Pemikiran Dan Referensi Hukum Indonesia
Pemikiran Dan Referensi Hukum Indonesia
A. Pengantar
The first and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to
keep the peace at all events and at any price. This is the conception of what may be called the
stage of primitive law.
Pembangunan suatu negara cakupannya sangatlah luas, dimana salah satu diantaranya
adalah pembangunan bidang ekonomi. Selayaknya bangsa-bangsa yang baru merdeka akan
melaksanakan pembangunan melalui tiga tahap, yaitu unifikasi, industrialisasi dan welfare
state (negara kesejahteraan sosial). Hukum, institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan
peranan yang sangat penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan
nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Agenda pemerintah saat ini adalah berupaya
semaksimal mungkin untuk dapat memulihkan kondisi perekonomian secara bertahap dan
berkesinambungan serta keluar dari keadaan yang sangat tidak menentu seperti saat sekarang
ini.
Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System), yaitu
suatu sistem yang melandaskan pada tatanan dogmatis yang sistemik. Pemahamannya adalah
dalam praktek pembuatan kontrak pada negara-negara yang menganut sistem Civil Law tidak
perlu menyusun kontrak secara terinci dan lengkap dikarenakan apabila terjadi berbagai
bentuk pelanggaran terhadap kontrak, maka secara otomatis akan diberlakukan ketentuan
yang berlaku dalam perundang-undangan. Berbeda dengan negara-negara yang menganut
sistem hukum Common Law. Sistem hukum Common Law atau case law beranjak dari kasus-
kasus yang terjadi dalam masyarakat dan hakim berperan penting dalam proses penciptaan
hukum. Sebagaimana ilustrasi kontrak di atas, maka pada negara-negara yang menganut
Common Law para pihak didalamnya akan membuat kontrak dimaksud secara mendetail dan
terperinci. Hal mana bila terjadi pelanggaran atas kontrak dan ternyata didalam kontrak
tersebut tidak diatur atas suatu peristiwa pelanggaran tersebut, maka salah satu pihak akan
lebih diuntungkan dari pihak lainnya.
Berkaitan dengan pemaparan di atas dalam pranata hukum nasional Indonesia dikenal
adanya istilah yurisprudensi. Di dalam sistem hukum nasional, Indonesia mengenal sumber-
sumber hukum. Secara teoretis dapat dikemukakan bahwa ‘yurisprudensi’ merupakan salah
satu sumber hukum lainnya seperti: Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Kebiasaan,
Traktat atau Perjanjian dan Doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.
Menurut Paulus Effendie Lotulung, sumber hukum, yurisprudensi mempunyai arti
dan kedudukan yang penting, karena dapat dijadikan sumber atau acuan dalam:
1. Pembentukan undang-undang;
2. Mengambil putusan terhadap masalah-masalah yang sama oleh hakim lainnya terhadap hal-
hal yang belum diatur atau belum ditemukan hukumnya;
3. Mengembangkan ilmu hukum melalui putusan-putusan peradilan.
Ditinjau dari arti kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum, maka akan terlihat betapa
besar peranan yurisprudensi dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu dalam
rangka peningkatan pembangunan hukum dan untuk menghindari terjadinya kekosongan
hukum, hakim mempunyai kewajiban untuk menciptakan yurisprudensi terhadap masalah-
masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur, tetapi
kurang jelas pengaturannya.
Selain berkedudukan sebagai sumber hukum, makadengan melihat peranan
yurisprudensi dalam dunia peradilan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa yurisprudensi pada
hakekatnya mempunyai berbagai fungsi, yaitu:
1. Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat
ditegakkan adanya standar hukum yang sama, dalam hal undang-undang tidak mengatur atau
belum mengatur pemecahan yang bersangkutan.
2. Dengan adanya standar hukum yang sama itu, maka dapat diciptakan kepastian hukum di
masyarakat.
3. Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang
sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan (predictable) dan ada
transparansi.
Sampai sekarang belum ada kesepakatan antar para sarjana atau ahli hukum mengenai
definisi yurisprudensi, sehingga belum ditemukan definisi yang baku untuk dijadikan
pegangan.
Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris yang disusun oleh
Yan Pramadya Puspa (C.V. Aneka, Semarang tahun 1977 hal 927) disebutkan bahwa
yurisprudensi ialah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonis
jenis kasus perkara berdasarkan kebijaksanaan para hakim sendiri yang kemudian dianut oleh
para Hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara yang (hampir) sama.
Selanjutnya diterangkan dalam kamus tersebut bahwa dengan adanya yurisprudensi itu para
hakim secara tidak langsung membentuk materi hukum, atau dengan perkataan lain,
yurisprudensi itu menjadi sumber hukum juga.
A. Ridwan Halim, dalam bukunya Pengantar Tata Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab,
(Ghalia Indonesia, 1985,hal32) menyebutkan bahwa yurisprudensi adalah putusan hakim atas
suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang, yang selanjutnya
menjadi pedoman bagi hakim-hakim lain yang mengadili kasus-kasus atau perkara yang
serupa.
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H., dalam pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar,
beliau berpendapat bahwa”Hukum merupakan rangkaian kaedah,peraturan-peraturan, tata
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang menentukan atau mengatur hubungan-
hubungan antara anggota masyarakat”. Beliau mengenal adanya 2 (dua) sumber hukum
sumber Hukum Tertulis yaitu undang-undang dan sebagainya dan sumber Hukum yang tidak
tertulis yaitu Hukum Adat, Hukum Kebiasaan dan Yurisprudensi. Yurisprudensi sebagai
sumber hukum tidak tertulis bahwa pembentukan dan pembaharuan hukum tidak hanya
dilakukan oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan, tetapi juga dapat dilakukan
oleh para hakim.
Prof. Mr. Subekti, yurisprudensi diartikan sebagai “putusan-putusan hakim atau pengadilan
yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap (konstant).” Ditegaskan oleh beliau, bahwa
barulah dapat dikatakan ada hukum ciptaan yurisprudensi apabila hukum atau pengadilan
dalam hal tidak terdapatnya suatu ketentuan yang dipakai atau dijadikan landasan untuk
memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.
