Anda di halaman 1dari 127

i

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO


DI LUWU RAYA

DEVELOPMENT OF SMALL SCALE COCOA PROCESSING INDUSTRY


AT LUWU RAYA

HARI PURWANTO

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO


DI LUWU RAYA

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Disusun dan diajukan oleh

HARI PURWANTO

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii

TESIS

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN KAKAO


DI LUWU RAYA

Disusun dan diajukan oleh

HARI PURWANTO

Nomor Pokok P0204211518

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis


pada tanggal 26 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui
Komisi Penasehat,

Prof. Dr. Ir. Sitti Bulkis, MS Prof. Dr. Ir. Rahim Darma, MS
Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana


Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin

Dr. Ir. Roland A. Barkey Prof. Dr. Ir. Mursalim


iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Hari Purwanto


Nomor Pokok : P0204211518
Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini


benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Juli 2013

Yang menyatakan,

HARI PURWANTO
v

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas

berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis

ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada

Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar

Penulis menyadari bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam

penyelesaian tesis ini dan hanya karena bantuan dari berbagai pihak

maka penyusunan tesis ini dapat selesai tepat pada waktunya. Dari hati

yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Prof. Dr. Ir. Sitti Bulkis, MS selaku Ketua Komisi Penasihat dan Prof. Dr.

Ir. Rahim Darma, MS selaku anggota Komisi Penasihat atas semua

bimbingan, arahan, dan motivasi yang diberikan dalam penulisan tesis

ini. Tim Komisi Penguji Dr. Ir. A. Nixia Tenriawaru, SP, M.Si., Dr. Muh.

Hatta Jamil, SP, MS., dan Dr. Ir. Djunaedi Muhidong, M.Sc yang telah

memberikan kritik dan saran demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih

juga penulis disampaikan kepada:

1. Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Hanasuddin, para Asisten

Direktur beserta seluruh staf akademik yang telah membantu

kelancaran proses studi penulis di Program Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin.
vi

3. Kepala Pusat Studi Kebijakan Manajemen dan Perencanaan (PSKMP)

Universitas Hasanuddin beserta staf Pak Nur, Pak Nasir, Ibu

Marwah, Ibu Ning, Ibu Warni, Ibu Asma dan Ibu Risma atas segala

bantuan, fasilitas dan dorongan selama menjalani aktivitas di kampus.

4. Ketua Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah (PPW)

dan Ketua Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan Universitas

Hasanuddin.

5. Seluruh dosen pengajar yang telah membagi ilmu kepada penulis

mulai dari awal perkuliahan hingga selesai studi sehingga menambah

wawasan dan cara berfikir yang dapat menjadi bekal bagi penulis

kelak ketika menjalankan tugasnya.

6. Menteri Perindustrian yang telah memberikan izin kepada penulis

untuk dapat melanjutkan studi.

7. Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk dapat melaksanakan tugas belajar ini.

8. Seluruh pegawai Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

yang telah membantu penulis dalam memberikan tambahan data,

masukan dan saran dalam penyelesaian tugas akhir ini.

9. Seluruh keluarga terutama istri tercinta Dian Suwarni Saleh, SE yang

tak henti-hentinya memberikan semangat dan dorongan kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan studinya.

10. Teman-teman seperjuangan MKSMP angkatan ix Pak Asep, Pak

Hadri, Pak Kris, Pak Adi, Pak Tahir, Pak Aan, Pak Agus, Pak Sa’di,
vii

Pak Achyar, Pak Endri, Pak Udin, Bu Astuna, Bu Yunita, Bu

Simpur, Bu Suci dan Bu Nina.

11. Semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan

manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Makassar, Juli 2013

HARI PURWANTO
viii

ABSTRAK

HARI PURWANTO. Pengembangan Industri Kecil Pengolahan Kakao di


Luwu Raya (dibimbing oleh Sitti Bulkis dan Rahim Darma)
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji bentuk pembinaan dan
pengembangan oleh pemerintah terhadap industri kecil pengolahan
kakao, (2) mengkaji permasalahan-permasalahan yang saat ini dihadapi
oleh industri kecil pengolahan kakao, dan (3) untuk merumuskan alternatif
kebijakan pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao
di Luwu Raya.
Metode penelitian bersifat deskriptif dilakukan di KUB Sibali Resoe
Kab. Luwu Utara, KUB Madani Kota Palopo serta Koptan Bina Harapan
Kab. Luwu. Pengambilan sampel dilakukan dengan wawancara, observasi
dan dokumentasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) bentuk pembinaan dan
pengembangan telah dilakukan oleh pemerintah adalah di bidang
permodalan berupa bantuan peralatan dan dana, di bidang produksi
berupa konsultasi teknis untuk peningkatan kualitas produk, di bidang
sumber daya manusia berupa pelatihan dan studi banding untuk
peningkatan pengetahuan dan keterampilan pegawai serta di bidang
pemasaran berupa fasilitasi dalam pameran untuk pengenalan produk
kepada masyarakat. (2) permasalahan yang dihadapi industri saat ini
antara lain terbatasnya modal untuk peningkatan kapasitas produksi,
peralatan yang belum efektif, kualitas produk yang belum maksimal,
pengetahuan dan keterampilan pegawai yang masih kurang serta proses
pemasaran yang belum lancar. (3) alternatif kebijakan yang bisa dilakukan
pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan yaitu program
penambahan atau penggantian peralatan, program pendampingan
industri, program peningkatan kualitas sumber daya manusia, program
pengembangan diversifikasi produk dan program fasilitasi pengembangan
pasar

Kata kunci: industri kecil, pengolahan kakao, kebijakan, pengembangan.


ix

ABSTRACT

HARI PURWANTO. Development of small scale cocoa processing


industry at Luwu Raya (supervised by Sitti Bulkis and Rahim Darma)
This research aimed: (1) to examine the form of establishment and
development by the government on the small scale cocoa processing
industry, (2) to study the problem encountered by the small scale cocoa
processing industry at the moment, and (3) to formulate the alternative
policies the etablishment and development of the small scale cocoa
processing industry at Luwu Raya.
This was a descriptive research conducted in KUB Sibali Resoe of
North Luwu Regency, KUB Madani of Palopo City and Koptan Bina
Harapan of Luwu Regency. Data were collected by an interview,
observation and documentation. The data were analysed by using
qualitative analysis.
The research indicated that (1) the forms of establishment and
development carried out by the government are in the capital field in the
forms of equipment and funds, in the production field in the forms of
technical consultation for the product quality improvement, in the human
resources field in the forms of training and comparative study for the staff’s
knowledge and skill improvement and in the marketing field in the forms of
the facilitation in promotion for the product introduction to the community.
(2) the problems encountered by the industry at the moment, among other,
are the capital limitation for the production capacity improvement,
ineffective equipment, non maximal product quality, lack of staff’s
knowledge and skill and not smooth marketing process. (3) the alternative
policies which can be conducted by the government for the establishment
and development are the equipment addition or replacement program,
industry mentoring program, quality improvement program of the human
resources, product diversification development program, and market
development facilitation program.

Keywords: small scale industry, cocoa processing, policy, development.


x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………. i

HALAMAN PENGAJUAN TESIS …………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ……………………………….. iv

PRAKATA …………………………………………………………… v

ABSTRAK …………………………………………………………… viii

ABSTRACT …………………………………………………………. ix

DAFTAR ISI ………………………………………………………… x

DAFTAR TABEL ……………………………………………………. xiii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ......................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ....................................................... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ............................ 9

B. Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao ……. 10

C. Pengembangan Industri ………………………………… 11

D. Industri Kecil ……………………………………………... 12

E. Bahan Baku …………….……………………………….. 13


xi

F. Proses Produksi ........................................................... 14

G. Pemasaran ……………………………………....……... 17

H. Sumber Daya Manusia................................................. 24

I. Bentuk Pembinaan dan Pengembangan ..................... 25

J. Kebijakan Pembangunan.............................................. 30

K. Kerangka pemikiran …………………………………….. 33

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................ 35

B. Peran Peneliti ............................................................. 36

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................... 36

D. Jenis dan Sumber Data ............................................... 37

E. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 38

F. Penentuan Informan ………........................................ 39

G. Teknik Analisis Data .................................................... 40

H. Pengecekan ValiditasTemuan ................................... 41

I. Definisi Operasional .................................................... 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian.......................... 43

B. Kondisi Umum Industri Pengolahan Kakao Nasional. 52

C. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Industri

Kakao ......................................................................... 55

D. Pembinaan Dan Pengembangan Industri Pengolahan

Kakao Di Luwu Raya .................................................. 57


xii

E. Alternatif Kebijakan Pengembangan Industri Kakao Di

Luwu Raya ................................................................. 104

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan................................................................ 108

B. Saran …………………………………………………… 109

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 110


xiii

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

1. Jenis dan sumber data penelitian 37

2. Jumlah produksi kakao di wilayah Luwu Raya 52

3. Daftar peralatan yang dimiliki KUB Sibali Resoe 61

4. Daftar peralatan yang dimiliki KUB Madani 62

5. Daftar bantuan permodalan untuk industri


pengolahan kakao di Luwu Raya 65

6. Permasalahan Industri kecil di bidang


permodalan 66

7. Persyaratan mutu biji kakao sebagai bahan


baku cokelat 68

8. Daftar jumlah rendemen produk hasil


pengolahan kakao 74

9. Daftar produk yang dihasilkan oleh industri


pengolahan kakao di Luwu Raya 81

10. Daftar volume produksi industri pengolahan


kakao di Luwu Raya 82

11. Daftar harga produk industri pengolahan kakao


di Luwu Raya 83

12. Permasalahan Industri kecil di bidang produksi 88

13. Daftar kegiatan promosi yang diikuti oleh industri


pengolahan kakao di Luwu Raya 95

14. Permasalahan Industri kecil di bidang


pemasaran 97
xiv

15. Daftar pegawai yang bekerja pada industri


pengolahan kakao di Luwu Raya 99

16. Daftar kegiatan dalam rangka mendukung


pengembangan industri pengolahan kakao
di Luwu Raya 100

17. Permasalahan Industri kecil di bidang sumber


daya manusia 104
xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Konseptual penelitian 34

2. Tahapan proses pengolahan kakao menjadi


produk setengah jadi 73

3. Tahapan proses pembuatan makanan cokelat 76


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sulawesi Selatan merupakan produsen utama kakao Indonesia,

dengan kontribusi 20% dari 844.626 ton produksi kakao nasional pada

tahun 2010. Luwu Raya yang meliputi Kota Palopo, Kabupaten Luwu,

Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara merupakan salah satu

sentra penghasil kakao terbesar di Sulawesi Selatan. Produksi Kakao

Sulawesi Selatan Tahun 2010 sebesar 172.083 ton dan diprediksi akan

mencapai 300.000 ton pada tahun 2013. Umumnya produksi kakao

Indonesia, sekitar 70% dari keseluruhan produksi diekspor dalam bentuk

biji, hal ini menyebabkan nilai tambah dari produk kakao tidak bisa

dinikmati oleh petani serta masyarakat yang ada di daerah penghasil

kakao. Selain itu dalam kurun waktu terakhir ini, permasalahan utama

yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya kualitas biji kakao Indonesia

karena sebagian kadar airnya masih tinggi, berjamur serta tidak

difermentasi.

Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang

dimiliki oleh wilayah Luwu Raya maka Departemen Perindustrian RI

melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (Ditjen IKM)

memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao menjadi


2

berbagai produk cokelat kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten/Kota di wilayah Luwu Raya yang kemudian dikelola oleh

Kelompok Usaha Bersama (KUB) maupun kelompok Tani (KOPTAN) yang

ada di wilayah kerja masing-masing.

Industri kecil pengolahan kakao ini sebagian besar mulai

melakukan produksi pada tahun 2009. Dengan bantuan peralatan

pengolah kakao tersebut industry kecil ini telah mampu menghasilkan

produk setengah jadi hingga produk jadi berupa cokelat batangan dan

minuman cokelat instan. Dalam melakukan produksinya biji kakao yang

diproses untuk makanan dan minuman cokelat di industri ini adalah biji

kakao hasil fermentasi.

Dengan beroperasinya industri kecil ini diharapkan mampu

meningkatkan nilai tambah dari biji kakao. Nilai tambah ini akan diperoleh

dari dua sumber, pertama dari selisih positif dari harga biji kakao

fermentasi yang akan dinikmati langsung oleh petani kakao dan kedua

nilai tambah dari produk cokelat.

Disamping nilai tambah tersebut diatas, produk olahan cokelat dari

pengolahan kakao, baik produk setengah jadi berupa lemak kakao dan

bubuk kakao maupun berupa pasta dan pasta mix, akan mendorong

tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru berupa IKM/IRT yang akan

memanfaatkan bahan tersebut sebagai bahan baku/subtitusi untuk

produksi penganan lokal/tradisional dan penganan modern berbasis

cokelat.
3

Pengembangan industri kakao di wilayah luwu raya ini memiliki

peluang yang cukup besar selain karena potensi produksi kakao yang

cukup besar di daerah ini, kebijakan pemerintah pusat melalui

Kementerian Perindustrian juga sangat mendukung program ini. Hal ini

tercermin dengan terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor: 97/M-IND/PER/8/2010 tanggal 30 Agustus 2010 Tentang Peta

Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan di Propinsi

Sulawesi Selatan. Dimana industri pengolahan kakao merupakan salah

satu industri unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di

Propinsi Sulawesi Selatan.

Industri kecil pengolahan kakao sebagai salah satu industri kecil

baru yang mengolah kakao menjadi produk cokelat tidak lepas dari

permasalahan perusahaan yang memerlukan proses penyelesaian.

Karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki umumnya industri kecil

belum mampu sepenuhnya menyelesaikan permasalahan yang mereka

hadapi, disinilah diperlukan pembinaan dari pemerintah. Untuk mencapai

hasil yang maksimal dalam proses pembinaan maka proses pembinaan ini

perlu disesuaikan dengan akar permasalahan perusahaan pada

khususnya dan permasalahan industri kakao pada umumnya agar tidak

terjadi tumpang tindih dalam program dan ketidakefektifan kebijakan

karena kurangnya pemahaman secara khusus tentang karakteristik dan

permasalahan industri kecil.


4

Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah

menimbulkan kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan

oleh pemerintah terhadap industri kecil selama ini tidak banyak

manfaatnya. Kurang berhasilnya kebijakan dan program pengembangan

industri kecil di Indonesia disebabkan antara lain oleh adanya tumpang

tindih dalam program dan populasi sasaran, pendekatan yang tidak

terkoordinasi dan tidak konsisten dalam pengembangan industri kecil,

serta kurangnya keterlibatan swasta dan beratnya peraturan yang

dibebankan pada industri kecil (Pardede, 2000).

Industri kecil di Indonesia memegang peranan sentral dan strategis

dalam pembangunan ekonomi kerakyatan dan penyerapan tenaga kerja

yang cukup besar. Jika industri kecil mendapat perhatian khusus dengan

pola pengembangan dan kebijakan yang terarah maka akan menjadi

tulang punggung (backbone) bangkitnya sektor riil di daerah.

Namun, tidak selaras dengan perannya yang begitu penting.

Permasalahan-permasalahan yang membelit industri kecil masih begitu

banyak. Seperti misalnya, permasalahan teknologi, permodalan,

manajemen, pemasaran, kesulitan dalam mengakses kredit perbankan

komersial dan masalah kualitas sumber daya manusia. Dari permasalahan

yang begitu kompleks tersebut, berakibat pada kinerja industri kecil

menjadi sangat kecil bila dibandingkan dengan kinerja industri besar.

Pemerintah sudah menunjukkan perhatian terhadap usaha kecil

dan industri kecil sejak lama, misalnya dengan pemberian bantuan bagi
5

usaha kecil padat karya pada tahun 1950-an. Program-program

pengembangan industri kecil paling banyak dilakukan oleh pemerintah

terutama berupa pemberian kredit bersubsidi dan penyediaan bantuan

teknis (Pardede, 2000).

Kebijakan pengembangan industri kecil dapat dilihat sebagai

bagian dari strategi industri yang mengarahkan dan mendorong kemajuan

industri kecil agar dapat mencapai suatu kondisi ideal tertentu yang

diinginkan dimasa depan. Dalam Wiratmadja (2011), kebijakan

operasional dalam menjalankan kebijakan umum dan pengembangan

industri disesuaikan dengan kondisi industri kecil dan menengah saat ini.

Dalam hal ini terdapat tiga jenis industri kecil dan menengah, antara lain:

industri kecil dan menengah sudah mampu hidup mandiri dan

berkembang, industri kecil dan menengah belum ada tetapi dibutuhkan

dalam struktur industri yang efisien dan yang terakhir adalah industri kecil

dan menengah yang tidak punya potensi mandiri.

Kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan menganalisis

bentuk-bentuk program/kegiatan yang sudah dilakukan pemerintah dalam

rangka pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao

dan permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi oleh industri ini

serta merumuskan arahan kebijakan pengembangan dan pembinaan

industri ini berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh industri

tersebut. Dengan adanya rumusan kebijakan diharapkan sistem

pembinaan dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao dapat


6

berjalan secara konsisten, berkesinambungan serta tidak tumpang tindih

sehingga manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh industri kecil itu

sendiri.

Untuk memperoleh tujuan tersebut diperlukan identifikasi dan

analisa yang mendalam tentang program/kegiatan yang sudah dilakukan

pemerintah dalam membantu operasional industri kecil ini dan

permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh industri tersebut saat ini.

Hal ini agar kebijakan yang dihasilkan dapat sesuai dengan kondisi riil

yang dihadapi serta sesuai dengan karakteristik dari industri ini.

Permasalahan yang dihadapi bisa berupa masalah internal maupun

masalah eksternal perusahaan. Untuk dapat mengetahui masalah-

masalah tersebut maka diperlukan pengamatan langsung terhadap

kondisi operasional masing-masing industri ini serta penggalian informasi

kepada pimpinan dan karyawan perusahaan.

Dengan teridentifikasinya program-program atau kegiatan-kegiatan

yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk membantu pengembangan

industri kecil pengolahan kakao ini serta masalah-masalah yang dihadapi

diharapkan mampu dirumuskan arahan program/kebijakan dalam rangka

pembinaan dan pengembangan yang merupakan intervensi pemerintah

secara sengaja untuk mengembangkan industri kecil pengolahan kakao.

Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kemampuan

industri ini dalam mengatasi hambatan eksternal dan internal perusahaan

agar dapat berkembang dan hidup mandiri.


7

B. Rumusan Masalah

Sebagai Industri kecil yang baru berkembang industry pengolahan

kakao tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama

menjalankan usahanya sebagaimana industri-industri kecil pada

umumnya, seperti misalnya permasalahan bahan baku, teknologi,

permodalan, manajemen, pemasaran, kesulitan dalam mengakses kredit

perbankan komersial dan masalah sumber daya manusia. Karena

keterbatasan sumber daya yang dimiliki tidak semua permasalahan-

permasalahan ini bisa diatasi oleh perusahaan sehingga di sinilah peran

pemerintah dibutuhkan.

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka pertanyaan

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk pembinaan dan pengembangan pemerintah

terhadap industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya?

2. Bagaimana kondisi saat ini (existing) industri kecil pengolahan kakao di

Luwu Raya?

3. Bagaimana alternatif kebijakan pembinaan dan pengembangan

industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya?

C. Tujuan Penelitian
8

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji bentuk pembinaan dan pengembangan yang telah

diberikan pemerintah terhadap industri kecil pengolahan kakao di Luwu

Raya.

2. Untuk mengkaji kondisi dan permasalahan-permasalahan yang dialami

industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.

3. Untuk merumuskan alternatif kebijakan pembinaan dan

pengembangan industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan

referensi bagi pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian

lain yang serupa.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan dan evaluasi bagi pemerintah dalam melakukan pembinaan

dan pengembangan industri kecil pengolahan kakao.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang studi kelayakan pendirian usaha

pengolahan lemak dan bubuk kakao di Kabupaten Luwu Utara oleh

Ramlah (2007), memfokuskan penelitiannya pada studi kelayakan ditinjau

dari aspek pasar, aspek teknis dan aspek finansial. Hasilnya menunjukkan

bahwa usaha pengolahan lemak dan bubuk kakao layak didirikan di

Kabupaten Luwu Utara.

Penelitian yang lainnya adalah strategi pengembangan industri kakao

di Propinsi Sulawesi Selatan oleh Effendi (2009), memfokuskan

penelitiannya pada implementasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah

dalam mendukung pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan.

Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan pusat dan daerah sangat

mendukung pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini

ditandai dengan kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan kakao

sebagai produk unggulan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun demikian

masih ada kebijakan pemerintah pusat yang belum berjalan seperti

kebijakan penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) biji kakao

selain itu ada juga kebijakan daerah justru tidak mendukung


10

pengembangan industri kakao itu sendiri, seperti pungutan retribusi ke

industri.

