Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Seiring bertambahnya usia, osteoporosis dan fraktur terkait osteoporosis secara

cepat menjadi sebuah masalah kesehatan publik yang menyebabkan beban ekonomi

pada layanan kesehatan. Selain beban ekonomi, juga terdapat rasa nyeri, disabilitas dan

bahkan mortalitas setelah terjadinya fraktur, terutama fraktur panggul. (WHO, 2007)

Osteoporosis merupakan kelainan skeletal sistemik yang merupakan hasil dari

ketidakseimbangan pada remodeling tulang. Sebagai akibatnya terjadi penurunan

kekuatan tulang dan meningkatkan kerentanan terhadap fraktur. Penyakit degeneratif ini

menyebabkan lebih dari 8.9 juta fraktur setiap tahun di seluruh dunia. Resiko terjadinya

fraktur pada pergelangan tangan, panggul, atau vertebral di negara maju diperkirakan

sebesar 30% hingga 40%. (Clarke, 2008; WHO, 2007)

Strategi saat ini untuk mengidentifikasi individu dengan resiko fraktur dan

pemantauan respon terapeutik berfokus pada penggunaan pemeriksaan densitas

sumsum tulang (BMD). Meskipun BMD digunakan dalam diagnosis osteoporosis, BMD

bukanlah satu-satunya faktor resiko terjadinya fraktur. Tidak semua individu dengan BMD

rendah mengalami fraktur osteoporotik. (Glendenning, 2011; Lee dan Vasikaran, 2012)

Penanda perombakan tulang (bone turnover marker - BTM) telah diteliti pada

sejumlah uji klinis dan dapat menawarkan potensi klinis untuk menilai resiko fraktur
secara independen terhadap BMD dan memantau respon terapeutik dari osteoporosis.

Perubahan BTM setelah pengobatan lebih menggambarkan efek pengobatan daripada

perubahan BMD. Perubahan yang terjadi pada BMD jauh lebih kecil dan lambat

dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada BTM. (Lee dan Vasikaran, 2012;

Sandhu dan Hampson, 2011; Siebel, 2006)


BAB 2

Osteoporosis

2.1 Fisiologi Tulang

Selama kehidupan, tulang menjalani pertumbuhan, modeling dan remodeling

selama kehidupan. Tulang dapat melebar atau berubah aksis dengan cara pengikisan

atau penambahan tulang pada permukaan yang tepat dengan aksi independen dari

osteoblas dan osteoklas sebagai respon terhadap gaya biomekanik. Tulang pada

umumnya melebar dengan bertambahnya usia. (Clarke, 2008)

Remodeling tulang merupakan proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga

kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Remodeling melibatkan pengikisan terus

menerus dari sekumpulan tulang yang tua, penggantian dengan matriks protein yang

baru disintesis, serta mineralisasi matriks untuk membentuk tulang baru. Siklus

remodeling terdiri dari empat urutan tahap: aktivasi, resorpsi, reversal, formasi. (Clarke,

2008)

Aktivasi melibatkan perekrutan dan aktivasi dari monosit mononuklear-makrofag,

prekursor osteoklas yang berasal dari sirkulasi; pengangkatan endosteum yang

mengandung lapisan sel dari permukaan tulang; dan fusi beberapa sel mononuklear yang

membentuk preosteoklas multinuklear. Preosteoklas berikatan dengan matriks tulang

melalui interaksi reseptor integrin dengan peptida (arginin, glisin, asparagin) pada matriks

protein. (Clarke, 2008)


Pembentukan, aktivasi dan resorpsi osteoklas diregulasi oleh rasio RANKL

terhadap OPG (RANKL receptor activator of NF-KB ligand; OPG osteoprotegerin), IL-1

dan IL-6, colony stimulating factor (CSF), hormon paratiroid, 1,25-dihidroksivitamin D,

dan kalsitonin. Fase resorpsi berlangsung sekitar 2 hingga 4 minggu selama tiap siklus

remodelling. Fase ini diakhiri dengan menyisakan sel mononuklear setelah osteoklas

multinuklear mengalami apoptosis. (Clarke, 2008; Sandhu dan Hampson, 2011)

Selama fase reversal, resorpsi tulang beralih menjadi formasi tulang. Setelah

proses resorpsi, rongga resorpsi yang mengandung berbagai sel mononuklear

dilepaskan dari matriks tulang, dan preosteoblas direkrut untuk memulai formasi tulang.

