Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Seiring bertambahnya usia, osteoporosis dan fraktur terkait osteoporosis secara cepat
menjadi sebuah masalah kesehatan publik yang menyebabkan beban ekonomi pada
layanan kesehatan. Setelah beban ekonomi, juga terdapat rasa nyeri, disabilitas dan
bahkan mortalitas setelah terjadinya fraktur, terutama fraktur panggul. (WHO, 2007)
Osteoporosis merupakan kelainan skeletal sistemik yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan pada remodeling tulang. Sebagai akibatnya terjadi penurunan
kekuatan tulang dan meningkatkan kerentanan terhadap fraktur. Penyakit degeneratif ini
menyebabkan lebih dari 8,9 juta fraktur setiap tahun di seluruh dunia. Resiko terjadinya
fraktur pada pergelangan tangan, panggul, atau bertebra di negara maju diperkirakan
sebesar 30% hingga 40 % (Clarke, 2008; WHO 2007)
Strategi saat ini untuk mengidentifikasi individu dengan resiko fraktur dan pemantauan
respon terapeutik berfokus pada penggunaan pemeriksaan densitas sumsum tulang
(BMD). Meskipun BMD digunakan dalam diagnosis osteoporosis, BMD bukanlah satu-
satunya faktor resiko terjadinya fraktur. Tidak semua individu dengan BMD rendah
mengalami fraktur osteoporotik. (Glendenning, 2011; Lee dan Vasikaran, 2012)
Penanda perombakan tulang (bone tomover marker – BTM) telah diteliti pada sejumlah
uji klinis dan dapat menawarkan potensi klinis untuk menilai resiko fraktur secara
independen terhadap BMD setelah pengobatan lebih menggambarkan efek pengobatan
daripada perubahan BMD. Perubahan yang terjadi pada BMD jauh lebih kecil dan lambat
dibandingkan dengan perubahan yang terjdai pada BTM. (Lee dan Vasikaran, 2012;
Sandhu dan Hampson, 2011; Siebel, 2006)

I.2. Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patogenesis,


manifestasi klinis dan aspek laboratorium Osteoporosis

I.3. Tujuan Penulisan

1. Memahami fisiologi, definisi, , patofisiologi, diagnosis dan aspek laboratorium


Osteoporosis

1
2. Mengingkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
3. Memenuhi salah satu tugas sebagai Mahasiswa di Program Pendidikan Dokter
Spesialis (PPDS) Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang

I.4. Metode Penulisan

Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada


beberapa literatur.

2
BAB 2

Osteoporosis

2.1 Fisiologi Tulang

Selama kehidupan, tulang menjalani pertumbuhan, modeling dan remodeling selama


kehidupan. Tulang dapat melebar atau berubah aksis dengan cara pengikisan atau
penambahan tulang pada permukaan yang tepat dengan aksi independen dari osteoblas dan
osteoklas sebagai respon terhadap gaya biomekanik. Tulang pada umumnya melebar dengan
bertambahnya usia. (Clarke, 2008)

Gambar 2.1

Remodeling tulang merupakan proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga kekuatan
tulang dan homeostasis mineral. Remodeling melibatkan pengikisan terus menerus dari

3
sekumpulan tulang yang tua. Penggantian dengan matriks protein yang baru disintesis. Serta
mineralisasi matriks untuk membentuk tulang baru. Siklus remodeling terdiri dari empat
urutan tahap: aktivasi, resorpsi, reversal, formasi. (Clarke, 2008)
Aktivasi melibatkan perekrutan dan aktivasi dari monosit mononuklear-makrofag,
prekursor osteoklas yang berasal dari sirkulasi; pengangkatan endosteum yang mengandung
lapisan sel dari permukaan tulang; dan fusi beberapa sel mononuklear yang membentuk
preosteoklas multinuklear. Preosteoklas berikatan dengan matriks tulang melalui interaksi
reseptor integrin dengan peptida (arginin, glisin, asparagin) pada matriks protein. (Clarke,
2008)
Pembentukan, aktivasi dan resorpsi osteoklas diregulasi oleh rasio RANKL terhadap
OPG (RANKL receptor activator of NF-KB ligand; OPG osteoprotegerin), IL-1 dan IL-6,
colony stimulating factor (CSF), hormon paratiroid, 1,25-dihidroksivitamin D, dan kalsitonin.
Fase resorpsi berlangsung sekitar 2 hingga 4 minggu selama tiap siklus remodelling. Fase ini
diakhiri dengan menyisakan sel mononuklear setelah osteoklas multinuklear mengalami
apoptosis. (Clarke, 2008; Sandhu dan Hampson, 2011)
Selama fase reversal, resorpsi tulang beralih menjadi formasi tulang. Setelah proses
resorpsi, rongga resorpsi yang mengandung berbagai sel mononuklear dilepaskan dari
matriks tulang, dan preosteoblas direkrut untuk memulai formasi tulang. Formasi tulang
memakan waktu sekitar 4 hingga 6 bulan untuk selesai. Osteoblas mensintesis matriks
organik berkolagen baru dan meregulasi mineralisasi matriks dengan melepaskan vesikel
matriks bermembran yang mengonsentrasikan kalsium dan fosfat dan secara enzimatik
menghancurkan inhibitor mineralisasi seperti pirofosfat atau proteoglikan. (Clarke, 2008;
Sandhu dan Hampson, 2011)
2.2 Definisi
Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
dari remodeling tulang, menyebabkan reduksi kekuatan tulang, dengan gangguan
mikroarsitektur dan kerentanan skeletal, yang meningkatkan resiko fraktur. Ini merupakan
masalah kesehatan publik utama. Fraktur panggul adalah konsekuensi paling serius dari
osteoporosis dengan peningkatan resiko mortalitas dan penurunan kualitas hidup penderita.
(Sandhu dan Hampson, 2011)

