasi lengkap, 0 :

imnusasi tidak lengkap.

F. Uji Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer. Data dikumpulkan

dengan teknik observasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dengan sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dan

gejala-gejala pisis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Dalam


kaitannya dengan penelitian ini penulis langsung terjun ke lapangan

menjadi partisipan (observer partisipatif) untuk menemukan dan

mendapatkan data yang berkaitan dengan fokus penelitian, yaitu,

Tinjauan hukum Islam terhadap sistem ganti rugi pengiriman barang

yang hilang atau rusak.

Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang

tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket)

namun juga dapat digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang

terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakan bila penelitian ditujukan

untuk mempelajari perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam

dan dilakukan pada responden yang tidak terlalu besar (Sugiyono,

2011).

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat itu benar

untuk mengukur apa yang diukur. Menurut Riyanto (2011),

pengujian uji validitas dan realibitas disesuaikan dengan skala

yang digunakan.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabiltas adalah suatu indek yang menunjukkan sejauh

mana hasil suatu penelitian pengukur dapat dipercaya (Saiffudin

Azwar, 2000). Hasil pengukuran dapat dipercaya atau reliabel

hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran


terhadap kelompok subyek yang sama, selama aspek yang diukur

dalam dari subyek memang belum berubah.

Pada penelitian ini ketiga variabel menggunakan instrumen non tes.

Penggunaan instrumen-instrumen non tes seperti angket, lembar

observasi, wawancara, pemeriksaan dokumen dan studi kasus dalam

kegiatan penelitian pendidikan kini telah banyak digunakan oleh

mahasiswa jurusan kependidikan, guru, dosen, maupun praktisi

pendidikan lainnya (Zainal, 2011).

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji intrumen (uji validitas dan

reliabilitas), karena ketiga varibel menggunakan instrumen lembar

observasi. Variabel lingkungan menggunakan lembar observasi

dimana peneliti langsung mengamati kondisi lingkungan rumah

responden yang di teliti, sedangkan pada variabel status imunisasi

peneliti langsung melihat buku KMS dan variabel ISPA didapatkan

langsung daru status pasien serta diagnosa yang diberikan oleh

dokter.

G. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Menurut Mundir (2013) setelah kuesioner diisi oleh responden

maka data diolah melalui tahapan sebagai berikut:

a. Editing yaitu meneliti kembali apakah isian dalam lembar

kuesioner sudah lengkap dan diisi, editing dilakukan ditempat

pengumpulan data, sehingga jika ada kekurangan data dapat


segera dikonfirmasikan pada reponden. Dengan demikian

diharapkan akan diperoleh data yang valid dan reliable dan

dapat dipertanggung jawabkan, yang perlu dicek adalah:

1) Dipenuhi tidaknya instruksi sampling.

2) Dapat dibaca atau tidaknya data yang masuk.

3) Kelengkapan pengisian

4) Keserasian (consistency).

5) Apakah isi jawaban dapat dipahami.

b. Coding adalah usaha pengklasifikasian jawaban dari para

responden menurut macamnya. Dalam melakukan coding,

jawaban responden diklasifikasikan dengan menggunakan

kode tertentu berupa angka.

c. Tabulating yaitu langkah memasukkan data-data hasil

penelitian kedalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah

ditentukan.

d. Entry data yaitu memasukkan data kedalam kategori tertentu

untuk dilakukan analisis data dengan menngunakan bantuan

program komputer

e. Cleaning yaitu mengecek kembali data yang sudah dientry

apakah ada kesalahan atau tidak, membuang data yang sudah

tidak dipakai.
2. Analisa Data

Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui

hubungan antara satu variabel terikat (dependent variabel) dengan

beberapa variabel terbuka (independent variabel). Adapun tahapan

analisa data sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk mengecek

apakah data penelitian kita berasal dari populasi yang

sebarannya normal. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

digunakan jika sampel (> 50) dengan nilai kemaknaan p >

0,05 (Sugiyono, 2010).

Hasil penelitian uji normalitas pada variabel lingkungan

didapatkan sebaran data normal dengan hasil sebagai

berikut :

Tabel 3.2 Hasil Uji Normalitas


Variabel p Kolmogorov-Smirnov Keterangan
Status Sebaran Data
0,197 0,05
Lingkungan Normal

b. Analisis univariat

Analisis univariat, yaitu analisa yang dilakukan terhadap

variabel variabel dari hasil penelitian secara tersendiri dengan

melihat variable. Data yang telah terkumpul melalui kuesioner

akan di analisa melalui analisa univariat yang bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan dari variabel yang


ditetapkan dengan rumus yang gunakan distribusi frekuensi

adalah:

F
P  x100%
N

Keterangan :

P =Prosentase yang dicari.

F = Frekuensi responden untuk setiap pertanyaan yang ada.

N = Jumlah responden.

c. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk

mengetahui hubungan antara dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Analisis ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara lingkungan rumah dan status

imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak 1-5 tahun di

Puskesmas Temindung (Notoatmodjo, 2010). Analisis bivariat

penelitian ini menggunakan uji statistik chi-square. Adapun

rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

X2  
O  E 2
E

Keterangan :

X² = Nilai akhir (kai kuadrat)

Σ = Jumlah

O = Observasi

E = Ekspektasi yang di harapan


Syarat uji Chi-Square :

1) Sudah dikategorikan skala ukur ordinal/nominal bentuk data

kategorik

2) Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan/nilai

ekspektasi (nilai E kurang dari 1)

3) Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan / nilai

ekspektasi kurang dari 5, lebih 20% dari keseluruhan sel

4) Jika syarat uji chi square tidak terpenuhi, maka :

a) Bila tabel 2 x 2 dijumpai nilai ekpected kurang dari 5,

maka yang digunakan adalah Fisher exact test.

b) Bila tabel 2 x 2 tidak ada nilai E< 5, maka uji yang

dipakai adalah Continuity Correction.

c) Bilai tabel lebih dari 2 x 2, misal 2x3, 3x3 dsb, maka

gunakan uji Pearson Chi Square

Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik

digunakan batas kemaknaan 0,05. Kriteria penerimaan Ha

adalah jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel, berarti ada

hubungan lingkungan rumah, status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada anak 1-5 Tahun di Puskesmas

Temindung.

d. Analisa Multivariat

Metode pengolahan variabel dalam jumlah yang banyak,

dimana tujuannya adalah untuk mencari pengaruh


variabel-variabel tersebut terhadap suatu obyek secara

simultan atau serentak. Pada penelitian ini analisis multivariat

yang digunakan adalah analisis regresi logistik yaitu salah

satu pendekatan model matematis yang digunkan untuk

menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel

independen dengan sebuah varibel dependen katagorik yang

bersifat dikotom/binary. Variabel katagori yang dikotom adalah

variabel yng mempunyai dua nilai variasi misalnya sakit dan

tidak sakit, patuh dan tidak patuh (Hastono, 2010).

Analisa regresi logistik adalah metode regresi yang

menggambarkan hubungan antara beberapa variabel

independen (explanatory) dengan sebuah variabel respon

dikotomus atau biner. Variabel respon (Y) pada metode

regresi logistik dikatakan biner karena terdiri atas dua kategori

yaitu 0 dan 1. Regresi logistik digunakan untuk analisis data

respon kategorik (nominal/ordinal) dengan variabel-variabel

bebas kontinu dan kategorik.

Regresi logistik adalah sebuah pendekatan untuk

membuat model prediksi seperti halnya regresi linear atau

yang biasa disebut dengan istilah Ordinary Least Squares

(OLS) regression. Perbedaannya adalah pada regresi logistik,

peneliti memprediksi variabel terikat yang berskala dikotomi.

Skala dikotomi yang dimaksud adalah skala data nominal


dengan dua kategori, misalnya: Ya dan Tidak, Baik dan Buruk

atau Tinggi dan Rendah. Apabila pada OLS mewajibkan

syarat atau asumsi bahwa error varians (residual) terdistribusi

secara normal. Sebaliknya, pada regresi ini tidak dibutuhkan

asumsi tersebut sebab pada regresi jenis logistik ini mengikuti

distribusi logistik.

Model persamaan aljabar layaknya OLS yang biasa kita

gunakan adalah berikut: Y = B0 + B1X + e. Dimana e adalah

error varians atau residual. Dengan model regresi ini, tidak

menggunakan interpretasi yang sama seperti halnya

persamaan regresi OLS. Model Persamaan yang terbentuk

berbeda dengan persamaan OLS. Berikut persamaannya

regresi logistik
 

 P   B
In   0  B1 X
 1  P
 

Keterangan :

Ln : Logaritma Natural

B0 + B1X : Persamaan yang biasa dikenal dalam OLS.

P Aksen : Probabilitas logistik

P Aksen yang didapat rumus sebagai berikut:


 exp B0  B1 X  e  B0  B1 X 
p 
1  exp B0  B1 X  1  e  B0  B1 X 

Di mana:

exp atau ditulis “e” adalah fungsi exponen


Hosmer dan Lemeshow Test adalah uji Goodness of fit

test (GoF), yaitu uji untuk menentukan apakah model yang

dibentuk sudah tepat atau tidak. Dikatakan tepat apabila

tidak ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai

observasinya.

H. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting

mengingat penelitian berhubungan langsung dengan manusia, maka

segi penelitian harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak

asasi dalam penelitian (Sugiyono, 2010):

1. Informed Concent

Lembar persetujuan ini diberikan pada responden yang diteliti

yang memenuhi kriteria, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian yang dilakukan. Subyek yang bersedia menjadi

responden menandatangani lembar persetujuan untuk dijadikan

sebagai responden.

