Dosen Pembimbing
Dr. Tgk. JAMALUDDIN, MA
Oleh
Nama : Zakaria
Nim : 5022017038
Prodi : Hukum Keluarga Islam
KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan makalah yang
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB II : PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abi al-Faid Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makky, Al-Fawaid al-Janiyyah, J. 1,
(Beirut: Dar el-Fikr, 1997), h. 3.
2
Ibid.
1
5
B. Rumusan Masalah
Penulis menarik beberapa poin penting untuk dibahas dalam makalah ini
antara lain sebagai berikut:
1. Apa pengertian kaedah fikih امتيسري ?املشلة جتلب
2. Bagaimana ruang lingkup mengaplikasikan kaedah fikih امتيسري ?املشلة جتلب
3. Apa saja contoh kasus/hukum dalam ruang lingkup kaedah fikih املشلة جتلب
?امتيسري
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian kaedah fikih امتيسري املشلة جتلب.
2. Mengetahui ruang lingkup mengaplikasikan kaedah fikih امتيسري املشلة جتلب.
3. Mengetahui contoh-contoh kasus/hukum dalam ruang lingkup kaedah fikih املشلة
جتلب امتيسري.
6
BAB II
PEMBAHASAN
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-taysir secara bahasa
Dengan demikian maka maksud dari kalimat “al-masyaqqatu tajlibu al-taisir”( ادلشقة
sebuah kemudahan (rukhshah) atas taklif syariah dan dia melengkapi darurat sebagai
mana melangkapi hajat.
Darurat yaitu apa yang harus dilakukan manusia untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan atau hartanya dari kebinasaan. Hajat adalah sesuatu yang harus
dilakukan untuk kebaikan kehidupan dan rukhshah adalah apa yang disyariatkan
allah dari pada hukum –hukum sebagai keringanan bagi mukallaf dalam keadaan
khusus yang menghedaki keringanan.4
fikih التيسري ادلشقة جتلبtentunya harus benar-benar komprehensif di mana harus ada
petunjuk syar’i berupa dalil-dalil yang membenarkan pengaplikasiannya. Adapun
beberapa dalil tersebut antara lain:
3
Imam Musbikin, Qawaid al-Fikihiyah, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2001), h. 83.
Lihat juga: Salih bin Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fikihiyah al-Kubra, Riyadh:Dar al-Balnasiyah,
1417 H, h. 219-220.
4
Ibid.
3
7
5
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”.
b. Q.S. al-Baqarah:286
6
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”.
c. Q.S. al-Nisa:28
7
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah”.
d. Q.S. Al-Hajj:78
8
...
Artinya: “…dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”.
5
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,(Bandung:Diponegoro, 2010), h. 566.
6
Ibid, h. 761.
7
Ibid, h. 511.
8
Ibid, h. 321.
9
Bukhari, al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari, (Germany:Tra Digital Stuttgart GmbH, 2000), Hadis
no. 69, h. 21.
8
ما ىاذا؟ قالوا: يف سفر فرأى زحاما و رجال قد ظلل عليو فقال.م.كان رسول هللا ص
10
. ليس من الرب الصوم يف السفر: قال،صائم
Artinya: “Pada suatu perjalanan, Rasulullah melihat seseorang yang sedang
berjongkok dan beberapa orang lainnya terlihat melindunginya (dari
sengatan sinar matahari). Maka Rasulullah pun bertanya: “apa ini (yang
sedang terjadi)?” mereka menjawab: “ia sedang berpuasa!”, Rasulullah
bersabda: “berpuasa dalam perjalanan bukanlah suatu kebaikan (yang
mutlak)”.
10
Ibid, h. 363.
11
Ibid, 34.
12
Ezzat Abid al-Da‟as, al-Qawaid al-Fikihiyah ma’a al-Syarh al-Mujaz, Cet. III, (Beirut:Dar
al-Tirmizi, 1989), h. 40.
13
Salih bin Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fikihiyah al-Kubra, Riyadh:Dar al-Balnasiyah,