4
Gambar 2.2

2.3 Epidemiologi
Penyakit degeneratif ini menyebabkan lebih dari 8.9 juta fraktur setiap tahun di seluruh
dunia. Resiko terjadinya fraktur pada pergelangan tangan, panggul, atau vertebral di negara
maju diperkirakan sebesar 30% hingga 40%, yang hampir menyamai resiko penyakit jantung
koroner. Komplikasi fraktur pada osteoporosis ini dapat mengancam nyawa pada orang yang
tua. (WHO, 2007)
Pada masa dewasa, proses remodeling tulang adalah penting untuk pemeliharaan
kesehatan tulang karena proses ini memperbaiki daerah cedera mikro. Ini merupakan proses
seluler yang melibatkan koordinasi aksi dari osteoklas dan osteoblas. Osteoporosis dapat
terjadi karena (1) kegagalan mencapai puncak massa tulang dan (2) resorpsi tulang berlebih
dan/atau penurunan formasi tulang selama remodeling. Semua proses ini kemungkinan
berkontribusi terhadap osteoporosis. (Sandhu dan Hampson, 2011)

5
2.4 Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel
osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan
ini mengakibatkan penurunan massa tulang. (Monolagas SC, 2011)
Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan
meningkatkan aktivitasnya yaitu:
1. Defisiensi estrogen
2. Faktor sitokin
3. Pembebanan

1. Defisiensi estrogen
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan beraktivitas
melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut, mengakibatkan menurunnya
sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-
Alpha (TNF-a), merupakan sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak
estrogen meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang merupakan
satu-satunya faktor pertumbuhan(growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel
osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas
merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan
dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung maupun secara langsung
juga berpengaruh pada sel osteoklas.(Waters dkk, 2009)
Efek estrogen pada sel osteoblas
Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat penting dalam
metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk
menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi faktor
parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas.10 Seperti dikemukakan diatas bahwasanya sel
osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ERa dan ERb) di dalam sitosol. Dalam
diferensiasinya sel osteoblas mengekspresikan reseptor betha (ERb) 10 kali lipat dari reseptor
estrogen alpha (ERa).(Mondoe dkk, 2008)
Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian estrogen
terjadi pembentukan tulang kembali, dan didapatkan penurunan produksi dari IL-1, IL-6, dan
TNF-a, begitu juga selanjutnya akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan RANK-Ligand
(RANK-L). Di sisi lain estrogen akan merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan

6
TGF-b (Transforming Growth Factor-b) pada sel osteoblas dan sel stroma, yang lebih lanjut
akan menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas.
(Norman H 2008)
Induksi fungsi suatu sel oleh berbagai faktor yang sangat kompleks serta regulasinya
yang berbeda-beda masih sedikit diketahui sampai saat ini. Suatu sitokin, ligand, maupun
hormon yang dapat menghambat atau merangsang fungsi suatu sel bergantung pada berbagai
hal, di antaranya adalah tingkat aktivasi sel tersebut, sinyal yang memicu, dan waktu
(timing), seperti misalnya pada sel makrofag. Hal yang sama terjadi juga pada sel stroma
osteoblastik dan osteoblas. Jadi tingkat aktivasi dari sel stroma osteoblastik bergantung pada
kontak antara reseptor dan ligand. Estrogen merupakan salah satu yang berfungsi
menstimulasi ekspresi gene dan produksi protein pada sel osteoblastik manusia, seperti
misalnya produksi OPG, RANK-L, dan IL-6.14 Besar kecilnya protein yang diproduksi
bergantung pada aktivasi sel stroma osteoblastik. (Stout SD, Astawa P, 2007)
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel osteoblastik
diantaranya: estrogen receptor-related receptor a (ERRa), reseptor estrogen a, b (ERa, ERb).
Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan homeostasis tulang dan berperan akan
terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah studi didapatkan bahwa kemampuan estrogen
mengatur produksi sitokin sangat bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-
masing spesies, begitu juga terhadap produksi dari IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada
osteoblas manusia (human osteoblast) dan stromal sel sumsum tulang manusia (human bone
marrow stromal cells), terbukti diinduksi oleh IL-1 dan TNFa, tidak secara langsung oleh
steroid ovarium. (Rifas L, Kenney JS, 2005)
Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel osteoblas terjadi
perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan produksi dari protein yang
dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan OPG, dengan suatu stimulasi yang sama.
Efek estrogen pada sel osteoklas Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan
menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan
tulang. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi estrogen ini akan
terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a yang lebih lanjut akan diproduksi
M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas JNK1 dan
osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun.11 Estrogen juga
merangsang ekpresi dari OPG dan TGF-boleh sel osteoblas dan sel stroma, yang selanjutnya
berfungsi menghambat penyerapan tulang dan mempercepat / merangsang apoptosis sel
osteoklas (lihat gambar 2.3). (Norman H 2008)

7
Gambar 2.3

Gambar 2.3. Efek estrogen dan sitokin terhadap pengaturan pembentukan osteoklas, aktivitas, dan
proses apoptosisnya. Efek estrogen sebagai stimulasi ditandai dengan E(+), sedangkan efek inhibisi
dengan tanda E(-)(Norman H 2008)

2. Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu jalur yang
memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-stimulator.8 Diantara group
sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia
Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary Neurotropic Factor (CNTF), Tumor
Necrosis Factor (TNF), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan
interferon-g, merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis. Interleukin-6
merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh karena meningkatnya IL-6
terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa penyakit, antaranya berpengaruh pada
remodeling tulang dan terjadinya penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik.
8,19 Sebetulnya tahun 1998 telah dikemukakan adanya hubungan antara sitokin, estrogen,
dan osteoporosis pascamenopause. (Pacifici R. 2008)