Kamus hukum karangan Fockema Andrea disebutkan sebagai yurisprudensi, peradilan
(dalam pengertian umum, pengertian abstrak), khususnya ajaran hukum yang dibentuk dan
dipertahankan oleh peradilan (sebagai kebalikan dari ajaran hukum/doktrin dari pengarang-
pengarang terkemuka), selanjutnya pengumpulan yang sistematis dari putusan Mahkamah
Agung dan putusan-putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-hakim
dalam memberikan putusannya dalam soal serupa.
Dalam bahasa Perancis dipergunakan istilah “jurisprudence” yang diartikan sebagai “la
solution suggeree par un ensemble de decisions concordantes rendues par les jurisdictions sur
une question de droit” (lihat: Lexique de termes yuridiques, penerbit Dalloz, Paris, 1974).
Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum
yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992 telah dikumpulkan
beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:
a. Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi Poerbatjaraka dan
Soerjono Soekanto);
b. Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan
(kamus Fockema Andrea);
c. Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan
keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam
soal yang sama (Kamus Fockema Andrea);
d. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsgeleerheid rechtsspraak, rechtsopvatting gehudligde
door de (hoogste) rechtscolleges, rechtslichamen blijklende uitgenomende beslisstingen
(kamus koenen endepols);
e. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsopvatting van de rechterlijke macht, blijkende
uitgenomen beslisstingen toegepasrecht de jurisprudentie van de Hoge Raad (kamus van
Dale);
f. Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung
sendiri yang tetap (constant)(R. Soebekti).
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, ternyata bahwa belum ada kesamaan pendapat
dikalangan ahli hukum/bahasa hukum tentang pengertian (terjemahan) yurisprudensi.
Seperti sebelumnya diatur diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman antara lain
mengatakan bahwa:
a. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau tidak jelas.
b. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Jadi pengadilan selain berfungsi sebagai penegak hukum juga sebagai pembaharu hukum.
Dari kedua pasal tersebut di atas terkandung suatu konsepsi adanya kewajiban hukum bagi
hakim untuk memeriksa dan menggali perkara yang diajukan kepadanya, apabila
persoalannya belum diatur dalam hukum tertulis.
2. Pentingnya Yurisprudensi
Bagian ini seluruhnya mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, dimana penting-tidaknya yurisprudensi sebagai sumber hukum, harus
dihubungkan dengan anggapan-anggapan mengenai tugas hakim. Mengenai jawaban atas
pertanyaan apakah tugas hakim itu, terdapat macam-macam anggapan antara lain:
Menurut aliran ini, maka yurisprudensi tidak atau kurang penting, karena dianggap bahwa
semua hukum terdapat dalam undang-undang. Hakim dapat melakukan tugasnya terikat pada
undang-undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka
(wetstoepassing) dengan jalan juridische-sylogisme, yaitu suatu deduksi logis dari suatu
perumusan yang luas (preposisi mayor) kepada suatu keadaan khusus (preposisi minor),
sehingga sampai pada suatu kesimpulan (conclusion). Contohnya adalah sebagai berikut:
Menurut aliran ini, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang undang-
undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder.
Aliran ini mempunyai pendapat yang sama sekali berlawanan dengan aliran legisme, oleh
karena aliran ini beranggapan, bahwa didalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas
untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak. Hal ini disebabkan, oleh karena
pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum (rechts-schepping). Akibatnya adalah,
bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer didalam mempelajari hukum,
sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder.
c. Aliran Rechtsvinding
Aliran ini boleh dianggap sebagai aliran tengah antara aliran Legisme dan Freie
Rechtsbewegung. Menurut aliran ini, memang benar bahwa hakim terikat pada undang-
undang, akan tetapi tidaklah seketat sebagaimana dimaksudkan oleh aliran Legisme, oleh
karena hakim juga mempunyai kebebasan. Akan tetapi kebebasan hakim bukanlah seperti
aliran Freie Rechtsbewegung, sehingga didalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa
yang disebut sebagai kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) atau keterikatan yang bebas
(vrije-gebondenheid). Oleh karena sebab itu, maka tugas hakim disebutkan melakukan
rechtsvinding yang artinya menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman (aanpassen
van de wet de eisen van de tijd). Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas tersebut
terbukti dari adanya beberapa wewenang hakim, seperti:
a) Analogi (abstraksi), yaitu mempergunakan Undang-undang untuk suatu peristiwa yang tidak
disebutkan dalam undang-undang tersebut, dengan jalan mengabstraksikan (memperluas) isi
atau makna undang-undang yang merumuskan suatu peristiwa khusus tertentu menjadi suatu
perumusan yang bersifat luas, supaya dapat dipergunakan untuk mencakup peristiwa-
peristiwa lainnya (dari khusus ke hal yang lebih luas). Contohnya adalah Arrest Hoge Raad
tertanggal 9 November 1906 mengenai Pasal 1612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda (N.B..W.: pasal 1576 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia), yang
berkisar pada pengabstraksian ketentuan khusus. Perumusan asas koop breekt geen huur (jual
beli tidak menghapuskan sewa menyewa) diperluas menjadi vervreemding (pemindahan hak)
breekt geen huur untuk memungkinkan mencakup peristiwa-peristiwa khusus lainnya, seperti
misalnya schenking (hibah) breekt geen huur. Arrest ini dimuat dalam W.8453 dan dalam
buku Arresten over Burgerlijk Rechts No.136 oleh H.R. Hoetink.
b) Rechtsvervijning (Deteminatie), yaitu membuat penghususan dari suatu azas dalam undang-
undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah Arrest H.R.
tertanggal 4 Februari 1916 mengenai pasal 1401 N.B.W. (sama dengan Pasal 1356 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut Hoge Raad memuat
penghususan dari azas “siapa bersalah (penuh) wajib untuk mengganti kerugian (penuh)”,
menjadi “siapa bersalah sebahagian wajib mengganti kerugian sebahagian”. Keputusan
perkara ini antara lain dimuat dalam W.9949 dan N.J. 1916-450.