Penelitian lainnya analisis prospek dan strategi pengembangan

perusahaan cokelat, studi kasus pada KUB Sibali Resoe Luwu Utara oleh

Handayani (2010), memfokuskan penelitiannya pada prospek

pengembangan dan menentukan strategi yang tepat dilakukan untuk

mengembangkan perusahaan cokelat KUB Sibali Resoe. Analisis yang

digunakan adalah metode analisis Matriks General Elektrik (General

Electric Matrix) yang menyertakan parameter faktor daya tarik industri

(Industrial Attractiveness Factor) dan faktor kekuatan bisnis (Bussiness

Strenght Factor) u8ntuk menyususnya. Hasilnya menunjukkan bahwa ke

depan perusahaan ini mempunyai prospek cerah dan strategi yang harus

dilakukan untuk pengembangan perusahaan adalah strategi pertumbuhan

berdasarkan segmen pasar, melakukan spesialisasi dan investasi selektif.

B. Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao

Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan

mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi,

atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi

nilainya. (Badan Pusat Statistik, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut

dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kakao adalah industri yang

mengolah bahan baku cokelat berupa biji kakao menjadi produk-produk

yang mempunyai nilai tambah dalam bentuk barang jadi dan barang
11

setengah jadi yang dapat digunakan untuk dikonsumsi atau sebagai

bahan baku industri lain. (Rahmanu, 2009)

C. Pengembangan Industri

Proses industrialisasi dan pengembangan industri merupakan satu

jalur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat

hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih baik. Dengan kata

lain pengembangan industri ini merupakan satu fungsi dari tujuan pokok

kesejahteraan rakyat, bukan merupakan bagian yang mandiri untuk hanya

sekedar mencapai fisik saja.

Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan

mutu sumber daya dan kemampuannya secara optimal memanfaatkan

sumber daya lain. Hal ini berarti pula sebagai suatu usaha untuk

meluaskan ruang lingkup kegiatan manusia. Dengan demikian dapat

diusahakan semakin besarnya nilai tambah pada kegiatan ekonomi dan

sekaligus semakin luasnya lapangan kerja produktif bagi penduduk yang

semakin bertambah.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa industri itu mempunyai

peranan sebagai leading sector. Leading sector berarti bahwa

pembangunan industri akan memacu dan mengangkat pembangunan

sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian dan sektor jasa.

Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan

sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku untuk industri.

Sektor jasa pun akan berkembang dengan adanya industrialisasi tersebut,


12

misalnya berdirinya lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga

pemasaran/periklanan dan sebagainya yang akhirnya akan memacu

lajunya pertumbuhan industri. Hal ini berarti keadaan meluasnya

perluasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan

permintaan masyarakat (daya beli). Kenaikan pendapatan dan

peningkatan daya beli (permintaan) tersebut menunjukkan perekonomian

itu tumbuh dan sehat.

D. Industri Kecil

Menurut Tohar (2000). Industri kecil adalah kegiatan ekonomis

rakyat yang berskala kecil dan memenuhi criteria kekayaan bersih dan

hasil penjualan tahunan serta kepemilikannya sebagaimana diatur dalam

undang-undang. Kriteria-kriteria tersebut adalah:

1. Memiliki kekayaan bersih dan total aset paling banyak Rp. 200

juta

2. Memiliki hasil penjualan bersih pertahun paling besar Rp. 1 milyar

3. Milik warga negara Indonesia

4. Berdiri sendiri

5. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak

berbadan hukum termasuk koperasi.

Tohar (2000) menyatakan bahwa fungsi dan peran industri kecil

sangat besar dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Fungsi dan Peran

tersebut adalah meliputi penyediaan barang dan jasa, penyerapan tenaga


13

kerja, pemerataan pendapatan, sebagai nilai tambah bagi produk daerah

dan peningkatan taraf hidup masyarakan. Oleh karena itu pengembangan

industri kecil perlu terus dilakukan dalam upaya:

1. Meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat.

2. Meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

3. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

4. Meningkatkan pemerataan pendapatan maupun pembangunan

regional.

5. Menuju pembangunan berkelanjutan.

E. Bahan Baku

Menurut Tohar (2000) kegiatan pengadaan bahan baku wajib

dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menjamin kelancaran proses

produksi. Berdasarkan tujuan pengadaannya, kegiatan pengadaan bahan

baku dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Pengadaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

Adalah penyediaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan

yang sangat mendesak atau untuk jangka waktu pendek

2. Pengadaan bahan baku untuk kebutuhan yang akan datang.

Adalah penyediaan bahan baku yang ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan di masa mendatang

3. Pengadaan bahan baku spekulatif.


14

Kegiatan pengadaan bahan baku tersebut dilakukan dengan

menerapkan metode manajemen persediaan

Menurut Handoko (1999) sistem persediaan bahan baku adalah

serangkaian kebijakan dan pengendalian yang memonitor tingkat

persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan

persediaan bahan baku harus diisi, dan berapa besar pesanan harus

dilakukan. Sistem ini bertujuan untuk menetapkan dan menjamin

tersedianya sumber daya yang tepat dalam kuantitas dan kualitas yang

tepat.

Pada tiap perusahaan persediaan bahan baku merupakan bagian

kekayaan lancar perusahaan, oleh karena itu tingkat persediaan bahan

baku di suatu perusahaan perlu diatur karena jika terlalu banyak bahan

baku yang didatangkan akan merusak persaingan dan keuntungan

usaha, akan tetapi jika bahan baku didatangkan dalam jumlah yang

sangat terbatas akan menggangu kelangsungan proses produksi suatu

perusahaan.

F. Proses Produksi

Proses produksi yaitu rangkaian proses yang dilakukan dalam suatu

industri yang bertujuan mengubah bahan baku menjadi barang jadi atau

setengah jadi agar mempunyai nilai tambah dengan standar yang

ditetapkan berdasarkan keinginan konsumen, dengan teknik produksi

yang seefisien mungkin, dan menggunakan sumber daya yang dimiliki

secara optimal (Ahyari, 2002).


15

Proses produksi memang tidak berhubungan langsung dengan

konsumen namun hambatan di bagian produksi dapat mengakibatkan

terhambatnya produk/jasa sampai di tangan konsumen yang akhirnya

menimbulkan kekecewaan atau citra yang buruk.

Proses produksi dalam suatu kegiatan usaha meliputi proses

perubahan dari bahan mentah menjadi barang jadi. Elemen-elemen yang

terlibat dalam proses produksi adalah bahan mentah, bahan setengah

jadi, barang jadi, mesin, peralatan, metode dan lain-lain.

Penentuan tipe produksi didasarkan pada faktor-faktor seperti: (1)

volume atau jumlah produk yang akan dihasilkan, (2) kualitas produk yang

diisyaratkan, (3) peralatan yang tersedia untuk melaksanakan proses.

Berdasarkan pertimbangan cermat mengenai faktor-faktor tersebut

ditetapkan tipe proses produksi yang paling cocok untuk setiap situasi

produksi. Macam tipe proses produksi dari berbagai industri dapat

dibedakan sebagai berikut (Yamit, 2002):

1. Proses produksi terus-menerus

Proses produksi terus-menerus adalah proses produksi barang

atas dasar aliran produk dari satu operasi ke operasi berikutnya

tanpa penumpukan disuatu titik dalam proses. Pada umumnya

industri yang cocok dengan tipe ini adalah yang memiliki

karakteristik yaitu output direncanakan dalam jumlah besar, variasi

atau jenis produk yang dihasilkan rendah dan produk bersifat

standar.
16

2. Proses produksi terputus-putus

Produk diproses dalam kumpulan produk bukan atas dasar

aliran terus-menerus dalam proses produk ini. Perusahaan yang

menggunakan tipe ini biasanya terdapat sekumpulan atau lebih

komponen yang akan diproses atau menunggu untuk diproses,

sehingga lebih banyak memerlukan persediaan barang dalam

proses.

3. Proses produksi campuran

Proses produksi ini merupakan penggabungan dari proses

produksi terus-menerus dan terputus-putus. Penggabungan ini

digunakan berdasarkan kenyataan bahwa setiap perusahaan

berusaha untuk memanfaatkan kapasitas secara penuh.

Untuk menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas,

diperlukan produk-produk dengan mutu baik sehingga daya simpan tinggi.

Terutama untuk produk-produk industri kecil yang mutunya relatif masih

rendah bila dibandingkan dengan produk-produk sejenis dari industri

besar atau menengah.

Masih rendahnya mutu produk yang dihasilkan oleh industri kecil

diantaranya disebabkan oleh teknologi proses pengolahan yang

diterapkan. Pada umumnya teknologi yang digunakan bersifat tradisional,

hal ini disebabkan oleh pengusaha industri kecil kurang banyak


17

mengetahui informasi mengenai teknologi produksi atau adanya

keterbatasan dalam permodalan untuk pengadaan peralatan.

Meski demikian, bukan berarti para pengusaha industri kecil boleh

mengabaikan mutu produk yang dihasilkan tetapi harus tetap diperhatikan

atau bahkan ditingkatkan kearah yang lebih baik.

G. Pemasaran

Pemasaran merupakan upaya mengatur strategi dan cara agar

konsumen mau mengeluarkan uang yang mereka miliki untuk

menggunakan produk atau jasa yang dimiliki sebuah perusahaan. Dengan

strategi pemasaran yang baik posisi perusahaan menjadi kuat dan patut

diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi nasional yang akhirnya

membawa keuntungan bagi usaha tersebut.

Strategi pemasaran adalah suatu rencana yang didesain untuk

mempengaruhi pertukaran dalam mencapai tujuan organisasi. Biasanya

strategi pemasaran diarahkan untuk meningkatkan kemungkinan atau

frekuensi perilaku konsumen, seperti peningkatan penjualan produk

tertentu. Hal ini dicapai dengan mengembangkan dan menyajikan bauran

pemasaran yang diarahkan pada pasar sasaran yang dipilih. (Peter dan

Olson, 1999)

Dalam mengembangkan suatu bauran pemasaran, dapat

menggunakan suatu riset konsumen yang menjadi bagian dari riset

pemasaran. Memahami konsumen adalah penting dalam pengembangan

strategi pemasaran. Mengetahui perilaku konsumen dalam pembelian,


18

sikap terhadap produk, dan kepuasan konsumen merupakan salah satu

riset yang dapat digunakan dalam menyusun suatu bauran pemasaran.

Bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang

digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan

pemasarannya di pasar sasaran. Kotler (2005) mengklasifikasikan alat-

alat itu menjadi empat kelompok yang luas yang disebut sebagai empat P

pemasaran yaitu produk, harga, promosi, dan tempat.

a) Produk

Wibowo, Murdinah, dan Fawzya (2002) menyatakan bahwa

usaha kecil memiliki strategi tersendiri dengan membuat produk

yang khusus, unik, dan spesial agar tidak bersaing dengan usaha

besar. Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke

suatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen

(Kotler, 2005). Produk yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa,

pengalaman, peristiwa, orang, tempat, properti, organisasi, dan

ide/gagasan. Sedangkan menurut Swastha (1995) produk adalah

suatu sifat yang kompleks baik dapat diraba maupun tidak dapat

diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan

pengecer, pelayanan perusahaan dan pengecer, yang diterima

oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan. Inilah

yang dikenal dengan atribut-atribut produk.

Elemen dari strategi produk yang lain adalah nama merek,

pengemasan, dan pelabelan. Merek merupakan nama, istilah,


19

tanda, symbol, atau desain, atau kombinasi semuanya yang

dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seorang

atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dengan

barang atau jasa pesaing. Merek menjadi suatu tanda pengenal

bagi penjual atau pembuat. Merek dapat menyampaikan enam

tingkat pengertian yaitu atribut, manfaat, nilai, budaya,

kepribadian, dan pemakai.

Merek sangat penting bagi industri kecil dan menengah

karena dengan merek yang kuat, sebuah produk akan memiliki

nilai jual yang lebih baik dibandingkan produk tanpa merek. Merek

mencerminkan banyak keuntungan yang bisa didapat konsumen

dengan mengkonsumsi produk tersebut. Selain mencerminkan

keuntungan yang bisa didapat, merek juga memudahkan

konsumen dalam mengingat sebuah produk. Dengan nama dan

simbol yang mudah diingat, maka konsumen menjadi lebih tertarik

membuat preferensi atau pilihan ke produk kita.

Kotler (2005) menjelaskan bahwa pengemasan adalah

semua kegiatan merancang dan memproduksi wadah untuk

produk. Wadah ini yang disebut dengan kemasan produk.

Kemasan yang dirancang dengan baik dapat menciptakan

kenyamanan dan nilai promosi. Setelah mengemas, pemasar

biasanya memberikan label pada produknya. Pelabelan yang

sederhana hanya mencantumkan nama merek, namun ada


20

informasi tambahan yang diharuskan ada dalam label seperti izin

Departemen Kesehatan, logo halal, informasi kandungan gizi,

tanggal kadaluarsa, dan lain-lain.

b) Harga

Harga merupakan sejumlah uang yang tersedia dibayarkan

oleh konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Harga

merupakan satu-satunya elemen bauran pemasaran yang

menghasilkan pendapatan dan paling fleksibel/dapat diubah

dengan cepat (Kotler, 2005). Penetapan harga dan persaingan

harga juga merupakan masalah utama yang dihadapi perusahaan.

Penetapan harga yang baik dapat memposisikan suatu produk di

benak konsumen. Sedangkan Kartajaya (2004) menyebutkan

harga sebagai ekspresi nilai, di mana nilai menyangkut kegunaan

dan kualitas produk, citra yang terbentuk melalui iklan dan

promosi, ketersediaan produk melalui jaringan distribusi dan

layanan yang menyertainya.

Menurut Griffin dan Ronald J. Ebert (2003), untuk

memperlancar strategi pemasaran maka diwajibkan memilih harga

jual yang paling sesuai sebagai tindakan penyeimbang. Namun

demikian, harga jual juga harus mendukung biaya lainnya seperti

biaya operasi, administrasi, riset organisasi, dan biaya pemasaran.

Penetapan harga yang berhasil berarti mencari harga yang

menguntungkan di antara kedua kebutuhan tersebut.


21

c) Promosi

Promosi merupakan suatu kegiatan untuk memperkenalkan

keunggulan, manfaat, dan lain-lain baik kepada konsumen

maupun kepada calon konsumen. Promosi secara tidak langsung

dapat membujuk dan merangsang konsumen untuk mengenal,

berminat, dan akhirnya sampai pada keputusan untuk membeli.

Menurut Kotler (2005), bauran promosi terdiri dari lima alat

promosi utama yaitu iklan, promosi penjualan, hubungan

masyarakat, tenaga penjualan, dan pemasaran langsung. Masing-

masing alat promosi mempunyai karakteristik dan biaya masing-

masing. Perusahaan dapat memilih kelima alat utama tersebut

atau dapat mengkombinasikan di antara kelimanya.

Kebanyakan industri kecil dan menengah tidak

mempromosikan iklannya di media massa, apalagi televisi, karena

dilihat dari skala ekonomis yang masih terbatas. Hal ini

menyebabkan cara yang banyak dilakukan untuk mempromosikan

produknya adalah dengan promosi dari mulut ke mulut.

Menurut Wibowo, Murdinah, dan Fawzya (2002), ada banyak

cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan kecil dalam

mempromosikan produknya yaitu dengan potongan harga,

penjualan kredit, pemberian contoh barang, melakukan pameran-

pameran, dan membuat iklan.


22

d) Saluran Distribusi

Selain strategi hal lain yang berpengaruh terhadap proses

pemasaran adalah saluran distribusi. Saluran distribusi adalah

lembaga-lembaga distributor atau lembaga-lembaga penyalur

yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan atau menyampaikan

barang-barang atau jasa-jasa dari produsen ke konsumen.

Fungsi utama saluran distribusi adalah menyalurkan barang

dari produsen ke konsumen, maka perusahaan dalam

melaksanakan dan menentukan saluran distribusi harus

melakukan pertimbangan yang baik.

Menurut Swastha dan Irawan (1997) terdapat berbagai

macam saluran distribusi barang konsumsi, diantaranya :

1. Produsen – Konsumen

Bentuk saluran distribusi ini merupakan yang paling

pendek dan sederhana karena tanpa menggunakan perantara.

Produsen dapat menjual barang yang dihasilkannya melalui

pos atau langsung mendatangi rumah konsumen (dari rumah

ke rumah). Oleh karena itu saluran ini disebut saluran

distribusi langsung.

2. Produsen – Pengecer – Konsumen

Seperti halnya dengan jenis saluran yang pertama

(Produsen - Konsumen), saluran ini juga disebut sebagai

saluran distribusi langsung. Disini, pengecer besar langsung


23

melakukan pembelian kepada produsen. Adapula beberapa

produsen yang mendirikan toko pengecer sehingga dapat

secara langsung melayani konsumen.

3. Produsen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

Saluran distribusi ini banyak digunakan oleh produsen, dan

dinamakan saluran distribusi tradisional. Di sini, produsen

hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada

pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer.

Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan

pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja.

4. Produsen – Agen – Pengecer – Konsumen

Di sini, produsen memilih agen sebagai penyalurnya. Ia

menjalankan kegiatan perdagangan besar dalam saluran

distribusi yang ada. Sasaran penjualannya terutama ditujukan

kepada para pengecer besar.

5. Produsen – Agen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

Dalam saluran distribusi, produsen sering menggunakan

agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya

kepada pedagang besar yang kemudian menjualnya kepada

toko-toko kecil.

H. Sumber Daya Manusia (SDM)


24

Secara umum peran tenaga kerja dalam industri sangat penting.

Sebab sebagai sumber daya manusia (SDM) yang harus melakukan

sesuatu kegiatan di tempat kerja adalah sebagai penentu dari suatu

sistem kerja pada industri. Sedangkan mesin dan sejumlah komponen

lainnya hanya merupakan alat bantu yang memudahkan pekerjaan dalam

rangka pencapaian tujuan yakni suatu produk dari kegiatan tersebut

(Tukiman, 2010)

Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa secara kualitas ada

perbedaan antara tenaga kerja yang satu dengan tenaga kerja lainnya.

Biasanya perbedaan inilah yang akan menjadikan tingkatan/status

pekerjaan seseorang pada suatu organisasi. Misalnya ada direksi,

manajer produksi, manajer pemasaran, kepala pabrik dan karyawan yang

masing-masing memiliki keahlian tertentu untuk mendukung tugas dan

tanggung jawab masing-masing.

Masalah penting yang dihadapi oleh industri kecil dalam hal sumber

daya manusia adalah masih rendahnya kualitas SDM yang dimiliki baik

ditinjau dari segi pendidikan maupun keterampilan. Sebagian besar usaha

kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang

turun temurun. Keterbatasan SDM industri kecil baik dari segi pendidikan

formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh

terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut

sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan

keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi


25

perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk

yang dihasilkannya.

I. Bentuk Pembinaan dan Pengembangan

Untuk mencapai pembangunan industri kecil yang semakin maju dan

mandiri dilakukan oleh semua pihak yang terkait baik di pusat maupun di

daerah dengan koordinasi yang baik sehingga efektifitas dan efisiensi

pembinaan dapat ditingkatkan untuk mencapai sasaran yang telah

ditentukan. Adapun bentuk-bentuk pembinaan dan pengembangan yang

dilakukan pemerintah diantaranya adalah:

1. Aspek Sumber Daya Manusia

Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk

membantu pengembangan industri kecil dibidang sumber daya

manusia adalah melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan adalah

suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang

dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi, latihan membantu

karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan

penerapannya guna meningkatkan keterampilan, kecakapan dan

sikap yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha mencapai

tujuannya (Mathis, 2002).

Tujuan pelatihan adalah agar para pegawai dapat menguasai

pengetahuan, keahlian dan perilaku yang ditekankan dalam

program-program pelatihan dan untuk diterapkan dalam aktivitas


26

sehari-hari para karyawan. Pelatihan juga mempunyai pengaruh

yang besar bagi pengembangan perusahaan.