8
Dikatakan terjadi peningkatan kadar dan aktivitas sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-
a) secara spontan apabila fungsi ovarium menurun, misalnya pada masa menopause.20
Bagaimana mekanisme secara pasti hubungan penurunan estrogen dengan peningkatan
sitokin ini belum diketahui secara jelas. Tetapi ini diduga erat hubungannya dengan interaksi
dari reseptor estrogen (ER = Estrogen Receptor) dengan faktor transkripsi, modulasi dari
aktivitas nitrik-oksid (NO), efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan dalam
fungsi sel imun. Maka pada studi klinis dan eksperimental ditemukan ada hubungannya
antara penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin proinflamasi ini. (Pacifici R.
2008)
Sebuah studi dengan menggunakan tikus mendapatkan bahwa estrogen (E2)
menyebabkan menurunnya osteoklastogenesis, akibat menurunnya respons prekursor
osteoklas terhadap RANK-L; yang lebih lanjut akan menurunkan aktivasi dari ensim Jun
N-terminal kinase 1 (JNK1), yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya produksi
faktor transkripsi osteoklastogenik c-Fos dan c-Jun.21 Dan molekul yang dapat diblokade
aktivitasnya oleh OPGdisebut: OPGligand atau ODF atau yang kemudian lebih dikenal
dengan RANK-Ligand, berperan sangat penting sebagai kunci mediator dalam
osteklastogenesis.23 RANK-L dan osteoprotegerin merupakan suatu parakrin yang mengatur
metabolisme tulang dan fungsi vaskuler.24 RANK-L merupakan suatu mediator yang
meningkatkan penyerapan tulang pada wanita pascamenopause.25 Malahan terakhir
dibuktikan bahwa RANK-L merupakan salah satu faktor risiko secara biomolekuler akan
terjadinya osteoporosis pada wanita pascamenopause defisiensi estrogen.19 RANK-L yang
merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-L, TNF-Releted Activation Induced
Cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki reseptor RANK yang merupakan kunci pengaturan
remodeling tulang dan sangat esensial dalam perkembangan dan aktivasi dari osteoklas.
(Pacifici R. 2008)
Terjadinya diferensiasi sel osteoklas dari hemopoitik progenitor bergantung pada
reseptor yang terdapat pada membran sel osteoklas yang disebut RANK yang terbukti bahwa
pengaturan transkripsinya oleh NFkappaB. 4 Sedangkan sel stroma osteoblastik
mengekspresikan pada permukaannya RANK-L.4,28 Selanjutnya RANK-L berikatan dengan
RANK pada permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi sel tersebut.
Selain itu sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang larut dan mengambang,
yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat RANK-L yang disebut OPG. OPG
dapat beraksi sangat poten sebagai penghambat pembentukan osteoklas dengan cara berikatan

9
dengan RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-L dengan RANK pada
progenitor osteoklas (gambar 2.4). (Aubin JE, Bonnelye E, 2009)

Gambar 2.4 Peranan RANK dan RANK-Ligand dalam aktivasi sel osteoklas dan peran OPG
menghambat proses tersebut.

3. Pembebanan
Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan remodeling akibat
respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang terjadi dalam suatu unit yang
dikenal dengan bone remodeling unit, yang merupakan keseimbangan dinamik antara
penyerapan tulang oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini
dimulai dari perubahan permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan
permukaan tulang yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang
peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal lokal
kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem kanalikuler.
(Aubin JE, Bonnelye E, 2009)

10
Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi dalam
matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritic yang merupakan
penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel osteosit jumlahnya 10
kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit melalui penonjolan plasma membran (panjang 5 Ð 30
mm) dalam kanalikuli dapat berkomunikasi dengan osteoblas. (Aubin JE, Bonnelye E, 2009)
Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel dalam sumsum tulang dengan
memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid, dengan demikian lokasi strategis osteosit
menjadikan sel ini sebagai kandidat sel mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang,
menambah atau mengurangi massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga
mempunyai kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh karena itu
gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang (gambar 2.5). (Aubin JE,
Bonnelye E, 2009)

Gambar 2.5. Sel osteosit yang terletak dalam lakuna dari matrik tulang yang mengalami
mineralisasi dan berfungsi sebagai sel mekanosensori(Aubin JE, Bonnelye E, 2009)
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik dan strain
atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu
membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga memperkuat tulang dan

11
menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan tulang. Dengan demikian
pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan jaringan tulang
dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan
adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat
mengindera pembebanan mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel
efektor yang akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua. (Aubin JE, Bonnelye
E, 2009)

2.5 Diagnosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan
tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis
kadangkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul,
tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita.
Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan
tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 Ð 40% baru
dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.35,36 Hambatan lain yang ada pada
pemeriksaan radiologi konvensional untuk diagnose osteoporosis adalah: (Rachman IA 2011)
·Sangat bergantung pada alat radiologi yang digunakan.
·Sangat bergantung pada keahlian dan subyektivitas pemeriksaan.
·Sangat bergantung pada kualitas film dan cara-cara pecucian film.
Karena kurangnya sensitivitas terhadap diagnose osteoporosis, maka saat ini
pemeriksaan dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi. Sebetulnya sampai saat ini
prosedur diagnostik yang lazim digunakan untuk menentukan adanya penyakit tulang
metabolik seperti osteoporosis, adalah:
1. Penentuan massa tulang secara radiologis, dengan densitometer DEXA (Dual Energy X-
ray Absorptiometry).
2. Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover, terutama
mengukur produk pemecahan kolagen tulang oleh osteoklas.
Penentuan massa tulang
Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu, dan terjasdinya
risiko patah tulang di masa yang akan datang. Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya
patah tulang osteoporosis adalah besarnya massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan
oleh karena massa tulang berkaitan dengan kekuatan tulang. Ini berarti semakin banyak