Formasi tulang memakan waktu sekitar 4 hingga 6 bulan untuk selesai. Osteoblas

mensintesis matriks organik berkolagen baru dan meregulasi mineralisasi matriks

dengan melepaskan vesikel matriks bermembran yang mengonsentrasikan kalsium dan

fosfat dan secara enzimatik menghancurkan inhibitor mineralisasi seperti pirofosfat atau

proteoglikan. (Clarke, 2008; Sandhu dan Hampson, 2011)

2.2 Osteoporosis

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan dari remodeling tulang, menyebabkan reduksi kekuatan tulang,

dengan gangguan mikroarsitektur dan kerentanan skeletal, yang meningkatkan resiko

fraktur. Ini merupakan masalah kesehatan publik utama. Fraktur panggul adalah

konsekuensi paling serius dari osteoporosis dengan peningkatan resiko mortalitas dan

penurunan kualitas hidup penderita. (Sandhu dan Hampson, 2011)


Penyakit degeneratif ini menyebabkan lebih dari 8.9 juta fraktur setiap tahun di

seluruh dunia. Resiko terjadinya fraktur pada pergelangan tangan, panggul, atau

vertebral di negara maju diperkirakan sebesar 30% hingga 40%, yang hampir menyamai

resiko penyakit jantung koroner. Komplikasi fraktur pada osteoporosis ini dapat

mengancam nyawa pada orang yang tua. (WHO, 2007)

Pada masa dewasa, proses remodeling tulang adalah penting untuk pemeliharaan

kesehatan tulang karena proses ini memperbaiki daerah cedera mikro. Ini merupakan

proses seluler yang melibatkan koordinasi aksi dari osteoklas dan osteoblas.

Osteoporosis dapat terjadi karena (1) kegagalan mencapai puncak massa tulang dan (2)

resorpsi tulang berlebih dan/atau penurunan formasi tulang selama remodeling. Semua

proses ini kemungkinan berkontribusi terhadap osteoporosis. (Sandhu dan Hampson,

2011)

Tabel 2.1 Faktor resiko klinis terjadinya osteoporosis dan fraktur


Diagnosis osteoporosis saat ini berfokus pada pemeriksaan BMD. Meski demikian

BMD bukanlah satu-satunya faktor resiko untuk terjadinya fraktur. World Health

Organization telah mempublikasikan penggunaan FRAX (Fracture Risk Assessment

Tools) untuk menilai resiko fraktur ini. Beberapa faktor resiko terjadinya fraktur

dipaparkan pada Tabel 2.1. (Glendenning, 2011)


BAB 3

Aspek Laboratorium dari Osteoporosis

3.1 Penanda Perombakan Tulang

Penanda perombakan tulang (bone turnover marker – BTM) telah diteliti oleh

komite ahli yang berasal dari International Osteoporosis Foundation (IOF) dan

International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine (IFCC).

Pengambilan sampel BTM mudah dilakukan, baik pada darah atau urin. Pemeriksaan

BTM tidak invasif dan memberikan data yang dapat melengkapi BMD. Meski demikian

BTM memiliki batasan dalam penggunaannya secara klinis. (Lee dan Vasikaran, 2012)

Penggunaan penanda perombakan tulang pada uji klinis berguna dalam

memahami mekanisme kerja agen terapeutik. Akan tetapi penggunaannya secara rutin

masih merupakan tantangan tersendiri karena variabilitas biologis dan analitiknya,

dimana dapat ditemukan perbedaan hingga 7.3 kali lipat. Hasil yang tidak sejalan

terkadang didapati karena perbedaan teknik pengujian, pengumpulan dan waktu

penyampelan yang tidak tepat. Variabilitas analitik dapat direduksi dengan otomatisasi

dan peningkatan standarisasi antar pengujian dan pengumpulan sampel. Beberapa

penanda formasi dan resorpsi tulang yang ada dalam praktek klinis akan disajikan pada

Tabel 3.1. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2005)