Zurnali (2004) memaparkan beberapa manfaat pelatihan yang

diselenggarakan oleh perusahaan, yaitu:

a) Meningkatkan pengetahuan para karyawan atas budaya dan

para pesaing luar,

b) Membantu para karyawan yang mempunyai keahlian untuk

bekerja dengan teknologi baru,

c) Membantu para karyawan untuk memahami bagaimana

bekerja secara efektif dalam tim untuk menghasilkan jasa

dan produk yang berkualitas,

d) Memastikan bahwa budaya perusahaan menekankan pada

inovasi, kreativitas dan pembelajaran,

e) Menjamin keselamatan dengan memberikan cara-cara baru

bagi para karyawan untuk memberikan kontribusi bagi

perusahaan pada saat pekerjaan dan kepentingan mereka

berubah atau pada saat keahlian mereka menjadi absolut,

f) Mempersiapkan para karyawan untuk dapat menerima dan

bekerja secara lebih efektif satu sama lainnya, terutama

dengan kaum minoritas dan para wanita

2. Aspek Produksi Dan Pengolahan


27

Kendala utama industri kecil selain permodalan dan pasar

adalah teknologi. Teknologi merupakan aspek sangat penting

dalam industri kecil. Selama ini telah tersedia berbagai teknologi

pengolahan hasil perkebunan, tetapi penerapan teknologi

tersebut masih belum intensif terutama pada industri kecil

pengolah kakao. Tiba saatnya dilakukan upaya sungguh-sungguh

untuk mendorong peningkatan penerapan dan adopsi teknologi

dikalangan pelaku usaha, memberdayakan dan mengembangkan

industri kecil agar kompetitif, termasuk melalui pengembangan

sistem dukungan teknologi bagi industri kecil secara integratif.

Apabila adopsi teknologi pada kalangan industri kecil tidak segera

dilakukan, ada kemungkinan pasar yang selama ini digarap akan

digantikan produk impor yang lebih efisien dan murah.

Industri kecil di Indonesia masih menggunakan teknologi

sederhana. Kenyataan ini membuat produktivitas industri kecil

masih rendah. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa akses

dan informasi sumber teknologi masih kurang dan tidak merata

dan upaya penyebarluasannya kurang gencar. Untuk itu

diperlukan kehadiran lembaga yang mengkaji teknologi yang

ditawarkan oleh pasar kepada industri kecil agar teknologi yang

ada dapat dimanfaatkan secara optimum. Teknologi ini

hendaknya bersifat tepat guna dengan spesifikasi peralatan

sesuai dengan kebutuhan industri kecil. Instansi pemerintah, non


28

pemerintah dan perguruan tinggi berperan dalam

mengidentifikasi, menemukan dan menyebarluaskan serta

melakukan pembinaan teknis sehubungan dengan teknologi

baru ata teknologi tepat guna secara intensif sehingga

keterampilan tenaga kerja di industri kecil dapat ditingkatkan.

3. Aspek Pemasaran

Menurut Swastha dan Irawan (1997) promosi adalah arus

informasi atau persuasi satu atau dua arah yang dibuat untuk

mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang

menciptakan pertukaran dalam pemasaran.

Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar

industri kecil disebabkan karena umumnya industri kecil

merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang

sangat terbatas terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang

rendah oleh karena itu produk yang dihasilkan jumlahnya sangat

terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.

Akibat kurangnya kemampuan promosi industri kecil, produk-

produk mereka yang semestinya memiliki potensi besar untuk

dikenal masyarakat luas itu, hanya pupuler di daerah saja dan

kalah bersaing dibandingkan produk sejenis, termasuk produk

impor. Untuk itu pemerintah perlu turun tangan dalam membantu

promosi industri kecil misalnya melalui pameran-pameran produk


29

unggulan industri kecil sehingga produk yang dihasilkan bisa

dikenal masyarakat luas. Selain itu perlu dikembangkan

kemitraan yang saling membantu antara industri kecil, atau antara

industri kecil dengan pengusaha besar di dalam maupun di luar

negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha.

Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan

pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian industri

kecil akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku

bisnis lainnya.

4. Aspek Permodalan

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk

mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan

industri kecil disebabkan karena pada umumnya industri kecil

merupakan usaha perseorangan atau perusahaan yang sifatnya

tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang

jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank

atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena

persayaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh

bank tidak bisa terpenuhi.

J. Kebijakan Pembangunan
30

Dalam jaman yang segalanya serba global, peranan pemerintah

untuk melakukan pembangunan merupakan kunci menuju masyarakat

yang lebih makmur. Kebijakan (wisdom) pada dasarnya adalah

merupakan keputusan pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi

tertentu yang perlu dilaksanakan dalam rangka mendorong proses

pembangunan nasional atau daerah (Sjafrizal, 2009).

Kebijakan pembangunan pada dasarnya merupakan pengambilan

keputusan untuk mewujudkan kondisi yang mendorong dan mendukung

pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditentukan

semula dalam perencanaan. Kebijakan ini diperlukan agar program dan

kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan dapat diarahkan dan

diwujudkan sesuai dengan kebijakan yang telah diambil.

Sementara itu Dunn (2003) mengatakan bahwa kebijakan sebagai

ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk

menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan yang

dipakai dalam memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

berhubungan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan

tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek lain.

Pembangunan dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi,

sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi

menuju arah yang diinginkan.

Terkait dengan tersebut maka perumusan kebijakan pembangunan

perlu dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan berbagai aspek


31

penting seperti visi dan misi pembangunan, kondisi dan potensi daerah,

permasalahan pokok pembangunan dan proyeksi pembangunan kedepan.

Disamping itu, perumusan kebijakan pembangunan juga harus sesuai

atau tidak berlawanan dengan kondisi sosial budaya setempat agar

pelaksanaan kebijakan tersebut tidak mendapat tantangan dan reaksi

negatif dari masyarakat daerah yang bersangkutan. Baik buruknya suatu

kebijakan akan ditentukan dari seberapa jauh kebijakan tersebut dapat

dilaksanakan dan memberikan hasil (outcome) terhadap proses

pembangunan sebagaimana telah direncanakan semula dan diharapkan

oleh masyarakat.

Hal lain terkait dengan kebijakan pembangunan adalah program

dan kegiatan pembangunan. Program dan kegiatan pembangunan pada

dasarnya merupakan upaya konkrit dalam bentuk intervensi pemerintah

dengan menggunakan sejumlah sumberdaya, termasuk dana dan tenaga,

yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kebijakan pembangunan

yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, program pembangunan tersebut

merupakan jabaran kongkrit dari strategi dan kebijakan yang mempunyai

tujuan dan sasaran tertentu dalam rangka mendorong proses

pembangunan. Program tersebut dapat dilakukan langsung oleh instansi

pemerintah terkait maupun oleh pihak swasta dan masyarakat umum atau

melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.

Untuk memudahkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan program dikemudian hari, untuk masing-masing program dan


32

kegiatan ditetapkan indikator dan target kinerja baik secara kuantitatif

maupun kualitatif. Target kualitatif digunakan bila pengukuran secara

kuantitatif tidak dimungkinkan atau data yang diperlukan tidak tersedia

sama sekali. Sedang indikator kinerja yang digunakan biasanya meliputi 6

aspek utama yaitu : masukan (input), proses (process), keluaran (output),

hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) (Mahsun, 2006).

Sedang efektifitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau

akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan

keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan (Kamus besar bahasa

Indonesia, 2002). Selanjutnya efektifitas berarti berusaha untuk dapat

mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang

diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan sarana,

waktunya atau berusaha melalui aktifitas tertentu baik secara fisik maupun

nonfisik untuk memperoleh hasil maksimal baik secara kualitatif maupun

kuantitatif.

Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan

yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan

yang diharapkan atau dikatakan spending wisely. Memperhatikan

pendapat para ahli di atas, bahwa konsep efektivitas merupakan suatu

konsep yang bersifat multidimensional, artinya dalam mendefinisikan

efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu walaupun tujuan akhir

dari efektivitas adalah pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pencapaian

tujuan secara tepat, dengan demikian sebuah program atau kegiatan


33

dalam pelaksanaannya dapat dikatakan efektif bila berjalan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya.

K. Kerangka Pemikiran

Sulawesi Selatan merupakan produsen utama kakao Indonesia,

dengan kontribusi 20% dari 844.626 ton produksi kakao nasional pada

tahun 2010. Daerah penghasil utama kakao Sulawesi Selatan adalah

Wilayah Luwu Raya. Mayoritas kakao dari Sulawesi Selatan diekspor

sebagai bahan baku atau biji kering (70 persen) dan hanya 30 persen

yang diproses oleh industri lokal menjadi produk kakao. Produk olahan

kakao terdiri dari pasta kakao, bubuk dan lemak kakao.

Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang

dimiliki oleh Wilayah Luwu Raya maka Departemen Perindustrian RI

melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (Ditjen IKM)

memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao menjadi

berbagai produk cokelat kepada masing-masing Kabupaten/Kota di

Wilayah Luwu raya yang kemudian dikelola oleh KUB Sibali Resoe.

Sebagai Industri kecil yang baru berkembang industri kecil

pengolahan kakao ini tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang

dihadapi selama menjalankan usahanya. Karena keterbatasan sumber

daya yang dimiliki tidak semua permasalahan-permasalahan ini bisa

diatasi oleh perusahaan sehingga di sinilah peran pemerintah dibutuhkan.

Sesuai dengan peraturan, pemerintah mempunyai tugas untuk melakukan


34

pembinaan dan pengembangan terhadap industri kecil agar permasalahan

yang dihadapi bisa teratasi sehingga industri kecil bisa berkembang dan

hidup mandiri

Pembinaan dan
Pengembangan:
a. Permodalan
b. Produksi
c. SDM
d. Pemasaran

Industri
Pengolahan Kakao

Permodalan: Proses Produksi: Pemasaran: SDM:


a. Dana a. Bahan Baku a. Pangsa pasar a. Pendidikan
b. Peralatan b. Kualitas produk b. Promosi b. Pengetahuan
c. Pengembangan c. Kemasan produksi
produk d. Merek

Industri Kecil yang


Mandiri dan
Berkembang

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian


35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan salah satu ciri

mengutamakan uraian dalam bentuk verbal atau deskriptif. Metode

penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah

eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna

dari pada generalisasi. (Sugiyono, 2010)

Penelitian ini menggunakan persfektif emik, yaitu mendeskripsikan

informasi apa adanya sesuai dengan yang diteliti untuk memahami

fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan, bukan

sekedar untuk menguji suatu hipotesa.

.Untuk mendeskripsikan secara mendalam terhadap realitas sosial

yang berkenaan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, digunakan

pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini temuan-temuan empiris

dapat dideskripsikan secara lebih rinci, lebih jelas terutama yang berkaitan
36

dengan program-program pemerintah dalam melakukan pembinaan dan

pengembangan industri kecil.

B. Peran Peneliti

Dalam melaksanakan penelitian, peneliti berperan sebagai

instrumen utama atau instrumen kunci. Peneliti terjun sendiri ke lapangan

secara aktif, menelusuri dan menggali data-data yang mengarah pada

jawaban atas pertanyaan penelitian. Peneliti menggunakan instrumen

pendukung yakni wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan

studi dokumen.

Dalam melakukan wawancara keberadaan peneliti dalam

melaksanakan pengumpulan data diketahui dan dikenal oleh informan.

Peneliti membangun kedekatan untuk menggali dan mendapatkan data

secara akurat, komprehensif, sehingga mampu menjawab pertanyaan-

pertanyaan penelitian. Peneliti juga melihat kondisi yang terjadi

dilapangan, mengamati aktifitas serta kondisi riil dengan didampingi

informan.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penyusunan tesis ini diperlukan data yang relevan dengan

objek yang diteliti, dalam rangka pengumpulan data tersebut, maka

penulis akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data di Kelompok

Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe Masamba, KUB Madani Palopo dan
37

Kelompok Tani (KOPTAN) Bina Harapan Kab. Luwu. Adapun waktu

penelitian yang dibutuhkan dalam mengadakan penelitian ini adalah 2

bulan yaitu pada bulan September-Oktober 2012.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara mendalam serta

melalui pengamatan (observasi) secara langsung. Sedangkan data

sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran dan

pengamatan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

pembinaan dan pengembangan industri.

Tabel 3.1 Jenis dan sumber data penelitian

Tujuan Konsep/Variable Jenis Data Sumber Data


1. Untuk mengkaji bentuk Program Kerja/kegiatan Sekunder Dokumen :
pembinaan dan pembinaan dan  Laporan kegiatan
pengembangan pengembangan dari: Dinas
pemerintah terhadap Perindag Prop.
industri kecil pengolahan
SulSel, Dinas
kakao di Luwu Raya
Perindag
Kab./Kota Dan
BBIHP Makassar

Primer Informan:
 Industri kecil
 Dinas Perindag
kabupaten/Kota
dan propinsi
2.Untuk mengkaji kondisi  Permodalan (Dana, Primer Informan:
dan permasalahan- Peralatan)  Industri kecil
permasalahan yang  Proses produksi
dialami industri kecil
pengolahan kakao di (bahan baku, kualitas
Luwu Raya. produk,
pengembangan
38

produk)
 Pemasaran (Pangsa
pasar, promosi,
kemasan, merk)
 SDM (pendidikan,
pengetahuan produksi)
3. Untuk merumuskan  Program/kegiatan Sekunder Dokumen:
alternatif kebijakan Hasil analisis tujuan
pembinaan dan 1 dan 2
pengembangan industri
kecil pengolahan kakao
di Luwu Raya.
E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai

berikut :

1. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap

perusahaan pengolahan kakao yang dikelola Kelompok Usaha

Bersama (KUB) Sibali Resoe di Kab. Luwu Utara, KUB Madani di Kota

Palopo dan Kelompok Tani (KOPTAN) Bina Harapan di Kab. Luwu

yang menjadi objek penelitian.

Dengan pengamatan langsung ini peneliti akan melihat langsung

proses produksi perusahaan mulai dari bahan baku hingga menjadi

produk jadi. Peneliti akan menyusun data hasil observasi dalam bentuk

catatan lapangan untuk mencatat informasi yang didapat.

2. Wawancara mendalam (in depth interview), yaitu penulis

melakukan tanya jawab dengan pihak pimpinan industri kecil serta

pejabat pemerintah pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten/ Kota di Wilayah Luwu Raya serta Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan.


39

Teknik wawancara dilakukan dengan wawancara terstruktur dan

terbuka untuk memperoleh kelengkapan informasi yang dibutuhkan

dalam penelitian. Wawancara dilakukan setelah sebelumnya disusun

pedoman wawancara agar selama proses wawancara dilakukan tidak

keluar dari tujuan penelitian dan lebih terarah. (Sugiyono, 2010)

Di dalam wawancara itu peneliti berupaya untuk menggali informasi

tentang kondisi sumber daya manusia (SDM) serta operasional

perusahaan mulai dari bahan baku, proses produksi, sampai proses

pemasaran produk.

Selain itu peneliti juga akan menggali informasi tentang bantuan-

bantuan yang pernah diperoleh perusahaan dari pemerintah baik itu

dalam bentuk modal, mesin/peralatan, pelatihan, konsultansi dan

bantuan lain dalam upaya pengembangan perusahaan.

3. Dokumentasi

Penulis melakukan pencatatan data perusahaan dan dokumen-

dokumen serta laporan-laporan kegiatan pada instansi pemerintah

yang terkait dengan penelitian ini khususnya Dinas Perindustrian Dan

Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Perindustrian Dan

Perdagangan Kabupaten/Kota di Wilayah Luwu Raya dan

Kementerian Perindustrian (Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Makassar).

F. Penentuan Informan
40

Dalam penelitian kualitatif ini, informan ditentukan sendiri oleh

peneliti secara purposive atau secara sengaja, yakni menentukan

informan-informan yang dapat memberikan informasi yang relevan dengan

tujuan penelitian.

Pemilihan informan didasarkan objek penelitian yang menguasi

masalah, memiliki data, dan bersedia memberikan data. Dalam penelitian

ini yang dipilih peneliti untuk menjadi informan adalah:

1. Pimpinan KUB Sibali Resoe Kab. Luwu Utara,

Bapak H. Baharuddin, S.Ag

2. Pimpinan KUB Madani Kota Palopo, Bapak Ir. Muh. Sahaka

3. Pimpinan Koptan Bina Harapan Kab. Luwu, Bapak Muh Natsir Rauf

4. Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Luwu Utara, Bapak Drs. Jasmani

5. Staf Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

Palopo, Bapak Zulkifli, ST, M.Si

6. Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab.

Luwu, Bapak Drs. Mursalim Sappo

7. Pimpinan/Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi

Sulawesi Selatan

8. Pimpinan/Staf pada Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

G. Teknik Analisis Data


41

Teknik analisa data yang dipergunakan adalah teknik analisa data

kualitatif, yaitu dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber data yang terkumpul,

mempelajari data, menelaah, menyusunnya dalam satuan-satuan, yang

kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya, dan memeriksa

keabsahan data serta menafsirkannya dengan analisis sesuai dengan

kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian

H. Pengecekan Validitas Temuan

Dalam pengujian keabsahan informasi/data-data yang didapatkan,

dilakukan melalui teknik triangulasi yaitu:

1. Teknik Klarifikasi, yaitu informasi yang masih diragukan dari

hasil wawancara akan diklarifikasi kembali dengan informan

lain.

2. Teknik konfirmasi, yaitu temuan yang didapatkan melalui

observasi dikonfirmasi kembali pada informan yang memahami

temuan tersebut.

3. Teknik wawancara kembali, yaitu dalam proses penulisan

ternyata masih ada informasi yang terlupakan atau memerlukan

informasi tambahan, maka akan dilakukan wawancara kembali.

Melalui teknik tersebut di atas, diharapkan informasi yang didapatkan

dapat memberikan informasi yang valid, aktual dan dapat dipercaya.


42

I. Definisi Operasional

Untuk memahami istilah dan menghindari kesalahpahaman dalam

penelitian ini, maka perlu kesamaan pengertian, yaitu :

1. Pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh

pemerintah melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan

untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan industri kecil

agar menjadi industri yang tangguh dan mandiri serta dapat

berkembang menjadi industri menengah.

2. Industri pengolahan kakao adalah industri kecil yang mengolah bahan

baku biji kakao menjadi produk setengah jadi (lemak kakao, bubuk

kakao, pasta kakao) maupun produk jadi (makanan dan minuman

cokelat)

3. Bahan baku adalah bahan utama yang dibutuhkan industri

pengolahan kakao untuk membuat suatu produk yaitu biji kakao

fermentasi.

4. Produksi adalah kegiatan untuk mengolah bahan baku menjadi produk

baik produk jadi maupun produk setengah jadi.

5. Industri kecil yang mandiri dan berkembang adalah industri yang

memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan bertumpu pada

kepercayaan dan kemampuan sendiri tanpa tergantung pihak lain

serta telah berkembang menjadi industri menengah.


43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Luwu Raya. Luwu Raya

merupakan wilayah yang berada di bagian paling utara dari Propinsi

Sulawesi Selatan. Wilayah Luwu Raya memiliki total luas wilayah sebesar

17.695,33 km2. Sebelum era otonomi daerah wilayah Luwu Raya

merupakan satu daerah administratif yaitu Kabupaten Dati II Luwu.

Setelah terbitnya undang-undang tentang pemerintah daerah pada tahun

1999 Kabupaten Dati II Luwu kemudian dimekarkan menjadi dua

Kabupaten yaitu Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara, kemudian

pada tahun 2002 Kota Palopo yang sebelumnya berstatus kota

administratif dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu berubah

menjadi kota otonom dan terakhir pada tahun 2003 Kabupaten Luwu

Utara dimekarkan lagi maka lahirlah Kabupaten Luwu Timur, sehingga

saat ini wilayah Luwu Raya terdiri dari empat kabupaten atau kota yaitu

Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten

Luwu Timur.

1. Kabupaten Luwu

Letak wilayah Kabupaten Luwu berada pada 2°.34'.45′' - 3°.30,30′'

Lintang Selatan dan 120°.21.15''′ - 121°.43,11′ Bujur Timur dari Kutub


44

Utara dengan patokan posisi Propinsi Sulawesi Selatan, dengan

demikian posisi Kabupaten Luwu berada pada bagian Utara dan Timur

Propinsi Sulawesi Selatan.

Kabupaten Luwu beribukota di Belopa berjarak sekitar kurang

lebih 326 km dari kota Makassar. Daerah Kabupaten Luwu terbagi dua

wilayah sebagai akibat dari pemekaran Kota Palopo; yaitu wilayah

Kabupaten Luwu bagian selatan yang terletak sebelah selatan Kota

Palopo dan wilayah yang terletak di sebelah utara Kota Palopo.

Karena kondisi daerah yang demikian maka dibentuklah sebuah Badan

Pengelola yang disebut Badan Pengelola Pembangunan Walmas (BPP

Walmas).

Wilayah Kabupaten Luwu berbatasan langsung dengan Kota Palopo

dan Kabupaten Luwu Utara di sebelah utara, berbatasan dengan

Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang di sebelah selatan, berbatasan

dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang di sebelah

barat dan berbatasan dengan Teluk Bone di sebelah timur

Menurut ketinggian daerah sebagian besar wilayah Kabupaten

Luwu berada di ketinggian 100 m keatas. Luas wilayah yang berada diatas

100 m tercatat sekitar 71,70 persen, sisanya sekitar 28,30 persen wilayah

berada pada ketinggian 0 - 100 m.