Dari anggapan aliran Rechtsvinding tersebut di atas dapatlah diketahui betapa pentingnya
yurisprudensi untuk dipelajari dan disusun sedemikian rupa disamping perundang-undangan,
oleh karena didalam yurisprudensi terdapat banyak garis-garis hukum yang berlaku dalam
masyarakat, akan tetapi tidak dapat terbaca dalam undang-undang. Jadi, memahami hukum
dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap.
Aspek penting lain yang juga harus diperhatikan adalah terdapat tabir tipis antara
yurisprudensi dengan keputusan-keputusan penting (Landmark Decision). Yurisprudensi
Indonesia yang selama ini dihimpun bukan hanya dari Mahkamah Agung, tetapi juga dari
pengadilan rendahan. Kriteria yang dipakai adalah, bahwa putusan-putusan ini penting untuk
praktek hukum dan merupakan “tonggak-tonggak” dalam perjalanan dan pertumbuhan
praktek hukum sehari-hari. Putusan-putusan ini merupakan apa yang dinamakan Landmark
Decision. Adakalanya dalam memilih apa yang merupakan putusan-putusan penting ini,
biasanya siapapun akan terpengaruh oleh pandangan subjektifnya.
Secara umum berdasarkan hasil riset Aria Suyudi, dalam praktek mengenal dua jenis putusan
yang dianggap penting bagi proses pembentukan hukum, yaitu :
Tidak semua putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) memiliki nilai
yurisprudensi. Hanya putusan yang telah melalui mekanisme alamiah memperoleh pengakuan
dan persetujuan oleh hakim-hakim lain dalam bentuk diadopsinya pendapat hakim yang
pertama tersebut oleh para hakim lainnya, baru memberikan status suatu putusan sebagai
yurisprudensi.
Pembentukan hukum melalui yurisprudensi tetap juga merupakan proses yang rigid, hakim-
hakim yang pernah ditemui dan membicarakan Yurisprudensi Tetap menyatakan bahwa tidak
ada standar yang jelas tentang berapa kali suatu putusan harus diikuti oleh hakim lain untuk
dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tetap, namun satu hal yang pasti, diadopsi nya
pendapat seorang hakim oleh hakim lain belumlah cukup untuk dianggap sebagai suatu
Yurisprudensi Tetap.
Masalahnya Yurisprudensi Tetap memerlukan infrastruktur yang kuat untuk dapat beroperasi
secara baik. Akses terhadap putusan yang telah diputus secara sistematis dan terstruktur harus
sangatlah baik, lalu budaya diskursus ilmiah juga haruslah mampu mendukung
pengembangan sistem tersebut. Sehingga tidaklah mengherankan, apabila fokus proyek
Bantuan Teknis IGGI pada awal 1990 an menitikberatkan kepada pembentukan Klasifikasi
Putusan, sebagai gerbang masuk ke dalam pembentukan infrastruktur Yurisprudensi Tetap.
Tidak melulu hukum terbentuk melalui Yurisprudensi Tetap. Adakalanya, beberapa putusan
penting atas masalah-masalah baru yang belum pernah diputus sebelumnya, dianggap
sedemikian penting, sehingga meletakkan pondasi bagi penanganan masalah tersebut di masa
yang akan datang, dan dengan sendirinya dianggap juga memberikan kontribusi bagi
pembentukan hukum tanpa melalui proses Yurisprudensi Tetap.
Hal ini tidak kalah pentingnya, karena pembentukan hukum bisa dilakukan dengan cepat, dan
instant, sehingga memang fungsi penerbitan Putusan Penting ini terpisah dari pembentukan
Yurisprudensi Tetap.
Dalam praktek masih pula dibedakan antara yurisprudensi itu merupakan yurisprudensi tetap
ataukah tidak tetap atau antara standaard arresten dan yang bukan (di Nederland), seperti
halnya di Perancis disebut sebagai Arret de Principe. Ukuran yang dipakai untuk menentukan
apakah yurisprudensi tetap ataukah tidak tetap, tidaklah didasarkan pada hitungan matematis,
yaitu berapa kali sudah diputuskan yang sama mengenai kasus yang sama, tetapi ukurannya
secara prinsipiil berbeda dengan pandangan sebelumnya, sehingga dapat diterima sebagai
standar.
Bahkan upaya untuk mempercepat, memperluas dan memperkuat yurisprudensi tetap oleh
Prof. Dr. Sunaryati Hartono, S.H., dikemukakan dalam Seminar Hukum Nasional VI tahun
1994 di Jakarta, bahwa perlu diakuinya asas bahwa hakim yang lebih rendah wajib mengikuti
hakim putusan hakim yang lebih tinggi dalam perkara yang fakta maupun materinya kurang
lebih sama. Sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi:
Dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi ini, perlu senantiasa diingat akan 3 (tiga)
nilai dasar yang penting, yaitu:
1. Nilai filosofis, yang berarti bahwa putusan hakim harus mencerminkan dan berintikan rasa
keadilan dan kebenaran.
2. Nilai sosiologis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dengan tata nilai budaya
maupun nilai hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
3. Nilai yuridis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dan mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ini seluruhnya mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, dimana pembentukan Hukum melalui Yurisprudensi di Mahkamah
Agung telah menjadi titik berat perhatian para hakim senior sejak lama, antara lain sebagai
warisan dari tradisi pembentukan hukum yang terjadi di negara Belanda. Tidaklah asing pada
putusan tahun 1960-70 an mengutip berbagai Arrest Hoge Raad sebagai bentuk adanya
kontribusi putusan pengadilan terhadap pembentukan hukum.
Suatu putusan hakim dapat disebut yurisprudensi apabila putusan tersebut mempunyai syarat
sebagai berikut:
1. Keputusan atas sesuatu peristiwa apa hukumnya apabila belum jelas pengaturan perundang-
undangannya.