Tabel 3.1 Penanda pembentukan tulang dan cara pengambilan sampel

Penanda Asal Spesimen Metode Keterangan


Jaringan Analisis
Penanda Formasi Tulang
Bone-specific Tulang Serum Elektroforesis Produk spesifik osteoblast
alkaline Presipitasi Beberapa uji menunjukkan
phosphatase (BALP) IRMA reaksi silang dengan
EIA isoenzim liver (LAP)
Osteocalcin (OC) Tulang Serum RIA Produk spesifik osteoblast
Platelet IRMA Banyak bentuk imunoreaktif
ELISA di darah
C-terminal Tulang Serum RIA Produk spesifik dari
propeptide of type I Jaringan Elisa osteoblast dan fibroblast
procollagen (PICP) lunak yang berproliferasi
Kulit
N-terminal Tulang Serum RIA Produk spesifik dari
propeptide of type I Jaringan ELISA osteoblast dan fibroblast
procollagen (PINP) lunak yang berproliferasi
Kulit Sebagian tergabung dalam
ECM
Penanda Resorpsi Tulang
I. Penanda terkait kolagen
Hydroxyproline Tulang Urin Kolorimetri Terdapat pada semua
(Hyp) Kartilago HPLC kolagen fibrilar dan
Jaringan sebagian protein berkolagen
lunak Terdapat pada kolagen yang
Kulit baru tersintesis dan yang
matur
Hydroxylysine- Tulang Urin HPLC Hidroxylysine dalam
glycoside Jaringan (serum) ELISA kolagen terglikosilasi hingga
lunak tingkat tertentu, bergantung
Kulit pada tipe jaringan
Serum
komplemen
Pyridinoline (PYD) Tulang Urin HPLC Kolagen, dengan
Kartilago Serum ELISA konsentrasi tinggi pada
Tendon kartilago dan tulang; tidak
Pembuluh ada di kulit; hanya ada pada
darah kolagen matur saja
Deoxypyridinoline Tulang Urin HPLC Kolagen, dengan
(DPD) Dentin Serum ELISA konsentrasi tinggi pada
tulang; tidak ada di kartilago
atau kulit; hanya ada pada
kolagen matur saja.
Carboxyterminal Tulang Serum RIA Kolagen tipe I, dengan
cross-linked Kulit kontribusi tertinggi mungkin
telopeptide of type I dari tulang; dapat berasal
collagen (ICTP, dari kolagen yang baru
CTX-MMP) disintesis
Carboxyterminal Semua Urin (a-/β) ELISA Kolagen tipe I, dengan
cross-linked jaringan yang Serum (β RIA kontribusi tertinggi mungkin
telopeptide of type I mengandung saja) dari tulang. Isomerasi dari
collagen (CTX-I) kolagen tipe I aspartil ke β-aspartil terjadi
dengan penuaan molekul
kolagen
Aminoterminal Semua Urin ELISA Kolagen tipe I, dengan
cross-linked jaringan yang Serum CLIA kontribusi tertinggi dari
telopeptide of type I mengandung RIA tulang
collagen (NTX-I) kolagen tipe I
Collagen I alpha 1 Semua Urin ELISA Fragmen degradasi berasal
helicoidal peptide jaringan yang dari bagian heliks kolagen
(HELP) mengandung tipe I
kolagen tipe I Sangat berkorelasi dengan
penanda degradasi kolagen
lain, tidak ada keuntungan
spesifik terhadap hasil klinis
II. Protein Non-Kolagen
Sialoprotein Tulang Tulang Serum RIA Glikoprotein asam
(BSP) Dentin ELISA terfosforilasi, disintesis oleh
Kartilago sel seperti osteoblast dan
hipertropik osteoclast. Tampak
berhubungan dengan fungsi
osteoclast
Fragmen osteokalsin Tulang Urin ELISA Fragmen OC tertentu
(ufOC, U-Mid-OC, U- berdasar usia dilepaskan
LongOC) selama resorpsi tulang
osteoclastic dan dapat
dianggap sebagai indeks
resorpsi tulang
III. Enzim Osteoclast
Tartate-resistant Tulang Plasma Colometri Enam isoenzim ditemukan
acid phosphatase Darah Serum RIA pada jaringan manusia
(TRAcP) ELISA (osteoclast, platelet,
eritrosit) Ikatan 5b dominan
pada tulang (osteoclast)
Cathepsin (misal K, K: terutama di Plasma ELISA Cathepsin K memegang
L) osteoclast Serum peran penting dalam
L: makrofag, degradasi tulang oleh
osteoclast osteoclast dengan
memotong regio heliks dan
telopeptida kolagen tipe I
Cathepsin L memiliki fungsi
serupa pada makrofag