2. Anonimitas

Yaitu untuk menjaga kerahasiaan responden, tetapi lembar

persetujuan diberi kode yang hanya diketahui oleh peneliti.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil suatu

penelitian.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Temindung

1. Sejarah dan Perkembangan Puskesmas Temindung

Puskesmas Temindung berdiri tahun 1972 dengan nama

Puskesmas Inpres Temindung, yang beralamat Jl. Pelita dan

bangunan terbuat dari kayu. Akses menuju Puskesmas hanya

melalui jalur sungai, jalan darat sudah ada tapi masih belum bisa

dilalui. Tahun 1988 gedung Puskesamas di rehabdan kegiatan

operasional Puskesams dipindahkan ke gedung Yayasan Untung

Tuah yang berlokasi di jalan Pelita, yang tidak jauh dari

Puskesmas. Agustus 2005 Puskesmas Inpres Temindung beganti

nama menjadi Puskesmas Temindung. Awal tahun 2011 berganti

nama menjadi UPT Puskesmas Temindung. Awal tahun 2012

sampai sekarang memakai UPTD Puskesmas Temindung.

2. Geografis

Luas wilayah kerja 1.981 Ha, wilayah kerja meliputi 2 (dua)

kelurahan yaitu Sungai Pinang Dalam 897.80 Ha dan Mugirejo

1.083.20 Ha. Batas wilayah kerja bagian utara berbatasan

dengan Kelurahan Temindung Permai, Barat berbatasan dengan

Kelurahan Pelita, Timur berbatasan dengan Sidomulyo dan

Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sungai Pinang Luar.


3. Konsep Dasar Puskesmas

Puskesmas Temindung merupakan unit pelaksana teknis

Dinas Kesehatan Kota Samarinda yang bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja

Kelurahan SPD dan Mugirejo.

Tujuan Puskesmas Temindung adalah terciptanya

pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang yang bertempat tinggal di wilayah Kelurahan SPD dan

Mugirejo, agar terwujudnya derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan indonesia sehat.

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Orang Tua


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Umur Frekuensi Presentase (%)
15-24 Tahun 14 18.2
25-34 Tahun 42 54.5
>35 Tahun 21 27.3
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.1 hasil yang didapatkan bahwa

sebagian besar orang tua memiliki umur produktif sebanyak

25-34 tahun 42 orang (54,5%), umur lebih dari 35 tahun

sebanyak 21 orang (27,3%) dan sebagian kecil berumur 15-24


tahun sebanyak 14 orang (18,2%).

b. Pendidikan Orang Tua

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Orang Tua


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Pendidikan Frekuensi Presentase (%)
TS 1 1.3
SD 10 13.0
SMP 17 22.1
SMA / SMK 25 32.5
S1 24 31.2
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.2 hasil yang didapatkan bahwa

sebagian besar orang tua memiliki pendidikan SMA / SMK

sebanyak 25 orang (32,5%), S1 sebanyak 24 orang (32,5%),

SMP sebanyak 17 orang (22,1%), SD sebanyak 10 orang

(13%) dan tidak sekolah sebanyak 1 orang (1,3%).

c. Pekerjaan Orang Tua

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)
IRT 31 40.3
PNS 12 15.6
SWASTA 30 39.0
Wiraswasta 4 5.2
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.3 hasil yang didapatkan bahwa

sebagian besar orang tua memiliki pekerjaan sebagai IRT

sebanyak 31 orang (40,3%), swasta sebanyak 30 orang (39%),


PNS sebanyak 12 orang (15,6%) dan Wiraswasta sebanyak 4

orang (5,2%).

d. Jenis Kelamin Anak

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
Laki-laki 39 50.6
Perempuan 38 49.4
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.4 sebagian besar jenis kelamin anak

adalah laki-laki sebanyak 39 orang (50,6%) dan perempuan

sebanyak 38 orang (49,4%).

e. Umur Anak

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Anak


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Umur Frekuensi Presentase (%)
1 11 14.3
2 17 22.1
3 22 28.6
4 15 19.5
5 12 15.6
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.5 sebagian besar umur anak

sebanyak 3 tahun sebanyak 22 orang (28,6%), umur 2 tahun

sebanyak 17 orang (22,1%), umur 4 tahun sebanyak 15 orang

(19,5%), umur 5 tahun sebanyak 12 orang (15,6%), dan umur

1 tahun sebanyak 11 orang (14,3%).


2. Analisis Univariat

a. Status ISPA

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status ISPA


Di Puskesmas Temindung Samarinda
ISPA Frekuensi Presentase (%)
ISPA 16 20.8
Tidak ISPA 61 79.2
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan hasil bahwa status

ISPA sebagian besar anak di diagnosa tidak ISPA sebanyak

61 orang (79,2%) dan anak dengan diagnosa ISPA sebanyak

16 orang (20,8%)

b. Status Imunisasi

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Imunisasi


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Imunisai Frekuensi Presentase (%)
Lengkap 64 83.1
Tidak Lengkap 13 16.9
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan hasil bahwa status

imunisasi sebagian besar imunisasi anak lengkap sebanyak

64 orang (83,1%) dan imunisasinya tidak lengkap sebanyak

13 orang (16,9%).
c. Status Lingkungan

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Imunisasi


Di Puskesmas Temindung Samarinda
Lingkungan Frekuensi Presentase (%)
Sehat 66 85.7
Kurang Sehat 11 14.3
Total 77 100.0
Sumber :Data Primer 2017

Berdasarkan tabel 4.8 didapatkan hasil bahwa status

lingkungan sebagian besar lingkungannya sehat 66 orang

(85,7%) dan lingkungan kurang sehat 11 orang (14,3%).

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA

Tabel 4.9 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Status Imunisasi dengan


Kejadian ISPA pada Anak Usia 1-5 Tahun di Puskesmas
Temindung
Status ISPA
OR
Tidak Total P
Imunisasi ISPA 95% CI
ISPA
n % n % n %
Lengkap 7 43,8 57 93,4 64 83,1
18.321
Tidak
9 56,2 4 6,6 13 16,9 (4.449- 0,000
Lengkap
75.450)
Jumlah 16 100 61 100 77 100

Berdasarkan tabel 4.9 didapatakn hasil bahwa anak

dengan status imunisasi lengkap tetapi di diagnosa ISPA

sebanyak 7 orang (43,8%) dan anak dengan imunisasi tidak

lengkap tetapi tidak ISPA sebanyak 4 orang (6,6%). Anak

dengan imunisasi lengkap dan tidak ISPA sebanyak 57 orang


(93,4%) dan anak dengan imunisasi tidak lengkap dan ISPA

sebanyak 9 orang (56,2).

Hasil uji statistik dengan Fisher's Exact Test didapatkan

bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang artinya Ho

ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status imunisasi

dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di

Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menujukkan bahwa status

imunisasi yang tidak lengkap memiliki peluang sebesar

18,321 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan

status imunisasi yang lengkap.

b. Hubungan Status Lingkungan dengan Kejadian ISPA

Tabel Hasil Analisis Bivariat Hubungan StatusLingkungan dengan


Kejadian ISPA Anak Usia 1-5 Tahun di Puskesmas
4.10
Temindung
Status ISPA
OR
Tidak Total P
Lingkungan ISPA 95% CI
ISPA
n % n % n %
Sehat 8 50 59 96,7 67 87
29,500
Kurang
8 50 2 3,3 10 13 (5,301- 0,000
Sehat
164,16)
Jumlah 16 100 61 100 77 100

Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan hasil bahwa anak

yang tinggal di lingkungan sehat tetapi di diagnosa ISPA

sebanyak 8 orang (50%) dan anak yang tinggal di lingkungan

kurang sehat tetapi tidak ISPA sebanyak 2 orang (3,3%).


Sedangkan anak yang tinggal di lingkungan sehat dan di

diagnosa tidak ISPA sebanyak 59 orang (96,7%) dan anak

yang tinggal di lingkungan kurang sehat dan di diagnosa

ISPA sebanyak 8 orang (50%).

Hasil uji statistik dengan Fisher's Exact Test didapatkan

bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang artinya Ho

ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status

lingkungan dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun

di Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menujukkan bahwa

lingkungan yang kurang sehat memiliki peluang sebesar

29,500 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan

status lingkungan yang sehat

4. Analisis Multivariat

Tabel Hasil Analisis Multivariat Hubungan Status Imunisasi dan Status


Lingkungan dengan Kejadian ISPA Anak Usia 1-5 Tahun di
4.11
Puskesmas Temindung
Nilai Variabel chi-square Tabel Chi square p
33.022 5,991 0,000

Berdasarkan tabel 4.11 hasil analisis multivariat didapatkan

nilai X 33,022 > X tabel df 2 yaitu 5,991 atau dengan signifikansi

sebesar 0,000 (< 0,05) sehingga menolak H0, yang menunjukkan

bahwa penambahan variabel independen dapat memberikan

pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model

dinyatakan FIT.
Perlu diingat jika pada OLS untuk menguji signifikansi

simultan menggunakan uji F, sedangkan pada regresi logistik

menggunakan nilai Chi-Square dari selisih antara -2 Log likelihood

sebelum variabel independen masuk model dan -2 Log likelihood

setelah variabel independen masuk model. Pengujian ini disebut

juga dengan pengujian Maximum likelihood.

Sehingga jawaban terhadap hipotesis pengaruh simultan

variabel independen terhadap variabel dependen adalah

menerima H1 dan menolak H0 atau yang berarti ada pengaruh

signifikan secara simultan imunisasi dan lingkungan rumah

terhadap Kejadian ISPA oleh karena nilai Chi-Square sebesar

0,000 di mana < Alpha 0,05 atau nilai Chi-Square Hitung 33,022 >

Chi-Square tabel 5,991.