1417 H, h. 245.
9
berpuasa. Keempat, tidak berlaku terhadap sanksi syara‟ seperti rajam zina, pedihnya
hudud, derita dalam jihad dan sebagainya. 14
Hal ini menjadi kesepakatan bagi para ulama terutama ulama mazhab yang 4
(4) empat, syarat-syarat tersebut harus benar-benar wujud jika hendak mendapatkan
kemudahan atas masyaqqah dan pelanggaran terhadapnya merupakan suatu hal yang
berlebih-lebihan dalam menjalankan syariat.15
Salih Sadlan dalam kitabnya al-Qawa’id al-Kubra menyebutkan setidaknya
ada 7 (tujuh) sebab yang dapat diberikan keringanan oleh syarak yaitu karena:16
Syariat Islam sangat toleran terhadap keadaan seseorang layaknya bagi yang
dalam perjalanan diberikan keistimewaan berupa keringanan seperti memendekkan
(qasar)atau mengabungkan (jamak), demikian pula dalam hal berbuka puasa
sebelum waktunya ketika dirasa mendatangkan kecederaan atau mudarat yang besar
ketika meneruskannya selama perjalanan, namun harus mengganti (qada) puasa
tersebut pada hari-hari berikutnya setelah bulan Ramadan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah (Q.S. al-Baqarah:185):
17
Artinya: … dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.
14
Al-Zuhaily, al-Qawa’id al-Fikihiyah wa Tatbiqatuha fi Mazahib al-Arba’ah, Juz. I,
(Damascus:Dar el-Fikr, 2006), h. 258.
15
Ibid.
16
Salih …, al-Qawaid…, h. 238. Lihat juga: Ahmad bin Syaikh Muhammad Zarqa, Syarh al-
Qawaid al-Fikihiyah, (Damascus:dar el Qalam, 1989), h. 157-159.
17
Departemen…, al-Qur’an…, h. 566.
18
Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan sebagaimana dinukil dalam al-Qawaid al-
Kubra yaitu 3 (tiga) hari atau lebih dengan perjalanan unta atau jalan kaki. Menurut mazhab Hanafi,
jarak tempuh itu sekitar 86 (delapan puluh enam) kilometer, menurut mazhab syafi‟i sekitar 76 (tujuh
puluh enam) kilometer. Mazhab Hambali dalam hal ini lebih mengerucutkan jarak tempuh perjalanan
tersebut dengan kadar perjalanan selama 2 (hari). Lihat: Salih…, al-Qawaid…, h. 238.
11
19
Muhammad Bakir Ismail, al-Qawaid al-Fikihiyah baina al-Asalah wa al-Taujih,
(Heliopolis:Dal al-Manar, t.t.), h. 82.
20
HR Ibnu Majah dari jalur Muhammad bin Musaffa al-Himsi yang dikabarkan oleh Walid
bin Muslim dari al-Auza‟I bin „Ata‟. Lihat: Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh:Bait al-Afkar al-
Dauly, t.t.), no. 2045, h. 221.
21
Imam…, Qawaid…, h. 83.
12
e. Ketidak-tahuan )(اجلهل
Para ulama mengelompokkan jenis “ketidak-tahuan” atau “ ”الجهلini kepada 2
(dua kelompok) yaitu ketidak-tahuan sebab kekafiran dan ketidak-tahuan akan
hukum syariat namun dalam keimanan.
Adapun yang termasuk dalam pembahasan ini adalah jenis ke-2 (kedua) yaitu
ketidak-tahuan akan hukum dianggap dimaafkan dan setelah mengetahui hakikatnya
terus bertaubat atau berazam untuk tidak megulanginya di masa mendatang al-
Usaimin dalam syairnya menyatakan:
22
الشرع ال يقبل قبل العلم دليلو فعل ادلسيء فافهم
“Hukum syarak tidak dibebankan ketika tidak memiliki pengetahuan (tentangnya),
buktinya pelaku kejahatan dihukum hanya ketika dia mengetahui (hukumnya).23
f. Keperitan dan Bala Bencana )البلوى (العسر و عموم
Istilah Umum Bala dapat diartikan sebagai marabahaya, musibah atau
bencana yang sifatnya luas dan sulit terelakkan baik dalam kondisi ringan maupun
berat.24 Contoh dalam kondisi ringan seperti musim serangga jenis “laron” yang
sangat mengganggu untuk mengerjakan salat berjamaah karena kendati berpindah
tempat atau disapu tetap terus datang mengganggu dan hampir tidak mungkin
terelakkan.
Demikian pula seperti pemakaman jenazah secara massal pada peristiwa
Tsunami di mana menurut beberapa mazhab tidak diperbolehkan memakamkan satu
lahat lebih dari satu jenazah.25
22
Muhammad bin Saleh al-Usaimin, al-Qawa‟id al-Fiqhiyah, (Alexandria:dar el-Basheera,
1422 H), h. 23.
23
Muhammad…, al-Qawa‟id…, h. 23.
24
Salih …, al-Qawaid…, h. 240.