2. Keputusan tersebut harus sudah merupakan keputusan tetap.
3. Telah berulang kali putus dengan keputusan dalam kasus yang sama.
4. Memenuhi rasa keadilan.
5. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Jika definisi-definisi tersebut diperhatikan secara seksama didalamnya ada unsur-unsur yang
sama yang merupakan inti dari yurisprudensi, yaitu: (1) keputusan hakim, dan (2) menjadi
pedoman hakim lain.
Kedua hal inilah yang menjadi sari utama yurisprudensi. Dan dari kedua hal tersebut timbul
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan yurisprudensi.
Dari inti kedua,pernyataan yang dapat dikemukakan adalah faktor apa yang menyebabkan
putusan seorang hakim dapat menjadi pedoman bagi hakim yang lain? Jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah:
a. Yang dimaksud dengan putusan hakim disini adalah putusan semua hakim,tidak terbatas
pada putusan semua hakim, tidak terbatas pada putusan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung saja. Semua putusan hakim dapat dikatakan yurisprudensi. Keputusan hakim tingkat
pertamapun, disusul dengan putusan lain yang berbeda dalam masalah yang sama.
b. Demikian juga halnya dalam masalah jumlah putusan.
Putusan hakim yang dilakukan sekali saja dapat dianggap sebagai yurisprudensi. Bobot suatu
yurisprudensi tidaklah ditentukan oleh frekuensinya, tetapi ditentukan oleh isi
pertimbangannya.
Suatu putusan hakim, baik ditingkat pertama,ditingkat banding maupun ditingkat kasasi dapat
dinamakan yurisprudensi, kalau kemudian ternyata bahwa kaedah hukum yang terdapat di
dalam putusan itu diikuti oleh putusan-putusan lain atau putusan berikutnya atau apabila
ternyata kemudian, tidak ada putusan lain yang bertentangan dengan putusan tersebut.
Kalau kalimat tersebut diatas dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Agung, maka dapat
dikatakan bahwa tidak semua keputusan Mahkamah Agung merupakan yurisprudensi.
Namun,oleh karena dalam putusan Mahkamah Agung dimungkinkan juga adanya kaedah
hukum sendiri, maka putusan Mahkamah Agung dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi
sepanjang tidak ada putusan lain itu dimungkinkan kalau putusan Mahkamah Agung itu
belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena ada upaya peninjauan kembali.
Dengan adanya yurisprudensi tersebut, para hakim secara tidak langsung membentuk materi
hukum yang dapat dijadikan sumber hukum,yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh
hakim-hakim lain yang mengadili kasus-kasus atau perkara-perkara yang (hampir) sama.
Dengan adanya yurisprudensi tersebut, para hakim secara tidak langsung membentuk materi
hukum yang dapat dijadikan sumber hukum, yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh
hakim-hakim lain yang mengadili kasus-kasus atau perkara-perkara yang (hampir) sama.
Pada umumnya nara sumber internal Mahkamah Agung yang pernah ditemui mengakui
bahwa proses penerbitan yurisprudensi di Mahkamah Agung perlu diperbaiki, karena sistem
yang ada saat ini dirasakan terlalu sederhana dan kurang mampu mencerminkan dinamika
hukum secara optimal.
Dari sini dapat dilihat bahwa infrastruktur yang saat ini berjalan, belumlah mendukung
pembentukan hukum melalui yurisprudensi tetap. Praktek sebagaimana disinggung di atas
mungkin hanya mampu mendukung infratruktur pembentukan hukum melalui Putusan
Penting (Landmark Decision), khususnya karena absennya infratruktur yang membantu
analisis secara makro antar putusan yang berbeda-beda.
D. Azas-Azas Yurisprudensi
Bagian ini seluruhnya juga mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, dimana dalam praktek-praktek kenegaraan, maka soal peradilan
dilaksanakan berdasarkan azas-azas tertentu. Adapun azas-azas pokok yang dapat dianut oleh
suatu Negara mengenai peradilan tersebut, adalah mungkin azas precedent (di Indonesia
menjadi Preseden) dan azas bebas. Penjelasan singkat mengenai kedua azas tersebut, adalah
sebagai berikut:
1. Azas preseden sebagaimana dianut Negara-negara Anglo Saxon (seperti kerajaan Inggris,
Amerika Serikat), berarti bahwa petugas peradilan (hakim) terikat atau tidak boleh
menyimpang dari keputusan-keputusan yang terlebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi
(stare decisis) yang berlaku di Negara-negara Anglo Saxon didasarkan pada 4 faktor, yakni:
a. “…that the application of the same rule to successive similar case results in equality of
treatment for all who came before the court.”
b. “…that consistent following of precedents contributes predictability of future disputes.”
c. “…that the use of established criteria to settle new cases saves time and energy.”
d. “…that adherence to earlier decisions shows due respect to the wisdom and experience of
prior generations of judges.”
a. Apabila keputusan terdahulu diterapkan pada peristiwa yang sedang dipandang plainly
unreasonable and inconvenient.
b. Sepanjang mengenai dictum (yaitu whathever else the judge said that was not necessary to
their decision…) dengan penjelasan sebagai berikut “dictum is never the less, authority
worthy of respect and it would be wrong to assume that it can be disregarded. It may well be
followed by the court in later cases; it is often sufficient to persuade a lower court, and it may
be regarded by lawyers as a reliable basis for counseling. But it is only persuasive
authority…”
2. Azas bebas yang inti maksudnya tidak lain adalah, sebagai kebalikan dari azas precedent.
Berdasarkan azas bebas, maka petugas peradilan tidak terikat pada keputusan-keputusan
hakim yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatnya. Azas ini antara lain dianut di
negeri Belanda dan Perancis.