Hosmer and Lemeshow Test adalah uji Goodness of fit test

(GoF), yaitu uji untuk menentukan apakah model yang dibentuk

sudah tepat atau tidak. Dikatakan tepat apabila tidak ada

perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya.

Tabel Hasil Analisis Multivariat dengan Uji Hosmer and Lemeshow


Test Hubungan Status Imunisasi dan Status Lingkungan
4.12
dengan Kejadian ISPA Anak Usia 1-5 Tahun di Puskesmas
Temindung
Chi-square df Sig.
.010 1 .920

Berdasarkan tabel 4.12 nilai Chi Square tabel untuk DF 1

(Jumlah variabel independen – 1) pada taraf signifikansi 0,05


adalah sebesar 3,841. Karena nilai Chi Square Hosmer and

Lemeshow hitung 0,010 < Chi Square table 3,841 atau nilai

signifikansi sebesar 0,010 (<0,05) sehingga menolak H0, yang

menunjukkan bahwa model dapat diterima dan pengujian hipotesis

dapat dilakukan sebab ada perbedaan signifikan antara model

dengan nilai observasinya.

Tabel 4.13 Hasil Analisis Subvariabel Hubungan Status Imunisasi,


Lingkungan dengan Kejadian ISPA Anak Usia 1-5 Tahun di
Puskesmas Temindung
Variabel Log-likelihood Chi Square P
Status Imunisasi 21.038a 33.022 0,000
Status Lingkungan 22.305a 33.022 0,000

Berdasarkan tabel 4.13 hasil dari “variabel in the equation”

dan dilihat nilai p. Didapatkan pada satus imunisasi dan

lingkungan rumah nilai p 0,000 < 0,25, yang berarti status

imunisasi dan lingkungan layak masuk model multivariat.

C. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Hasil yang didapatkan bahwa sebagian besar orang tua

memiliki umur produktif sebanyak 25-34 tahun 42 orang

(54,5%), umur lebih dari 35 tahun sebanyak 21 orang (27,3%)

dan sebagian kecil berumur 15-24 tahun sebanyak 14 orang

(18,2%).

Usia 18-40 tahun dinamakan dewasa dini dimana


kemampuan mental mencapai puncaknya dalam usia 20

tahun untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada

situasi-situasi baru seperti pada misalnya mengingat hal-hal

yang pernah dipelajari, penalaran analogis dan berfikir kreatif.

Pada masa dewasa ini sering mencapai puncak prestasi

(Djamarah, 2014).

Teori tersebut sependapat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurul (2016) yang menyatakn bahwa daya

ingat seseorang salah satunya dipengaruhi oleh faktor umur.

semakin cukup umur tingkat kematangan dalam kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari

segi kepercayaan masyarakat seseorang lebih dewasa

dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal

ini akan sebagai pengalaman dan kematangan jiwa.

Menurut asumsi peneliti dari distribusi usia responden

yang paling banyak usia 25-34 tahun yang merupakan usia

produktif dimana semakin tinggi usia orangtua semakin

banyak pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh

mengenai ISPA, semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang akan lebih matang berfikir dalam

pencegahan dan perawatan tentang ISPA.

Usia orang tua yang sudah produktif disarankan agar

dapat lebih memahami akan pentingnya kesehatan bagi


anaknya, sehingga orang tua dengan usia yang sudah

produktif bisa berfikir secara matang dalam pencegahan dan

perawatan tentang ISPA.

b. Pendidikan Orang Tua

Hasil yang didapatkan bahwa sebagian besar orang tua

memiliki pendidikan SMA / SMK sebanyak 25 orang (32,5%),

S1 sebanyak 24 orang (32,5%), SMP sebanyak 17 orang

(22,1%), SD sebanyak 10 orang (13%) dan tidak sekolah

sebanyak 1 orang (1,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Nurul (2016) yang menyatakan bahwa responden

dengan pendidikan SMA sudah dianggap dapat menerima

berbagai informasi pengetahuan tentang masalah ISPA pada

anak, termaksud bagaimana tindakan yang harus dilakukan

seorang ibu pada saat anak mengalami ISPA melalui media

pendidikan kesehatan seperti saat mengikuti kegiatan

posyandu, mengikuti penyuluhan, membaca buku kesehatan

ataupun petugas kesehatan dari puskesmas saat

pemeriksaan kesehatan baik ibu maupun anak.

Menurut Wawan dan Dewi. (2011) mengatakan

pengetahuan mempunyai peranan yang sangat besar dalam

mendukung perilaku seseorang, makin tinggi tingkat

pendidikan seseorang, maka akan makin mudah bagi orang


itu untuk menerima dan memahami informasi. Pengetahuan

atau informasi yang cukup tentang ISPA akan sangat

berperan pada sikap dalam penanganan dan pencegahan

penyakit ISPA.

Berdasarkan asumsi peneliti, bahwa pendidikan orang tua

merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya ISPA pada anak. Karena semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang semakin tinggi pula kepahaman dalam

mengambil keputusan demi kebaikan.

Pendidikan dalam mengasuh atau memperhatikan

kesehatan anak sangat penting, sehingga disarankan orang

tua yang memiliki pendidikkan yang lebih tinggi maupun

pendidikkan orang tua yang rendah dapat lebih memahami

akan pentingnya menjaga kesehatan anak.

c. Pekerjaan Orang Tua

Hasil yang didapatkan bahwa sebagian besar orang tua

memiliki pekerjaan sebagai IRT sebanyak 31 orang (40,3%),

swasta sebanyak 30 orang (39%), PNS sebanyak 12 orang

(15,6%) dan Wiraswasta sebanyak 4 orang (5,2%).

Hal ini sejalan dengan teori Firdausia (2013) yang

menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja atau sebagai IRT

menghabiskan waktu 24 jam lebih dibandingkan ibu yang

bekerja dalam perawatan anak. Status kerja ibu (tidak bekerja


atau bekerja) dapat mempengaruhi kesehatan anak karena

ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk

merawat anak. Kerja mempengaruhi waktu luang ibu untuk

bersama anak.

Pekerjaan adalah segala usaha yang dilakukan ibu untuk

memperoleh penghasilan, baik yang dilakukan didalam atau

diluar rumah (Hastono, 2012). Pekerjaan ibu dibagi menjadi 2

katagori yaitu ya bila ibu bekerja dan mendapatkan uang dan

tidak bila ibu tidak bekerja / ibu rumah tangga. Pekerjaan ialah

pendapatan per kapita (per capita income) keluarga,

pendapatan rata-rata dalam suatu keluarga pada suatu

periode tertentu, yang biasanya satu tahun.Ibu yang bekerja

berpengaruh terhadap perawatan yang diterima anak.

Teori diatas didukung dari hasil penelitian Chandra (2017)

yang menyatakan bahwa seorang wanita yang bekerja

memiliki waktu yang kurang untuk memberi makan anak,

membersihkan dan bermain bersama anak. Hal ini dapat

memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan anak.

Sebenarnya bukan jenis pekerjaan ibu yang memberi

pengaruh melainkan seberapa banyak waktu luang ibu untuk

mengurus anak. Pekerjaan dapat menjauhkan orang tua dari

anak untuk beberapa periode waktu, namun kebutuhan anak

dapat tetap terjaga selama anak mendapat pengasuhan dan


perawatan dalam kesehatannya dengan benar.

Menurut asumsi responden yang tidak berkerja adalah

Ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga masih kurang berusaha

mencari berbagai sumber informasi tentang penyakit ISPA,

dimana dalam penelitian ini mayoritas keluarga mendapatkan

informasi dari keluarga dan teman.

Oleh sebab itu orang tua yang tidak bekerja seharunya

lebih banyak waktu alam mencari informasi untuk kesehatan

anak dalam pencegehan penyakit.

d. Jenis Kelamin Anak

Hasil yang didapatkan sebagian besar jenis kelamin anak

adalah laki-laki sebanyak 39 orang (50,6%) dan perempuan

sebanyak 38 orang (49,4%). Pada umumnya tidak ada

perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki

dan perempuan. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa

terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada

anak laki-laki.

Menurut buku pedoman program pemberantasan

penyakit ISPA untuk penanggulangan ISPA pada anak jenis

kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk

terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes

RI, 2015).

Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI)


tahun 2015, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2

minggu pada anak dengan batuk dan napas cepat (yang

merupakan ciri khas ISPA) antara anak laki-laki dengan anak

perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah

9,4% sedangkan perempuan 8,5% (Depkes RI., 2015).

Hasil penelitian ini sejalan dengan berbagai penelitian

yang pernah dilakukan salah satunya Firda (2015) dimana

hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi anak

berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara laki –

laki dan perempuan yaitu 59% pada anak laki-laki dan 41%

pada anak perempuan, dan penelitian tersebut menyatakan

bahwa, ISPA lebih sering terjadi pada anak laki-laki

dibandingkan pada anak perempuan.

Menurut asumsi peneliti anak dengan jenis kelamin

laki-laki lebih sering menderita penyakit ISPA dibandingkan

dengan anak perempuan. Hal ini lebih disebabkan karena

anak laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dibandingkan

anak perempuan.

e. Umur Anak

Hasil yang didapatkan sebagian besar umur anak

sebanyak 3 tahun sebanyak 22 orang (28,6%), umur 2 tahun

sebanyak 17 orang (22,1%), umur 4 tahun sebanyak 15 orang

(19,5%), umur 5 tahun sebanyak 12 orang (15,6%), dan umur


1 tahun sebanyak 11 orang (14,3%).