Luas wilayah administrasi Kabupaten Luwu kurang lebih 3000,25

km2 terdiri dari 21 kecamatan yang dibagi habis menjadi 192

desa/kelurahan. Kecamatan Latimojong adalah kecamatan terluas di


45

Kabupaten Luwu, luas Kecamatan Latimojong tercatat sekitar 467,75 km2

atau sekitar 15,59 persen dari luas Kabupaten Luwu, menyusul kemudian

kecamatan Bassesangtempe dan Walenrang Utara dengan luas masing-

masing sekitar 301,00 km2 dan 259,77 km2 atau 10,03 persen dan 8,66

persen. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah

Kecamatan Belopa Utara dengan luas kurang lebih 34,73 km2 atau hanya

sekitar 1,16 persen.

Dari 192 desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Luwu 23

diantaranya di Kecamatan Bassesangtempe, sedangkan di Kecamatan

Walenrang Barat dan Suli Barat terdapat 5 desa/kelurahan, dan

selebihnya tersebar di 19 Kecamatan lainnya dengan jumlah rata-rata 7-

11 desa/ kelurahan per kecamatan

Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat

Statistik Kabupaten Luwu tercatat sebanyak 320.205 jiwa terdiri dari

156.997 jiwa laki-laki dan 163.208 jiwa perempuan.

2. Kota Palopo

Secara geografis Kota Palopo kurang lebih 375 Km dari Kota

Makassar ke arah utara dengan posisi antara 2o53’15’’-3o04’08’’ Lintang

Selatan dan 120o03’10’’- 120014’34’’ Bujur Timur. pada ketinggian 0

sampai 300 meter di atas permukaan laut. Kota Palopo yang merupakan

daerah otonom ketiga dari empat daerah otonom di Luwu Raya.

Kota Palopo di bagian sisi sebelah timur memanjang dari utara ke

selatan merupakan dataran rendah atau kawasan pantai seluas kurang


46

lebih 30% dari total keseluruhan, sedangkan lainnya bergunung dan

berbukit di bagian barat, memanjang dari utara ke selatan, dengan

ketinggian maksimum adalah 1000 meter di atas permukaan laut.

Kota Palopo sebagai sebuah daerah otonom hasil pemekaran dari

Kabupaten Luwu, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan

Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, Sebelah Timur dengan Teluk

Bone, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bua Kabupaten

Luwu dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tondon

Nanggala Kabupaten Tana Toraja.

Luas wilayah administrasi Kota Palopo sekitar 247,52 kilometer

persegi atau sama dengan 0,39% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi

Selatan. Dengan potensi luas wilayah seperti itu, oleh Pemerintah Kota

Palopo telah membagi wilayah Kota Palopo menjadi 9 Kecamatan dan 48

Kelurahan.

Wilayah Kota Palopo sebagian besar merupakan dataran rendah

dengan keberadaannya diwilayah pesisir pantai. Sekitar 62,85% dari total

luas daerah Kota Palopo, menunjukkan bahwa yang merupakan daerah

dengan ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut, sekitar 24,76%

terletak pada ketinggian 501-1000 meter di atas permukaan laut, dan

selebihnya sekitar 12,39% yang terletak diatas ketinggian lebih dari 1000

meter di atas permukaan laut.

Kedudukan geografis Kota Palopo berada pada posisi strategis

sebagai titik simpul jalur transportasi darat dan laut poros Trans Sulawesi.
47

Pada posisi ini Kota Palopo menjadi slah satu jalur distribusi barang jalur

darat dari Makassar dan Pare-Pare menuju Kabupaten Luwu Utara,

Kabupaten Luwu Timur dan Propinsi Sulawesi Tengah, sedangkan pada

jalur transportasi laut Kota Palopo sudah menjadi salah satu pelabuhan

laut menuju kota-kota di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.

Kondisi permukaan tanah kawasan perkotaan cenderung datar, linier

sepanjang jalur jalan Trans Sulawesi, dan sedikit menyebar pada arah

jalan kolektor dan jalan lingkungan di wilayah perkotaan, sedangkan

kawasan yang menjadi pusat kegiatan dan cukup padat adalah di sekitar

kawasan pasar (pusat perdagangan dan jasa), sekitar perkantoran, dan

sepanjang pesisir pantai, yang merupakan kawasan permukiman kumuh

yang basah dengan kondisi tanah genangan dan pasang-surut air laut.

Secara garis besar keadaan topografis Kota Palopo ini terdiri dari 3

variasi yaitu dataran renah sepanjang pantai, wilayah perbukitan

bergelombang dan datar di bagian tengah, dan wilayah perbukitan dan

pegunungan di bagian barat, selatan dan sebagian di bagian utara.

Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat

Statistik Kota Palopo sebanyak 149.419 jiwa terdiri dari 73.249 jiwa laki-

laki dan 76.170 jiwa perempuan.

3. Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara terletak antara 010 53’ 19” - 020 55’36”

Lintang Selatan dan 1190 47’ 46” – 1200 37’ 44” Bujur Timur, yang

berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara,


48

Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Propinsi Sulawesi Barat dan

Kabupaten Tana Toraja di sebelah barat, dan Kabupaten Luwu dan Teluk

Bone di sebelah selatan.

Kabupaten Luwu Utara beribukota di Masamba berjarak kurang lebih

440 km dari Kota Makassar. Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara tercatat

7.502,58 kilometer persegi yang secara administrasi Pemerintahan

Kabupaten Luwu Utara terbagi atas 11 kecamatan dengan 169 desa yang

semuanya merupakan desa definitif. Dari 169 desa tersebut 8 desa sudah

termasuk dalam klasifikasi daerah perkotaan atau sudah dalam bentuk

wilayah kelurahan. Kedelapan kelurahan tersebut adalah Kelurahan

Kappuna, Kelurahan Bone, Kelurahan Kasimbong, Kelurahan Baliase,

Kelurahan Marobo, Kelurahan Salassa, dan Kelurahan Bone-Bone.

Kecamatan Sukamaju merupakan kecamatan dengan jumlah desa

terbanyak, yaitu 25 desa dan 1 UPT. Sedangkan Kecamatan Rampi

adalah paling sedikit jumlah desanya, yaitu hanya 6 desa.

Di antara 11 kecamatan, Kecamatan Seko merupakan kecamatan

yang terluas dengan luas 2.109,19 km2 atau 28,11 % dari total wilayah

Kabupaten Luwu Utara, sekaligus merupakan kecamatan yang letaknya

paling jauh dari Ibukota Kabupaten Luwu Utara, yakni berjarak 198 Km.

Urutan kedua adalah Kecamatan Rampi (21 %) dan yang paling sempit

wilayahnya adalah Kecamatan Malangke Barat (1%).


49

Jumlah penduduk tahun 2010 berdasarkan data Badan Pusat

Statistik Kabupaten Luwu Utara sebanyak 287.472 jiwa terdiri dari

144.860 jiwa laki-laki dan 142.612 jiwa perempuan.

4. Kabupaten Luwu Timur

Posisi Kabupaten Luwu Timur yang terletak antara 2o 03’ 00’’ - 3 o

03’ 25’’ LS dan 119o 28’ 56’’ - 121 o 47’ 27’’ BT, yang beribukota di Malili

yang berjarak kurang lebih 565 km dari Kota Makassar.

Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Poso-Provinsi Sulawesi

tengah di bagian Utara, Kabupaten Morowali- Provinsi Sulawesi Tengah di

bagian timur, Kabupaten Konawe dan kabupaten Kolaka Utara-Provinsi

Sulawesi Tenggara serta hamparan laut Teluk Bone di bagian selatan,

dan kabupaten Luwu Utara-Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah barat.

Kedudukannya yang berada pada jalur lintas Trans Sulawesi dan

wilayah perbatasan seperti ini, sesungguhnya membawa peluang dan

tantangan kepada daerah ini menjadi kawasan industri dan perdagangan

strategis di masa depan. Posisinya yang berada di relung pesisir Teluk

Bone, dapat menjadikan Kabupaten Luwu Timur sebagai pusat distribusi

dan akomodasi barang dan jasa, dengan membuka aksesbilitas dan

mengembangkan kerjasama fungsional dengan wilayah-wilayah sekitar,

terutama dengan daerah-daerah yang memiliki bahan baku dan komoditi

ekonomis karena sumber daya alam yang tersedia pada daerah dan

wilayah tersebut.
50

Luas wilayah Kabupaten Luwu Timur adalah 6.944,88 km2 atau

sekitar 10,82 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan berada

diketinggian 0 – 1.230 m diatas permukaan laut (dpl). Curah hujan

berkisar antara 2.800 s/d 3.980 mm/tahun dengan distribusi bulanan yag

cukup merata. Dengan demikian, dari segi agroklimatologi, Kabupaten

Luwu Timur sangat potensial untuk pengembangan berbagai jenis

komoditas pertanian.

Jumlah penduduk tahun 2011 berdasarkan data Badan Pusat

Statistik Kabupaten Luwu Timur sebanyak 266.532 jiwa terdiri dari

137.492 jiwa laki-laki dan 129.040 jiwa perempuan.

Potensi Produksi Kakao di Luwu Raya

Indonesia adalah penghasil kakao ketiga terbesar di dunia setelah

Ghana dan Pantai Gading dan terbesar di Asia Pasifik. Indonesia

memproduksi 14 persen dari kakao dunia. Permintaan dunia untuk

produk-produk kakao terus meningkat 2 – 4 persen setiap tahun atau

setara dengan 60.000 - 120.000 ton setiap tahun. Ini adalah pasar

potensial bagi semua negara-negara produsen termasuk Indonesia.

Produksi kakao didominasi oleh petani sekitar ± 400.000 orang dengan

area produksi sekitar 0,5-1 Ha.

Pusat-pusat produksi di Indonesia adalah Sulawesi Selatan,

Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Beberapa

daerah di Jawa Tengah dan Timur juga dikembangkan sebagai produsen


51

kakao. Estimasi produksi nasional tahunan selama tiga tahun (2006 -

2010) adalah sekitar 800.000 ton, dan 75 persen dihasilkan dari Sulawesi.

Sulawesi Selatan sendiri hanya memproduksi sekitar 185.000 ton atau

sekitar 20 persen dari produksi Nasional.

Kontributor utama untuk produksi Sulawesi Selatan adalah petani

tradisional yang menghasilkan sekitar 183.000 ton (99,5 persen) dan

sisanya dihasilkan oleh perkebunan swasta sekitar 1.050 ton atau hanya

0,5 persen (Dinas Perkebunan, 2012). Namun, karena masalah yang

dihadapi petani kakao seperti hama dan penyakit, pohon-pohon tua dan

manajemen pertanian yang tidak tepat oleh petani, produksi pada tahun

2007 sampai pertengahan 2008 menurun. Produksi dalam periode ini

adalah sekitar 110.000 ton yang melibatkan lebih dari 279.000 petani.

Daerah yang sangat berpotensi di Sulawesi Selatan adalah wilayah Luwu

Raya meliputi Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, Kota Palopo dan

Kabupaten Luwu Timur. Wilayah ini menyumbang sekitar 50% dari total

produksi kakao Sulawesi Selatan. Perkebunan kakao menjadi sumber

utama pendapatan bagi sebagian besar petani, dengan luas rata-rata satu

hektar setiap petani. Untuk Kabupaten lainnya kakao sebagai pendapatan

sampingan petani dengan luas rata-rata setengah hektar setiap petani.

Data produksi kakao di Wilayah Luwu Raya disajikan pada table 4.1.

Mayoritas kakao dari Sulawesi Selatan diekspor sebagai bahan baku

atau biji kering (70 persen) dan hanya 30 persen yang diproses oleh
52

industri lokal menjadi produk kakao. Produk olahan kakao terdiri dari pasta

kakao, bubuk dan lemak kakao.

Dalam rangka meningkatkan kualitas produk untuk ekspor, industri

pengolah juga harus mengimpor biji kakao yang difermentasi dengan

kualitas yang lebih baik daripada yang diproduksi secara lokal. Ini adalah

tantangan besar bagi produsen kakao dan instansi terkait untuk

meningkatkan kualitas bahan baku yang memenuhi standar untuk

pengolahan target ekspor.

Tabel. 4.1. Jumlah produksi kakao wilayah Luwu Raya (dalam Ton)

Tahun
Kabupaten/Kota
2007 2008 2009 2010 2011
Kabupaten Luwu 19,790 19,485 26,996 29,830 31,980
Kabupaten Luwu Utara 23,817 20,175 31,667 33,900 40,602
Kabupaten Luwu Timur 18,366 13,572 19,229 19,939 25,175
Kota Palopo 1,285 1,350 2,177 2,369 2,750
Jumlah 63,258 54,582 80,069 86,038 100,507
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012

Dari tabel di atas terlihat bahwa produksi kakao di Luwu Raya setiap

tahun mengalami peningkatan jumlah produksi. Dengan adanya program-

program pemerintah yang intensif dilakukan untuk mendukung

peningkatan produktivitas kakao seperti program gernas kakao

diharapkan produksi ini akan terus meningkat setiap tahunnya.

F. Kondisi Umum Industri Pengolahan Kakao Nasional

Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat

besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao


53

yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat

sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading

dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai

844.626 ton. Pengembangan industri hilir kakao nasional yang kini sedang

digalakkan pemerintah, Kementerian Perindustrian diharapkan mampu

meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada

gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah,

meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan

devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao.

Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan

industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional

kurang berkembang, antara lain adanya kebijakan pengenaan pajak

produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun

2000 tentang PPN atas komoditi primer. Dengan adanya PPN tentu akan

menambah biaya produksi industry pengolahan kakao yang ada, sehingga

industri pengolahan kakao nasional harus menambah biaya jika ingin

menggunakan biji kakao domestik. Selain itu kebijakan pemerintah yang

membebaskan pajak ekspor biji kakao hingga nol persen dinilai semakin

merugikan pihak industri pengolahan kakao, karena petani lebih tertarik

untuk mengekspor biji kakaonya ke luar negri dibandingkan untuk

memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao nasional, sehingga

industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup.


54

Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat

beroperasi.

Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao,

maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN

melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan

Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan

Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum

serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi.

Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui

Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut

sampai sekarang.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan

pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK

Nomor: 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao.

Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka

menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri.

Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang

menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor

biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97.265 ton, turun

dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158.855 ton.

Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei


55

2011 sebesar 55.651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35.508

ton. (Kementerian Perindustrian, 2012)

G. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Industri Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Dalam

kebijakan industri nasional kakao merupakan salah satu komoditas yang

menjadi prioritas yang didorong pengembangannya di dalam negeri

sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun

2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Peraturan Presiden tersebut

kemudian dijabarkan oleh Kementerian Perindustrian melalui Peraturan

Menteri Perindustrian RI Nomor 113/M-IND/PER/10/2009 tentang peta

panduan klaster industri prioritas berbasis agro tahun 2010 – 2014 salah

satunya adalah berisikan pengembangan klaster industri kakao. Industri

kakao Indonesia mempunyai peranan penting di dalam perolehan devisa

negara dan penyerapan tenaga kerja, karena memiliki keterkaitan yang

luas baik ke hulu (petani kakao) maupun ke hilirnya (intermediate

industry/grinders). Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 jumlah

industri pengolahan kakao di Indonesia sebanyak 16 (enam belas)

perusahaan dan yang masih berjalan 3 (tiga) perusahaan dengan tingkat

pemanfaatan kapasitas terpasang produk pengolahaan sekitar 61% dari

total kapasitas terpasang.

Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan

pengembangan industri kakao nasional diantaranya adalah (Direktorat

Jenderal Industri Agro Dan Kimia, 2009) :


56

A. Jangka Menengah (2010 – 2014)

1. Optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan di dalam

negeri dari 40 persen menjadi 80 persen;

2. Peningkatan Biji Kakao Fermentasi dari 20 persen menjadi 80

persen;

3. Peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk

industri dalam negeri;

4. Meningkatnya investasi di bidang industri kakao;

5. Pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri

kakao di dalam negeri;

6. Peningkatan ekspor produk kakao olahan rata-rata 16 persen per

tahun.

B. Jangka Panjang (2010 – 2025)

1. Terbangunnya sentra produksi baru di luar Sulawesi yaitu antara

lain di Sumatera Barat dan Lampung;

2. Dicapainya diversifikasi produk kakao olahan;

3. Berkembangnya industri pengolahan kakao secara terpadu di

Indonesia;

4. Pengembangan (modifikasi) teknologi pengolahan kakao;

5. Terjaminnya infrastruktur seperti peti kemas, energi listrik dan

transportasi.

Untuk mencapai sasaran – sasaran tersebut maka misi yang di

laksanakan dalam mengsukseskan program pengembangan industri


57

kakao adalah meningkatkan nilai tambah biji kakao, meningkatkan mutu

dan produktivitas biji kakao, meningkatkan utilisasi kapasitas terpasang,

meningkatkan ekspor produk coklat olahan serta meningkatkan

penguasaan teknologi dan mutu sumber daya manusia dengan indikator

pencapaian adalah tercapainya mutu biji kakao yang lebih baik dan telah

terfermentasi serta tercapainya diversifikasi produk kakao olahan.

H. Pembinaan Dan Pengembangan Industri Pengolahan Kakao di


Luwu Raya

Luwu Raya merupakan sentra produksi kakao di Indonesia. Untuk

mengembangkan industri pengolahan kakao pemerintah melalui

Kementerian Perindustrian berupaya mengembangkan pusat pengolahan

kakao skala kecil dengan teknologi dalam negeri dan memanfaatkan

bahan baku lokal sebagai percontohan. Kebijakan ini ditunjukkan dengan

memberikan bantuan peralatan pengolahan kakao di wilayah Luwu Raya.

Saat ini di wilayah Luwu Raya terdapat tiga industri kecil yang

memiliki peralatan untuk mengolah kakao menjadi produk olahan. Yaitu di

Kabupaten Luwu dikelola oleh Kelompok Tani (Koptan) Bina Harapan

yang dipimpin oleh Bapak Natsir Rauf, di Kota Palopo dikelola oleh

Koperasi Usaha Bersama (KUB) Madani yang dipimpin oleh Bapak Ir.

Muh. Sahaka dan di Kabupaten Luwu Utara dikelola oleh Kelompok

Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe yang dipimpin oleh Bapak H.

Baharuddin, S.Ag. Untuk Kabupaten Luwu Timur saat ini juga sudah ada
58

bantuan paket peralatan pengolah kakao namun hingga saat ini peralatan

tersebut masih dikelola oleh Dinas Perindag dan belum diserahkan

pengelolaannya ke pihak ketiga seperti di kabupaten lain.

Dari ketiga industri pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya saat

ini hanya dua yang sudah beroperasi yaitu KUB Madani di Palopo dan

KUB Sibali Resoe di Masamba, sedangkan Koptan Bina Harapan hingga

saat ini belum berproduksi.

1. Bidang Permodalan

Modal merupakan hal penting dalam suatu usaha. Demikian juga

dalam industri kecil dan menengah (IKM) ini, tanpa modal kegiatan

perusahaan seperti produksi tidak dapat berjalan. IKM merupakan

bentuk usaha dengan modal yang terbatas. Diperlukan peran serta

pihak luar (investor atau kreditor) untuk membantu IKM dalam hal

permodalan. Keterbatasan modal seringkali merupakan penghambat

perkembangan industri kecil. Industri kecil kesulitan untuk membuat

produk dengan jumlah yang lebih besar dan mutu yang lebih baik,

karena modal yang dimiliki terbatas atau bahkan industri tidak bisa

beroperasi karena tidak memiliki modal.

Untuk membantu pengembangan industri pengolahan kakao di

wilayah Luwu Raya pada tahun 2008 pemerintah pusat melalui

Kementerian Perindustrian memberikan bantuan peralatan pengolah

kakao menjadi produk cokelat. Peralatan yang diberikan ini sebanyak 3

paket masing-masing 1 paket untuk industri di Kabupaten Luwu Utara,


59

Kabupaten Luwu dan Kota Palopo. Dengan bantuan peralatan yang

diberikan, industri sudah mampu mengolah kakao mulai dari biji kakao

hingga menjadi produk setengah jadi (pasta kakao, bubuk kakao dan

lemak kakao) maupun produk jadi (makanan dan minumam cokelat)

walaupun kapasitas yang dihasilkan masih kecil (sekitar 5 kg/hari).

Seiring dengan uji coba proses produksi yang terus dilakukan

kemudian pada tahun 2010 industri-industri ini bisa menambah

kapasitas produksinya melalui adanya bantuan dana dari Pemerintah

Propinsi Sulawesi Selatan. Melalui bantuan dana dari pemerintah

propinsi ini KUB Sibali Resoe dan KUB Madani melakukan pembelian

peralatan / mesin untuk meningkatkan kapasitas produksinya, mereka

melakukan pembelian mesin untuk mengganti atau menambah mesin

yang sudah ada. Mesin-mesin yang dibeli antara lain mesin pres

hidrolik dan mesin ballmill horizontal yang dibeli dari pabrik di Jember.