25
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Bantani:
وال جيوز مجع اثنني يف كرب واحد بل يفرد لك واحد بلرب وكال املاوردي ابمكراهة غند احتاد اجلنس أأو احملرمية أأو امزوجية أأو ػدم بلوغ حد امشهوة ويكره غند ش يخ
االسالم وان اختلف اجلنس واختلفت احملرمية مكن جيؼل بيهنام ما مينع امامتس كرتاب وحنوه واملؼمتد ا ألول هؼم يس تثىن من حرمة امجلع ما مو أأوىص لك من امليتني
بذكل فيجوز ألن احلق هل ومن ذكل ادخال ميت ػىل أخر كبل ذهاب أأثره وحيرم مجع غظام املوىت دلفن غريمه وكذا وضؼه فوكها هؼم ان دغت امرضورة اىل ذكل
. هناية امزين. كأن كرثت املوىت وغرس افراد لك ميت بلرب مضيق ا ألرض فيجمع بني االثنني وامثالثة والأكرث يف كرب حبسب امرضورة
Artinya: “Dan tidak diperbolehkan mengumpulkan dua janazah dalam satu kuburan, baiknya
dipisahkan satu kuburan untuk satu janazah. Imam al-Mawardi berkata: “makruh jika dari
satu jenis kelamin ( laki laki dengan laki laki , perempuan dengan perempuan ), ada sifat
Mahram (keluarga), suami istri atau anak kecil yang belum menimbulkan syahwat”.
Menurut Syaikh al-Islam hukumnya makruh walaupun berbeda jenis kelamin dan tiadak
ada sifat mahram akan tetapi dibuatkan sekat agar keduanya tidak bersentuhan seperti debu
dan lain-lain. Adapun pendapat yang mu’tamad adalah yang pertama. Benar ada
13
1. Rukhsah ()رخصة
a. Pengertian Rukhsah
Kajian mengenai Masyaqqah, tidak dapat dipisahkan dari istilah Rukhsah.
pengecualian dari haramnya menguburkan dua jenazah dalam satu kuburan yaitu ketika
kedua calon jenazah tersebut berwasiat untuk di kuburkan dalam satu kuburan maka boleh,
oleh karena itu boleh memasukan janazah yang kedua sebelum hilangnya janazah yang
pertama. dan juga haram mengumpulkan tulang-belulang beberapa jenazah untuk di
kebumikan bersama yang lain begitu juga menaruhnya di atas pemakaman yang lain ,
apabila terjadi darurat mengumpulkan dua , tiga atau lebih dalam satu kuburan maka tidak
apa-apa”.
Dari khabar di atas dapat dipahami terdapat 3 (tiga) pendapat dalam hal ini, pertama;
Menurut qaul yang mu’tamad ( pendapat yang paling bisa di gunakan pegangan )mengubur dua
jenazah atau lebih dalam satu liang kubur adalah haram meskipun keberadaan jenazah tersebut
berjenis kelamin sama (laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan) atau pasangan
suami istri, atau masih kecil (belum menimbulkan syahwat) atau bersaudara (mahram) kecuali apabila
jenazah yang pertama diperkirakan oleh orang yang ahli bahwa jenazah pertama telah hancur dan
tidak ada yang tersisa dari bagian tubuh jenazah yang pertama.
Kedua; Menurut Imam al-Mawardi hukum mengubur dua jenazah atau lebih adalah makruh
apabila keberadaan jenazah berjenis kelamin sama atau bersaudara (mahram) atau pasangan suami-
istri atau masih kecil (belum menimbulkan syahwat). Maka haram mengubur dua jenazah atau lebih
dalam satu liang kubur apabila berbeda jenis kelamin, bukan saudara (mahram), dan bukan anak
kecil.
Ketiga; Menurut sebagian Ulama‟ yang lain jika antara jenazah yang pertama dan jenazah
yang kedua sama-sama berwasiat untuk dikubur dalam satu kuburan, maka hukum mengubur dua
jenazah atau lebih dalam satu kuburan adalah boleh. Namun pendapat ini ditentang oleh Imam Al-
Sibramulisi karena dianggap berwasiat dengan perkara yang diharamkan, maka tidak boleh
dilaksanakan.
Perbedaan pendapat dikalangan Ulama‟ ahli Fikih mengenai hukum mengubur lebih dari satu
jenazah dalam satu kuburan seperti yang telah diuraikan diatas adalah tidak dalam kondisi darurat.
Apabila dalam kondisi darurat, maka hukum mengubur lebih dari satu jenazah dalam satu kuburan
adalah boleh seperti terlalu banyaknya orang yang meninggal hingga sulit untuk mengubur satu
jenazah dalam satu kuburan. Al-Nawawi didalam Kitabnya Majmu’ Syarh al-Muhaddzab menegaskan
bahwa larangan untuk mengubur lebih dari satu jenazah dalam satu kuburan dikarenakan Rasulullah
tidak pernah mengubur lebih dari satu jenazah dalam satu kuburan kecuali dalam kondisi darurat
seperti dalam perang Uhud. Lihat: al-Bantani (Abi Mu‟ti bin Umar Nawawi al-Jawi), Nihayah al-
Zain, (Beirut:Dar el-Kutub al-Alamiah,2002), h. 159.