Sesuai dengan teori bahwa anak yang berusia di bawah 5

tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian,

karena anak merupakan generasi penerus dan modal dasar

untuk kelangsungan hidup bangsa, anak amat peka terhadap

penyakit, tingkat kematian anak masih tinggi (Anonim, 2010).

ISPA sering terjadi pada bayi dan anak. Menurut

Kartasasmita (2014) beberapa penelitian menunjukkan bahwa

insiden ISPA paling tinggi terjadi pada bayi di bawah satu

tahun, dan insiden menurun dengan bertambahnya umur.

Kondisi ini dimungkinkan karena pada 10 tahun pertama

kehidupan manusia, sistem pernafasan masih terus

berkembang untuk mencapai fungsi yang sempurna, terutama

dalam perbentukan alveoli, selain itu hal tersebut

menunjukkan usia yang lebih muda rentan terkena infeksi.

Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti bahwa penyakit

ISPA, dengan umur yang mengalami ISPA adalah kurang dari

5 tahun, anak atau pada anak usia muda akan lebih mudah

terkena ISPA dari pada orang dewasa. Risiko seseorang

mengalami infeksi akan meningkat ketika kekebalan tubuh

lemah. Kondisi cenderung terjadi pada anak – anak dan orang

yang lebih tua. Sedangkan orang dewasa sudah banyak

terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat


pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya

2. Analisis Univariat

a. Status ISPA

Hasil yang didapatkan bahwa status ISPA sebagian

besar anak di diagnosa tidak ISPA sebanyak 61 orang

(79,2%) dan anak dengan diagnosa ISPA sebanyak 16 orang

(20,8%).

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan di

seluruh dunia, baik di negara maju berkembang maupun

Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan

masih tingginya angka ke sakitan dan angka kematian

terkena ISPA khususnya pneumonia atau bronco pneumonia,

terutama pada bayi dan anak.

Menurut Depkes, RI (2016) bahwa penyakit Infeksi akut

yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari

saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus,

rongga telinga tengah dan pleura. Semakin sering anak

menderita ISPA semakin besar kerugian yang harus

ditanggung oleh keluarga karena semakin besar biaya

pengobatan yang harus dikeluarkan dan semakin banyak

waktu yang diperlukan untuk merawat anak sehingga dapat

mengurangi produktivitas kerja.


Pengobatan ISPA yang sering mengandalkan antibiotik

terkadang juga tidak rasional, karena dilihat dari

penyebabnya, ISPA tidak hanya disebabkan oleh bakteri

namun juga disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik

yang terlalu sering justru merugikan karena bisa

menimbulkan efek samping dan resistensi.

Menurut asumsi peneliti infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai

dengan manifestasi ringan sampai berat. Penyakit ini

menyerang semua usia dari bayi sampai lansia, dan tersebar

luas di mana-mana. Infeksi saluran pernafasan akut

disebabkan antara lain oleh bakteri, virus, dan jamur,

sedangkan kondisi cuaca, status gizi, status imunisasi,

sanitasi, dan polusi udara merupakan faktor–faktor yang

mempengaruhi terjadinya ISPA.

b. Status Imunisasi

Hasil yang didapatkan bahwa status imunisasi sebagian

besar imunisasi anak lengkap sebanyak 64 orang (83,1%)

dan imunisasinya tidak lengkap sebanyak 13 orang (16,9%).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan

salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan memberikan

imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas


imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang penting.

Hasil penelitian terdahulu yaitu dari penelitian Nuryanto

(2012) sebelum anak berusia di atas dua tahun kelengkapan

imunisasi dasar harus dipenuhi. Anak anak dikatakan status

imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi

secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.

Pemberian imunisasi merupakan salah satu usaha untuk

membentuk sistem antibodi pada tubuh manusia. Antibodi

yang terbentuk dari imunisasi memerlukan waktu untuk dapat

berfungsi. Kelengkapan pemberian imunisasi dapat

membantu pembentukan antibodi secara optimal diharapkan

dapat menekan perkembangan penyakitnya tidak menjadi

lebih berat jika terkena ISPA (Maryunani, 2010 ).

Diharapkan dengan pemberian imunisasi lengkap (DPT

dan Campak) anak tidak mudah terkena penyakit ISPA,

seperti hal nya dibuktikan pada penelitian ini menunjukan

bahwa masih ada anak yang tidak melakukan imunisasi

lengkap sebanyak 34 responden (50%) dan anak yang tidak

melakukan imunisasi lengkap mempunyai resiko 2,375 kali

lebih besar mengalami ISPA dibandingkan dengan anak

yang imunisasinya lengkap.

Imunisasi DPT dan campak merupakan imunisasi yang

berkontribusi dengan penyakit ISPA. DPT (difteri, anti infeksi


saluran pernafasan), pertusis (untuk batuk rejan dan tetanus),

merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin

yang dihasilkan kuman (melekat pada bulu getar saluran

nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut, sehingga

menyebabkan gangguan aliran sekret pernafasan, dan

berpotensi menyebabkan ISPA. Sehingga pemberian

imunisasi DPT cukup essensial untuk menyiapkan anak

menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa dijamin

kebersihan udaranya.

Menurut asumsi peneliti imunisasi sangat berguna

dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap

gangguan penyakit. Angka kematian anak adalah gangguan

gizi dan infeksi khususnya bagian pernafasan. Hal ini dapat

dicegah dengan imunisasi yang merupakan hal mutlak dalam

memelihara kesehatan anak.

c. Status Lingkungan

Hasil yang didapatkan bahwa status lingkungan

sebagian besar lingkungannya sehat 66 orang (85,7%) dan

lingkungan kurang sehat 11 orang (14,3%).

Syarat rumah sehat secara sederhana menurut meliputi

ventilasi, penerangan alami dan suhu. Ventilasi rumah

mempunyai banyak fungsi, fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap


segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan

oleh penghuni rumah tetap terjaga (Santoso, 2015).

Lingkungan rumah merupakan usaha kesehatan

masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan

terhadap struktur fisik, yaitu digunakan sebagai tempat

berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

Sarana tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban,

kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan,

sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran

manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 2010).

Lingkungan rumah sangat erat kaitannya dengan angka

kesakitan penyakit menular terutama ISPA. Lingkungan

perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan

tersebarnya ISPA.

Menurut peneliti sebelumnya Agus (2014) menyatakan

bahwa perkembangan persebaran penyakit menggambarkan

secara spesifik peran lingkungan terhadap terjadinya

penyakit dan wabah dan sejak lama sudah diperkirakan

pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Ditinjau

dari segi ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena

adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Menurut asumsi peneliti faktor lingkungan rumah sangat

merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ISPA


yaitu di dalam rumah yang kurang memadai berupa kurang

higienisnya lantai yang masih dalam kondisi berupa tanah

atau tidak terbuat dari keramik, ventilasi udara yang bertolak

belakang dengan kesesuaian dimana luas ventilasi udara

dibawah standar ukuran luas area tiap ruangan, jumlah

hunian yang melebihi standar kapasitas ruangan sehingga

menimbulkan kelembaban udara tinggi, adanya binatang

peliharaan di dalam rumah serta status merokok dalam

rumah

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA

Hasil penelitian yang didapatkan anak dengan status

imunisasi lengkap tetapi di diagnosa ISPA sebanyak 7 orang

(43,8%) dan anak dengan imunisasi tidak lengkap tetapi tidak

mengalami ISPA sebanyak 4 orang (6,6%). Anak dengan

imunisasi lengkap dan tidak ISPA sebanyak 57 orang (93,4%)

dan anak dengan imunisasi tidak lengkap dan mengalami

ISPA sebanyak 9 orang (56,2).

Hasil uji statistik dengan menggunakkan Fisher's Exact

Test karena nilai sel / harapan kurang dari 5 sehingga

didapatkan bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang

artinya Ho ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara

status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5


tahun di Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menunjukkan bahwa status

imunisasi yang tidak lengkap memiliki peluang sebesar

18,321 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan

status imunisasi yang lengkap.

Menurut keterangan dari ibu yang mempunyai anak

anak, terkadang tidak rutin mengikuti posyandu hal itu

disebabkan anaknya menolak / mengamuk untuk dibawa ke

Posyandu. Walaupun hasil analisis pada penelitian ini

menunjukkan ada hubungan status imunisasi dengan

kejadian ISPA, namun proporsi anak yang mempunyai status

imunisasi lengkap yang menderita ISPA 69 % lebih banyak

dibandingkan anak yang mempunyai status imunisasi tidak

lengkap.

Anak dengan imunisasi lengkap tetapi masih mengalami

ISPA, hal ini terjadi bila anak memiliki daya tahan tubuh yang

tidak bagus. Asupan nutrisi pun dapat mempengaruhi

seorang anak mengalami ISPA. Masih tingginya ISPA pada

anak, walaupun telah menerima imunisasi lengkap

diakibatkan karena belum ada vaksin yang dapat mencegah

ISPA secara langsung. Kemampuan tubuh seorang anak

untuk menangkal suatu penyakit dipengaruhi beberapa faktor

yaitu: faktor genetik dan kualitas vaksin. Kualitas vaksin


dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain cara pemberian,

dosis vaksin, frekuensi pemberian, jenis vaksin dan

kandungan vaksin (Proverawati, 2014).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ibnu (2015) di

Blora, bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan

umur berisiko menderita ISPA. Ini didukung oleh penelitian

Prasasti (2015) di Maros dan penelitian Nasution, dkk (2009)

di Jakarta menemukan ada hubungan bermakna antara

pemberian imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak.