Dengan pembelian alat baru ini kapasitas produksi dari KUB Sibali

Resoe dan KUB Madani bisa meningkat 2 kali lipat dari kapasitas

sebelumnya (menjadi 10 kg/hari). Sedangkan untuk Koptan Bina

Harapan bantuan dana dari pemerintah propinsi digunakan untuk

membangun gedung pabrik, membeli generator serta membeli

beberapa alat tambahan seperti mixer dan alat kemasan. Pada tahun

2011 KUB Sibali Resoe dan KUB Madani memperoleh bantuan dana

dari Kementerian Koperasi dan UMKM untuk membeli peralatan

tambahan. Dengan bantuan ini KUB Sibali Resoe memutuskan untuk


60

membeli alat baru yaitu mesin ballmill tipe vertikal yang dibeli dari

pabrik di Bandung dengan pertimbangan bahwa mesin ballmill tipe

horizontal yang sebelumnya dibeli kinerjanya kurang efektif dimana

selain kapasitasnya yang kecil juga dibutuhkan waktu yang cukup lama

dalam pengoperasiannya sekitar 2 sampai 3 hari, sedangkan KUB

Madani memilih membeli mesin ballmill tipe horizontal yang sama

dengan mesin yang sebelumnya pernah di beli sehingga KUB Madani

memiliki 2 buah mesin ballmill tipe horizontal. Dengan tambahan

peralatan yang baru di beli ini kapasitas produksi KUB Sibali Resoe

saat ini meningkat cukup besar yaitu sekitar 100-150 kg/hari

sedangkan kapasitas produksi KUB Madani saat ini sekitar 30 kg/hari.

Pembelian mesin ballmill inilah yang saat ini menjadikan kapasitas

produksi antara KUB Sibali Resoe dan KUB Madani berbeda.

Sehingga sampai saat ini industri kakao di Luwu Raya telah 2 kali

mengalami penambahan dan pengembangan peralatan hingga

kapasitasnya bisa bertambah besar dibandingkan dengan kapasitas

awal. Saat ini industri kecil pengolahan kakao di Luwu Raya telah

memiliki peralatan-peralatan yang cukup lengkap yang dapat

digunakan untuk mengolah biji kakao mulai dari biji kakao hingga

menjadi produk akhir. Daftar peralatan yang dimiliki oleh masing-

masing industri dapat dilihat pada tabel berikut ini:


61

Tabel 4.2. Daftar peralatan yang dimiliki oleh KUB Sibali Resoe
Kapasitas
No. Jenis Mesin Kapasitas Jumlah Keterangan
per hari
1 Pengering Biji 500 200 kg 2 Unit berfungsi baik,
kg/batch 2-3 hari/batch
2 Pembersih biji 250 kg/jam 2000 kg 1 Unit berfungsi baik
3 Sortir biji 250 kg/jam 2000 kg 1 Unit berfungsi baik
4 Penyangrai Biji 10 kg/30 160 kg 1 Unit berfungsi baik
mnt.
5 Pemisah Kulit 25 kg/jam 200 kg 1 Unit berfungsi baik
Biji dgn Nibs
6 Pemasta Kasar 20 kg/jam 160 kg 1 Unit berfungsi baik
7 Pencampur 60 kg/jam 480 kg 2 Unit berfungsi baik
pasta
8 Refiner 25 kg/jam 200 kg 2 Unit tidak optimal,
pasta masih
kasar
9 Counching 10 kg/batch 5 kg 2 Unit tidak optimal,
1-2 hari/batch
10 Ball Mill 60 kg/batch 20 kg 1 Unit tidak efektif, 2-
Horisontal 3 hari/batch,
masih kasar
11 Ball Mill 5 kg/batch 20 kg 1 Unit Berfungsi
baik, 1,5-2
jam/batch
12 Ball Mill 200 800 kg 1 Unit Berfungsi
kg/batch baik,
2jam/batch
13 Pres Pemisah 1 kg/batch 5 kg 2 Unit tidak optimals,
Lemak Vertikal lemak tersisa
+ 28 %
14 Pres pemisah 1 kg/batch 5 kg 2 unit tidak optimals,
Lemak lemak tersisa
Horizontal + 25 %
15 Pembubuk 10 kg/batch 40 kg 1 unit barfungsi baik,
1-2 jam/batch
16 Pengayak/Sieve 10 kg/batch 80 kg 1 unit tidak optimal,
masih kasar
17 Pencampur 10 kg/batch 320 kg 1 unit berfungsi baik,
bubuk 15 mnt/batch
18 Kemasan untuk 50 kg/jam 400 kg 1 unit Berfungsi
bubuk baik, 15-250
gr/saschet
Sumber: KUB Sibali Resoe, 2012
62

Dari peralatan-peralatan yang dimiliki KUB Sibali Resoe diatas,

saat ini ada beberapa peralatan yang sudah tidak digunakan seperti

mesin refiner, mesin counching dan mesin ballmill horizontal, hal ini

disebabkan karena kerja dari mesin-mesin tersebut sudah bisa

digantikan oleh alat ballmill tipe vertikal yang telah dimiliki KUB Sibali

Resoe. Sedangkan untuk peralatan yang dimiliki oleh KUB madani

dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.3. Daftar peralatan yang dimiliki oleh KUB Madani

Jenis Mesin Kapasitas


No. Kapasitas Jumlah Keterangan
Proses per hari
1 Penyangrai Biji
10 kg/30 160 kg 1 Unit berfungsi baik
mnt
2 Pemisah Kulit 25 kg/jam 200 kg 1 Unit berfungsi baik
Biji dgn Nibs
3 Pemasta Kasar 20 kg/jam 160 kg 1 Unit berfungsi baik
4 Counching 10 kg/batch 5 kg 2 Unit kurang
optimal, 1-2
hari/batch
5 Ball Mill 5 kg/batch 1,5 kg 2 Unit kurang efektif,
Horisontal 2-3 hari/batch
6 Pres pemisah 4 kg/jam 32 kg 2 unit belum
Lemak optimals,
Horizontal lemak tersisa
25-30 %
8 Pengayak/Sieve 2 kg/jam 16 kg 2 unit belum
optimal,
masih kasar
9 Pencampur 10 kg/batch 320 kg 1 unit berfungsi
bubuk baik, 15
mnt/batch
10 Kemasan untuk 50 kg/jam 400 kg 1 unit Berfungsi baik
bubuk
11 Tempering 15 kg/batch 120 kg 2 Unit Berfungsi
baik, 45-60
mnt/batch
Sumber: KUB Madani, 2012
63

Untuk membantu operasional industri pengolahan kakao di Luwu

Raya, selain bantuan peralatan dari pemerintah pusat maupun

pemerintah propinsi pemerintah juga memberikan bantuan berupa

daya untuk menjalankan proses produksi pabrik. Dari hasil wawancara

diperoleh data bahwa untuk membantu operasional KUB Sibali Resoe,

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara melalui Dinas Perindustrian Dan

Perdagangan telah menyalurkan bantuan modal berupa dana bergulir

sebesar 100 Juta rupiah. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang

Industri Bapak Drs. Jasmani Pada tanggal 12 September 2012:

“Untuk membantu operasional KUB Sibali Resoe kami memberikan


bantuan modal kerja sekitar Rp. 100 Juta, ini dalam bentuk dana
bergulir artinya dana ini nantinya harus dikembalikan”
Sedangkan untuk industri di Kota Palopo KUB Madani, bantuan

modal untuk operasional diperoleh dari Kementerian Koperasi Dan

UMKM sebesar Rp. 100 Juta. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara

dengan Staf Bidang Industri, Dinas Perindustrian Dan Perdagangan

Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si pada tanggal 11 September 2012:

“Untuk biaya operasional Alhamdulillah KUB Madani memperoleh


bantuan dari Kementerian Koperasi dan UMKM kurang lebih sekitar
Rp.100 juta rupiah sehingga bisa dipakai untuk dana operasional”

Kondisi yang berbeda dialami oleh industri di Kabupaten Luwu

dimana hingga saat ini industri ini belum mampu melakukan produksi

karena tidak adanya modal kerja. Hal ini sesuai dengan hasil

wawancara yang dilakukan dengan pimpinan Koptan Bina Harapan

Bapak Natsir Rauf pada tanggal 10 September 2012:


64

“Hingga saat ini kami belum bisa beroperasi karena tidak adanya
modal. Saya sudah mencoba meminta bantuan ke Dinas
Perindustrian namun katanya belum ada anggarannya sehingga
sampai saat ini saya masih menunggu adanya bantuan modal ini”

Hal ini menggambarkan bahwa modal merupakan hal penting yang

harus diperhatikan untuk dapat menjalankan suatu industri terlebih lagi

apabila industri tersebut merupakan industri yang baru dibangun.

Selain modal dana untuk operasional bantuan-bantuan lain yang telah

diberikan pemerintah untuk industri ini antara lain adalah untuk industri

dikota Palopo KUB Madani bantuan berupa bangunan gedung untuk

pabrik yang berlokasi di kawasan industri Kota Palopo, subsidi biaya

listrik dan subsidi biaya pembuatan kemasan. Hal ini sesuai dengan

hasil wawancara dengan Staf Bidang Industri, Dinas Perindustrian Dan

Perdagangan Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si pada tanggal 11

September 2012:

“untuk membantu operasional KUB Madani pemerintah kota Palopo


memberikan bantuan berupa bangunan gedung untuk pabrik.
Bangunan ini berada di Kawasan Industri Palopo. Selain
menyediakan gedung pemerintah juga mensubsidi pembayaran
listriknya selain itu kami juga membantu mendesainkan
kemasannya dan juga sekaligus mensubsidi biaya pembuatannya.
Yang jelas kami sangat konsen untuk membantu industri ini agar
bisa eksis”

Untuk industri di Kabupaten Luwu Koptan Bina Harapan

pemerintah daerah juga telah memberikan bantuan berupa gedung

untuk pabrik, pemasangan/penyambungan jaringan listrik, penyediaan

sarana kelengkapan seperti gardu genset dan jaringan air. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian


65

dan Perdagangan Kabupaten Luwu Bapak Drs. Mursalim Sappo pada

tanggal 10 September 2012:

“untuk membantu Koptan Bina Harapan pemerintah daerah sudah


membangunkan gedung untuk pabrik, terus melengkapinya dengan
jaringan listrik, genset dan instalasi air selain itu kami juga
membantu mendesainkan kemasan yang akan digunakan untuk
membungkus produknya”
Tabel 4.4. Daftar bantuan permodalan untuk industri pengolahan
kakao di Luwu Raya

No. Nama Industri Bentuk Bantuan Pemberi Bantuan

1 KUB Sibali Bantuan peralatan, Kementerian


Resoe Luwu bantuan dana operasional Perindustrian,
Utara Rp. 100 Juta Kementerian Koperasi
dan UMKM, Dinas
Perindag Kabupaten
Luwu Utara dan Dinas
Perindag Propinsi Sul-
Sel
2 KUB Madani Bantuan peralatan, Kementerian
Palopo bantuan dana operasional Perindustrian,
Rp. 100 Juta, bantuan Kementerian Koperasi
lahan dan gedung pabrik, dan UMKM, Dinas
bantuan subsidi listrik dan Perindag Kota Palopo
bantuan subsidi kemasan dan Dinas Perindag
Propinsi Sul-Sel
3 Koptan Bina Bantuan peralatan, Kementerian
Harapan Luwu bantuan lahan dan Perindustrian, Dinas
gedung pabrik, bantuan Perindag Kabupaten
perlengkapan sarana Luwu dan Dinas
pabrik (jaringan listrik dan Perindag Propinsi Sul-
air) Sel
Sumber: Dinas Perindag Kabupaten/Kota, 2012

Dari peralatan-peralatan yang telah dimiliki saat ini industri

pengolahan kakao di Luwu Raya sudah mampu menghasilkan produk-

produk olahan kakao. Sehingga industri ini sangat mempunyai potensi

untuk menjadi industri pengolah kakao yang mapan dan berkembang

di masa yang akan datang. Dengan adanya inisiatif dan keinginan


66

yang kuat dari pengelola industri untuk memajukan industri ini menjadi

modal yang kuat untuk memajukan industri ini selain tentunya

pembinaan dari pemerintah yang masih perlu diberikan.

Salah satu masalah yang dihadapi industri kecil adalah masalah

permodalan. Lambannya akumulasi kapital di kalangan pengusaha

kecil merupakan salah satu penyebab lambannya laju perkembangan

usaha dan rendahnya surplus usaha. Oleh sebab itu dalam

pengembangan dan pembinaan industri kecil pemecahan dalam aspek

modal ini penting dan harus dilakukan.

Tabel 4.5. Permasalahan industri kecil di bidang permodalan

No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi


1. KUB Sibali Resoe - Keterbatasan dana untuk
peningkatan kapasitas dan sarana
produksi
2. KUB Madani - Keterbatasan dana untuk
peningkatan kapasitas dan sarana
produksi
3. Koptan Bina Harapan - Tidak ada dana untuk operasional
produksi
- Peralatan yang belum lengkap
Sumber: Data diolah, 2012

2. Bidang Produksi dan Pengolahan

Proses produksi pengolahan kakao, khususnya untuk mengolah

biji kakao menjadi produk setengah jadi atau produk antara seperti

pasta kakao, lemak kakao dan bubuk kakao relatif tergolong lebih rumit

dibandingkan dengan produk-produk olahan pangan lainnya. Proses

pengolahan kakao menjadi produk setengah jadi maupun menjadi

produk jadi memerlukan banyak tahapan proses, sehingga


67

keterampilan dan kemampuan tenaga kerja sangat diperlukan. Untuk

membantu meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang terlibat di

industri ini pemerintah melalui instansi-instansi terkait telah banyak

melakukan upaya-upaya agar keterampilan dan pengetahuan tenaga

kerja meningkat diantaranya melalui pelatihan, konsultansi dan

kunjungan industri.

Bahan baku utama produk cokelat adalah biji kakao. Dari aspek

rasa dan aroma, makanan atau minuman cokelat akan sangat baik jika

biji kakao yang digunakan adalah biji kakao yang telah difermentasi

secara penuh karena produk kakao yang diolah dari biji kakao yang

telah difermentasi akan memiliki aroma yang khas dan rasa yang lebih

kuat dibandingkan dengan produk kakao yang dihasilkan dari biji

kakao non fermentasi. Sedangkan dari sisi kesehatan biji kakao harus

bebas jamur. Kontaminasi jamur pada biji kakao akan mengakibatkan

rasa tengik atau apek. Sedangkan dari aspek efisiensi produksi biji

kakao dengan ukuran seragam akan mudah diolah dan menghasilkan

mutu produk yang seragam juga. Kadar kulit, kadar kotoran dan kadar

air akan berpengaruh pada randemen hasil. Kadar air yang tinggi juga

akan menyebabkan waktu pengolahan tahap berikutnya akan

memakan waktu yang lama. Selain itu adanya kontaminasi benda

keras selain akan menyebabkan kendala pada saat pengolahan

berikutnya juga bisa mempengaruhi kualitas produk akhir yang

dihasilkan.
68

Tabel 4.6. Persyaratan mutu biji kakao sebagai bahan baku


produk cokelat

Kriteria Mutu Syarat Kondisi di Pabrik

Tingkat fermentasi 5 hari 5 Hari


Kadar air 7 % >7 %
Kadar kulit 12 – 13 % 12 – 13 %
Kadar lemak 50 – 51 % 50 – 51 %
Ukuran biji Seragam Tidak Seragam
Kadar Kotoran:
Jamur Nihil Ada
Benda asing lunak Nihil Ada
Benda asing keras Nihil Ada
Sumber: Mulato, 2005 ; KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012

Luwu Raya merupakan produsen kakao utama di Sulawesi Selatan.

Tahun 2011 wilayah ini menghasilkan produksi kakao 100.507 ton.

Bahan baku yang melimpah merupakan salah satu aspek penting bagi

industri pengolahan kakao. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan

bahan baku industri pengolahan kakao tidak mengalami masalah. Hal

ini sesuai dengan pernyataan pimpinan KUB Sibali Resoe H.

Baharuddin pada tanggal 11 September 2012:

“Kalau kebutuhan bahan baku tidak ada masalah malah kelebihan


sehingga dijual ke Makassar.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh pimpikan KUB Madani

Palopo Bapak Ir. Muhammad Sahaka pada tanggal 11 September

2012:
69

“Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kami tidak ada masalah,


kami memesan bahan baku dari kelompok tani binaan di daerah
Larompong Kabupaten Luwu, mengenai kualitas kami percaya
karena disana ada teman yang menjadi koordinator di sana, jadi
kita belinya tidak ke pedagang tapi langsung ke koordinator
petaninya jadi kualitasnya bisa terjamin”

Pengadaan bahan baku bagi industri pengolahan kakao di daerah

ini memiliki cukup pendek rantai atau jaringan, yaitu hanya dari

kelompok petani atau koperasi. Pendeknya rantai suplai untuk industri

kecil memiliki dua keuntungan. Pertama, petani memiliki posisi yang

lebih baik dengan menjual produk pertanian mereka secara langsung

melalui kelompok tani dan koperasi yang dibentuk untuk kepentingan

petani. Kedua, harga bahan baku tidak berbeda atau tidak jauh

berbeda dari harga pertanian karena tidak ada pihak lain mengambil

keuntungan yang terlibat dalam rantai pasokan. Menurut industri,

harga berfluktuasi antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per kg.

Dalam rangka mendukung program pemerintah dalam mendorong

petani untuk melakukan fermentasi yang tepat di tingkat petani, industri

hanya menyerap biji kakao yang difermentasi. Oleh karena itu, petani

dianjurkan atau bahkan dipaksa untuk melakukan proses yang

diperlukan untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi. Salah

satu usaha yang dilakukan oleh industri pengolahan kakao agar para

petani mau memfermentasi kakaonya adalah dengan memberlakukan

perbedaan harga antara kakao fermentasi dengan kakao non

fermentasi dimana untuk kakao fermentasi harganya lebih tinggi dari


70

kakao non fermentasi perbedaan harga ini berkisar antara Rp. 2.000

sampai Rp. 5.000,- per kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan pimpinan

KUB Sibali Resoe H. Baharuddin pada tanggal 11 September 2012

“Untuk memperoleh kakao yang fermentasi dulu kita bina petani,


untuk pembeliannya dulu lewat kolektor tapi tidak efisien sehingga
sekarang langsung dari petaninya. Jadi petaninya melapor ke
kelompok terus datang ke gudang kita arahkan bahkan digudang
petani kita kasih makan cokelat supaya ada motivasi untuk
memperbaiki mutu kakaonya. Alhamdulillah selama satu tahun kita
bina ini sekarang sudah bagus hasilnya. Petani sudah pintar karena
kita juga kasih rangsangan kalau kualitasnya bagus dikasih harga
lebih”.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh pimpikan KUB Madani

Palopo Bapak Ir. Muhammad Sahaka pada tanggal 10 September

2012:

“Untuk merangsang petani agar mau memfermentasi kakaonya


biasanya kami memberikan harga lebih/harga premium untuk
membeli kakao yang fermentasi”

Tidak adanya kendala dalam memperoleh bahan baku ini tidak

lepas dari masih terbatasnya kapasitas produksi perusahaan serta

besarnya potensi kakao yang dihasilkan di wilayah Luwu Raya.

Pemberian harga lebih dalam pembelian bahan baku biji kakao ini

tentu saja bisa merangsang para petani untuk melakukan fermentasi

terhadap kakao mereka. Namun demikian pemberian nilai lebih ini

tidak selamanya menguntungkan petani namun tergantung berapa

perbedaan harga yang diberikan. Hal ini disebabkan karena untuk

melakukan fermentasi petani membutuhkan peralatan tambahan

misalnya kotak fermentasi, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama dan
71

tentu saja butuh tenaga tambahan untuk melakukannya, sehingga

tambahan harga yang tidak signifikan tentu saja akan merugikan

petani dan petani akan enggan untuk melakukan fermentasi.

Untuk melakukan penghitungan berapa perbedaan harga kakao

non fermentasi dengan kakao fermentasi sehingga petani dapat

memperoleh untung dapat dilakukan dengan mengetahui berapa

rendemen berat biji kakao yang difermentasi dan yang tidak

difermentasi. Dari hasil penelitian Satriawan, 2007 diperoleh data

bahwa rendemen berat biji kakao kering yang difermentasi adalah 33%

dari berat basah dan untuk kakao yang non fermentasi adalah 38%.