Dasar teoretis untuk penggunaan BTM dalam pemantauan pengobatan

osteoporosis adalah sebagai berikut. Tujuan dari pengobatan adalah untuk mereduksi
resiko fraktur. Kejadian fraktur tidak umum dan pada kasus apapun dokter tidak

menunggu hingga terjadi fraktur untuk menentukan kegagalan terapi. Perubahan BMD

dan BTM setelah pengobatan osteoporosis berlangsung secara independen berkorelasi

dengan reduksi resiko fraktur. Akan tetapi, perubahan BTM setelah pengobatan lebih

menggambarkan efek pengobatan daripada perubahan BMD. Perubahan yang terjadi

pada BMD jauh lebih kecil dan lambat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada

BTM. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2006)

Gambar 3.1 BTM dalam algoritma penanganan osteoporosis

Perubahan signifikan terendah (LSC) untuk BTM pada umumnya dikalkulasi

menggunakan tingkat kepercayaan 95%, yang umumnya digunakan dalam penelitian.

Namun untuk pembuatan keputusan, nilai LSC ini tidak normal dan kemungkinan tidak
diperlukan untuk aplikasi BTM dalam praktek sehari-hari. Tingkat kepercayaan 90% atau

bahkan 80% dapat diterima. Tingkat perubahan ini dapat dilihat pada pasien yang sangat

patuh terhadap pengobatan agen anti-resorptif dan juga agen anabolik. Peran BTM

dalam pengobatan strontium ranelate lebih tidak jelas karena perubahan BTM yang

terjadi kecil. (Glendenning, 2011; Lee dan Vasikaran, 2012)

Gambar 3.2 Grafik perubahan BTM dengan pemberian terapi osteoporosis

Terdapat penurunan BTM setelah penggunaan terapi anti-resorptif, yang

menunjukkan inhibisi dari aktivitas osteoklas. Reduksi signifikan dalam penanda resorpsi

(terutama NTX urin atau CTX plasma/serum) dapat terlihat setelah 1 bulan pengobatan

dan mencapai plateau setelah 3 bulan. Penurunan dari penanda formasi lebih lambat

daripada penanda resorpsi tulang. Penanda formasi mencapai plateau setelah 6-12 bulan

pengobatan. (Lee dan Vasikaran, 2012)


Pada pengobatan dengan agen anabolik seperti teriparatide, setelah pengobatan

dimulai, terjadi peningkatan BTM. Peningkatan terjadi pada penanda formasi tulang

terlebih dahulu, yang kemudian diikuti oleh penanda resorpsi tulang. Pada terapi

menggunakan strontium ranelate, hanya terjadi peningkatan kecil pada penanda formasi

tulang dan penurunan kecil pada penanda resorpsi tulang. (Lee dan Vasikaran, 2012)

Manfaat BTM dalam pemantauan efektivitas dari pengobatan serta kepatuhan

terapi telah dipastikan. Namun variasi intra-individu yang relatif besar sering disebut

sebagai masalah dalam aplikasinya. Variasi ini lebih rendah pada darah dibandingkan

pada urin. (Glendenning, 2011; Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2006)

Reduksi BTM yang tidak memadai setelah beberapa waktu pengobatan anti-

resorptif dapat mengindikasikan kurangnya absorpsi obat atau permasalahan mengenai

kepatuhan pasien. Pada pasien individu, dimana perubahan BTM meragukan,

disarankan untuk melakukan pengukuran ulang 3 bulan setelahnya karena perlu

dilakukan pemeriksaan cermat sebelum mengubah pengobatan hanya dengan dasar

respon BTM yang tidak memadai. Pengukuran BTM secara berturut-turut diperlukan

dalam dua waktu yang berbeda sebelum keputusan klinis tersebut dibuat. (Lee dan

Vasikaran, 2012)

Variabilitas dari BTM telah meningkat secara signifikan pada beberapa tahun

terakhir. Beberapa penulis telah mengajukan bahwa penanda ini, terutama CTX plasma

dan juga PINP yang diukur menggunakan platform otomatis, dapat digunakan dalam

praktek klinis rutin untuk menilai respon terapi. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2006)
3.1.1 Pengukuran Serum CTX