Di negeri Belanda, misalnya, walaupun dianut azas bebas, akan tetapi sedikit hakim rendahan
sedikit banyaknya mengikatkan diri pada keputusan-keputusan yang terdahulu maupun
kepada keputusan-keputusan hakim atasan. Hal sedemikian ada baiknya, oleh karena:
a. Mencegah terjadinya kesimpangsiuran keputusan hakim, hal mana tidak serasi dengan
kebutuhan akan kepastian hukum.
b. Mencegah terjadinya pengeluaran biaya dan kurang perlu, karena pihak yang tidak puas
dengan keputusan yang bersangkutan sudah pasti akan naik banding sampai kasasi, sehingga
dia mendapatkan kepuasan yang diketahuinya akan diberikan oleh hakim atasan.
c. Mencegah timbulnya pandangan yang kurang baik pada pihak atasan.
Di Indonesia kedua azas ini sesungguhnya dikenal dan berlaku. Azas bebas dalam suasana
peradilan barat, sedangkan azas precedent dapat dijumpai dalam suasana peradilan hukum
adat.
Ter Haar Bzn didalam bukunya berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht bab XIV
menyatakan antara lain, bahwa keputusan dari Penguasa, kepala adat dan hakim yang harus
dipahami tidak hanya sebagai penentu konkrit, akan tetapi juga sebagai patokan untuk
peristiwa-peristiwa yang sama, menunjukkan pada kaedah hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu siapa saja yang bertugas untuk mengadakan penentuan, harus
sadar akan tanggung jawab sebagai unsur pembentuk hukum.
Hal ini dikaitkan dengan ajaran tentang keputusan (beslissingenleer) yang dinyatakan oleh
Ter Haar Bzn adalah:
Onstaat en onderouden wordt door beslissingen der rechtsgenoten, vooral met gezag beklede
beslissingen van bij rechtshandelingen medewerkende volshoofden, of, bij botzende belangen,
beslissingen van de van het geschil geaisesseerde rechters, voorzovere tenminste die
beslissingen niet – als gevolg van willekeur of onkunde – met de rechts-overtruiging der
bevolking strijden doch voorzover zij bij het rechtsbewust zijn aansluiten, daarvoor worden
aanvaard, althans verdragen.
Dalam hasil karya ilmiah lainnya Ter Haar Bzn pernah menyatakan sebagai berikut:
Wanner de rechtsgenoten zelf zij zodanig gedragen, dat hun gedragingen blijken te berusten
op de overtruiging, dat de gemeenschap die gerdragingen van hen verlangt en, lieten zij ze
na, hen daartoe zou dwingen, dan zijn zulke gedragingen ook beslisingen van rechtsgenoten
te noemen.
(Terjemahan bebasnya:… apabila para warga masyarakat berperilaku atau bersikap tindak
yang ternyata didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat menghendakinya dan dapat
memaksakan hal itu apabila dilalaikan, maka hal itu dapat dinamakan pernyataan atau
keputusan hukum dari warga-warga masyarakat.)
Selanjutnya dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, ter Haar
Bzn menyatakan:
Er is geen enkele redden iets anders recht te noemen dan datgene, wat door de
gemeenschaps-functionarissen, die aangewezen zijn in hun kesli singen te zeggen wat recht
is…
(Terjemahan bebasnya: Tidak ada suatu alasan untuk menyebut hal lain sebagai hukum,
kecuali pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang mengandung hukum, dari
pejabat-pejabat hukum yang telah diangkat).
Bagian ini seluruhnya mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Paulus Effendie
Lotulung, dimana pada dasarnya dalam sistem hukum Common Law, diterapkanlah doktrin
judicial precedent sebagaimana tersirat dalam adagium hukum stare decisis et non quieta
movere (to adhere to precedents, and not to unsettle things which are established). Hal ini
berarti bahwa para hakim terikat pada putusan-putusan hakim yang terdahulu, baik yang
sederajat tingkatnya ataupun yang hierarkhis lebih tinggi, dalam kasus yang sama atau
serupa. Oleh karena putusan-putusan tersebut mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa
dan mengikat terhadap putusan-putusan yang kemudian atau disebut sebagai coercive force of
binding precedent. Namun doktrin judicial precedents dan stare decisis ini juga tidak sangat
mutlak sifatnya, sebab dalam praktek peradilan di negara-negara Common Law masih dibuka
kemungkinan untuk menyimpanginya, yaitu manakala hakim berpendapat bahwa kasus yang
dihadapinya mengandung adanya beberapa perbedaan pokok dengan kasus sebelumnya
(disebut sebagai suatu hal yang distinguishing), sehingga kalau diputuskan secara sama, hal
itu justru akan menimbulkan ketidakadilan dan kekerasan sebelumnya tidak terpikirkan
dalam menjatuhkan putusan-putusan yang terdahulu. Sehingga dalam keadaan yang
demikian, maka ada alasan atau argumentasi yuridis bagi hakim yang bersangkutan untuk
tidak menerapkan doktrin precedent tersebut secara kaku, tetapi fleksibilitas yang sesuai
kasus demi kasus.
Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber
hukum, baik dalam sistem hukum Civil Law maupun Common Law, kecuali beberapa penulis
yang tidak menganggapnya sebagai sumber hukum, yaitu misalnya van Appledorn, Hymans
dan lain-lain. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para hakim dalam sistem
hukum Civil Law, memang berbeda dengan sistem hukum Common Law. Walaupun harus
diakui bahwa dalam kenyataan dan perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut tidak
lagi terlalu mutlak untuk secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan sudah
saling memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis.
Menurut Paulus Effendie Lotulung, dari kedua kenyataan praktek tersebut di atas,
dapat dilihat walau bagaimanapun uga, kedua sistem hukum (Common Law dan Civil Law)
tersebut dalam hubungannya dengan yurisprudensi tidak perlu dipertentangkan secara mutlak
dan diametral, sebab kedua sistem tersebut saling mendekati dan saling memasuki, sehingga
batasan antara keduanya itu lebih bersifat doktrinair dalam dunia teori saja. Bahkan menurut
Paton, dikotomi antara sistem Common Law dan Civil Law secara murni sudah tidak dapat
dipertahankan lagi pada zaman modern sekarang. Kedua sistem tersebut harus saling mengisi
dan tidak satupun negara yang secara ketat salah satu sistem ini (Paton, 1951: 182-198).