Dari data awal ini kita bisa menghitung berapa perbandingan

pendapatan yang diperoleh petani apabila mereka melakukan

fermentasi dan tidak melakukan fermentasi. Dengan mengambil contoh

misalnya seorang petani memiliki biji kakao basah dengan berat 100

kg, apabila petani tersebut tidak melakukan fermentasi maka kakao

kering yang akan dihasilkan adalah 38 kg (berat awal 100 kg dikalikan

rendemen kakao fermentasi 38%) dan apabila dijual dengan asumsi

harga kakao non fermentasi Rp. 20.000,- maka pendapatan yang

diperoleh petani Rp. 760.000,-. Apabila petani tersebut melakukan

fermentasi maka kakao kering yang dihasilkan beratnya adalah 33 kg

(berat awal 100 kg dikalikan rendemen kakao fermentasi 33%) dan

apabila di jual dengan asumsi harga kakao fermentasi Rp. 25.000

maka pendapatan petani tersebut adalah Rp. 825.000,-. Sehingga


72

dengan perbedaan harga Rp. 5.000,- antara kakao fermentasi dan non

fermentasi maka petani akan memperoleh untung apabila mereka

melakukan fermentasi. Dengan cara penghitungan yang sama maka

akan diperoleh data bahwa dengan perbedaan harga antara kakao

fermentasi dan non fermentasi Rp. 3000,- maka besarnya pendapatan

yang diperoleh petani nilainya akan sama Rp. 760.000,- baik mereka

melakukan fermentasi maupun tidak melakukan fermentasi. Dengan

kondisi tersebut tentu saja petani akan lebih memilih tidak melakukan

fermentasi karena waktu yang lebih cepat serta tenaga yang

dibutuhkan lebih sedikit. Oleh karena itu untuk dapat merangsang

petani agar mau melakukan fermentasi maka perbedaan harga kakao

antara yang fermentasi dan non fermentasi harus diatas Rp. 3000,- per

kg. Namun demikian perhitungan ini masih sangat sederhana yang

belum memperhitungkan lama waktu yang diperlukan untuk melakukan

fermentasi serta tenaga tambahan yang diperlukan untuk

melakukannya.

Biji kakao dapat diolah untuk menghasilkan berbagai produk

setengah jadi untuk diproses lebih lanjut . Di Sulawesi Selatan,

mayoritas produk-produk dari industri pengolahan besar adalah produk

setengah jadi yang kemudian diekspor ke produsen mancanegara

yang selanjutkan diproses menjadi produk akhir. Sedangkan untuk

industri kecil diproses lebih lanjut menjadi produk konsumsi akhir.


73

Biji kakao yang diproses untuk makanan dan minuman cokelat di

industri kecil adalah biji kakao hasil fermetasi. Secara garis besar

proses pengolahannya dapat digambarkan seperti pada gambar alur

kerja berikut.

Biji kakao fermentasi (w=10


kg)

Penyangraian (w=9,7
kg)

Pemisahan Kulit Biji


Kulit Biji
Nibs (w=8,5 kg)

Pemasta Kasar

Liqour/Pasta

Pengepresan (w=8,5
kg)

Lemak Kakao (w=2,6 Bungkil Kakao


kg)
Penghalusan

Pengayakan

Bubuk Kakao (w=5,9 kg)

Gambar. 4.1. Tahapan proses pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi
74

Dalam pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat

terjadi penyusutan bobot pada setiap tahapan sehingga didapatkan

rendemen hasil dari masing-masing produk pasta, lemak, dan bubuk.

Rendemen hasil olahan biji kakao menjadi produk setengah jadi untuk

setiap tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Tabel 4.7. Daftar jumlah rendemen produk hasil pengolahan kakao

Produk Dan Berat


No. Uraian Proses Keterangan
Produk Setelah
Proses
Asumsi berat awal
Biji kakao bahan baku 10 kg
1. Bahan Baku Awal
fermentasi: 10 kg dengan kadar air 7%

Berat produk
berkurang karena
adanya penurunan
Biji kakao kering:
2. Penyangraian kadar air sebesar 3 %
9,7 kg
akibat proses
penyangraian

Berat produk
berkurang akibat
Daging biji (nib):
3. Pemisahan kulit biji adanya kandungan
8,5 kg
kulit biji sebesar 12 %
yang terbuang
4. Pemastaan Pasta kakao: 8,5 kg
Lemak Kakao: 2,6
kg Berat produk yang di
5. Pengepresan
Bubuk Kakao: 5,9 press sebesar 8,5 kg
kg
Sumber: Data Diolah, 2012

Dengan contoh misalnya biji kakao kering yang dipergunakan untuk

pengolahan produk setengah jadi cokelat sekitar 10 kg. Setelah

dilakukan penyangraian akan diperoleh 9,7 kg biji kakao sangrai,

berkurangnya berat biji kakao ini disebabkan karena adanya


75

penurunan kadar air sebesar 3% akibat dari proses penyangraian . Biji

kakao sangrai kemudian dipisahkan antara bagian daging biji (nib)

dengan kulitnya menggunakan mesin pengupas kulit (desheller). Dari

proses pemisahan ini akan diperoleh pecahan-pecahan nib yang

sebanyak 8,5 kg, sedangkan kulit yang terbuang sebanyak 12% dari

berat biji kakao (kadar kulit dalam biji kakao rata-rata adalah 12%

(Mulato, 2005)). Bagian nib ini yang akan digunakan untuk proses

pengolahan produk cokelat selanjutnya.

Sebagai bahan baku makanan/minuman cokelat, pecahan nib

harus dihancurkan sampai ukuran tertentu menjadi cairan kental yang

disebut pasta. Pasta cokelat yang dapat dihasilkan dari 8,5 kg nib

adalah sebanyak 8,5 kg (sekitar 85,00% dari berat biji kakao kering).

Dari pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut untuk mengeluarkan

lemak cokelat, yaitu dengan cara pengempaan atau pengepresan

dengan hasil samping berupa bungkil cokelat yang dapat diolah lebih

lanjut menjadi bubuk cokelat.

Dari 8,5 kg pasta cokelat dapat dihasilkan lemak cokelat sebanyak

2,6 kg (sekitar 26% dari berat biji kering kakao) dan 5,9 kg bungkil

cokelat. Dari proses penghalusan dan pengayakan bungkil, didapatkan

bubuk cokelat halus sebanyak 5,9 kg. Sedangkan untuk proses

pengolahan dari produk setengah jadi menjadi produk jadi bisa dilihat

pada gambar di bawah ini:


76

Pasta kakao

Susu Lemak Kakao

Gula Pencampuran Bahan lain


Bahan (Mixer)

Penghalusan (Ball
Mill)

Tempering
(alat tempering/meja marmer)

Pencetakan

Produk Cokelat
(candy / cokelat
blok)

Gambar. 4.2. Tahapan proses pembuatan makanan cokelat

Alur proses pengolahan kakao dapat dijelaskan sebagai berikut:

No Proses Peralatan Penjelasan


1 Penyiapan Manual Pembelian dan penyiapan biji kakao yang
bahan baku difermentasi dari kelompok tani
dikumpulkan di ruangan khusus untuk
ditimbang dan dipilah
77

2 Penyortiran Mesin sortir/ Penyortiran dilakukan untuk memilih biji


manual kakao berdasarkan ukuran dan untuk
menghilangkan biji yang tidak diinginkan
serta untuk mendapatkan biji dengan
kadar air yang sesuai. Kadar air diuji
dengan tester khusus. Kadar air
diharapkan sebelum pengolahan adalah
sekitar 7 persen. Jika kadar air melebihi 7
persen maka pengeringan lanjutan
diperlukan.

3 Penyangraian/ Mesin Penggorengan dilakukan dengan alat


penggorengan sangrai penggoreng khusus biji kakao. Mesin
sangrai yang digunakan di industri ini
adalan mesin sangrai tipe silinder
berputar dengan metode batch. Mesin ini
menggunakan bahan bakar gas LPG
dengan kapasitas mesin sebesar 10 kg
dan 50 kg. Suhu penyangraian yang
digunakan berkisar 140oC dengan waktu
penyangraian berkisar 30-45 menit

4 Pemisahan kulit Mesin Pemisahan kulit biji bertujuan untuk


biji pemisah kulit memisahkan daging biji (nib) dengan kulit
biji biji. Prosentase sisa kulit biji yang terikut
(Winnowing) dalam nib dan sia nib di dalam kulit
dipersyaratkan masing-masing 1,5% dan
0,5% (Minifie, 1999). Pada industri ini
pengupasan kulit ari masih perlu
diteruskan dengan pembersihan secara
manual, hal ini dilakukan karena masih
adanya kulit biji yang tercampur dalam
nib.
78

5 Pemastaan Mesin Daging biji (nib) kakao digiling dengan


pemasta mesin pemasta menjadi bentuk pasta cair
kental. Tujuan dari pemastaan adalah
untuk memecahkan nib agar dapat
dihasilkan partikel dengan ukuran sekitar
20-30 mikron. Mesin pemasta yang
digunakan dalam industri ini adalah
mesin pemasta tipe screw press
horizontal dengan kapasitas 20 kg/jam.

6 Pengepresan Mesin press Pengepresan bertujuan untuk


lemak lemak memisahkan lemak kakao dari pasta
kakao semaksimal mungkin. Kadar lemak
di dalam kakao untuk wilayah Luwu Raya
berkisar 50-53%. Sisa hasil pengepresan
adalah bungkil padat yang masih
mengandung lemak kakao. Bungkil
merupakan bahan utama pembuatan
bubuk cokelat untuk makanan atau
minuman. Mesin kempa yang
dioperasikan di KUB Sibali Resoe dan
KUB Madani adalah mesin kempa tipe
horizontal dengan kapasitas 4 kg/jam.
Dari hasil analisis yang dilakukan kadar
lemak pada bungkil masih sangat tinggi
berkisar 25-30%, sehingga bubuk yang
dihasilkan nantinya tidak bisa digunakan
untuk bahan baku minuman cokelat.
Saat ini dipasaran dikenal 3 tingkatan
bubuk cokelat berdasarkan kadar
lemaknya, yaitu kadar lemak rendah (10-
12%), sedang (13-17%) dan lemak tinggi
(>17 sampai 22%).
79

7 Penghalusan Mesin Bungkil kakao hasil pengepresan


dan penghalus kemudian dihaluskan dengan alat
pengayakan dan penghalus. Bubuk cokelat yang telah
bubuk pengayak halus diayak untuk memperoleh ukuran
bubuk partikel yang seragam dengan
menggunakan mesin pengayak. Bubuk
yang masih kasar dan tertinggal diayakan
digiling lagi sampai halus, sedangkan
bubuk halus yang lolos ayakan
merupakan produk yang siap jual. Mesin
ayakan yang digunakan di industri ini
adalah mesin ayakan tipe getar dengan
ukuran ayakan 120 mesh.

8 Pencampuran Mesin Untuk membuat makanan cokelat,


dan pencampur adonan cokelat dibuat dari campuran
penghalusan dan pasta cokelat, lemak cokelat, gula, susu
adonan cokelat penghalus dan bahan lain sebagai penambah rasa
cokelat (Ball seperti vanili dengan perbandingan
Mill) tertentu. Adonan tersebut kemudian
diaduk sampai rata sambil dihaluskan di
dalam alat pencampur. Setelah itu
adonan cokelat dihaluskan dengan mesin
penghalus. Mesin penghalus yang
digunakan di industri ini adalah mesin
penghalus tipe ball mill. Untuk
menghaluskan adonan KUB Madani
menggunakan alat ball mill tipe horizontal
dengan kapasitas 5 kg. Mesin ini
dilengkapi dengan pemanas sehingga
dapat berfungsi sekaligus sebagai alat
conching. Yang menjadi kendala dalam
pengoperasian mesin ini adalah lama
proses penghalusannya membutuhkan
waktu 2-3 hari. Sedangkan di KUB Sibali
Resoe untuk menghaluskan adonan
menggunakan ball mill tipe vertikal. KUB
Sibali Resoe memiliki 2 unit ball mill tipe
ini dengan kapasitas masing-masing 5 kg
dan 200 kg per batch, dimana setiap
batch rata-rata membutuhkan waktu
sekitar 2 jam. Mesin ini lebih efisien
karena waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit dibandingkan dengan ball mill tipe
horizontal.
80

9 Tempering Mesin Sebelum dicetak adonan cokelat siap


tempering cetak harus melewati proses tempering
atau meja atau penyimpanan adonan dalam
marmer ruangan dengan perlakuan suhu tertentu.
Tempering ini bertujuan memastikan
lemak kakao terkristalisasi ke dalam
bentuk yang stabil (Beckett, 2000).
Tempering mencakup pelelehan massa
cokelat, pendinginan ke suhu kristalisasi
dan pemanasan ulang ke suhu 32-33oC
untuk melelehkan sisa-sisa Kristal yang
tidak stabil sehingga yang tersisa hanya
yang stabil. Suhu pelelehan Kristal-kristal
lemak sekitar 48oC (Mulato, 2005).
Proses tempering di KUB Madani
menggunakan mesin tempering dengan
kapasitas 15 kg/batch, dimana setiap
batch membutuhkan waktu 45-60 menit.
Sedangkan di KUB Sibali Resoe proses
tempering menggunakan mesin ball mill
yang sudah dilengkapi pemanas dan
pendingin yang prosesnya sudah
menyatu dengan proses penghalusan
adonan sebelumnya. Selain
menggunakan mesin tempering, proses
tempering kadang juga dilakukan dengan
proses manual menggunakan meja
marmer dengan memanfaatkan efek
dingin dari marmer tersebut. Sedangkan
untuk menaikkan suhu adonan digunakan
air panas. Proses manual ini biasanya
dilakukan apabila adonan yang di proses
jumlahnya tidak terlalu banyak.
10 Pencetakan Setelah selesai proses tempering cokelat
dan kemudian dicetak, setelah itu produk
pengemasan cokelat siap dikemas dan dipasarkan

Dalam melakukan produksi rata-rata kebutuhan bahan baku yang

dibutuhkan oleh KUB Madani dalam sebulan kurang lebih sekitar 200

kg biji kakao fermentasi. Sedangkan KUB Sibali Resoe membutuhkan

bahan baku biji kakao kurang lebih sekitar 5 ton per bulan. Harga

bahan baku biji kakao fermentasi di wilayah Luwu Raya rata-rata


81

sekitar 25.000,- per kg. Harga ini biasanya mengalami fluktuasi

tergantung nilai tukar rupiah.

Dengan peralatan yang ada saat ini produk-produk yang dihasilkan

KUB Sibali Resoe antara lain pasta kakao, bubuk kakao, lemak kakao,

permen cokelat /candy. Sedangkan KUB Madani saat ini sudah

memproduksi bubuk kakao, lemak kakao, permen cokelat/candy dan

minuman cokelat instan 3 in 1.

Tabel 4.8. Daftar produk yang dihasilkan industri pengolahan kakao di


Luwu Raya

No. Nama Industri Produk


1 KUB Sibali Resoe Pasta kakao, makanan coklat /candy
Luwu Utara
2 KUB Madani Palopo Bubuk kakao, lemak kakao,
makanan Coklat /candy, minuman
cokelat 3 in 1
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012

Saat ini KUB Sibali Resoe tidak memproduksi bubuk kakao dan

lemak kakao, hal ini disebabkan karena kinerja alat pres lemak yang

mereka miliki masih belum efektif, dimana dengan alat pres yang

dimiliki bubuk kakao yang dihasilkan masih mengandung lemak yang

tinggi sekitar 25%. Dengan kondisi seperti ini KUB Sibali Resoe

memutuskan untuk tidak memproduksi dan menjual bubuk kakao.

Karena tidak memproduksi bubuk kakao KUB Sibali Resoe juga tidak

bisa memproduksi minuman cokelat, karena bahan baku utama dari

minuman cokelat adalah bubuk kakao. Untuk membuka peluang pasar

dan menarik minat konsumen industri pengolahan kakao di Luwu Raya

mencoba melakukan diversifikasi produk. Seperti yang dilakukan oleh


82

KUB Sibali Resoe mereka mencoba memproduksi coklat

batangan/candy yang diisi dengan buah kurma. Sedangkan KUB

Madani juga berusaha melakukan diversifikasi produk dengan

memproduksi dodol cokelat. Makanan ini menurut pimpinan KUB

Madani cukup diminati konsumen hanya saja yang menjadi kendala

adalah makanan ini cepat kadaluwarsa sehingga saat ini produksi ini

dihentikan. Menurut pimpinan KUB Madani hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan yang mereka miliki tentang proses pembuatan

makanan ini sehingga mereka berharap kepada pihak-pihak terkait

agar bisa membantu untuk mengatasi permasalahan ini.

Besarnya volume produksi dari KUB Sibali Resoe dan KUB Madani

dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.9. Daftar volume produksi pengolahan kakao di Luwu Raya

Volume
No. Nama Industri Jenis Produk
Produksi
KUB Sibali Pasta Kakao 4500 kg/bulan
1 Resoe
Permen 500 kg/bulan
cokelat/candy
2 KUB Madani Bubuk Kakao 60 kg/bulan
Lemak Kakao 30 kg/bulan
Permen cokelat 60 kg/bulan
Minuman Cokelat 50 kg/bulan
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012

Data produksi kakao dari industri pengolahan kakao di atas

merupakan data produksi rata-rata per bulan. Jumlah produksi kakao

ini bisa menurun ataupun meningkat tergantung dari banyaknya


83

permintaan yang masuk ke industri. Selain pengaruh banyaknya

permintaan jumlah produksi juga dipengaruhi oleh kapasitas dari mesin

yang dimiliki oleh masing-masing industri.

Tabel 4.10. Daftar harga produk hasil industri pengolahan kakao di


Luwu Raya

No. Nama Produk Harga/kg


1 Pasta Kakao Rp. 40.000,-
2 Bubuk Kakao Rp. 60.000,-
3 Lemak Kakao Rp. 50.000,-
4 Permen Cokelat/Candy Rp. 90.000,-
5 Minuman cokelat Rp. 85.000,-
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012

Dari daftar harga di atas terlihat bahwa harga produk olahan kakao

jauh lebih tinggi dari pada harga bahan bakunya. Hal ini

mengindikasikan bahwa peluang untuk meningkatkan kesejahteraan

para pelaku usaha di bidang industri kakao sangat besar.

Dari perhitungan rendemen produk kakao dan harga dari bahan

baku serta produk jadi yang dihasilkan kita bisa menghitung nilai

tambah yang diperoleh dari proses pengolahan biji kakao ini. Dengan

asumsi harga bahan baku biji kakao fermentasi Rp. 25.000,- serta

harga produk sesuai dengan tabel 4.10 di atas maka kita bisa

menghitung berapa nilai tambah yang dihasilkan. Dari gambar 4.1

diperoleh data bahwa dengan bahan baku seberat 10 kg akan

dihasilkan produk lemak kakao seberat 2,6 kg dan bubuk kakao

seberat 5,9 kg. Apabila dihitung maka diperoleh hasil nilai harga bahan

baku yang dibutuhkan adalah Rp. 250.000,- (berat bahan baku 10 kg


84

dikali harga bahan baku Rp. 25.000,-). Nilai produk yang dihasilkan

adalah: lemak kakao Rp. 130.000,- (berat lemak yang dihasilkan 2,6 kg

dikali harga lemak kakao Rp. 50.000,-) dan harga bubuk kakao Rp.

354.000,- (berat bubuk kakao yang dihasilkan 5,9 kg dikali harga

bubuk kakao Rp. 60.000,-), sehingga nilai produk yang dihasilkan

adalah Rp. 484.000,-. Dari perhitungan ini bisa dilihat nilai tambah

yang diperoleh dari mengolah biji kakao menjadi produk setengah jadi

yaitu sebesar Rp. 234.000,- atau sebesar 93,6 % dari bahan baku.

Nilai tambah ini diperoleh baru dari hasil mengolah biji kakao menjadi

produk setengah jadi belum apabila produk ini diolah menjadi produk

jadi seperti candy / makanan cokelat tentu nilai tambah yang dihasilkan

akan lebih besar lagi mengingat harga produk jadi masih lebih tinggi

dibanding dengan produk setengah jadi.

Untuk membantu di bidang produksi dan pengolahan, Pemerintah

propinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan JICA dan Balai Besar

Industri Hasil Perkebunan telah memberikan bimbingan dan konsultasi

teknis. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2010 di dua pabrik

pengolahan kakao yaitu KUB Sibali Resoe di Luwu Utara dan KUB

Madani di Palopo oleh tim teknis dari Balai Besar Industri Hasil

Perkebunan. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas

produk melalui optimalisasi keseluruhan proses produksi mulai dari

penyiapan bahan baku biji kakao hingga pencetakan produk akhir.