CTX merupakan penanda resorpsi tulang. Antibodi yang digunakan pada uji imun

untuk CTX pada serum meningkat terhadap oktapeptida dengan isomerisasi β

(EKAH(β)DGGR) pada terminal karboksi non helikal telopeptida dari molekul kolagen tipe

I. saat ini terdapat dua uji imun otomatis: BetaCrossLaps Roche Elecsys (ECLIA, Roche

Diagnostics, Mannheim, Jerman) dan CTX-1 (CrossLaps) IDS-iSYS (CLIA,

Immunodiagnostic Systems, Tyne and Wear, Inggris). Meski kedua uji menggunakan

antibodi yang meningkat terhadap epitope yang sama, tampaknya terdapat beberapa

bias meski terdapat korelasi baik antara hasil kedua uji. Uji ELISA untuk CTX juga telah

tersedia (Immunodiagnostic Systems, Tyne and Wear, Inggris). (Lee dan Vasikaran,

2012)

Serum CTX dipengaruhi oleh fungsi renal, dimana terdapat variabilitas diurnal

signifikan dengan kadar tertinggi di awal pagi hari dan kadar terendah pada sore hari,

dan asupan makanan menyebabkan penurunan kadar CTX. Maka dari itu, pengumpulan

sampel perlu distandarisasi, dan dilakukan pada keadaan puasa pada pagi hari. Meski

serum atau plasma dapat digunakan, stabilitas terbaik diperoleh pada plasma dengan

EDTA. (Lee dan Vasikaran, 2012)

3.1.2 Pengukuran serum PINP

Terdapat dua bentuk PINP dalam darah: molekul “intak” atau trimetrik dan

monomer. Uji yang saat ini tersedia dapat mengukur bentuk trimetrik saja atau kedua

bentuk (total PINP). Uji PINP total (otomatis) tersedia pada Elecsys (Roche Diagnostics).
Uji PINP intak otomatis tersedia pada IDS-iSYS (Immunodiagnostic Systems);

radioimunoassay untuk PINP intak juga tersedia (UniQ PINP RIA Orion Diagnostica,

Epsoo, Finland). (Lee dan Vasikaran, 2012)

Keuntungan preanalitik dari PINP termasuk variabilitas diurnal dan intra-individu

yang rendah, dan stabilitas pada suhu ruangan. Serum atau plasma dapat digunakan.

International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) dan International Osteoporosis

Foundation (IOF) merencanakan untuk standarisasi uji komersial untuk serum CTX dan

serum PINP dalam kolaborasi dengan pabrik komersil. (Lee dan Vasikaran, 2012)

3.2 Evaluasi Laboratorium untuk Penyebab Sekunder dari Osteoporosis

Beberapa kelainan dan obat dapat menyebabkan peningkatan pengeroposan

tulang. Kondisi ini merupakan penyebab sekunder yang penting pada osteoporosis.

Diagnosis banding meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan beberapa

pemeriksaan laboratorium yang mungkin bergantung pada kondisi kasus yang dihadapi.

(Sandhu dan Hampson, 2011)

Pemeriksaan awal dapat meliputi profil ginjal (ureum, kreatinin); kalsium, fosfor,

magnesium; tes fungsi hati; darah lengkap; 25 hidroksivitamin D (25(OH)D); TSH; PTH.

Dan apabila diindikasikan, dapat dilakukan uji laboratorium tambahan berupa: hormon

seks (testosteron, estradiol, LH, FSH); serologi seliaka; elektroforesis protein serum/urin;

laju endap darah; kalsium/kreatinin urin 24 jam; kortisol bebas urin 24 jam; prolaktin; zat

besi; serum triptase dan kadar histamin; homosistein; faktor rheumatoid; biopsi kulit

terkait kelainan jaringan ikat. (Sandhu dan Hampson, 2011)


Pengukuran lini pertama yang dapat secara rutin diindikasikan pada pasien

dengan osteoporosis adalah serum total kalsium, albumin (untuk perhitungan

penyesuaian kalsium menurut albumin) dan fosfat yang ditujukan untuk mendeteksi

keadaan terkait dengan hiperkalsemia. Meski penyesuaian kadar kalsium menurut

albumin tidak secara universal dilakukan, ini dapat berguna untuk mengoreksi

pengukuran kalsium total yang tergeser oleh kadar albumin yang abnormal. (Sandhu dan