Berbeda dengan penelitian Nuryanto (2015) di Aceh

Selatan menemukan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna status imunisasi campak dan DPT dengan

kejadian ISPA pada bayi dan anak. Hubungan status

imunisasi dengan ISPA pada anak tidak secara langsung.

Kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan komplikasi

campak yang merupakan faktor risiko ISPA yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan DPT

yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh

terhadap ISPA secara langsung, melainkan hanya untuk

mencegah faktor yang dapat memacu terjadinya ISPA.

Imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan

sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau

anak sehingga terhindar dari penyakit dengan memasukan


vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk

mencegah penyakit tertentu. Vaksin dimasukkan ke dalam

tubuh melalui suntikan atau diminum (oral). Setelah vaksin

masuk ke dalam tubuh, sistem pertahanan tubuh akan

bereaksi membentuk antibodi. Antibodi selanjutnya akan

membentuk imunitas terhadap jenis virus atau bakteri

tersebut (Presylia, 2014).

Menurut asumsi peneliti adanya hubungan antara status

imunisasi dengan kejadian ISPA merupakan salah satu faktor

bahwa imuniasi sangat mempengaruhi ISPA pada anak.

Meskipun ISPA yang terjadi pada anak tidak langsung

dipengaruhi oleh imunisasi dasar lengkap walaupun tujuan

pemberian imunisasi adalah untuk memberikan dan

meningkatkan daya tahan tubuh.

Faktor yang dapat membuat orang tua melakukan

imunisasi pada anaknya adalah faktor keraguan. Dimana

orang tua memiliki keraguan tentang manfaat dan keamanan

imunisasi sehingga hal ini perlu ditanggapi secara aktif.

Apabila orang tua mendapat jawaban akurat dan informasi

yang benar, maka orang tua dapat membuat keputusan yang

benar tentang imunisasi.

b. Hubungan Status Lingkungan dengan Kejadian ISPA

Hasil penelitian yang didapatkan bahwa anak yang


tinggal di lingkungan sehat tetapi di diagnosa ISPA sebanyak

44 orang (80%) dan anak yang tinggal di lingkungan kurang

sehat tetapi tidak mengalami ISPA sebanyak 2 orang (9,1%).

Sedangkan anak yang tinggal di lingkungan sehat dan di

diagnosa tidak mengalami ISPA sebanyak 11 orang (20%)

dan anak yang tinggal di lingkungan kurang sehat dan di

diagnosa ISPA sebanyak 20 orang (90,9%).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Fisher's Exact

Test karena nilai sel / harapan kurang dari 5 sehingga

didapatkan bahwa nilai p (0,327) lebih besar dari 0,05 yang

artinya Ho diterima yaitu tidak ada hubungan bermakna

antara status lingkungan dengan kejadian ISPA pada anak

usia 1-5 tahun di Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menujukkan bahwa

lingkungan yang kurang sehat memiliki peluang sebesar

29,500 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan

status lingkungan yang sehat.

Dari studi awal, peneliti melakukan pengamatan pada 10

rumah penduduk penderita ISPA dan didapatkan hasil 33,3%

rumah dengan ventilasi tidak memenuhi syarat dan 66,7%

rumah dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat.

hampir semua kepala keluarga memiliki kebiasaan merokok

didalam rumah dimana mereka memiliki anak yang di bawah


umur 5 tahun.

Lingkungan rumah erat kaitannya dengan angka

kejadian penyakit menular, terutama ISPA. Balita menjadi

kelompok yang paling berisiko terkena infeksi karena kualitas

lingkungan yang tidak memenuhi syarat, serta balita

menghabiskan waktunya lebih banyak di dalam rumah

dibandingkan dengan orang dewasa dan mempunyai daya

tahan tubuh yang terbatas (WHO, 2013).

ISPA dapat menyebar dengan mudah di dalam suatu

keluarga. Setiap orang yang bersentuhan dengan orang yang

sakit yang belum terinfeksi berisiko mengalami infeksi. Untuk

meminimalisir persebaran penyakit ISPA, dalam kajian

geografi yang berkaitan antara aktifitas manusia dengan

lingkungan maka dianjurkan masyarakat harus

melaksanakan ruang bersama (WC, dapur, kamar mandi, dll.)

yang berventilasi baik (misalnya, ventilasi alami, dengan

selalu membuka jendela). Pembersihan lingkungan sangat

penting untuk mencegah penularan tak langsung, terutama di

ruang bersama.

Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat

merupakan salah satu factor resiko terjadinya ISPA. Oleh

karena itu, supaya mencegah peyakit ISPA perlu

memperhatikan faktor lingkungan fisik rumah. Menurut WHO


sanitasi merupakan suatu usaha untuk mengawasi beberapa

faktor lingkungan fisik yang berpengaruh pada keadaan

manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempengaruhi

efek merusak perkembangan fisik kesehatan dan

kelangsungan hidup.

4. Analisis Multivariat

Hasil analisis multivariat didapatkan nilai X (33,022) > X tabel

df 2 yaitu 5,991 atau dengan signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05)

sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan

variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap

model, atau dengan kata lain model dinyatakan FIT. Sehingga

jawaban terhadap hipotesis pengaruh simultan variabel

independen terhadap variabel dependen adalah menerima H1 dan

menolak H0 atau yang berarti ada pengaruh signifikan secara

simultan Imunisasi dan Lingkungan terhadap Kejadian ISPA oleh

karena nilai Chi-Square sebesar 0,000 di mana < Alpha 0,05 atau

nilai Chi-Square Hitung 33,022 > Chi-Square tabel 5,991.

Hasil yang didapatkan bahwa nilai Chi Square tabel untuk DF

1 (Jumlah variabel independen – 1) pada taraf signifikansi 0,05

adalah sebesar 3,841. Karena nilai Chi Square Hosmer and

Lemeshow hitung 0,010 < Chi Square table 3,841 atau nilai

signifikansi sebesar 0,010 (<0,05) sehingga menolak H0, yang

menunjukkan bahwa model dapat diterima dan pengujian hipotesis


dapat dilakukan sebab ada perbedaan signifikan antara model

dengan nilai observasinya.

Dari hasil penelitian yang didapat bahwa imunisasi yang

paling berhubungan dengan terjadinya ISPA hal ini sejalan

dengan penelitian Utami (2013) yang menyatakan bahwa

meskipun balita telah menerima imunisasi dasar lengkap balita

masih beresiko mengalami ISPA karena disamping faktor

penyebab ISPA seperti bakteri, virus dan jamur. ISPA juga

dipengaruhi oleh bibit penyakit, umur, jenis kelamin, pengetahuan,

status gizi, berat bayi lahir, status ASI eksklusif, dan faktor

lingkungan. Kejadian penyakit ISPA pada balita dapat juga

diakibatkan karena pengetahuan ibu mengenai penyakit,

pencegahan penyakit dan cara pemeliharaan kesehatan yang

masih kurang.

Hasil dari “variabel in the equation” dan dilihat nilai p.

Didapatkan pada satus imunisasi nilai 0,000 < 0,25, yang berarti

status imunisasi layak masuk model multivariat. Pada status

lingkungan nilai 0,225 < 0,25 yang berarti status lingkungan layak

masuk model multivariat.

Hasil penelitian yang menggunakan analisis regresi logistik

dimana pada subvariabel status imunisasi dan lingkungan rumah

memiliki p < 0,05 yaitu 0,000 > 0,05. Hasil analisis multivariat

dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan rumah dan


imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak usia

1-5 tahun di Puskesmas Temindung.

Upaya untuk menurunkan resiko penyakit ISPA perlu

dilakukan, yaitu dengan pemberian Imunisasi dasar lengkap.

Program pemerintah setiap balita harus mendapatkan Lima

Imunisasi dasar Lengkap (LIL) yang mencakup 1 dosis BCG, 3

dosis DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis B dan 1 dosis Campak.

Penyakit ISPA akan menyerang apabila kekebalan tubuh

(immunitas) menurun. Bayi dan anak di bawah lima tahun adalah

kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih

sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit

ISPA baik golongan pneumonia ataupun golongan bukan

pneumonia (Presylia, 2014).

Imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja

memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga

terhindar dari penyakit dengan memasukan vaksin kedalam tubuh

agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah penyakit tertentu.

Vaksin dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan atau

diminum (oral). Setelah vaksin masuk ke dalam tubuh, sistem

pertahanan tubuh akan bereaksi membentuk antibodi. Antibodi

selanjutnya akan membentuk imunitas terhadap jenis virus atau

bakteri tersebut.

Menurut Agussalim (2012), bayi dan balita yang pernah


terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami

terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,

pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan

berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,

diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara

yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi campak dan pertusis (DPT).

Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu

faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah,

kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu

anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A,

dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan

dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada

bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di

keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga

lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2011).

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia


selain sandang dan pangan, sehingga rumah harus sehat agar

penghuninya dapat bekerja secara produktif. Konstruksi rumah

dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai

penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang

dilaksanakan tahun 1995 penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak

kedua erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang

tidak sehat (Soedjajadi Keman, 2005).

Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran

udara dalam rumah seperti asap rokok. Kebiasaan kepala

keluarga yang merokok di dalam rumah dapat berdampak negatif

bagi anggota keluarga khususnya balita. Salah satu prioritas

masalah dalam 16 indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

adalah perilaku merokok.

D. Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini peneliti merasakan ada

beberapa keterbatasan yang tentu saja akan berpengaruh terhadap

hasil dari penelitian ini adapun keterbatasan penelitian tersebut antara

lain

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu berdasarkan teori

kesehatan, seseorang dapat terkena penyakit ISPA tidak hanya


dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik rumah namun juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain misalnya status gizi, pemberian ASI,

pemberian vitamin A, berat badan lahir rendah, polusi asap rokok,

polusi asap dapur, dan kepadatan hunian namun pada penelitian ini

tidak dapat meneliti faktor-faktor tersebut.


BAB V

PENUTUP

Pada bab ini akan disajikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan

saran yang perlu ditindaklanjuti dari hasil penelitian ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibuat maka dapat ditarik

suatu kesimpulan yaitu :

1. Karakteristik Responen

Berdasarkan karakteristik responden didapatkan bahwa

sebagian besar orang tua memiliki umur produktif sebanyak 25-34

tahun 42 orang (54,5%). Pendidikan SMA / SMK sebanyak 25

orang (32,5%), bekerja sebagai IRT sebanyak 31 orang (40,3%),

jenis kelamin anak adalah laki-laki sebanyak 39 orang (50,6%) dan

sebagian besar umur anak sebanyak 3 tahun sebanyak 22 orang

(28,6%).

2. Analisa Univariat

a. Status ISPA sebagian besar anak di diagnosa tidak ISPA

sebanyak 61 orang (79,2%) dan anak dengan diagnosa ISPA

sebanyak 16 orang (20,8%)

b. Status imunisasi sebagian besar imunisasi anak lengkap

sebanyak 64 orang (83,1%) dan imunisasinya tidak lengkap

sebanyak 13 orang (16,9%),


c. Status lingkungan sebagian besar lingkungannya sehat 66

orang (85,7%) dan lingkungan kurang sehat 11 orang (14,3%).

5. Analisis Bivariat

a. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA

Hasil bahwa anak dengan status imunisasi lengkap tetapi

di diagnosa ISPA sebanyak 7 orang (43,8%) dan anak dengan

imunisasi tidak lengkap tetapi tidak ISPA sebanyak 4 orang

(6,6%). Anak dengan imunisasi lengkap dan tidak ISPA

sebanyak 57 orang (93,4%) dan anak dengan imunisasi tidak

lengkap dan ISPA sebanyak 9 orang (56,2).

Hasil uji statistik dengan menggunakkan Fisher's Exact

Test bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang artinya Ho

ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status imunisasi

dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di

Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menujukkan bahwa status

imunisasi yang tidak lengkap memiliki peluang sebesar 18,321

kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan status

imunisasi yang lengkap.

b. Hubungan Status Lingkungan dengan Kejadian ISPA

Hasil bahwa anak yang tinggal di lingkungan sehat tetapi

di diagnosa ISPA sebanyak 8 orang (50%) dan anak yang

tinggal di lingkungan kurang sehat tetapi tidak ISPA sebanyak


2 orang (3,3%). Sedangkan anak yang tinggal di lingkungan

sehat dan di diagnosa tidak ISPA sebanyak 59 orang (96,7%)

dan anak yang tinggal di lingkungan kurang sehat dan di

diagnosa ISPA sebanyak 8 orang (50%).

Hasil uji statistik dengan menggunakkan Fisher's Exact

Test karena nilai sel / harapan kurang dari 5 sehingga

didapatkan bahwa nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 yang

artinya Ho ditolak yaitu ada hubungan bermakna antara status

lingkungan dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di

Puskesmas Temindung.

Dilihat dari OR (Odds Ratio) menujukkan bahwa

lingkungan yang kurang sehat memiliki peluang sebesar

29,500 kali terjadinya kejadian penyakit ISPA dibandingkan

status lingkungan yang sehat

6. Analisis Multivariat

Dari hasil penelitian yang didapat bahwa imunisasi yang paling

berhubungan dengan terjadinya ISPA dengan hasil analisis

multivariat didapatkan nilai X 33,022 > X tabel df 2 yaitu 5,991 atau

dengan signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05) sehingga menolak H0,

yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen

dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan

kata lain model dinyatakan FIT.


Sehingga jawaban terhadap hipotesis pengaruh simultan

variabel independen terhadap variabel dependen adalah

menerima H1 dan menolak H0 atau yang berarti ada pengaruh

signifikan secara simultan Imunisasi dan Lingkungan terhadap

Kejadian ISPA oleh karena nilai p Chi-Square sebesar 0,000 di

mana < Alpha 0,05 atau nilai Chi-Square Hitung 33,022 >

Chi-Square tabel 5,991.

Nilai Chi Square tabel untuk DF 1 (Jumlah variabel

independen – 1) pada taraf signifikansi 0,05 adalah sebesar 3,841.

Karena nilai Chi Square Hosmer and Lemeshow hitung 0,010 <

Chi Square table 3,841 atau nilai signifikansi sebesar 0,010 (<0,05)

sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa model dapat

diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan sebab ada

perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya.

Hasil penelitian yang menggunakan analisis regresi logistik

dimana pada subvariabel status imunisasi dan lingkungan rumah

memiliki p < 0,05 yaitu 0,000 > 0,05. Hasil analisis multivariat

dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan rumah dan

imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak usia

1-5 tahun di Puskesmas Temindung.


B. Saran

1. Puskesmas Temindung Samarinda

a. Agar meningkatkan sistem kewaspadaan dini terhadap

kejadian ISPA melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan

perilaku ibu mengenai pentingnya sanitasi fisik rumah yang

sehat.

b. Diharapkan petugas kesehatan dapat berperan dalam

memberikan edukasi kepada masyarakat dengan memberikan

informasi yang benar dan meluruskan pemahaman keluarga

dan orang tua anak tersebut agar mereka mau membawa

anaknya ke posyandu dan tempat layanan kesehatan lainnya

untuk mendapatkan imunisasi dasar.

c. Perlunya pemahaman yang lebih bagi petugas kesehatan

khususnya para kader posyandu dan orang tua balita akan

pentingnya meningkatkan status gizi balita. Diharapkan

petugas kesehatan lebih aktif dalam memberikan KIE

(Komunikasi Informasi dan Edukasi)

2. Orang Tua Anak

Diharapkan kepada orang tua khususnya yang mempunyai

balita yang menderita ISPA dan orang tua yang mempunyai balita

yang tidak terkena ISPA pada umumnya agar dapat meningkatkan

upaya untuk pencegahan penyakit ISPA dan memiliki kesadaran


dan motivasi untuk ikut berperan aktif dalam mengatasi faktor

yang mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan sekitar.

3. Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti lain dapat melakukan penelitian dengan

menambahkan variabel kepadatan penghuni rumah, suhu rumah

dan polusi udara dalam rumah (asap rokok atau asap dapur)

pengaruhnya terhadap kejadian ISPA. Untuk peneliti lain dapat

melakukan penelitian dengan menambahkan variabel kepadatan

penghuni rumah, suhu rumah dan polusi udara dalam rumah (asap

rokok atau asap dapur) pengaruhnya terhadap kejadian ISPA.


DAFTAR PUSTAKA

Alimul. (2013). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis


Data. Jakarta : Salemba Medika.

Ardinasari. (2015). Buku Pintar Mencegah & Mengobati Penyakit


Bayi & Anak.Jakarta : Bestari Buana Murni.

Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik


Edisi Revisi VI ed. Jakarta : PT.Rineka Cipta.

Aziz. (2015). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta : Salemba.

Depkes RI. (2013). Informasi Tentang ISPA pada Balita.


Jakarta : Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.

Darnen. (2012). Hubungan Karakteristik Demografi Ibu dengan


Status Imunisasi Campak Pada Balita di Jawa Timur Tahun 2002 (analisis
data survey cakupan PIN tahun 2002). Skripsi. Jakarta : Program Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Eva Suprihatin. (2012). Hubungan Faktor-Faktor Dengan Kejadian


ISPA pada Balita Di Puskesmas X Kota Bandung. Bandung : Lembaga
Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) BSI Bandung.

Hartono. (2012). Gangguan Pernafasan Pada Anak : ISPA.


Yogjakarta : Nuha Medika.

Hastono. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada.

Hidayat. (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma


Kuantitatif. Jakarta : Heath Books.

IDAI. (2000). Teori Tumbuh dan Kembang Anak. Jakarta : Salemba


Medika.

Idwar. (2011). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian


Imunisasi Pada Balita di Wilayah Puskesmas Kasihan 1 Bantul Yogyakarta.
Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Lienda. (2009) . Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Ibu


dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas
Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamnadiyah Surakarta.

Lisdianti. (2015). Hubungan Status Imunisasi Terhadap Kejadian


Ispa Pada Anak Usia Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasir Putih
Kabupaten Kotawaringin Timur. Skripsi. Kalimantan Tengah : Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran Program Studi
Keperawatan

Machfoedz. (2007). Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan,


Keperawatan dan Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya

Mundir. (2013). Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Jember :


STAIN Jember Press.

Notoatmojo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta :


Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2013). Imunisasi Pada Balita. Jakarta : Rineka Cipta.

Nur Achmad Yusuf. (2015). Hubungan Sanitasi Rumah Secara


Fisik, Pencemaran Udara Dalam Rumah Dan Pejamu Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Kelurahan
Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya. Skripsi. Surabaya :
Kesehatan Lingkungan FKM UNAIR.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian


Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam, (2015). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk


Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika.

Prabu. (2009). Faktor Resiko ISPA. Diperoleh dari:


http://putraprabu.wordpress.com/2009/01/8/faktorresikoISPApadaBalita.
[diakses pada tanggal 26 April 2017].

Proverawati & Andhini. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi,


Yogyakarta : Nuha Offset.

Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014.


Jakarta : Kemenkes RI.