Melalui konsultasi teknis ini tim teknis memberikan memberikan


85

berbagai macam masukan dan saran berupa langkah-langkah yang

perlu dilakukan dalam jangka pendek tanpa melakukan perbaikan

maupun penggantian peralatan yang telah ada untuk meningkatkan

kualitas produk yang dihasilkan. Untuk menilai tingkat perbaikan

kualitas produk setelah adanya kegiatan konsultansi Pemerintah

Propinsi Sulawesi Selatan dan JICA mengirimkan tenaga ahli dari JICA

untuk mengecek tingkat perbaikan mutu produk yang dihasilkan. Hasil

penilaian menunjukkan bahwa salah satu pabrik yaitu KUB Sibali

Resoe telah mengikuti dengan baik semua langkah yang disarankan

oleh tim. Kegiatan ini dinilai telah memuaskan karena kualitas produk

yang dicapai dari hasil konsultasi terlihat lebih meningkat dibanding

dengan sebelum adanya program, meskipun peralatan yang tersedia

masih belum memadai. Peningkatan produk ini juga dibuktikan dengan

masuknya produk-produk KUB Sibali Resoe di beberapa minimarket

lokal yang ada di Luwu Utara. Tim Ahli JICA juga menilai bahwa

meskipun kualitas produk telah meningkat dan memiliki daya jual di

tingkat konsumen lokal namun produk ini belum bisa di pasarkan di

pengecer modern. Menurutnya masih ada proses yang perlu

dioptimalisasi lagi untuk mencapai produk yang dapat dijual. Selain

optimalisasi proses hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan

perbaikan/modifikasi atau penggantian beberapa peralatan yang ada

saat ini. Konsultansi teknis juga pernah diberikan kepada Koptan Bina

Harapan pada bulan September 2011, setelah dilakukan konsultasi


86

teknis saran dan masukan diberikan oleh tim konsultan kepada

pengelola Koptan Bina Harapan untuk ditindaklanjuti namun hingga

saat ini saran dan masukan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan alas

an peralatan yang tidak lengkap serta ketiadaan dana untuk

operasional.

Dalam menjalankan proses produksi industri pengolahan kakao

masih banyak mengalami kendala khususnya menyangkut fungsi

peralatan. Saat ini masih ada peralatan-peralatan yang tidak berfungsi

secara maksimal. Misalnya alat pengepres lemak, alat ini belum

mampu berfungsi secara baik akibatnya proses pengepresan lemak

tidak berjalan secara maksimal, hal ini mengakibatkan bubuk kakao

yang dihasilkan masih mengandung lemak yang cukup tinggi sekitar

25-28% yang berarti bahwa produk ini belum memenuhi standar yang

telah ditetapkan. Hal ini dihadapi oleh semua industri yang ada di Luwu

Raya baik KUB Sibali Resoe maupun KUB Madani. Akibat dari masih

tingginya lemak yang terkandung dalam bubuk kakao KUB Sibali

Resoe saat ini memutuskan untuk tidak memproduksi minuman cokelat

instan yang bahan baku utamanya adalah bubuk kakao.

Selain alat pres lemak alat lain yang belum berfungsi dengan baik

adalah alat pengayak bubuk. Alat ini tidak berfungsi dengan baik

karena lubang-lubang dari ayakan tersebut masih terlalu besar

akibatnya bubuk kakao yang dihasilkan masih belum halus sesuai

dengan persyaratan yang ada. Kendala peralatan lain yang dialami


87

KUB Madani adalah alat ballmill tipe horizontal, di mana alat ini tidak

efisien hal ini disebabkan karena pengoperasian alat ini membutuhkan

waktu yang lama yaitu sekitar 70 jam atau 3 hari dengan kapasitas

yang kecil sekitar 10 kg setiap kali beroperasi dan produk yang

dihasilkan juga masih sedikit kasar. Ketidak efisienan inilah yang

menyebabkan saat ini KUB Sibali Resoe tidak lagi menggunakan alat

ini, melainkan menggunakan ballmill tipe lain yang lebih efisien.

Selain masalah peralatan yang belum efektif masalah lain yang

dihadapi di bidang peralatan adalah masalah pemeliharaan

(maintenance). Dimana adanya kesulitan memperbaiki atau

memperoleh suku cadang bila ada peralatan yang mengalami

kerusakan. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh peralatan-

peralatan pengolahan kakao ini didatangkan dari luar daerah Sulawesi

dan merupakan alat hasil rakitan dan belum dijual secara luas

sehingga apabila ada bagian yang rusak harus memesan langsung ke

pabrik yang merakit alat tersebut. Hal ini tentu saja akan menghambat

proses produksi dari pabrik karena masih harus menunggu sampai

suku cadang alat tersebut tersedia. Selain harus menunggu industri

juga harus menyediakan dana lebih karena selain untuk biaya suku

cadang mereka juga harus membiayai teknisi dari produsen alat

karena pemasangan suku cadang tersebut harus dilakukan oleh

tenaga ahli khusus. Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan

bantuan dalam hal pemeliharaan dan service jika terjadi gangguan


88

terhadap peralatan yang ada untuk menjamin keberlangsungan proses

produksi.

Tabel 4.11. Permasalahan yang dihadapi industri kecil di bidang


produksi

No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi


1. KUB Sibali Resoe - Kualitas produk yang belum
maksimal (kandungan lemak
dalam bubuk kakao masih
tinggi, bubuk kakao masih
kasar)`
- Peralatan-peralatan yang
kurang efektif (Alat pres
lemak menghasilkan bubuk
dengan kandungan lemak
yang masih tinggi, Alat
pengayak bubuk
menghasilkan produk masih
kasar)
2. KUB Madani - Kualitas produk yang belum
maksimal (kandungan lemak
dalam bubuk kakao masih
tinggi, bubuk kakao masih
kasar, produk makanan
cokelat kurang lembut)
- Peralatan-peralatan yang
kurang efektif (Alat pres
lemak menghasilkan bubuk
dengan kandungan lemak
yang masih tinggi, Alat
pengayak bubuk
menghasilkan produk masih
kasar, Ballmill kurang efisien
karena operasinya
membutuhkan waktu yang
lama dengan kapasitas yang
kecil serta hasil yang masih
kasar)
3. Koptan Binan Harapan Belum Beroperasi

Sumber: Data diolah, 2012


89

Untuk melengkapi serta memperbaiki maupun mengganti

peralatan-peralatan yang kerjanya kurang efektif, industri kecil

mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk melakukannya. Hal ini

disebabkan karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh masing-

masing industri. Pemerintah daerah sulit untuk diharapkan bantuannya

karena keterbatasan dana APBD yang dimiliki sedangkan peralatan

yang dibutuhkan harganya rata-rata cukup mahal sehingga harapan ini

ditujukan kepada pemerintah pusat melalui dana APBN dari

Kementerian Perindustrian. Pemerintah daerah diharapkan dapat

memfasilitasi industri kecil untuk mengajukan permintaan bantuan ini.

Selain terbatasnya dana APBD kebijakan dari kepala daerah juga

berperan penting terhadap terpenuhinya permintaan bantuan tersebut.

Selama ini terkesan pemerintah daerah berfikir bahwa kebutuhan

peralatan/mesin untuk mengembangkan industri pengolahan kakao di

daerahnya adalah tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini

Kementerian Perindustrian karena program ini awalnya adalah

program pemerintah pusat sehingga setiap ada permintaan bantuan

dari industri kecil selalu diarahkan ke pemerintah pusat. Hal ini tentu

saja akan menghambat perkembangan industri kecil itu sendiri karena

untuk meminta bantuan ke pemerintah pusat diperlukan proses

administrasi yang tidak mudah dan tentu saja akan membutuhkan

waktu yang lama untuk merealisasikannya. Untuk mengatasi hal ini

tentu dibutuhkan koordinasi lagi antara pemerintah daerah dan


90

pemerintah pusat untuk mencari solusi yang lebih memihak kepada

industri kecil, sehingga bisa lebih cepat berkembang sesuai dengan

yang diharapkan.

3. Bidang Pemasaran

Produk dari industri kecil berpotensi berkembang jika didukung oleh

kebijakan pemerintah yang tepat. Khususnya dalam hal promosi dan

pemasaran produk. Pemilik industri kecil bisa juga membawa produk

mereka kepada pembeli potensial di Makassar dan Jakarta. Potensi

pasar ini produk industri kecil kakao memiliki prospek yang cerah.

Persaingan tidak terjadi dengan industri besar karena industri besar

hanya memproduksi produk setengah jadi dan hasilnya di ekspor ke

mancanegara.

Sedangkan produk industri kecil dengan memproduksi sampai

produk akhir bisa diarahkan untuk pasar lokal. Dilain sisi permintaan

terhadap produk kakao masih menjanjikan untuk penyerapan pasar.

Segmen pasar konsumen lokal dan industri makanan sangat potensial

untuk menjadi target dari industri kecil. Pasar domestik bagi produk

kakao ada sampai batas tertentu, sebagian besar produk bisa

diarahkan kebeberapa produsen penganan besar seperti Ceres, dan

cokelat kecil untuk penganan, minuman cokelat, roti, biskuit, es krim.

Menurut informasi yang diberikan oleh kantor pemerintah, selain dari

keterampilan pekerja yang perlu diperbaiki, kendala utama lainnya

untuk industri skala kecil yang mungkin mempengaruhi kontinuitas


91

produksi adalah ketersediaan pasar. Industri sangat termotivasi jika

pasar ada dan harus didukung dan difasilitasi oleh pemerintah dalam

rangka memperoleh kepastian pasar untuk produk industri.

Selain itu, untuk mendukung pemasaran produk, semua

persyaratan untuk kualitas produk harus dipenuhi. Lisensi dan

pengakuan terkait kualitas produk dan kesesuaian harus dilakukan

oleh lembaga sertifikasi produk, izin Departemen Kesehatan (Depkes),

Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) serta sertifikat halal

adalah persyaratan dasar untuk suatu produk industri. Industri

tentunya perlu bantuan dari pemerintah maupun instansi lain, termasuk

dalam meningkatkan produk industri kecil kakao dalam hal kualitas,

rasa, kandungan gizi dan kemasan produk dan tampilan.

Untuk mempermudah promosi dan pengenalan kepada

masyarakat, saat ini seluruh industri pengolahan kakao yang ada di

wilayah Luwu Raya telah memiliki merk atau nama untuk produk yang

mereka hasilkan. Produk dari KUB Sibali Resoe Luwu Utara diberi

nama Calodo, produk dari KUB Madani Palopo diberi nama Madani

sedangkan produk dari Koptan Bina Harapan Luwu rencananya akan

diberi nama Sayang Cs. Selain nama produk untuk memenuhi

persyaratan pemasaran saat ini KUB Sibali Resoe juga telah

memperoleh sertifikat halal dari MUI serta sertifikat dari Badan

Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan KUB Madani saat

ini juga telah memperoleh sertifikat halal dari MUI untuk produk-produk
92

yang mereka hasilkan selain itu KUB Madani juga telah memperoleh

izin produksi Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) namun untuk

sertifikat dari Badan POM hingga saat ini KUB Madani belum

memperolehnya. Sementara itu Koptan Bina Harapan hingga saat ini

belum mengurus persyaratan-persyaratan tersebut, hal ini karena

kondisi perusahaan yang belum melakukan proses produksi.

Saat ini pangsa pasar untuk produk-produk yang dihasilkan oleh

industri pengolahan kakao di Luwu Raya sebagian besar masih berada

di wilayah lokal. Selain menjual produk langsung di lokasi pabrik dan

lokasi pemasaran khusus yang telah disediakan oleh pemerintah

daerah berupa pusat penjualan produk-produk unggulan daerah, KUB

Sibali Resoe juga telah bekerja sama dengan beberapa mini market

lokal yang ada di kota Masamba. Kerja sama ini terjalin berkat bantuan

dari Dinas Perindag Kabupaten Luwu Utara berkerja sama dengan

Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan serta JICA. Selain menjual

produk akhir berupa permen cokelat saat ini KUB Sibali Resoe juga

telah bekerja sama dengan perusahaan cokelat lokal di Surabaya serta

Makassar untuk memasok pasta kakao untuk perusahaan di kota

tersebut. Pasta yang dipasok ini kemudian akan diolah oleh

perusahaan dikota tersebut untuk menjadi produk jadi seperti candy

atau makanan cokelat maupun produk lain sesuai dengan keinginan

dari perusahaan-perusahaan tersebut.


93

Sedangkan untuk KUB Madani proses pemasaran juga sebagian

besar masih bersifat lokal. Untuk mempermudah proses pemasaran

saat ini KUB Madani telah mendirikan rumah cokelat di Kota Palopo.

Dilokasi inilah seluruh produk yang dihasilkan KUB Madani dipasarkan.

Hal ini bertujuan agar masyarakat mudah mengingat dan mengenal

produk-produk KUB Madani. Karena selama ini masalah yang sering

dihadapi oleh KUB Madani adalah kurang terkenalnya produk yang

dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penuturan pimpinan KUB Madani Ir.

Muhammad Sahaka pada tanggal 10 September 2012:

“Permasalahan pemasaran produk yang selama ini kami alami


karena masyarakat belum mengenal produk kami, biasanya
mereka baru tahu setelah mencoba produknya”

Untuk memperluas area pemasaran pengusaha banyak berharap

kepada pemerintah agar bisa membantu. Harapan ini dikemukakan

oleh pimpinan KUB Sibali Resoe H. Baharuddin pada tanggal 11

September 2012:

“Kedepan kami berharap agar pemerintah bisa membantu dalam


proses pemasaran, saat ini kapasitas pabrik sudah lumayan
meningkat dan kualitas produk juga sudah bagus jadi tinggal
bagaimana bisa masuk pasar”

Keterbatasan pemahaman tentang masalah pemasaran menjadi

kendala yang dialami oleh industri kecil. Untuk mengatasi hal ini

pemerintah perlu melakukan upaya-upaya nyata agar masalah ini bisa

teratasi sehingga proses produksi industri kecil bisa berjalan kontinyu

tanpa terhambat proses pemasaran produk yang mereka hasilkan.


94

Untuk pemasaran hasil produksi industri kecil secara umum

bantuan yang diberikan pemerintah berupa fasilitasi pengenalan

produk melalui pameran-pameran yang diikuti oleh pemerintah daerah

melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Pameran yang dikuti

berupa pameran ditingkat kabupaten, tingkat propinsi maupun tingkat

nasional. Selain dinas di kabupaten, instansi lain yang juga membantu

pemasaran adalah Dinas Perindag Propinsi Sulawesi Selatan dan

Balai Besar Industri Perkebunan Makassar.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Industri Dinas

Perindag Kabupaten Luwu Utara Bapak Drs. Jasmani pada tanggal 12

September 2012:

“Kalau masalah pemasaran bantuan dinas dalam bentuk pameran


kalau ada pameran-pameran itu kita bawa produknya. Di dinas
propinsi juga begitu, kalau mereka akan mengikuti pameran baik
di Makassar maupun di luar pulau biasanya mereka membawa
produk-produk cokelat hasil produksi KUB Sibali Resoe untuk ikut
dipamerkan ”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Staf Bidang Industri, Dinas

Perindustrian Dan Perdagangan Kota Palopo Bapak Zulkifli, ST, M.Si

pada tanggal 11 September 2012:

“Untuk pemasaran biasanya kami membantu dengan


memperkenalkan produk-produk KUB Madani melalui pameran-
pameran yang diikuti oleh dinas, selain itu kami biasanya juga
memperkenalkan produk kepada tamu yang berkunjung/studi
banding ke Kota Palopo”

Bantuan fasilitasi pasar juga telah dilakukan oleh pemerintah

propinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan JICA melalui proyek

kerjasama yang mereka jalin. Program fasilitasi pasar ini bertujuan


95

untuk menguji dan mempromosikan hasil dari uji coba pengembangan

produk baru atau produk yang baru dikembangkan melalui kegiatan

pengembangan produk, selain itu tujuan dari fasilitasi pasa ini juga

untuk memperoleh umpan balik secara langsung dari para

konsumen/pembeli untuk mempercepat proses pengembangan

produk. Kegiatan fasilitasi pasar ini dilakukan dengan memberikan

kesempatan kepada industri untuk ikut serta memperkenalkan produk

mereka dalam pameran maupun pekan raya serta kegiatan promosi

lainnya.

Tabel 4.12. Daftar kegiatan promosi yang diikuti oleh industri


pengolahan kakao yang difasilitasi oleh pemerintah

No. Nama Kegiatan Produk Lokasi Tahun


1 Makassar Trade Expo Cokelat batangan, Makassar 2010
permen cokelat,
minuman cokelat
2 In-Store Promotion di Cokelat batangan, Makassar 2010
Pusat Perbelanjaan permen cokelat,
minuman cokelat
3 Promosi Pada Rakornas Cokelat batangan, Makassar 2011
KADIN permen cokelat
4 Batam National Expo Cokelat batangan, Batam 2011
permen cokelat
5 Pekan Raya Jakarta Cokelat batangan, Jakarta 2011
permen cokelat
6 Promosi Pada Mukernas Cokelat batangan, Makassar 2011
Gapensi permen cokelat
7 Makassar Trade Expo Cokelat batangan, Makassar 2011
permen cokelat
8 Pameran Pagan Nusantara Cokelat batangan, Denpasar 2011
permen cokelat
9 Gebyar Produk Indonesia Cokelat batangan, Makassar 2011
permen cokelat,
minuman cokelat
Sumber: Dinas Perindag Propinsi Sul-Sel, 2012
Pameran-pameran di atas merupakan kegiatan promosi yang

difasilitasi dan sponsori oleh JICA bekerjasama dengan pemerintah


96

propinsi Sulawesi Selatan, kegiatan ini hanya diikuti oleh satu industri

yaitu KUB Sibali Resoe, hal ini disebabkan karena menurut tim JICA

hanya industri ini yang mengikuti saran-saran yang diberikan oleh tim

konsultan selama kegiatan konsultasi teknis hingga produk yang

dihasilkan KUB Sibali Resoe mengalami peningkatan kualitas sehingga

layak jual. Ajang promosi di atas juga dimanfaatkan oleh industri dan

tim konsultan untuk melihat perkembangan kualitas produk melalui

penilaian/feed back yang diberikan oleh konsumen selama kegiatan

promosi berlangsung. Hasil dari penilaian dan masukan konsumen

inilah yang akan dimanfaatkan oleh industri untuk meningkatkan

kualitas produk yang mereka hasilkan.

Selain promosi melalui pameran yang diikuti secara langsung oleh

industri, bantuan promosi produk juga dilakukan oleh Instansi

Pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah propinsi

melalui kegiatan-kegiatan pameran yang mereka ikuti. Biasanya ketika

instansi pemerintah ini mengikuti suatu kegiatan pameran mereka akan

membawa produk-produk dari industri pengolahan kakao untuk ikut

mereka perkenalkan kepada para pengunjung.

Jaringan pemasaran menjadi salah satu kendala yang selama ini

menjadi faktor penghambat bagi industri kecil untuk berkembang.

Upaya pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan

berbagai macam strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-

pusat informasi bisnis, asosiasi-asosiasi dagang maupun pendirian dan


97

pembentukan pusat-pusat data bisnis industri kecil. Selain jaringan

pemasaran, jaringan usaha juga menjadi salah satu kendala yang

dihadapi oleh industri kecil. Upaya pengembangan jaringan usaha ini

bisa dilakukan dengan berbagai macam pola jaringan misalnya dalam

bentuk jaringan sub kontrak maupun jaringan klaster. Pola jaringan

usaha melalui sub kontrak dapat dijadikan salah satu alternatif bagi

keberlangsungan industri kecil, meskipun pada umumnya industri kecil

tidak memiliki jaringan sub kontrak dan keterkaitan dengan industri-

industri besar sehingga eksistensinya menjadi sangat rentan.

Sedangkan pola pengembangan jaringan melalui sistem klaster

diharapkan menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam

klaster bisnis sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk

yang mempunyai keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar

global. Karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan

pengusaha kecil maka peran pemerintah sangat diperlukan untuk

melakukan hal ini.

Tabel 4.13. Permasalahan yang dihadapi industri kecil dibidang


pemasaran

No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi


1. KUB Sibali Resoe - Produk belum dikenal
masyarakat
2. KUB Madani
- Pangsa pasar terbatas di
wilayah lokal
3. Koptan Bina Harapan - Belum Beroperasi
Sumber: Data diolah, 2012
98

4. Bidang Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalan

kegiatan produksi. Pengolahan kakao dan cokelat merupakan proses

yang tidak mudah sehingga memerlukan keterampilan tersendiri yang

berbeda dari pengolahan produk-produk pangan dan holtikultura

lainnya. Karena industri ini masih relatif baru khususnya bagi industri

skala kecil sehingga tenaga-tenaga terampil dalam bidang ini juga

relatif masih sedikit.

Sebagian besar industri kecil dan menengah merupakan usaha

keluarga yang turun menurun dan tumbuh secara tradisional.

