Ternyata Berbahaya
hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/stunting-adalah-anak-pendek
Kebanyakan orangtua hanya melihat perkembangan dan pertumbuhan anaknya dari berat
badan saja. Jika berat badan cukup atau melihat pipi anaknya sudah sedikit tembam, anak
tersebut dianggap sudah sehat. Padahal, tinggi badan adalah salah satu faktor yang
menentukan apakah nutrisi anak sudah baik atau belum. Pertumbuhan tinggi badan yang
tidak normal dikenal dengan nama stunting. Lantas, apa dampak yang akan terjadi jika
pertumbuhan tinggi badan anak tidak sama dengan teman seusianya?
Pasalnya, stunting adalah kejadian yang tak bisa dikembalikan seperti semula jika sudah
terjadi. Anak masuk ke dalam kategori stunting ketika panjang atau tinggi badannya
menunjukkan angka di bawah -2 standar deviasi (SD). Penilaian status gizi yang satu ini
biasanya menggunakan grafik pertumbuhan anak (GPA) dari WHO.
Tubuh pendek pada anak yang berada di bawah standar normal, merupakan akibat dari
kondisi kurang gizi yang telah berlangsung dalam waktu lama. Hal tersebut yang kemudian
membuat pertumbuhan tinggi badan anak terhambat, sehingga mengakibatkan dirinya
tergolong stunting.
Jadi singkatnya, anak dengan tubuh pendek belum tentu serta merta mengalami stunting.
Pasalnya, stunting hanya bisa terjadi ketika kurangnya asupan nutrisi harian anak, sehingga
memengaruhi perkembangan tinggi badannya.
Hal ini disebabkan oleh asupan ibu selama hami kurang bergizi dan berkualitas, sehingga
nutrisi yang diterima janin cenderung sedikit. Akhirnya, pertumbuhan di dalam kandungan
mulai terhambat dan terus berlanjut setelah kelahiran.
Selain itu, kondisi ini juga bisa terjadi akibat kebutuhan gizi anak saat masih di bawah usia 2
tahun tidak tercukupi. Entah itu tidak diberikan ASI eksklusif, ataupun MPASI (makanan
pendamping ASI) yang diberikan kurang mengandung zat gizi yang berkualitas.
Banyak teori yang menyatakan bahwa kurangnya asupan makanan juga bisa menjadi salah
satu faktor utama penyebab stunting. Khususnya asupan makanan yang mengandung zink,
zat besi, serta protein ketika anak masih berusia balita.
Melansir dari buku Gizi Anak dan Remaja, kejadian ini umumnya sudah mulai berkembang
saat anak berusia 3 bulan. Proses perkembangan tersebut lambat laun mulai melambat
ketika anak berusia 3 tahun.
Setelah itu, grafik penilaian tinggi badan berdasarkan umur (TB/U), terus bergerak
mengikuti kurva standar tapi dengan posisi berada di bawah. Ada sedikit perbedaan kondisi
stunting yang dialami oleh kelompok usia 2-3 tahun, dan anak dengan usia lebih dari 3
tahun.
Pada anak yang berusia di bawah 2-3 tahun, rendahnya pengukuran grafik tinggi badan
menurut usia (TB/U) bisa menggambarkan proses stunting yang sedang berlangsung.
Sedangkan pada anak yang berusia lebih dari itu, kondisi tersebut menunjukkan kalau
kegagalan pertumbuhan anak memang telah terjadi (stunted).
3/10
Apa saja gejala stunting?
Gejala stunting yang paling utama adalah anak memiliki tubuh pendek di bawah rata-rata.
Tinggi atau pendeknya tubuh anak sebenarnya bisa dengan mudah Anda ketahui, jika Anda
memantau tumbuh kembang si kecil sejak ia lahir.
Beberapa gejala dan tanda lain yang terjadi kalau anak mengalami gangguan pertumbuhan:
Sementara untuk tahu apakah tinggi anak normal atau tidak, Anda harus secara rutin
memeriksakannya ke pelayanan kesehatan terdekat. Baik itu membawa si kecil ke dokter,
bidan, Posyandu, atau pun Puskesmas terdekat setiap bulan.
4/10
Sumber: Inch Calculator
Berikut berbagai risiko yang dialami oleh anak pendek atau stunting di kemudian hari.
Kesulitan belajar.
Kemampuan kognitifnya lemah.
Mudah lelah dan tak lincah dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Memiliki risiko lebih tinggi untuk terserang penyakit infeksi di kemudian hari, karena
sistem kekebalan tubuhnya yang lemah.
Memilki risiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai penyakit kronis (diabetes,
penyakit jantung, kanker, dan lain-lain) di usia dewasa.
Bahkan, ketika sudah dewasa nanti, anak dengan tubuh pendek akan memiliki tingkat
produktivitas yang rendah dan sulit bersaing di dalam dunia kerja. Bagi anak perempuan
yang mengalami stunting, berisiko untuk mengalami masalah kesehatan dan
perkembangan pada keturunannya saat sudah dewasa.