14
b. Jenis-jenis Rukhsah
Sebab-sebab diberlakukannya menurut jenisnya terbagi kepada
tujuh, yaitu:27
26
Salih …, al-Qawaid…, h. 233.
27
Salih…, al-Qawaid…, h. 234-235.
28
Dalam teks asli penyusun kitab ini menyatakan عمن لم يجد له طريقا إلى البحرyang berarti bagi
orang yang tidak mampu mengadakan perjalanan ke laut, lihat: Ibid, h. 236.
29
Ibid, h. 234-235.
15
30
Artinya: "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih)”.
Contoh lain dalam masalah ini yaitu mengganti posisi berdiri dengan
duduk, atau rukuk dan sujud dengan isyarat di dalam salat karena tidak
mampu melaksanakannya.
30
Departemen…, al-Qur’an…, h. 411.
16
31
Salih…, al-Qawaid, h. 235.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Masyaqqah (kesukaran) menurut istilah jika suatu perkara
ditemukan kesukaran dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar‟i yang
dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dari
subjek hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dan segi apa pun.
2. Dasar hukum tentang adanya kaidah-kaidah di atas termaktub dalam Alquran
dan Hadis, di antaranya sebagai berikut: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Q.S. al-Baqarah:185), dan
”Permudahkanlah (dalam perihal agama) dan janganlah kalian persulit, serta
berilah kabar gembira dan janganlah kalian menakut-nakuti”, (HR. Sahih
Bukhari).
ِ التَّي
3. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah سر ْ
ُ ُ الْ َم َش َّقةُ َْجت
لب adalah sebagai berikut:
a. Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan
kebalikannya Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya
menyempit.
b. Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
c. Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan.
d. Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.
e. Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
f. Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan.
g. Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya.
h. Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
i. Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya.
14
18
B. Saran
Setelah mempelajari kaidah kesukaran mendatangkan suatu kemudahan,
diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
dengan pertimbangan logika hukum dan akal sehat, karena perkembangan
masyarakat semakin pesat tentunya permasalahan-permasalahan baru yang belum
dibahas sebelumnya juga semakin beragam, maka diperlukan ijtihad dalam
menyikapinya. Ada suatu pendapat yang menyatakan apabila kita memahami kaidah
asasiyah maka dapat menjawab berbagai persoalan fikih, baik itu terkait fikih
ibadah, muamalah, siyasah, jinayah, munakahat, dsb, tentunya dengan berlandasan
Al-Qur‟an dan Hadis sebagai sumber hukum.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fadani, Abi al-Faid Muhammad Yasin bin Isa al-Makky. Al-Fawaid al-Janiyyah.
J. 1. Beirut: Dar el-Fikr. 1997.
Zarqa. Ahmad bin Syaikh Muhammad. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah. Damascus:Dar
el Qalam. 1989.
Al-Bantani, (Abi Mu‟ti bin Umar Nawawi al-Jawi). Nihayah al-Zain. Beirut:Dar el-
Kutub al-Alamiah. 2002.
Al-Zuhaily. al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa Tatbiqatuha fi Mazahib al-Arba’ah. Juz. I.
Damascus:Dar el-Fikr. 2006.
Bukhari. al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari. Germany:Tra Digital Stuttgart GmbH. 2000.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:Diponegoro. 2010.
Al-Da‟as. Ezzat Abid al-Qawaid al-Fiqhiyah ma’a al-Syarh al-Mujaz. Cet. III.
Beirut:Dar al-Tirmizi. 1989.
Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Riyadh:Bait al-Afkar al-Dauly. t.t..
Musbikin, Imam. Qawaid al-Fiqhiyah. Jakarta:PT. Raja grafindo Persada. 2001.
Ismail, Muhammad Bakir. al-Qawaid al-Fiqhiyah baina al-Asalah wa al-Taujih.
Heliopolis:Dal al-Manar. t.t..
Al-Usaimin, Muhammad bin Saleh. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyah. Alexandria:Dar el-
Basheera. 1422 H.
Kurdi, Muliadi. Ushul Fikih Sebuah Pengenalan Awal. cet.1. Banda Aceh:Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS). 2011.
al-Sadlan, Salih bin Ghanim. al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kubra. Riyadh:Dar al-
Balnasiyah. 1417.