12
massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut dan semakin besar beban yang
dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang. Untuk itu maka pengukuran massa tulang
merupakan salah satu alat diagnose yang sangat penting. Selama 10 tahun terakhir, telah
ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk mengukur massa tulang. (Rachman IA
2011)
Pemeriksaan X-ray absorptiometry
Pesawat X-ray absorptiometry menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Selain itu
keuntungan lain densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan DPA (Dual Photon
Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari
anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat dihindarkan, sehingga
presisi pengukuran lebih tajam.38 Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu: SXA (Single X-
ray Absorptiometry) dan DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard
pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita
adalah DEXA, yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau
seluruh tubuh. (Rachman IA 2011)
Tujuan dari pengukuran massa tulang:
1. Menentukan diagnosis
2. Memprediksi terjadinya patah tulang.
3. Menilai perubahan densitas tulang setelah pengobatan atau senam badan.
Bagian tulang seperti tulang punggung (vertebralis) dan pinggul (Hip) dikelilingi oleh
jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ
dalam perut. Jaringan-jaringan ini membatasi penggunaan SPA (Single Photon
Absorptiometry) atau SXA, oleh karena dengan sistem ini tidak dapat menembus jaringan
lunak tersebut, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk tulang yang berada dekat kulit.
DEXA atau absorptiometri X-ray energi ganda memungkinkan kita untuk mengukur baik
massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih
dalam. (Rachman IA 2011) Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA
kita akan mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain:
(Rachman IA 2011)
Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2.
· Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata
densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T Score
dalam %.

13
· Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata
densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang sama, disebut Z Score
dalam %.
Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score adalah
sebagai berikut:
1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di
bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih
tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari
1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di
bawah rata-rata orang dewasa, atau 10 Ð 25% di bawah rata-rata (T-score antara -1
SD sampai -2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di
bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau
kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih
pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan
disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan
adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).
Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada: (Rachman IA 2011)
1. Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko.
2. Pascamenopause dan usia < 65 tahun dengan minimal 1 faktor risiko disamping
menopause atau dengan fraktur.
3. Wanita pascamenopause yang kurus (Indek Massa Tubuh < 19 kg/m2).
4. Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.
5. Mengkonsumsi obat-obatan yang mempercepat timbulnya osteoporosis.
6. Menopause yang cepat (premature menopause).
7. Amenorrhoea sekunder > 1 tahun.
8. Kelainan yang menyebabkan osteoporosis seperti:
- Anorexia nervosa
- Malabsorpsi
- Primary hyperparathyroid
- Post-transplantasi
- Penyakit ginjal kronis

14
- Hyperthyroid
- Immobilisasi yang lama
- Cushing syndrom
9. Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kiphosis.
Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita harus
memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu. Pengukuran
massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan mengendalikan osteoporosis.
Di Amerika National Osteoporosis Foundation menganjurkan pemberian pengobatan
pencegahan pada penderita:
· T-score kurang dari -1,5 SD dengan ada faktor risiko
osteoporosis.
· T-score kurang dari -2,0 SD tanpa ada faktor risiko
osteoporosis.
· Pada wanita pascamenopause dengan adanya fraktur.
· Pengobatan harus dilakukan pada T-score kurang dari
-2,5 SD.
Dalam pengobatan dan pengendalian osteoporosis pemeriksaan ulangan massa tulang dengan
DEXA dapat dikerjakan dalam kurun waktu 1 Ð 2 tahun. (Rachman IA 2011)
Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi Penentuan massa tulang secara
radiologis penting untuk menentukan diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan
gambaran tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat
menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi
dapat memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur yang
invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik untuk ujisaring
maupun untuk pemantauan pengobatan. Sehingga satusatunya pilihan untuk menentukan
bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi. (Rachman IA 2011)
Perkembangan terbaru mengenai petanda biokimia yang spesifik dan sensitif yang
menggambarkan keseluruhan kecepatan pembentukan dan penyerapan tulang, telah sangat
memperbaiki pemeriksaan bone turnover invasif pada beberapa penyakit metabolisme tulang,
terutama untuk osteoporosis.43 Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan
untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk memperkirakan
kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi pengobatan. (Rachman IA 2011)
Parameter yang mempunyai nilai untuk ujisaring, diagnosis dan pemantauan osteoporosis
harus mewakili unsur yang mempunyai peran pada pembentukan tulang, aktivitas sel yang

15
bertanggung jawab terhadap bone turnover dan pengaturannya, atau produk dari penguraian
tulang. Penelitian-penelitian sekarang difokuskan pada parameter yang dapat dipakai untuk
ujisaring terhadap penurunan massa tulang atau adanya percepatan kehilangan tulang, dan
pemantauan terapi untuk meningkatkan massa tulang maupun memperlambat atau
mengurangi kehilangan tulang. Petanda resorpsi tulang akibat aktivitas osteoklas meningkat,
saat ini merupakan metode pilihan untuk memperkirakan akan terjadinya osteoporosis, atau
untuk memantau terapi pada pasien yang diberi obat antiresorpsi oral. Penentuan Crosslink
Telopeptida Cterminal (CTx) dalam serum merupakan indikator yang baik untuk resorpsi
tulang. CTx merupakan hasil dekomposisi awal dan stabil dari kolagen tipe-1 spesifik tulang,
Oleh karena itu menggambarkan proses pada tulang secara relatif langsung. Karena tulang
yang matang terutama terdiri dari b-isomerisasi telopeptida, pengukuran CTx terutama cocok
digunakan untuk mendeteksi kejadian pada tulang osteoporosis yang tua. (Rachman IA 2011)
CTx merupakan penanda resorpsi tulang pertama dalam serum yang dapat diperiksa
dengan alat otomatisasi. CTx dapat diukur dalam serum dan plasma, yang tidak memerlukan
pengukuran tambahan kreatinin seperti yang diperlukan pada pengukuran penanda tulang
dalam urin. Selain itu, pemeriksaan CTx juga meniadakan kebutuhan untuk menentukan
sempel urin ideal (urin pertama atau kedua pada pagi hari, atau urin yang dikumpulkan
selama 24 jam).
Penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa kadar interleukin-6 dan RANK-ligand yang
tinggi dalam serum merupakan faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis pada wanita
pascamenopause defisiensi estrogen.19 Akan tetapi sayangnya pemeriksaan dari kedua
komponen tersebut belum dapat dilakukan secara rutin di laboratorium.
Diagnosis osteoporosis saat ini berfokus pada pemeriksaan BMD. Meski demikian BMD
bukanlah satu-satunya faktor resiko untuk terjadinya fraktur. World Health Organization
telah mempublikasikan penggunaan FRAX (Fracture Risk Assessment Tools) untuk menilai
resiko fraktur ini. Beberapa faktor resiko terjadinya fraktur dipaparkan pada Tabel 2.1.
(Glendenning, 2011)
Tabel 2.1 Faktor resiko klinis terjadinya osteoporosis dan fraktur