KemeKes RI, 2015. Buku panduan pekan imunisasi 2015 final 10


april 2015. Jakarta : Bakti Husada.
Rahmawati. (2012). ISPA Panduan Bagi Tenaga Kesehatan dan
Umum. Yogjakarta : Nuha Medika.

Reza. (2006). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Ibu terhadap Pelaksanaan Imunisasi pada Balita di Desa Blumbang
Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Skripsi. Surakarta :
Fakultas Ilmu Kesehatan UMS.

Riyanto. (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan.


Yogyakarta : Nuha Medika.

Santoso. (2015). Kesehatan Lingkungan Pemukiman Perkotaan.


Yogjakarta : Gosyen Publishing.

Setianingrum. (2016). Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian


ISPA Pada Balita Di Kelurahan. Skripsi. Surabaya : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.

Siahaan. (2011). Tata Ruang Kantor, Lingkungan (Fisik) Kantor.


http://ephastikoz.blogspot.com/2010/05/tqta-ruang-kantordan-lingkungan-fi
sik.html. diakses pada tanggal 16 Mei 2017.

Slepin. (2006). Pengantar Imu Keperawatan Anak. Jakarta :


Salemba Medika.

Smallcrab. (2014). Can Breastfeeding Promote Child Health Equity.


Http://Www.Smallcrab.Com/Kesehatan/Peran-Bidan-Dan-Dukun-Bayi-Dal
am-Pelaksanaan-Kemitraan. diakses pada tanggal 16 Mei 2017.

Soemirat, J. (2011). Kesehatan Lingkungan. Revisi. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press

Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.

Sumantri. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :


Kencana.

Wiradharma, 2012. Konsep Dasat Vaksin. Jakarta : CV Sagung


Seto.

Yuni & Rika. (2014). Panduan Lengkap Posyandu Untuk Bidan dan
Kader. Yogjakarta : Nuha Medika.

Zaluchu. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung : Cita


Pustaka Media.
Lampiran 1

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rini Maysa


NIM : 17.1110241.10291

Mahasiswi SI Keperawatan (Transfer) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan


Muhammadiyah Samarinda yang sedang melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Antara Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi
Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 1-5 Tahun Di Puskesmas
Temindung Samarinda”. Hasil penelitian ini di harapakan akan
bermanfaat bagi Orang tua dan Perawat dalam meningkatkan
pengetahuan tentang ISPA yang terjadi pada anak, khususnya dalam
upaya meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit ISPA.
Untuk itu kami mohon partisipasi bapak/ibu/saudara/I untuk menjadi
responden dalam penelitian ini, di jamin kerahasiaannya (tanpa nama) dan
tidak ada pemaksaan. Data di sajikan hanya untuk pengembangan ilmu
keperawatan. Atas kerjasama dan partisipasinya, kami sampaikan terima
kasih.
Samarinda, 09 Febuari 2018
Hormat saya,

Rini Maysa
NIM 17.1110241.10291
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti saya bersedia


berpartisipasi sebagai responden penelitian dengan judul “Hubungan
Antara Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian
ISPA Pada Anak Usia 1-5 Tahun Di Puskesmas Temindung
Samarinda”. yang dilakukan oleh Mahasiswi SI Keperawatan (Transfer)
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda.

Nama : Rini Maysa


NIM : 17.1110241.10291

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat negatif


bagi saya dan segala informasi yang diberikan dijamin kerahasiaannya.
Saya memahami bahwa penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi
Orang tua dan Perawat dalam meningkatkan pengetahuan tentang ISPA
yang terjadi pada anak, khususnya dalam upaya meningkatkan
pencegahan dan pengendalian penyakit ISPA, karena itu jawaban yang
diberikan adalah sebenar-benarnya.
Saya telah diberi kesempatan untuk bertanya mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan penelitian ini dan telah mendapat jawaban
yang memuaskan. Berdasarkan semua penjelasan diatas maka dengan ini
saya menyatakan secara sukarela bersedia menjadi responden dan
berpartisipasi aktif dalam penelitian.

Samarinda, Agustus 2017

Responden

(……….....………..)
Lampiran 3
KUESIONER A
DATA DEMOGRAFI

Petunjuk pengisian bagian A


1. Bacalah setiap pertanyaan dengan teliti sebelum mengisi.
2. Beri tanda (√) pada setiap kotak yang tersedia dengan jawaban yang
dianggap paling sesuai dengan keadaan anda.
3. Isilah pertanyaan dibawah ini sesuai dengan identitas anda

No Responden : ….……………………...(Di Isi Peneliti)


Umur Ibu* / Ayah* / Keluarga* : ….……………………...(Tahun
)
Pendidikan Ibu* / Ayah* / Keluarga* : Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA / SMK
S1 Sederajat

Pekerjaan Ibu* / Ayah* / Keluarga* : Ibu Rumah Tangga


Swasta
Wiraswasta
PNS / TNI / Polri

Jenis Kelamin Anak Laki-laki


Perempuan

Umur Anak ….……………………..(Tahun)

* coret yang bukan sebagai responden


Lampiran 4
LEMBAR OBSERVASI A
Lingkungan Rumah

Petunjuk pengisian bagian B


Berilah tanda ( √ ) pada salah satu pilihan jawaban yang dianggap benar.

No Responden : ….………………………………………...(Di Isi Peneliti)

Tidak
No Syarat Rumah Sehat Sesuai
sesuai
1 Pencahayaan dalam rumah cukup baik, baik cahaya
alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu)
2 Luas jendela 10 % - 20 % dari luas lantai.
3 Terdapat ventilasi rumah.
4 Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas lantai
5 Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari
luar maupun dari dalam rumah (termasuk radiasi).
6 Terdapat tempat bermain bagi anak-anak dan untuk
belajar.
7 Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota
keluarga.
8 Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
9 Orang tua dan anak dibawah 2 tahun tidur satu kamar
10 Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm
11 Tersedia air bersih untuk minum
12 Tidak ada serangga (nyamuk, lalat), tikus dan binatang
lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.
13 Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat
dan higienis.
Lampiran 5
LEMBAR OBSRVASI B
STATUS ISPA

No Resp Usia Jenis Kelamin ISPA Tidak ISPA Keterangan


01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Lampiran 6
LEMBAR OBSRVASI C
STATUS IMUNISASI
No Resp Usia Jenis Kelamin Lengkap Tidak Lengkap Keterangan
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Lampiran 7

Tabulasi Data Penelitian Hubungan Antara Lingkungan Rumah Dan


Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 1-5 Tahun
Di Puskesmas Temindung Samarinda
DATA DEMOGRAFI OBSERVASI
IMU
DATA ORANG TUA DATA ANAK STATUS LINGKUNGAN
No NIS
Jenis ISPA
Umur Pendidikan Pekerjaan Umur ASI TOTAL KODE
Kelamin
1 38 3 S1 PNS Laki-laki 3 1 1 10 1
2 23 1 SMA / SMK IRT Laki-laki 4 0 1 12 1
3 26 2 S1 IRT Laki-laki 3 1 1 10 1
4 38 3 SMA / SMK IRT Perempuan 2 1 1 11 1
5 23 1 SMA / SMK IRT Laki-laki 3 1 0 11 1
6 17 1 SMA / SMK Wiraswasta Laki-laki 1 0 1 12 1
7 35 3 SMA / SMK IRT Laki-laki 3 1 1 12 1
8 35 3 SMP SWASTA Laki-laki 3 1 1 9 1
9 25 2 SD IRT Laki-laki 1 1 1 7 1
10 24 1 S1 IRT Perempuan 1 1 1 13 1
11 44 3 SMA / SMK IRT Perempuan 5 0 0 13 1
12 34 2 SD IRT Perempuan 2 1 1 9 1
13 26 2 SMP IRT Perempuan 2 1 1 7 0
14 35 3 S1 PNS Perempuan 5 1 1 13 1
15 23 1 SD SWASTA Perempuan 3 1 1 13 1
16 29 2 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 3 1 0 9 1
17 54 3 S1 PNS Perempuan 5 1 1 10 1
18 29 2 SMP SWASTA Perempuan 4 0 1 8 0
19 29 2 S1 SWASTA Perempuan 4 1 1 13 1
20 25 2 SD IRT Laki-laki 3 0 1 9 1
21 32 2 S1 PNS Perempuan 4 1 0 9 1
22 24 1 S1 SWASTA Laki-laki 2 1 1 10 1
23 26 2 S1 SWASTA Laki-laki 2 1 1 13 1
24 30 3 SMA / SMK SWASTA Perempuan 1 0 0 13 1
25 29 2 SMP SWASTA Perempuan 4 1 1 9 1
26 34 2 SMP Wiraswasta Laki-laki 2 1 1 7 1
27 35 3 SMA / SMK IRT Laki-laki 5 0 0 12 1
28 28 2 SMA / SMK SWASTA Perempuan 4 1 1 8 1
29 35 3 SMA / SMK IRT Perempuan 2 1 1 7 1
30 37 3 S1 PNS Perempuan 4 1 1 9 1
31 35 3 SMA / SMK IRT Perempuan 5 1 1 7 1
32 34 2 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 3 0 0 7 0
33 29 2 S1 PNS Perempuan 3 1 1 13 1
34 30 2 SMA / SMK SWASTA Perempuan 1 0 0 13 1
35 32 2 S1 PNS Perempuan 4 1 1 8 1
36 26 2 SMP SWASTA Laki-laki 2 1 1 10 1
37 28 2 SMP IRT Laki-laki 5 1 1 9 1
38 21 1 SMP IRT Perempuan 2 1 1 8 0
39 29 2 SMA / SMK Wiraswasta Laki-laki 3 1 1 9 1
40 39 3 SMA / SMK IRT Laki-laki 3 1 1 9 1
41 27 2 SD SWASTA Perempuan 5 0 0 8 1
42 34 2 SMP Wiraswasta Laki-laki 2 1 1 7 0
43 50 3 SD IRT Perempuan 5 1 1 11 1
44 30 2 S1 IRT Laki-laki 3 1 1 13 1
45 35 3 SMA / SMK IRT Laki-laki 5 0 0 8 0
46 21 1 SMA / SMK IRT Perempuan 2 1 1 10 1
47 25 2 SMA / SMK IRT Laki-laki 2 1 1 12 1
48 35 3 S1 PNS Perempuan 4 0 0 8 0
49 25 2 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 1 1 1 13 1
50 26 2 S1 SWASTA Laki-laki 2 1 1 13 1
51 30 2 SMA / SMK IRT Perempuan 5 1 1 10 1
52 41 3 SMP SWASTA Laki-laki 3 1 1 11 1
53 23 1 SMP IRT Perempuan 3 1 1 9 1
54 23 1 S1 PNS Laki-laki 1 1 1 13 1
55 21 1 SD IRT Laki-laki 3 1 1 9 1
56 25 2 SMP IRT Perempuan 3 1 1 10 1
57 28 2 S1 PNS Laki-laki 4 1 1 11 1
58 29 2 SMP SWASTA Perempuan 4 0 1 8 0
59 29 2 S1 SWASTA Perempuan 4 1 1 13 1
60 25 2 SD IRT Laki-laki 3 1 1 9 1
61 34 2 SMP SWASTA Laki-laki 3 1 1 12 1
62 40 3 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 4 0 1 3 0
63 32 2 S1 PNS Perempuan 5 1 1 10 1
64 28 2 S1 SWASTA Perempuan 1 1 0 13 1
65 24 1 S1 SWASTA Laki-laki 2 1 1 10 1
66 33 2 SMA / SMK IRT Perempuan 5 1 1 12 1
67 35 3 SD SWASTA Laki-laki 1 1 1 12 1
68 36 3 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 2 1 1 12 1
69 23 1 S1 SWASTA Perempuan 1 1 1 11 1
70 42 3 TS IRT Perempuan 3 0 0 6 0
71 28 2 S1 PNS Laki-laki 3 1 1 10 1
72 21 1 S1 SWASTA Perempuan 1 1 1 10 1
73 30 2 SMA / SMK SWASTA Laki-laki 4 1 1 10 1
74 25 2 SMP SWASTA Laki-laki 4 0 1 3 0
75 28 2 SMP IRT Perempuan 2 1 1 2 1
76 34 2 SD SWASTA Perempuan 2 1 1 4 1
77 32 2 SMP IRT Laki-laki 3 1 1 12 1