Perbedaan tersebut harus dapat dipahami apabila diingat bahwa secara teoritis memang dalam
sistem hukum Common Law yang prinsipnya tidak mengenal kodifikasi itu, tentu berpaling
pada hukum yang diciptakan melalui putusan-putusan hakim (judge made law) sebagai
sumber pembentukan hukum, sehingga dengan demikian, berlakunya doktrin binding
precedent dengan azas stare decisis tersebut memang merupakan kebutuhan. Sebaliknya
dalam sistem hukum Civil Law yang memang mengagungkan kodifikasi (statutory law) dan
memberikan tempat utama pada hukum tertulis, maka peranan putusan hakim (yurisprudensi)
lebih dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri, sebab undang-undang (hukum
tertulis) tidak selalu lengkap dan tuntas mengatur segalanya dan karenanya selalu tertinggal
dibelakang perkembangan masyarakat, sehingga perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap
aktual dan sesuai dengan perkembangan zaman (up to date).
Apabila dibandingkan dengan sistem hukum Civil Law (dimana secara historis
Indonesia juga sangat dipengaruhinya melalui jaman penjajahan Belanda), maka asas yang
berlaku adalah justru kebalikan dari doktrin precedent tersebut di atas, sebab pada dasarnya
ada kebebasan bagi hakim untuk tidak merasa terikat pada putusan-putusan yang terlebih
dahulu dalam kasus yang serupa. Tetapi kenyataannya dalam praktek peradilan, asas
kebebasan hakim tersebut juga tidak berlaku mutlak sama sekali, sebab banyak hakim
rendahan yang sering juga mengikuti putusan-putusan hakim sebelumnya yang secara
hierarkis lebih tinggi kedudukannya, dalam kasus-kasus yang sama. Hal ini pada umumnya
mereka lakukan, berdasarkan pada pemikiran bahwa:
Dengan demikian, dalam sistem hukum Civil Law ini rasa keterikatan putusan-
putusan yang lebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi dalam kasus yang sama, lebih bersifat
persuasive force binding precedent, dan bukannya didasarkan pada sifatnya coercive force of
binding precedent seperti yang menjadi azas dalam doktrin stare decisis di negara-negara
bersistem hukum Common Law.
Dalam sistem hukum Civil Law ini, sering dipertanyakan “bagaimana mungkin
bahwa suatu putusan hakim yang dimaksudkan sebagai peraturan yang mengikat bagi suatu
sengketa konkrit dan berlaku bagi para pihaknya saja, lalu dianggap dan diterima sebagai
aturan yang bersifat umum dalam kasus-kasus serupa?”
Bukankah suatu undang-undang atau peraturan-peraturan dibawahnya memang
ditujukan sebagai aturan yang berlaku dan mengikat umum, sebab memang dimaksudkan
sebagai pegangan tingkah laku bagi masyarakat dengan tujuan mencegah timbulnya konflik
atau sengketa (dan karenanya sifatnya preventif). Tapi sebaliknya, suatu putusan hakim justru
ditujukan hanya untuk menyelesaikan konflik yang sudah terjadi dan memberikan putusannya
(represif) sehingga karenanya hanya berlaku dan diterapkan bagai para pihak yang
berperkara.
Secara teoretis, suatu putusan hakim pada hakekatnya merupakan hasil karya dari
proses pemilikan dan penilaian terhadap fakta-fakta yang kemudian penerapan norma-norma
hukumnya terhadap fakta-fakta yang bersangkutan. Ini dilakukannya tidak semata-mata
mendasarkan pada analisis pemikiran terhadap bagaimana sistem hukumnya saja (systeem
denken), ataupun hanya semata-mata pada pemikiran tentang bagaimana pemecahan
problemnya saja (probleem denken), tetapi pada kedua-duanya.
Pada dasarnya penyusunan suatu putusan hakim senantiasa memenuhi adanya dua
unsur atau sifat, yaitu segi legalitas dan segi rasionalitasnya dari putusan tersebut, yang
menjadi legal reasoning. Suatu putusan bersifat legal apabila dijatuhkan oleh pejabat yang
berwenang dan didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku, sedangkan sifat
rasionalitasnya terletak pada pada penalaran hukum yang menjadi motif sebenarnya dari
hakim dalam menjatuhkan putusan (motivering).
Disinilah akan tampak apa yang menjadi ratio decidendi dari putusan hakim tersebut,
sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai formula yang mengatur bagi putusan itu dalam
kasus/perkara konkrit yang dihadapinya. Putusan hakim tidak saja harus memuat norma-
norma hukum sebagai landasannya (asas legalitas), tetapi juga harus bisa menjadi aturan juga
bagi penyelesaian konflik dalam perkara/kasus yang dihadapinya. Oleh karena norma hukum
tertulis (undang-undang misalnya) tidak selalu lengkap, sebab sekali ia diberi bentuk tertulis
maka ia akan ketinggalan dengan perkembangan masyarakat yang selalu lebih cepat dan yang
selalu memerlukan pemecahan hukum yang selalu up to date.
Bagian ini seluruhnya mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Paulus Effendie
Lotulung, dimana tidak setiap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap harus
dipublikasikan, melainkan hanyalah putusan-putusan yang mempunyai dampak penting
ditinjau dari segi hukum dan perkembangannya, satu dan lain hal adalah bertujuan demi
tercapainya kepastian hukum, kesamaan hukum dan prediktabilitas. Oleh karena itu
diperlukan kriteria untuk melakukan seleksi putusan-putusan sebagai pedoman dalam
memilih mana yang akan dipublikasikan.