16
17
BAB 3
Aspek Laboratorium Osteoporosis

3.1 Penanda Perombakan Tulang


Penanda perombakan tulang (bone tumover marker – BTM) telah diteliti oleh komite ahli
yang berasal dari International Osteoporosis Foundation (IOF) dan International Federation
of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine (IFFC). Pengambilan sampel BTM mudah
dilakukan, baik pada darah atau urin. Pemeriksaan BTM tidak invasif dan memberikan data
yang dapat melengkapi BMD. Meski demikian BTM memiliki batasan dalam penggunaannya
secara klinis. (Lee dan Vasikaran 2012)
Penggunaan penanda perombakan tulang pada uji klinis berguna dalam memahami
mekanisme kerja agen terapeutik. Akan tetapi penggunaannya secara rutin masih merupakan
tantangan tersendiri karena variabilitas biologis dan analitiknya, dimana dapat ditemukan
perbedaan hingga 7.3 kali lipat. Hasil yang tidak sejalan terkadang didapati karena perbedaan
teknik pengujian, pengumpulan dan waktu penyampelan yang tidak tepat. Variabilitas
analitik dapat direduksi dengan otomatisasi dan peningkatan standarisasi antar pengujian dan
pengumpulan sampel. Beberapa penanda formasi dan resorpsi tulang yang ada dalam praktek
klinis akan disajikan pada Tabel 3.1. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2005)

Tabel 3.1 Penanda pembentukan tulang dan cara pengambilan sampel


Penanda Asal Jaringan Spesimen Analisis Keterangan

Bone-specific Tulang Serum Elektroforesis Produk spesifik


alkaline Presipitasi Osteoblast beberapa
phosphatase IRMA uji menunjukkan
(BALP) EIA reaksi silang dengan
isoenzim liver
(LAP)
Osteocalcin Tulang Platelet Serum RIA Produk spesifik
(OC) IRMA Osteoblast Banyak
ELISA bentuk imunoreaktif
di darah
C-terminal Tulang jaringan Serum RIA Produk spesifik dari

18
propeptide of lunak Kulit ELISA osteoblast dan
type / fibroblast yang
procollagen berproliferasi
(PICP)
N-terminal Tulang jaringan Serum RIA Produk spesifik dari
propeptide of lunak kulit ELISA osteoblast dan
type / fibroblast yang
procollagen berproliferasi,
(PINP) sebagain tergabung
dalam ECM
Penanda Resorpsi Tulang
I. Penanda terkait Kolagen
Hydroxyproline Tulang Urin Kolorimetri Terdapat pada semua
(Hyp) Kartilago HPLC kolagen fibrilar dan
Jaringan sebagaian protein
Lunak berkolagen terdapat
Kulit pada kolagen yang
baru tersintesis dan
yang matur
Hydroxylysine- Tulang Jaringan Urin (Serum) HPLC Hidroxylysine dalam
glycoside lunak Kulit ELISA kolagen terglikosilasi
Serum hingga tingkat tertentu,
Komplemen bergantung pada tipe
jaringan
Pyridinoline Tulang Urin HPLC Kolagen, dengan
(PYD) Kartilago Serum ELISA konsentrasi tinggi pada
Tendon kartilago dan tulang;
Pembuluh tidak ada di kulit;
darah hanya ada pada
kolagen matur saja
Deoxypyridinoline Tulang Dentin Urin Serum HPLC Kolagen tipe I, dengan
(DPD) ELISA konsentrasi tinggi pada
tulang; tidak ada di

19
kartilago atau kulit
Carboxyterminal Tulang Serum RIA Kolagen tipe I, dengan
Cross-linked Kulit kontribusi tertinggi
Telopeptide of mungkin dari tulang;
type / collagen dapat berasal dari
(ICTP, CTX- kolagen yang baru
MMP) disintesis
Aminoterminal Semua jaringan Urin Serum ELISA Kolagen tipe I, dengan
Cross-linked yang CLIA kontribusi tertinggi
Telopeptide of mengandung RIA dari tulang
type I collagen kolagen tipe I
(NTX-I)
Collagen I alpha 1 Semua jaringan Urin ELISA Fragmen degradasi
helocoidal peptide yang berasal dari bagian
(HELP) mengandung heliks kolagen tipe I
kolagen tipe I sangat berkorelasi
dengan penanda
degradasi kolagen lain,
tidak ada keuntungan
spesifik terhadap hasil
klinis
II. Protein Non-Kolagen
Sialoprotein Tulang Dentin Serum RIA Glikoprotein asam
Tulang (BSP) Kartilago ELISA terfosforilasi, disintesis
hipertropik oleh sel seperti
osteoblast dan
osteoclast. Tampak
berhubungan dengan
osteoclast
Fragmen Tulang Urin ELISA Fragmen OC tertentu
ostokalsin berdasar usia
(ufOC, U-Mid- dilepaskan selama
OC, U- resorpsi tulang

20
LongOC) osteoclastic dan dapat
dianggap sebagai
indeks resorpsi tulang

III. Enzim Osteoclast


Tartate- Tulang darah Plasma Colometri Enam isoenzim
resistant acid Serum RIA ditemukan pada
phophatase ELISA jaringan manusia
(TRAcp) (osteoclast, platelet,
eritrosit) Ikatan 5b
dominan pada tulang
(osteoclast)
Cathepsin K: terutama di Plasma ELISA Cathepsin K
(misal K, L) osteoclast Serum memegang peran
L: makrofag, penting dalam
osteoclast degradasi tulang oleh
osteoclast dengan
memotong regio heliks
dan telopeptida
kolagen tipe I
Cathepsin L memiliki
fungsi serupa pada
makrofag