UJI NORMALITAS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Status
Lingkungan
N 77
Normal Parametersa Mean 9.86
Std. Deviation 2.569
Most Extreme Differences Absolute .123
Positive .111
Negative -.123
Kolmogorov-Smirnov Z 1.076
Asymp. Sig. (2-tailed) .197
a. Test distribution is Normal.
Lampiran 8

HASIL ANALISA DATA

1. Karakteristik Responden

Umur Orang Tua


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 15-24 14 18.2 18.2 18.2
25-34 42 54.5 54.5 72.7
>35 21 27.3 27.3 100.0
Total 77 100.0 100.0

Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid S1 24 31.2 31.2 31.2
SD 10 13.0 13.0 44.2
SMA / SMK 25 32.5 32.5 76.6
SMP 17 22.1 22.1 98.7
TS 1 1.3 1.3 100.0
Total 77 100.0 100.0

Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid IRT 31 40.3 40.3 40.3
PNS 12 15.6 15.6 55.8
SWASTA 30 39.0 39.0 94.8
Wiraswasta 4 5.2 5.2 100.0
Total 77 100.0 100.0

Jenis Kelamin Anak


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 39 50.6 50.6 50.6
Perempuan 38 49.4 49.4 100.0
Total 77 100.0 100.0
Umur Anak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 11 14.3 14.3 14.3
2 17 22.1 22.1 36.4
3 22 28.6 28.6 64.9
4 15 19.5 19.5 84.4
5 12 15.6 15.6 100.0
Total 77 100.0 100.0

2. Univariat

Status ISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ISPA 16 20.8 20.8 20.8
Tidak ISPA 61 79.2 79.2 100.0
Total 77 100.0 100.0

Status Imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Lengkap 13 16.9 16.9 16.9
Lengkap 64 83.1 83.1 100.0
Total 77 100.0 100.0

Status Lingkungan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kurang Bersih 11 14.3 14.3 14.3
Bersih 66 85.7 85.7 100.0
Total 77 100.0 100.0
3. Bivariat

Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA

Status Imunisasi * Status ISPA Crosstabulation


Status ISPA
ISPA Tidak ISPA Total
Status Tidak Count 9 4 13
Imunisasi Lengkap
Expected Count 2.7 10.3 13.0
% within Status ISPA 56.2% 6.6% 16.9%
Lengkap Count 7 57 64
Expected Count 13.3 50.7 64.0
% within Status ISPA 43.8% 93.4% 83.1%
Total Count 16 61 77
Expected Count 16.0 61.0 77.0
% within Status ISPA 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 22.305a 1 .000
Continuity Correction b
18.904 1 .000
Likelihood Ratio 18.462 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
22.015 1 .000
Association
N of Valid Casesb 77
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.70.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status Imunisasi
18.321 4.449 75.450
(Tidak Lengkap / Lengkap)
For cohort Status ISPA = ISPA 6.330 2.880 13.911
For cohort Status ISPA = Tidak
.345 .152 .784
ISPA
N of Valid Cases 77
Hubungan Status Lingkungan dengan Kejadian ISPA

Status Lingkungan * Status ISPA Crosstabulation


Status ISPA
ISPA Tidak ISPA Total
Status Kurang Count 8 2 10
Lingkungan Bersih
Expected Count 2.1 7.9 10.0
% within Status ISPA 50.0% 3.3% 13.0%
Bersih Count 8 59 67
Expected Count 13.9 53.1 67.0
% within Status ISPA 50.0% 96.7% 87.0%
Total Count 16 61 77
Expected Count 16.0 61.0 77.0
% within Status ISPA 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 24.485a 1 .000
Continuity Correctionb 20.525 1 .000
Likelihood Ratio 19.680 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
24.167 1 .000
Association
N of Valid Casesb 77
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.08.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status Lingkungan
29.500 5.301 164.160
(Kurang Bersih / Bersih)
For cohort Status ISPA = ISPA 6.700 3.260 13.769
For cohort Status ISPA = Tidak ISPA .227 .066 .787
N of Valid Cases 77
4. Multivariat

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 33.022 2 .000
Block 33.022 2 .000
Model 33.022 2 .000

Nilai X 33,022 > X tabel df 2 yaitu 5,991 atau dengan signifikansi

sebesar 0,000 (< 0,05) sehingga menolak H0, yang menunjukkan

bahwa penambahan variabel independen DAPAT memberikan

pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model

dinyatakan FIT.

Interprestasi Regresi Logistik dengan SPSS: Jawaban Hipotesis

Perlu diingat jika pada OLS untuk menguji signifikansi simultan

menggunakan uji F, sedangkan pada regresi logistik menggunakan

nilai Chi-Square dari selisih antara -2 Log likelihood sebelum variabel

independen masuk model dan -2 Log likelihood setelah variabel

independen masuk model. Pengujian ini disebut juga dengan

pengujian Maximum likelihood.

Sehingga jawaban terhadap hipotesis pengaruh simultan variabel

independen terhadap variabel dependen adalah menerima H1 dan

menolak H0 atau yang berarti ada pengaruh signifikan secara simultan

Imunisasi dan Lingkungan terhadap Kejadian ISPA oleh karena nilai p

Chi-Square sebesar 0,000 di mana < Alpha 0,05 atau nilai Chi-Square

Hitung 33,022 > Chi-Square tabel 5,991.


Hosmer and Lemeshow Test

Hosmer and Lemeshow Test adalah uji Goodness of fit test (GoF), yaitu uji

untuk menentukan apakah model yang dibentuk sudah tepat atau tidak.

Dikatakan tepat apabila tidak ada perbedaan signifikan antara model

dengan nilai observasinya.

Hosmer and Lemeshow Test


Step Chi-square df Sig.
1 .010 1 .920

Nilai Chi Square tabel untuk DF 1 (Jumlah variabel independen – 1) pada

taraf signifikansi 0,05 adalah sebesar 3,841. Karena nilai Chi Square

Hosmer and Lemeshow hitung 0,010 < Chi Square table 3,841 atau nilai

signifikansi sebesar 0,010 (<0,05) sehingga menolak H0, yang

menunjukkan bahwa model dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat

dilakukan sebab ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai

observasinya.

Analisa Regresi Logistik

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.
Step 1 Step 33.022 2 .000
Block 33.022 2 .000
Model 33.022 2 .000

Model Summary
-2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R
Step likelihood Square Square
1 45.674a .349 .545
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a
Lingkungan 3.283 .932 12.406 1 .000 26.653
Imunisasi 3.203 .869 13.595 1 .000 24.616
Constant -3.556 1.105 10.354 1 .001 .029
a. Variable(s) entered on step 1: Lingkungan, Imunisasi.

Variables not in the Equation


Score df Sig.
Step 0 Variables Lingkungan 21.038 1 .000
Imunisasi 22.305 1 .000
Overall Statistics 35.757 2 .000

Anda mungkin juga menyukai