Berikut adalah gambaran singkat dalam perbandingan antara beberapa negara, baik
yang bersistem Civil Law maupun Common Law, mengenai kriterium yang dipergunakan. Di
beberapa negara Civil Law, dimana tidak berlaku sistem precedent:
1. Jerman
Namun secara umum dapat dikemukakan adanya beberapa kriteria yang selalu dipakai, yaitu:
2. Perancis
Sekalipun tidak semua putusan hakim harus dipublikasikan namun ada ketentuan undang-
undang yang mewajibkan publikasi apabila memenuhi syarat kriteria tertentu, terutama
menyangkut putusan-putusan Mahkamah Agung (Cour de Cassation) yang dipublikasikan
oleh Mahkamah Agung sendiri. Satu-satunya kriteria untuk seleksi adalah kepentingan dari
segi perkembangan hukum, hal ini ditentukan oleh masing-masing Ketua Kamar (President
de Chambre) di Mahkamah Agung. Tetapi disamping itu ada juga beberapa putusan yang
dipublikasikan oleh berbagai majalah hukum dan buku himpunan yurisprudensi yang
diseleksi lebih dahulu oleh ketua kamar masing-masing yang bersangkutan dan kemudian
oleh redaksi majalah hukum itu.
3. Italia
Di negara ini tidak terdapat ketentuan undang-undang yang mewajibkan adanya publikasi
terhadap putusan-putusan Mahkamah Agung (Corte Suprema di Cassazione).
Publikasi kebanyakan dilakukan oleh badan-badan penerbitan swasta dan kriteria untuk
mempublikasikan tersebut juga ditentukan secara independen oleh redaksi yang
bersangkutan. Sebagai kriteria yang penting antara lain:
4. Spanyol
5. Nederland
Di negara ini terdapat banyak sekali badan-badan yang melaksanakan publikasi putusan-
putusan pengadilan, dan kebanyakan merupakan badan-badan swasta yang bersifat komersial
dan independen. Sedemikian banyaknya redaksi majalah-majalah hukum, sehingga setiap
dewan redaksi mempunyai ukuran/kriteria sendiri-sendiri untuk melakukan seleksi, misalnya:
N.J. (Nederlandse Jurisprudentie), majalah ARS Aequi, penerbit Kluwer dan lain-lain.
Ada banyak sumber publikasi, dimana masing-masing badan penerbit tersebut mempunyai
kriteria seleksi sendiri-sendiri, ternyata dapat menimbulkan hal-hal antara lain sebagai
berikut:
Oleh karenanya sejak tahun 1962 telah dibentuk komisi kerja mengenai publikasi
yurisprudensi, yang anggotanya terdiri dri berbagai organisasi dan perkumpulan-
perkumpulan yang bergerak dalam bidang penerbitan masalah hukum.
Setelah melalui perkembangan studi dan berbagai penelitian beberapa puluh tahun, dengan
tujuan untuk perbaikan dalam sistem akses terhadap putusan-putusan peradilan di Nederland,
maka dalam laporan akhir tahun 1981 diberikan beberapa usulan antara lain tentang perlunya
dibentuk suatu Pusat Dokumentasi Peradilan yang bersifat nasional (landelijk) Documentatie
Centrum voor Rechtspraak) yang akan memformulasikan kriteria-kriteria untuk melakukan
seleksi terhadap putusan-putusan badan peradilan.
Sebagai usulan kriteria untuk seleksi diajukan beberapa hal sebagai berikut, dimana suatu
putusan hakim harus dipublikasikan dalam hal:
a. Adanya kaidah hukum baru yang di formulasi, atau kaidah hukum yang ada kemudian
dimodifikasi, atau perhatian ditujukan terhadap kaidah hukum yang sudah ada, tetapi sampai
sekarang belum pernah diterapkan.
b. Adanya kaidah hukum yang telah ada dan diterapkan pada konstruksi fakta-fakta yang
berbeda atau menyimpang dari penerapan-penerapan sebelumnya.
c. Adanya kritik-kritik terhadap penerapan peraturan-peraturan hukum atau yurisprudensi.
d. Bilamana diciptakan adanya aturan-aturan hukum yang saling bertentangan dan yang
kemudian memberikan pemecahan hukum.
e. Adanya ketentuan hukum dengan konstruksi fakta-fakta yang menyangkut kepentingan
hukum.
f. Adanya putusan yang dibatalkan dalam tingkat banding atau kasasi, kecuali bilamana
pembatalan ini adalah akibat adanya perubahan undang-undang atau perubahan yurisprudensi
yang terjadi sementara dalam pemeriksaan, maupun juga dalam hal tidak terpenuhinya
kriteria yang telah ditentukan.
g. Bilamana dalam putusan hakim yang bersangkutan telah ditentukan secara tegas, bahwa
harus dipublikasikan atas perintah hakim sebagai penghukuman.
h. Bilamana publikasi putusan hakim tersebut memang didasarkan pada bunyi ketentuan
undang-undang.
i. Bilamana putusan hakim itu dijatuhkan setelah melalui perbedaan pendapat antara hakim-
hakim pemutus (dissenting opinion).
6. Inggris
Sebagai suatu sistem hukum yang mendasarkan pada pokoknya pada judge made law, maka
penerbitan dan penyebarluasan putusan-putusan hakim (dalam law reports atau weekly law
reports), yang mempunyai arti penting dan essensiil dalam hukum di Inggris.
Dapat dikatakan bahwa hukum dapat diketahui dan dilihat pada putusan-putusan hakim.
Sejarah law reporting Inggris sudah berawal mula sejak berabad-abad yang lalu, yaitu
penerbitan year book sejak tahun 1272 dan kemudian setelah melalui beberapa periode, maka
sejak tahun 1865 hingga sekarang dilakukanlah secara tertib penerbitan law reports, yang
menjadi pegangan bagi para hakim di dalam memutus perkara.
Putusan-putusan hakim diseleksi oleh kurang lebih dua puluh lima reporter yang bekerja
penuh (full timer), dan melakukan seleksi terhadap putusan-putusan Royal Courts of Justice
dan Judicial Committees of House of Lords, dan juga Privy Council. Disamping itu adanya
Law Reports itu, juga ada penerbitan All England Law Reports (terutama dalam bidang
hukum perdata) yang diterbitkan oleh Butterworth.