Dasar teoretis untuk penggunaan BTM dalam pemantauan pengobatan osteoporosis adalah
sebagai berikut. Tujuan dari pengobatan adalah untuk mereduksi resiko fraktur. Kejadian
fraktur tidak umum dan pada kasus apapun dokter tidak menunggu hingga terjadi fraktur
untuk menentukan kegagalan terapi. Perubahan BMD dan BTM setelah pengobatan
osteoporosis berlangsung secara independen berkorelasi dengan reduksi resiko fraktur. Akan
tetapi, perubahan BTM setelah pengobatan lebih menggambarkan efek pengobatan daripada
perubahan BMD. Perubahan yang terjadi pada BMD jauh lebih kecil dan lambat
dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada BTM. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel,
2006)

21
Gambar 3.1 BTM dalam algoritma penanganan osteoporosis

Perubahan signifikan terendah (LSC) untuk BTM pada umumnya dikalkulasi


menggunakan tingkat kepercayaan 95%, yang umumnya digunakan dalam penelitian. Namun
untuk pembuatan keputusan, nilai LSC ini tidak normal dan kemungkinan tidak diperlukan
untuk aplikasi BTM dalam praktek sehari-hari. Tingkat kepercayaan 90% atau bahkan 80%
dapat diterima. Tingkat perubahan ini dapat dilihat pada pasien yang sangat patuh terhadap
pengobatan agen anti-resorptif dan juga agen anabolik. Peran BTM dalam pengobatan
strontium ranelate lebih tidak jelas karena perubahan BTM yang terjadi kecil. (Glendenning,
2011; Lee dan Vasikaran, 2012)

22
Gambar 3.2 Grafik perubahan BTM dengan pemberian terapi osteoporosis

Terdapat penurunan BTM setelah penggunaan terapi anti-resorptif, yang menunjukkan


inhibisi dari aktivitas osteoklas. Reduksi signifikan dalam penanda resorpsi (terutama NTX
urin atau CTX plasma/serum) dapat terlihat setelah 1 bulan pengobatan dan mencapai plateau
setelah 3 bulan. Penurunan dari penanda formasi lebih lambat daripada penanda resorpsi

23
tulang. Penanda formasi mencapai plateau setelah 6-12 bulan pengobatan. (Lee dan
Vasikaran, 2012)
Pada pengobatan dengan agen anabolik seperti teriparatide, setelah pengobatan dimulai,
terjadi peningkatan BTM. Peningkatan terjadi pada penanda formasi tulang terlebih dahulu,
yang kemudian diikuti oleh penanda resorpsi tulang. Pada terapi menggunakan strontium
ranelate, hanya terjadi peningkatan kecil pada penanda formasi tulang dan penurunan kecil
pada penanda resorpsi tulang. (Lee dan Vasikaran, 2012)
Manfaat BTM dalam pemantauan efektivitas dari pengobatan serta kepatuhan terapi telah
dipastikan. Namun variasi intra-individu yang relatif besar sering disebut sebagai masalah
dalam aplikasinya. Variasi ini lebih rendah pada darah dibandingkan pada urin.
(Glendenning, 2011; Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2006)
Reduksi BTM yang tidak memadai setelah beberapa waktu pengobatan antiresorptif
dapat mengindikasikan kurangnya absorpsi obat atau permasalahan mengenai kepatuhan
pasien. Pada pasien individu, dimana perubahan BTM meragukan, disarankan untuk
melakukan pengukuran ulang 3 bulan setelahnya karena perlu dilakukan pemeriksaan cermat
sebelum mengubah pengobatan hanya dengan dasar respon BTM yang tidak memadai.
Pengukuran BTM secara berturut-turut diperlukan dalam dua waktu yang berbeda sebelum
keputusan klinis tersebut dibuat. (Lee dan Vasikaran, 2012)
Variabilitas dari BTM telah meningkat secara signifikan pada beberapa tahun terakhir.
Beberapa penulis telah mengajukan bahwa penanda ini, terutama CTX plasma dan juga PINP
yang diukur menggunakan platform otomatis, dapat digunakan dalam praktek klinis rutin
untuk menilai respon terapi. (Lee dan Vasikaran, 2012; Siebel, 2006)
3.1.1 Pengukuran Serum CTX
CTX merupakan penanda resorpsi tulang. Antibodi yang digunakan pada uji imun untuk
CTX pada serum meningkat terhadap oktapeptida dengan isomerisasi β (EKAH(β)DGGR)
pada terminal karboksi non helikal telopeptida dari molekul kolagen tipe I. saat ini terdapat
dua uji imun otomatis: BetaCrossLaps Roche Elecsys (ECLIA, Roche Diagnostics,
Mannheim, Jerman) dan CTX-1 (CrossLaps) IDS-iSYS (CLIA, Immunodiagnostic Systems,
Tyne and Wear, Inggris). Meski kedua uji menggunakan antibodi yang meningkat terhadap
epitope yang sama, tampaknya terdapat beberapa bias meski terdapat korelasi baik antara
hasil kedua uji. Uji ELISA untuk CTX juga telah tersedia (Immunodiagnostic Systems, Tyne
and Wear, Inggris). (Lee dan Vasikaran, 2012)
Serum CTX dipengaruhi oleh fungsi renal, dimana terdapat variabilitas diurnal signifikan
dengan kadar tertinggi di awal pagi hari dan kadar terendah pada sore hari, dan asupan