5/10
Hal tersebut biasanya terjadi pada wanita dewasa dengan tinggi badan kurang dari 145 cm
karena mengalami stunting sejak kecil. Pasalnya, ibu hamil yang bertubuh pendek di bawah
rata-rata (maternal stunting) akan mengalami perlambatan aliran darah ke janin, serta
pertumbuhan rahim dan plasenta.
Bukan tidak mungkin, kondisi tersebut akan berdampak buruk pada kondisi bayi yang
dilahirkan. Bayi yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata-rata berisiko
mengalami komplikasi medis yang serius, bahkan pertumbuhan yang terhambat.
Perkembangan saraf dan kemampuan intelektual bayi tersebut bisa terhambat, disertai
dengan tinggi badan yang rendah. Selayaknya stunting yang berlangsung sejak kecil, bayi
dengan kondisi tersebut juga akan terus mengalami hal yang sama sampai ia beranjak
dewasa.
6/10
Atau dengan kata lain, ukuran kepala bayi terlalu besar sehingga tidak sepadan dengan
ukuran panggul yang dimiliki ibu. Oleh karena proporsi ukuran yang tidak sesuai inilah, ibu
dengan tinggi badan pendek biasanya sulit untuk melakukan persalinan normal (melalui
vagina).
Sebab jika dipaksakan, kondisi tersebut justru bisa meningkatkan risiko kematian maternal
dan masalah kesehatan pada bayi. Entah itu dalam jangka pendek maupun panjang.
Rendahnya tinggi badan ibu yang telah terjadi sejak kecil juga bisa mengakibatkan hal yang
sama pada anak-anaknya kelak. Anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata-
rata berisiko mengalami underweight atau berat badan rendah, serta tinggi badan yang tidak
rendah pula.
Itulah mengapa kondisi ini dikatakan sebagai masalah gizi yang dapat berdampak hingga
anak berusia lanjut usia, apabila tidak segera ditangani.
Salah satu cara pertama yang bisa dilakukan untuk anak dengan tinggi badan di bawah
normal, yakni dengan memberikannya pola asuh yang tepat. Dalam hal ini meliputi inisiasi
menyusui dini (IMD), pemberian ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan, serta pemberian ASI
bersama dengan MP-ASI sampai anak berusia 2 tahun.
WHO dan UNICEF menganjurkan agar bayi usia 6-23 bulan untuk mendapatkan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang optimal. Ketentuan pemberian makanan tersebut sebaiknya
mengandung minimal 4 atau lebih dari 7 jenis makanan.
Kasus anak stunting memiliki jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan permasalahan gizi
lainnya, seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Pertanyaan selanjutnya adalah, bisakah
stunting pada anak dicegah sejak dini?
Jawabannya sebenarnya bisa. Stunting pada anak merupakan satu dari beberapa program
prioritas yang dicanangkan oleh pemerintah agar angka kasusnya diturunkan.
Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016. Cara mencegah stunting menurut Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, yakni:
8/10
Untuk ibu hamil dan bersalin:
Untuk balita:
Untuk remaja:
Membiasakan anak untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi
seimbang, tidak merokok, dan tidak memakai narkoba.
Mengajarkan anak mengenai kesehatan reproduksi.
Intinya, jika ingin mencegah stunting maka asupan serta status gizi seorang calon ibu harus
baik. Hal ini kemudian diiringi dengan memberikan asupan makanan yang berkualitas ketik
anak telah lahir.
9/10
Sayangnya, stunting adalah kondisi gangguan pertumbuhan yang tidak bisa dikembalikan
seperti semula. Maksudnya, ketika seorang anak sudah stunting sejak masih balita, maka
pertumbuhannya akan terus lambat hingga ia dewasa.
Saat puber, ia tidak dapat mencapai pertumbuhan maksimal akibat sudah terkena stunting
di waktu kecil. Meskipun, Anda telah memberikannya makanan yang kaya akan gizi, tapi
tetap saja pertumbuhannya tidak dapat maksimal seperti anak normal lainnya.
Namun, tetap penting bagi Anda memberikan berbagai makanan yang bergizi tinggi agar
mencegah kondisi si kecil semakin buruk dan gangguan pertumbuhan yang ia alami
semakin parah.
Oleh karena itu, sebenarnya hal ini dapat dicegah dengan cara memberikan nutrisi yang
maksimal saat awal-awal kehidupannya. Tepatnya selama 1.000 hari pertama kehidupan
anak.
Jika Anda mengetahui bahwa si kecil mengalami kondisi ini, sebaiknya segera konsultasikan
pada dokter anak Anda agar cepat teratasi.
Baca Juga:
Direview tanggal: Juni 10, 2019 | Terakhir Diedit: Juni 10, 2019
Sumber
10/10