Mengenai kriteria seleksi dipergunakan ukuran kriteria sebagai berikut, untuk menentukan
apakah suatu putusan hakim harus dimuat dalam Law Report, yaitu:
a. Bilamana kasus yang bersangkutan memuat suatu prinsip baru atau penentuan hukum yang
baru.
b. Bilamana secara materiil telah mengubah suatu prinsip hukum yang ada, atau menimbulkan
pemecahan masalah huum yang penuh keraguan.
c. Bilamana menimbulkan permasalahan-permasalahan penafsiran peraturan.
d. Bilamana ada kasus-kasus penting yang menerapkan prinsip-prinsip hukum yang dapat
diterima.
7. Indonesia
Dalam penyusunan yurisprudensi Indonesia telah ditetapkan kriteria seleksi dalam memilih
putusan-putusan hakim yang dapat dipublikasikan, yaitu:
Kinerja tersebut disusun pada waktu itu dalam rangka program acces to law berupa
penyusunan yurisprudensi Indonesia, dengan peranan aktif dari Prof .Zainal Asikin Kusumah
Atmadja, S.H., yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Hukum Perdata tertulis.
Bagian ini seluruhnya juga mengutip apa-apa yang di sampaikan oleh Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, dimana yurisprudensi Indonesia yang penting-penting, biasanya
dimuat didalam majalah-majalah, agar mudah mendapatkannya dan untuk
mempelajarinya.Majalah-majalah tersebut biasanya juga memuat tulisan para sarjana yang
terkemuka; contoh dari majalah-majalah tersebut adalah:
Buku-buku untuk memudahkan megetahui dan mencari apa-apa yang dimuat dalam majalah-
majalah seperti tercantum dalam Sub 1 sampai dengan 3 diatas, sangat penting artinya
sebagai katalogus, seperti misalnya:
Juga kaartsysteem yang merupakan kumpulan kartu yang masing-masing memuat nomor
pasal dari suatu Kitab Undang-Undang serta menunjukkan terdapatnya dimana, karangan
atau yurisprudensi mengenai pasal tersebut, dapat memudahkan mencari yurisprudensi.
Indisch Weekblad van het Recht (yang disingkat W dalam buku Abendanon) dan Het Recht
van Nederlands-Indie pada tahun 1915 disatukan dan diberi nama Indisch Tijdscrift van het
Recht, yang kemudian pada tahun 1947 diganti namanya menjadi Tijdschrift van het Recht.
Didalam karangan-karangan atau tulisan-tulisan, apabila ada pengutipan dari majalah Het
Recht van Nederlandsch-Indie, Indische Tijdschrif van Het Recht atau Tijdschrift van het
Recht, maka dicatat dengan singkatan T.
Adapun daftar (register pada majalah-majalah yang memuat yurisprudensi adalah, antara lain:
1. Het Recht in Nederlands-Indie/Indisch Tijdschrift van Het Recht/Tijdschrift van het Recht
(T).
-dst : a. Verhandelingen.
b. Peradilan
c. Daftar abjad (klapper).
d. Wetten en Verordeningen.
---- Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia – Disusun
oleh Tim Kerja dibawah Pimpinan Dr. H. Ichtijanto, S.A., S..H., Analisis dan Evaluasi
Hukum tentang Yurisprudensi Peradilan Agama (Lanjutan), Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2000.
Sudargo Gautama. Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-hari
(Landmark Decisions)(Berikut Komentar) Jilid I.
Diposting oleh Pemikiran dan Referensi di 17.11
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
2 komentar:
1.
Pak, maaf mau tanya. Apa ini juga termasuk teori hukum progresif versi satjipto
rahardjo? Atau termasuk teori pembaharuan hukum.
Balas
Balasan
1.
Materi di atas merupakan hasil kajian dalam penelitian yang saya lakukan
untuk MA pada kisaran tahun 2007-2008. Pendekatan kajian saya adalah teori
hukum progresif, tetapi dalam kajian ini hasilnya diterapkan dalam rangka
impelementasi pembaharuan hukum.
Balas
Pengikut
Arsip Blog
▼ 2014 (26)
o ▼ Oktober (26)
PERKAWINAN ANTAR AGAMA DAN PERKAWINAN
CAMPURAN SUA...
TINJAUAN UMUM HUKUM WARIS MENURUT KITAB
UNDANG-UND...
TATA CARA DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK
Aspek Bisnis dan Bentuk-Bentuk Hukum pada Multinat...
DEMOKRATISASI MASYARAKAT INDONESIA DALAM
PERSPEKTI...
PEMBENTUKAN HUKUM MELALUI YURISPRUDENSI
KOMPLEKSITAS PEMILIHAN APARATUR NEGARA
KORELASI SIGNIFIKAN ANTARA ASPEK SOSIOLOGI DAN
HUK...
CARA PANDANG HUKUM TERHADAP SENGKETA (SUATU
PENDE...
MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL SUATU
KONSTRUK...
KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB UTAMA
KETERPU...
ASPEK KEDAULATAN RAKYAT BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG...
PERAN SERTA WARGA NEGARA DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM D...
IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM
MENY...
MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN LETTER OF
INTENT ...
Eksistensi Jaminan Fidusia Suatu Kajian Dalam Ker...
JUAL BELI DAN ASPEK PERALIHAN HAK MILIK SUATU
BEN...
PEMAHAMAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN DAN
HAK PERO...
DEVELOPMENTS ON LAW ENFORCEMENT AGAINST MONEY
LAUN...
Aspek-Aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keage...
PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN DALAM LAPORAN
TAHUNAN ...
PELUANG PEMULIHAN TINDAKAN ULTRA VIRES DIREKSI
SUA...
Revitalisasi Komisi Ombudsman Nasional
Tinjauan Sederhana Terhadap Dissenting Opinion
PELUANG PEMULIHAN TINDAKAN ULTRA VIRES DIREKSI
SUA...
TINJAUAN SEDERHANA TERHADAP MASTER SETTLEMENT
AND...
► 2010 (2)
Mengenai Saya
Pemikiran dan Referensi
Lihat profil lengkapku
Tema Sederhana. Gambar tema oleh luoman. Diberdayakan oleh Blogger.