24
makanan menyebabkan penurunan kadar CTX. Maka dari itu, pengumpulan sampel perlu
distandarisasi, dan dilakukan pada keadaan puasa pada pagi hari. Meski serum atau plasma
dapat digunakan, stabilitas terbaik diperoleh pada plasma dengan EDTA. (Lee dan Vasikaran,
2012)
3.1.2 Pengukuran serum PINP
Terdapat dua bentuk PINP dalam darah: molekul “intak” atau trimetrik dan monomer.
Uji yang saat ini tersedia dapat mengukur bentuk trimetrik saja atau kedua bentuk (total
PINP). Uji PINP total (otomatis) tersedia pada Elecsys (Roche Diagnostics). Uji PINP intak
otomatis tersedia pada IDS-iSYS (Immunodiagnostic Systems); radioimunoassay untuk PINP
intak juga tersedia (UniQ PINP RIA Orion Diagnostica, Epsoo, Finland). (Lee dan Vasikaran,
2012)
Keuntungan preanalitik dari PINP termasuk variabilitas diurnal dan intra-individu yang
rendah, dan stabilitas pada suhu ruangan. Serum atau plasma dapat digunakan. International
Federation of Clinical Chemistry (IFCC) dan International Osteoporosis Foundation (IOF)
merencanakan untuk standarisasi uji komersial untuk serum CTX dan serum PINP dalam
kolaborasi dengan pabrik komersil. (Lee dan Vasikaran, 2012)
3.2 Evaluasi Laboratorium untuk Penyebab Sekunder dari Osteoporosis
Beberapa kelainan dan obat dapat menyebabkan peningkatan pengeroposan tulang.
Kondisi ini merupakan penyebab sekunder yang penting pada osteoporosis. Diagnosis
banding meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan
laboratorium yang mungkin bergantung pada kondisi kasus yang dihadapi. (Sandhu dan
Hampson, 2011)
Pemeriksaan awal dapat meliputi profil ginjal (ureum, kreatinin); kalsium, fosfor,
magnesium; tes fungsi hati; darah lengkap; 25 hidroksivitamin D (25(OH)D); TSH; PTH.
Dan apabila diindikasikan, dapat dilakukan uji laboratorium tambahan berupa: hormon seks
(testosteron, estradiol, LH, FSH); serologi seliaka; elektroforesis protein serum/urin; laju
endap darah; kalsium/kreatinin urin 24 jam; kortisol bebas urin 24 jam; prolaktin; zat besi;
serum triptase dan kadar histamin; homosistein; faktor rheumatoid; biopsi kulit terkait
kelainan jaringan ikat. (Sandhu dan Hampson, 2011)
Pengukuran lini pertama yang dapat secara rutin diindikasikan pada pasien dengan
osteoporosis adalah serum total kalsium, albumin (untuk perhitungan penyesuaian kalsium
menurut albumin) dan fosfat yang ditujukan untuk mendeteksi keadaan terkait dengan
hiperkalsemia. Meski penyesuaian kadar kalsium menurut albumin tidak secara universal

25
dilakukan, ini dapat berguna untuk mengoreksi pengukuran kalsium total yang tergeser oleh
kadar albumin yang abnormal. (Sandhu dan Hampson, 2011)
Tabel 3.2 Perubahan biomarker kalsium, fosfat, PTH dan ALP berdasarkan
penyakit

Peran dari kalsium dan vitamin D dalam mereduksi resiko jatuh dan fraktur tidak jelas.
Reduksi dalam asupan atau penyerapan kalsium dan/vitamin D hingga terjadi
defisiensi/insufisiensi dapat menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, yang berkontribusi
dalam percepatan pengeroposan tulang pada orang tua. Beberapa kriteria telah diajukan untuk
menentukan kecukupan vitamin D melalui pengukuran kadar 25(OH)D, termasuk supresi
optimal dari PTH, absorpsi kalsium yang tinggi, BMD yang tinggi, tingkat pengeroposan
yang lebih rendah, dan resiko fraktur yang rendah. (Khashayar et al, 2016; Sandhu dan
Hampson, 2011)
Beberapa penelitian melakukan penelitian antara kadar serum 25(OH)D dan nilai BMD.
Terdapat kontroversi pada hasil dari penelitian ini. Meskipun beberapa penelitian gagal
menunjukkan korelasi apapun antara kedua variabel ini, penelitian lain menunjukkan
hubungan positif antara kedua kadar serum 25(OH)D dan nilai BMD. Arya et al
menyimpulkan bahwa defisiensi 25(OH)D subklinis memiliki efek merugikan pada massa
tulang dan maka dari itu berhubungan dengan nilai BMD yang rendah pada subyek ini.
Villareal et al secara serupa menyarankan bahwa wanita dengan kadar serum 25(OH)D harus
dirujuk untuk skrining osteoporosis. (Khashayar et al, 2016)
Gambar 3.3 Rangkaian proses terjadinya osteoporosis akibat insufisiensi
vitamin D

26
Rasio OPG/RANKL merupakan faktor utama dalam pemeliharaan perombakan tulang
normal dan massa/kekuatan tulang. Sejumlah hormon, faktor pertumbuhan, sitokin, dan obat
dapat mempengaruhi ekspresi rasio OPG/RANKL yang secara tidak langsung mempengaruhi
proses perombakan tulang. OPG/RANKL merupakan mediator penting dari aktivitas
osteoklas. Telah diketahui bahwa ketidakseimbangan remodeling tulang pada menopause
disebabkan oleh defisiensi estrogen. Pada pria, meski terjadi secara progresif setelah usia 80
tahun, penurunan serum testosteron juga menyebabkan pengeroposan tulang. (Sandhu dan
Hampson, 2011)
Tabel 3.3 Efek beberapa hormon pada rasio OPG/RANKL