Hampson, 2011)

Tabel 3.2 Perubahan biomarker kalsium, fosfat, PTH dan ALP berdasarkan penyakit

Peran dari kalsium dan vitamin D dalam mereduksi resiko jatuh dan fraktur tidak

jelas. Reduksi dalam asupan atau penyerapan kalsium dan/vitamin D hingga terjadi

defisiensi/insufisiensi dapat menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, yang

berkontribusi dalam percepatan pengeroposan tulang pada orang tua. Beberapa kriteria

telah diajukan untuk menentukan kecukupan vitamin D melalui pengukuran kadar

25(OH)D, termasuk supresi optimal dari PTH, absorpsi kalsium yang tinggi, BMD yang

tinggi, tingkat pengeroposan yang lebih rendah, dan resiko fraktur yang rendah.

(Khashayar et al, 2016; Sandhu dan Hampson, 2011)


Beberapa penelitian melakukan penelitian antara kadar serum 25(OH)D dan nilai

BMD. Terdapat kontroversi pada hasil dari penelitian ini. Meskipun beberapa penelitian

gagal menunjukkan korelasi apapun antara kedua variabel ini, penelitian lain

menunjukkan hubungan positif antara kedua kadar serum 25(OH)D dan nilai BMD. Arya

et al menyimpulkan bahwa defisiensi 25(OH)D subklinis memiliki efek merugikan pada

massa tulang dan maka dari itu berhubungan dengan nilai BMD yang rendah pada

subyek ini. Villareal et al secara serupa menyarankan bahwa wanita dengan kadar serum

25(OH)D harus dirujuk untuk skrining osteoporosis. (Khashayar et al, 2016)

Gambar 3.3 Rangkaian proses terjadinya osteoporosis akibat insufisiensi vitamin D

Rasio OPG/RANKL merupakan faktor utama dalam pemeliharaan perombakan

tulang normal dan massa/kekuatan tulang. Sejumlah hormon, faktor pertumbuhan,

sitokin, dan obat dapat mempengaruhi ekspresi rasio OPG/RANKL yang secara tidak

langsung mempengaruhi proses perombakan tulang. OPG/RANKL merupakan mediator


penting dari aktivitas osteoklas. Telah diketahui bahwa ketidakseimbangan remodeling

tulang pada menopause disebabkan oleh defisiensi estrogen. Pada pria, meski terjadi

secara progresif setelah usia 80 tahun, penurunan serum testosteron juga menyebabkan

pengeroposan tulang. (Sandhu dan Hampson, 2011)

Tabel 3.3 Efek beberapa hormon pada rasio OPG/RANKL


Daftar Pustaka

Clarke, B. 2008. Normal Bone Anatomy and Physiology. Clin J. Soc Nephrol.
3(Suppl3):S131-S139

Glendenning, P. 2011. Markers of Bone Turnover for the Prediction of Fracture Risk and
Monitoring of Osteoporosis Treatment: A Need for International Reference
Standards. Osteoporosis Int. 22: 391-420

Khashayar, P; Meybodi, H.R.A; Hemami, M.R; Keshtkar, A; Dimai, H.P; Larijani B. 2016.
Vitamin D status and its relationship with bone mineral density in a healthy Iranian
population. Rev Bras Ortop. 51(4): 454-458
Lee, J; Vasikaran, S. 2012. Current Recommendations for Laboratory Testing and Use
of Bone Turnover Markers in Management of Osteoporosis. Ann Lab Med,
32:105-112

Sandhu, S.K; Hampson, G. 2011. The pathogenesis, diagnosis, investigation and


management of osteoporosis. J. Clin Pathol. 64:1042-1050

Seibel, M.J. 2005. Biochemical Markers of Bone Turnover Part I : Biochemistry and
Variability. Clin Biochem Rev. 26:97-122

Seibel, M.J. 2006. Biochemical Markers of Bone Turnover Part II: Clinical Applications in
the Management of Osteoporosis. Clin Biochem Rev. 27:123-138

WHO. 2007. WHO scientific group on the assessment of osteoporosis at primary health
care level. Jenewa: WHO

Anda mungkin juga menyukai