Keterbatasan sumber daya manusia baik itu dari pendidikan formal

maupun pengetahuan dan ketrampilannya sangat berpengaruh pada

kemampuan IKM untuk mengembangkan usahanya. Persoalan ini

nantinya akan berimbas pada sulitnya IKM untuk menyesuaikan

perkembangan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk yang

dihasilkan.

Keterbatasan sumber daya manusia juga merupakan salah satu

kendala serius bagi banyak industri di Indonesia, terutama dalam

aspek-aspek kewirausahaan, manajemen, teknik produksi,

pengembangan produk, kontrol mutu, organisasi bisnis, akuntasi,

teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Keterbatasan ini menghambat

usaha mikro di Indonesia untuk dapat bersaing di pasar domestik

maupun pasar internasional.


99

Masalah ini pula yang sekarang sedang dihadapi oleh seluruh

industri pengolahan kakao di Luwu Raya. Hal ini disebabkan karena

perekrutan pegawai untuk bekerja di industri belum berdasarkan latar

belakang pendidikan dan kompetensi yang dimiliki melainkan

berdasarkan kedekatan keluarga maupun kedekatan lokasi tempat

tinggal. Daftar pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat

dalam table berikut ini:

Tabel 4.14. Daftar pegawai yang bekerja pada industri pengolahan


kakao di Luwu Raya berdasarkan tingkat pendidikan

No Pendidikan KUB Sibali Resoe KUB Madani


1 SD - -
2 SLTP - 2
3 SMU 7 2
4 D3 - 1
5 S1 1 2
Sumber: KUB Sibali Resoe, KUB Madani, 2012

Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata pegawai yang berkerja

pada industri kakao di Luwu Raya memiliki pendidikan tingkat

menengah. Pegawai yang memiliki pendidikan tinggi rata-rata adalah

pimpinan dari industri tersebut. Hal inilah yang masih menjadi kendala

bagi pimpinan perusahaan dalam menjalankan usahanya.

Bagi pimpinan dan karyawan dari KUB Sibali Resoe, KUB Madani

dan Koptan Bina Harapan proses pengolahan kakao merupakan hal

yang benar-benar baru mereka ketahui, sehingga dengan adanya

bantuan peralatan pengolah kakao ini pemerintah harus aktif

membantu agar industri ini bisa berjalan. Sejak diberikannya bantuan


100

peralatan ini pemerintah daerah maupun pemerintah Propinsi telah

berupaya untuk memberikan bantuan untuk peningkatan kemampuan

dan keterampilan untuk para karyawan yang terlibat dalam industri

pengolahan kakao ini. Bantuan ini umumnya berupa pelatihan-

pelatihan maupun kunjungan/studi banding ke industri cokelat didaerah

lain.

Tabel 4.15. Daftar kegiatan dalam rangka mendukung pengembangan


industri kakao di Luwu Raya

No. Nama Kegiatan Tahun Lokasi Jumlah Pelaksana


Peserta
1 Pelatihan Manajemen Dan 2009 Makassar 20 Orang Balai Besar
Teknologi Pengolahan Industri Hasil
Diversifikasi Produk Cokelat Perkebunan
2 Pelatihan Manajemen Dan 2010 Makassar 20 Orang Balai Besar
Teknologi Pengolahan Industri Hasil
Diversifikasi Produk Cokelat Perkebunan
3 Diklat Teknologi 2011 Makassar 20 Orang Balai Besar
Pengolahan Diversifikasi Industri Hasil
Produk Cokelat Perkebunan
4 Pelatihan Teknologi 2010 Luwu Utara 27 Orang Pemprov Sul-Sel
Diversivikasi Produk Cokelat Bekerjasama
dengan JICA
5 Pelatihan Pengendalian 2010 Luwu Utara 27 Orang Pemprov Sul-Sel
Mutu Industri Pengolahan Bekerjasama
Cokelat dengan JICA
6 Studi Banding Ke Industri 2010 Jakarta, 9 Orang Pemprov Sul-Sel
Cokelat Jawa Barat Bekerjasama
dengan JICA

7 Pelatihan Pengolahan 2010 Luwu 25 Orang Dinas Perindag


Makanan Ringan Dari Propinsi Sul-Sel
Cokelat
8 Pelatihan IKM Pengolahan 2011 Luwu Utara 25 Orang Dinas Perindag
Kakao Propinsi Sul-Sel
9 Pelatihan IKM Pengolahan 2012 Luwu Timur 25 Orang Dinas Perindag
Kakao Propinsi Sul-Sel

Sumber: Dinas Perindag Kabupaten/Kota, Dinas Perindag Propinsi


dan Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar, 2012
101

Kegiatan pelatihan-pelatihan di atas umumnya diikuti oleh

karyawan dari industri kecil pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya

yaitu karyawan KUB Sibali Resoe, karyawan KUB Madani dan

karyawan Koptan Bina Harapan dan ditambah beberapa orang dari

karyawan industri kecil lain yang berhubungan dengan industri

makanan dan minuman. Rata-rata materi dari pelatihan yang dilakukan

tersebut adalah mengenai pengolahan produk-produk cokelat menjadi

produk setengah jadi maupun produk jadi dan di tambah dengan

materi tambahan mengenai manajemen pemasaran, manajemen

keamanan pangan serta mengenai pengetahuan kemasan. Sedangkan

studi banding yang dilakukan ke daerah jawa ini difasilitasi oleh JICA

bekerjasama denga Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan diikuti oleh

pimpinan dari industri pengolahan kakao yang ada di Luwu Raya

ditambah dengan perwakilan dari Kadin, Dinas Perindag Propinsi

Sulawesi Selatan serta perwakilan dari JICA. Tujuan studi banding ini

adala ke beberapa industri pengolahan cokelat yang ada di Jawa Barat

memliki tujuan untuk menambah wawasan bagi pimpinan industri serta

mempelajari teknologi pengolahan serta metode pemasaran yang

diterapkan industri-industri di jawa untuk kemudian nantinya bisa

diadopsi oleh industri-industri pengolahan kakao yang ada di Luwu

Raya.

Melihat dari beberapa pelatihan yang telah dilakukan oleh

beberapa instansi yang ada di Sulawesi Selatan tersebut terkesan


102

kegiatan tersebut kurang ada koordinasi antar instansi terkait. Hal ini

terlihat dari jenis dan waktu pelatihan yang dilakukan, dimana

pelatihan yang sama dilakukan pada tahun dan peserta yang sama

oleh instansi yang berbeda sehingga pelatihan yang dilakukan

terkesan tumpang tindih dan berulang-ulang. Hal ini tentu

menimbulkan ketidakefektifan program, untuk itu ke depan agar

masalah ini tidak berulang diperlukan koordinasi antar instansi

pembina industri dalam melakukan suatu program. Koordinasi ini

tentunya harus dimulai dari proses perencanaan perencanaan,

pelaksanaan program hingga proses evaluasinya sehingga manfaat

setiap program bisa dirasakan industri secara maksimal.

Mengingat industri ini masih sangat baru, masih diperlukan

pelatihan terutama dalam hal peningkatan keterampilan dalam hal

pengoperasian peralatan pengolahan. Hal ini masih merupakan

kendala bagi industri ini dimana tenaga kerja yang mampu

mengoperasikan peralatan secara keseluruhan masih sangat terbatas.

Meskipun banyak pelatihan yang telah diberikan namun kemampuan

para pegawai dalam mempraktekkan hasil pelatihan masih belum

maksimal. Hal ini dikemukakan oleh pimpinan KUB Madani Ir. Muh.

Sahaka pada tanggal 10 September 2012:

“Pegawai kami rata-rata hanya memiliki pendidikan menengah


sehingga keterampilan mereka masih kurang, khususnya yang
bertugas dibagian operator mesin mereka hanya lulusan SMP,
mereka harus selalu diarahkan sehingga kalau tidak ada yang
mengarahkan saya belum berani melepas mereka untuk
mengoperasikan mesin sendiri”
103

Sedangkan masalah yang dialami KUB Sibali Resoe menyangkut

sumberdaya manusia adalah masih kurangnya pegawai-pegawai yang

memiliki keterampilan khusus misalnya ahli permesinan, ahli listrik,

analis laboratorium maupun bagian pembukuan. Hal ini dikemukakan

oleh pimpinan KUB Sibali Resor H. baharuddin pada tanggal 11

September 2012:

“Karyawan masih kurang karena belum ada mekaniknya, ahli


listriknya juga belum ada sehingga saya ini merangkap sebagai
direktur,sekaligus sebagai mekanik juga. Nanti kita akan rekrut
ahli mesin, ahli listrik, ahli laboratorium dan ahli pembukuan juga.
Sekarang pembukuannya masih yang sederhana yang biasa saja
catat yang masuk dan yang keluar saja”

Kurangnya pegawai yang mampu mengoperasikan peralatan/mesin

merupakan salah satu kendala yang dihadapi industri ini. Hal ini

mengakibatkan ketergantungan terhadap pegawai tersebut menjadi

sangat tinggi dan bisa mempengaruhi proses produksi. Hal ini dapat

diatasi dengan memberikan pelatihan dan pemagangan kepada lebih

banyak pegawai yang ada diindustri ini agar lebih banyak lagi tenaga

kerja yang kapabel untuk mengoperasikan seluruh peralatan yang ada

sehingga ketergantungan kepada seorang pegawai dapat teratasi.

Selain dengan usaha pelatihan dan pemagangan, usaha lain yang

bisa dilakukan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia di

sektor industri kecil adalah dengan sistem pendampingan.

Pendampingan industri kecil ini sangat perlu dan penting dilakukan.

Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses belajar atau


104

refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan usaha kecil

dengan usaha besar. Dengan adanya pendamping ini diharapkan

proses produksi bisa berjalan lancar serta kualitas produk sesuai

dengan yang diinginkan.

Tabel 4.16. Permasalahan yang dihadapi industri kecil di bidang


sumber daya manusia (SDM)

No Nama Industri Permasalahan yang dihadapi


1. KUB Sibali Resoe - Terbatasnya pengetahuan
dan keterampilan pegawai
2. KUB Madani
- Ketergantungan yang tinggi
terhadap seorang pegawai
dalam pengoperasian mesin
3. Koptan Bina Harapan Belum Beroperasi
Sumber: Data diolah, 2012

I. Alternatif Kebijakan Pengembangan Industri Kecil Pengolahan


Kakao

Berdasarkan hasil analisis di atas maka kebijakan/program yang

dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan

industri pengolahan kakao di Luwu Raya antara lain:

1. Kebijakan Penambahan/Pengantian Peralatan/Mesin

Kebijakan ini bertujuan untuk melengkapi peralatan yang telah

ada ataupun untuk mengganti peralatan yang tidak berfungsi maupun

berfungsinya kurang maksimal. Hasil yang diharapkan dari program

ini adalah seluruh mesin dapat berfungsi dengan maksimal sehingga

proses produksi tidak mengalami hambatan serta produk-produk yang

dihasilkan dapat memenuhi standar yang telah ditentukan. Misalnya

bubuk kakao yang selama ini memiliki kandungan lemak yang masih
105

tinggi dapat berkurang sehingga memenuhi standar serta ukuran

bubuk kakao juga bisa lebih halus sehingga bisa memenuhi standar.

Instansi pemerintah yang diharapkan menjalankan program ini adalah

Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil

dan Menengah (Ditjen IKM) melalui usulan/fasilitasi dari Dinas

Perindag setempat maupun melalui Balai Besar Industri Hasil

Perkebunan.

2. Kebijakan Pendampingan Industri

Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan konsultasi maupun

bimbingan teknis mengenai proses produksi dan pengolahan kakao.

Hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah proses produksi dan

pengolahan industri dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga

produk-produk yang dihasilkan dapat memenuhi standar baik dari segi

kuantitas maupun kualitasnya. Instansi yang diharapkan menjalankan

program ini adalah para Penyuluh Perindag dari Dinas Perindustrian

dan Perdagangan, para peneliti dari Balai Besar Industri Hasil

Perkebunan maupun peneliti dari Perguruan Tinggi.

3. Kebijakan Peningkatan Kualitas SDM Industri

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan dari para pegawai maupun pelaku industri kecil lain yang

memiliki keterkaitan dengan industri kakao. Hasil yang diharapkan

dari kebijakan ini adalah selain pengetahuan dan keterampilan para

pegawai industri pengolahan kakao meningkat kegiatan ini juga


106

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan pelaku

industri lain dalam mengolah kakao sehingga industri-industri lain

yang terkait dengan produk kakao bisa tumbuh dan berkembang.

Misalnya industri kue maupun makanan tradisional skala rumah

tangga dapat membuat produk-produk baru dengan memanfaatkan

bahan hasil industri pengolahan kakao misalnya bubuk kakao maupun

pasta kakao. Instansi yang diharapkan menjalankan program ini

adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Besar Industri

Hasil Perkebunan maupun Balai Diklat Industri Makassar.

4. Kebijakan Pengembangan Diversifikasi Produk Kakao

Kebijakan ini bertujuan untuk memperoleh jenis produk baru

turunan dari olahan kakao yang berkualitas dan memenuhi standar.

Hasil yang diharapkan dari program ini adalah diperolehnya jenis

produk baru dari olahan kakao misalnya produk kakao yang

dipadukan dengan makanan tradisional sehingga produk ini bisa

langsung diterapkan untuk diproduksi oleh industri kecil, serta mampu

membuka peluang pasar baru. Instansi yang diharapkan menjalankan

program ini adalah lembaga-lembaga litbang pemerintah seperti Balai

Besar Industri Hasil Perkebunan dan Perguruan Tinggi.

5. Kebijakan Fasilitasi Pengembangan Pasar

Kebijakan ini bertujuan untuk memfasilitasi industri kecil

memperoleh peluang pasar baru. Hasil yang diharapkan dari program

ini adalah adanya pangsa pasar baru bagi industri pengolahan kakao.
107

Misalnya pemerintah memfasilitasi industri untuk bisa menjual

produknya melalui minimarket-minimarket yang saat ini banyak

berkembang di daerah ini. Instansi yang dirarapkan menjalankan

program ini adalah Dinas Perindag Daerah maupun Dinas Perindag

Propinsi Sulawesi Selatan.


108

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian sebagaimana

diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Pembinaan dan pengembangan yang sudah dilakukan pemerintah

dalam rangka pengembangan industri pengolahan kakao di Luwu

Raya antara lain: di bidang permodalan adanya bantuan peralatan,

bantuan dana untuk operasional perusahaan, bantuan gedung untuk

pabrik serta subsidi listrik. Di bidang produksi dan pengolahan bantuan

berupa konsultasi teknis untuk meningkatkan kualitas produk. Di

bidang sumber daya manusia berupa pelatihan pengolahan kakao,

pelatihan manajemen mutu serta pengetahuan tentang standardisasi

dan kunjungan/studi banding ke beberapa industri cokelat di pulau

jawa. Sedangkan di bidang pemasaran bantuan berupa fasilitasi dalam

pameran baik dalam skala lokal maupun dalam skala nasional.

2. Industri pengolahan kakao di Luwu Raya saat ini dihadapkan pada

berbagai permasalahan antara lain masalah pada proses produksi

meliputi peralatan yang belum efektif, peralatan yang belum efektif,

kualitas produk yang belum maksimal, pengetahuan dan keterampilan


109

pegawai yang masih kurang serta proses pemasaran yang belum

lancar..

3. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam

pengembangan industi pengolahan kakao di wilayah Luwu Raya

antara lain:

a. Kebijakan penambahan atau penggantian peralatan/mesin industri

b. Kebijakan pendampingan industri

c. Kebijakan peningkatan kualitas SDM industri

d. Kebinakan pengembangan diversifikasi produk

e. Kebijakan fasilitasi pengembangan pasar

B. Saran

1. Perlu adanya koordinasi antar instansi dalam melakukan kegiatan

pembinaan industri agar kegiatan tidak tumpang tindih serta perlu

adanya evaluasi kegiatan untuk mengetahui efektifitas kegiatan

tersebut.

2. Berdasarkan kondisi eksisting industri pengolahan kakao di Luwu Raya

pemerintah perlu lebih intens dalam melakukan pembinaan maupun

pendampingan.

3. Proses pelaksanaan kebijakan harus dilakukan secara komprehensip

agar hasil yang dicapai bisa maksimal


110

DAFTAR PUSTAKA

Ahyari, A. 2002, Manajemen Produksi - Perencanaan Sistem Produksi,


Edisi keempat, BPFE UGM, Yogyakarta
Arsyad, L.1999, Ekonomi Pembangunan, Edisi keempat, Bagian
Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta
Beckett, S.T, 2000, The Science of Chocolate, RSC Paterback,
Combridge et all.
Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia. 2009, Roadmap
Pengembangan Industri Kakao, Jakarta: Departemen Perindustrian
Dunn, W.N, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gama University
Press, Yogyakarta

Edi, S., Mulato, S. 2010, Teknologi Hilir Kakao Untuk Pengolahan


Makanan Cokelat, Teknologi dan Manajemen Pengolahan Aneka
Produk Cokelat, BBIHP, Makassar.

Effendi, A.H.R. 2009, Strategi Pengembangan Industri kakao Di Propinsi


Sulawesi Selatan, Tesis tidak dipublikasikan. Makassar: Program
Pascasarjana UNHAS
Goenadi, D.H, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao
di Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, Jakarta.

Griffin, Ricky W. dan Ronald J. Ebert. 2003. Bisnis Edisi Keenam. PT.
Prenhallindo, Jakarta.

Handayani, M. 2010. Analisis Prospek Dan Strategi Pengembangan


Perusahaan Cokelat (studi kasus pada KUB Sibali Resoe Luwu
Utara). Tesis tidak dipublikasikan. Makassar: Program
Pascasarjana UNHAS.

Handoko, T. H. 1999, Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi,


BPFE Yogyakarta, Yogyakarta

Kartajaya, H. 2004. Hermawan Kartajaya on Marketing. PT. Gramedia,


Jakarta.

Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid I. Benyamin Molan,


penerjemah. Jakarta: Indeks.

Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran. Edisi Keenam. Penerbit PT.


Prenhallindo. Jakarta
111

Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE Yogyakarta,


Yogyakarta.

Mathis R.L dan Jackson J.H, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Salemba Empat, Jakarta.

Minifie, B. W, 1999. Chocolate, Cocoa and Confectionary: Science and


Technology, AVI Pub, Westport Connecticut.

Mulato, S., Widiyatomo, S., Misnawi dan Sudaryanto, E., 2005.


Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Puslit Kopi dan
Kakao Indonesia, Jember

Pardede, F.R. 2000, Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil di


Indonesia, Tesis Magister Teknik dan Manajemen Industri ITB
Bandung

Peter, J. Paul dan Jerry C. Olson. 1999. Consumer Behavior: Perilaku


Konsumen dan Strategi Pemasaran. Damos Sihombing,
penerjemah. Erlangga, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan


Pengembangan Usaha Kecil. Jakarta

Rahmanu, R. 2009, Analisis Daya Saing Industri Pengolahan Dan Hasil


Olahan Kakao Indonesia, Skripsi tidak dipublikasikan. Bogor:
Departemen Ilmu Ekonomi IPB.

Ramlah, S. 2007, Studi Kelayakan Pendirian Usaha Pengolahan Kakao di


Kabupaten Luwu Utara, Tesis tidak dipublikasikan. Makassar:
Program Pascasarjana UNHAS.

Satriawan, I.K, 2007, Kajian Insentif Pengolahan Kakao Fermentasi Untuk


Petani Dan Kelompok Tani, Jurnal Agrotekno Vol. 13 No. 2: 68-71

Sjafrizal. 2009. Teknik Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan


Daerah. Baduose Media.

Sugiyono. 2010, Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung.

Swastha dan Irawan 1997. Manajemen Pemasaran Modern, Liberty,


Yogyakarta

Swastha, B. 1995. Pengantar Perusahaan Ekonomi Modern. Edisi Ketiga.


Liberty, Yogyakarta.

Tohar, M. 2000, Membuka Usaha Kecil, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


112

Tukiman, 2005, Peran Dan Kualitas Tenaga Kerja Agro Industri Dan
Dampaknya Dalam Bidang Kesehatan, e-jurnals Info Kesehatan
Masyarakat Vol. 9 No. 2, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Jakarta

Wibowo, Murdinah, dan Fawzya. 2002. Pedoman Mengelola


Perusahaan Kecil. Penebar Swadaya, Jakarta
Wiratmadja, I. 2011, Materi Diklat Sistem Industri 1: Manajemen Industri
Kecil dan Menengah, Pusdiklat Industri, Kementerian
Perindustrian, Jakarta
Yamit, Zulian. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa, Penerbit
Ekonesia, Yogyakarta.
Zurnali, C. 2004, Pengaruh Pelatihan dan Motivasi Terhadap Perilaku
Produktif Karyawan pada Divisi Long Distance PT Telkom
Indonesia, Tbk, Tesis, Program Pasca Sarjana Unpad, Bandung

Anda mungkin juga menyukai