27
Bab IV

PENUTUP

IV.1 KESIMPULAN

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh menurunnya
massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan mineral tulang disertai dengan
kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang,
sehingga terjadi kecendrungan tulang mudah patah. Sel yang bertanggung jawab untuk
pembentukan tulang disebut osteoblas (osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast)
bertanggung jawab untuk penyerapan tulang. Pada osteoporosis akan terjadi abnormalitas
bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari
pada proses pembentukan tulang (bone formation).
Jadi yang berperan dalam terjadinya osteoporosis secara langsung adalah jumlah dan
aktivitas dari sel osteoklas untuk menyerap tulang, yang dipengaruhi oleh mediator-mediator,
yang mana timbulnya mediator-mediator ini dipengaruhi oleh kadar estrogen. Terjadinya
osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas
melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan ini
mengakibatkan penurunan massa tulang.
Telah dibicarakan patogenesis terjadinya osteoporosis, dengan memunculkan beberapa
teori terkini yang menyebabkan peningkatan deferensiasi dan aktivitas sel osteoklas yaitu atas
pengaruh: defisiensi hormon estrogen, faktor sitokin, dan pembebanan aksial.
Begitu juga telah dibicarakan beberapa macam cara mendiagnosis adanya risiko dan
terjadinya osteoporosis, berdasar pada aspek labroatoriumnya

28
Daftar Pustaka

Clarke, B. 2008. Normal Bone Anatomy and Physiology. Clin J. Soc Nephrol.
3(Suppl3):S131-S139
Glendenning, P. 2011. Markers of Bone Turnover for the Prediction of Fracture Risk and
Monitoring of Osteoporosis Treatment: A Need for International Reference
Standards. Osteoporosis Int. 22: 391-420
Khashayar, P; Meybodi, H.R.A; Hemami, M.R; Keshtkar, A; Dimai, H.P; Larijani B. 2016.
Vitamin D status and its relationship with bone mineral density in a healthy Iranian
population. Rev Bras Ortop. 51(4): 454-458
Lee, J; Vasikaran, S. 2012. Current Recommendations for Laboratory Testing and Use
of Bone Turnover Markers in Management of Osteoporosis. Ann Lab Med,
32:105-112
Pacifici R. 2008. Cytokines estrogen and postmenopausal osteoporosis, the second decade.
Endocrinology 2008;139(6):2656-61.
Sandhu, S.K; Hampson, G. 2011. The pathogenesis, diagnosis, investigation and management
of osteoporosis. J. Clin Pathol. 64:1042-1050 Seibel, M.J. 2005. Biochemical
Markers of Bone Turnover Part I : Biochemistry and Variability. Clin Biochem Rev.
26:97-122
Aubin JE, Bonnelye E, 2009. Osteoprotegerin and its ligand a new paradigm for regulation of
osteogenesis and bone resorption. Sept 12th 2009
Rachman IA 2011. Osteoporosis primer (post menopause osteoporosis). Osteoporosis. Edisi
1. Jakarta: Perhimpunan Osteoporosis Indonesia - CV Infomedika; 2011.p.1-16.
Seibel, M.J. 2006. Biochemical Markers of Bone Turnover Part II: Clinical Applications in
the Management of Osteoporosis. Clin Biochem Rev. 27:123-138
WHO. 2007. WHO scientific group on the assessment of osteoporosis at primary health
care level. Jenewa: WHO
Rifas L, Kenney JS, 2005 Marcelli M, Pacifici R, Cheng Su-Li, Dawson LL, et al. Production
of interleukin-6 in human osteoblast and human bone marrow stromal cells evidence
that induction by interleukine-1 and tumor necrosis factor-a is not regulated by
ovarian steroids. Endocrinology ;136:9

29
Penyakit osteoporosis kerap baru terdiagnosis setelah terjadi keretakan tulang.
Pemeriksaan dengan rontgen atau sinar X berguna untuk mengidentifikasi
keretakan tulang, tapi bukanlah metode yang tepat untuk mengukur kepadatan
tulang. Jika anda berisiko tinggi terkena osteoporosis, anda disarankan untuk
memeriksa kepadatan tulang dengan pemindaian DEXA (absorpsiometri sinar X
dengan energi ganda).
Pemindaian DEXA: Mengukur Kepadatan
Tulang
Dexa mengukur kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD). Hasil
DEXA anda akan dibandingkan dengan hasil kepadatan tulang orang yang
umumnya sehat, sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama dengan anda.
Prosedur ini berduarasi sekitar 15 menit dan tidak menimbulkan rasa sakit.
Hasil pemindaian DEXA dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
-di atas standar deviasi (SD) (-1) Berarti normal
Antara SD (-1) DAN (-2,5) Di klasifikasikan sebagai osteopenia. Osteopenia
adalah kondisi saat kepadatan tulang lebih rendah dari rata-rata, tapi belum
serendah tulang osteoporosis.
Dibawah SD (-2,5) dikategorikan sebagai osteoporosis.
Pemindaian dexa dapat mendiagnosis osteoporosis, tapi hasil BMD bukanlah satu-
satunya faktor yang menentukan risiko keretakan tulang anda. Dokter juga akan
memperhitungkan usia, jenis kelamin dan berbagai cedera yang anda alami
sebelumnya untuk menentukan apakah anda membutuhkan perawatan untuk
osteoporosis.

30
International Osteoporosis Foundation (IOF) mendeteksi bahwa akses terhadap
fasilitas pindai DEXA scan menjadi persoalan utama di indonesia. Setengah dari
jumlah total mesin DEXA yang ada hanya berada di Jakarta. Harga pemeriksaan
tes DEXA yang berkisar rp 700ribu juga relatif sulit terjangkau oleh masyarakat.
Hal ini juga membuat angka pasti jumlah penderita osteoporosis di Indonesia sulit
di ketahui. Pemeriksaan yang lebih umum dilakukan adalah dengan ultrasound,
tapi standarisasinya masih dipertanyakan.
FRAX adalah program yang dapat memprediksi risiko keretakan tulang alat
kalkulasi ini diperuntukkan bagi pasien berusia antara 40-90 tahun. FRAX dapat
menghitung risiko keretakan tulang anda untuk 10 tahun kedepan. WHO Telah
mengembangkan alat tersebut berdasarkan kriteria tiap negara termasuk indonesia.

31

Anda mungkin juga menyukai