Anda di halaman 1dari 38

OSTEOPOROSIS

A. STRUKTUR TULANG Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang (Buckwalter, 1995; Riis, 1996). Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka, mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitasnya lebih kecil dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek (Buckwalter, 1995; Cusharon, 1998). Secara makroskopis tulang dibedakan menjadi tulang woven dan tulang berlapis lamellar. Tulang woven adalah bentuk tulang yang paling awal pada embrio dan selama pertumbuhannya terdiri dari jaringan kolagen berbentuk ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti oleh tulang berlapis yang terdiri dari tulang korteks dan trabekular (Lane, 2001; Rachman, 2006). Korteks tulang tersusun seperti osteon, yaitu lapisan konsentris dari tulang yang dikelilingi oleh kanal dengan panjang > 2 mm dan lebar 2 mm dimana didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh darah untuk nutrisi. Trabekular tulang terdiri dari unit tulang struktural. Pada kedua tempat ini yaitu bagian trabekular tulang dan permukaan dalam korteks tulang merupakan bagian yang rentan terhadap pengeroposan tulang (Lane, 2001; Rachman, 2006).

Terdapat sistem havers yang merupakan susunan melingkar berbentuk silinder yang dihubungkan oleh saluran havers. Saluran ini berisi kapiler, arteriola, venula, nervi dan limfe. Tulang mendapat nutrisi melalui sirkulasi intraoseus (Buckwalter,1995; Compston, 2001). Selama perkembangannya tulang membutuhkan kalsium yang tinggi dan setelah mencapai masa pubertas kematangan hormon estrogen pada wanita da kematangan hormon testoteron pada laki-laki, karena pengaruh anabolik dan prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang. Keterlambatan dan kegagalan pembentukan gonad (sindroma Turner, sindroma Klinefelter), faktor nutrisi dan aktifitas fisik berat terutama saat puber sebelum menarche (atlit berperestasi merupakan faktor yang menyebabkan tidak tercapai puncak massa tulang dan ancaman terjadinya osteoporosis dini) (Rachman, 2006). B. FISIOLOGI TULANG Tulang rangka tubuh manusia terdiri tulang kortikal 70-80% dan tulang trabekular 20-30%. Pada keadaan normal tulang rangka, sebanyak 25% volume tulang anatomi yang spesifik sebagai jaringan tulang. Dan 75 % merupakan bervariasi jaringan limfe. Jaringan tulang sangat kompleks, aktifitas metabolisme aktif pada tulang pada proses mineralisasi yang terdiri dari komposisi esensial, yaitu garam kalsium dan fosfat. Garam tersebut merupakan 2/3 bagian dari berat tulang kering dan merupakan unsur yang paling banyak kalsium dan fosfat dari seluruh tubuh. ekstraselular calsium. Integritas tulang dipertahankan oleh kompartement sumsum tulang (bone marrow) dan lemak, tetapi ini sangat tergantung sebagaimana besar tulang skeletonnya. Pada jaring organik, berupa kolagen. Sumsum tulang mengandung stroma,

tulang yang spesifik, hanya 60% berupa mineral tulang dan 40% merupakan jaringan mieloid, sel lemak, pembuluh darah, sinusoid, dan beberapa jaringan

Tubuh mengandung 1000 gram ( 2500 mmol) Kalsium, terdiri dari 9 gram ( 225 mmol ) berada di jaringan lunak, 1 gram ( 25 mmol) berada di cairan ekstraseluler dan sisanya berada pada jaringan tulang. Aktivitas sel sel tulang yaitu resorpsi dan pembentukan dikendalikan oleh faktor sistemik, salah satu (PTH ), kalsitonin, faktor sistemik tersebut adalah insulin, estrogen/androgen, 1,25 dihydroksivitamin D. Selain vitamin D, faktor sistemik lain adalah hormon paratiroid hormon pertumbuhan dan hormon tiroid. Semua faktor tersebut saling terkait dalam proses metabolisme tulang. Tulang secara fisiologis memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai fungsi metabolik dan fungsi mekanik serta fungsi hemopoetik. Fungsi metabolik menyediakan cadangan ion seperti calsium, fosfat dan magnesium sedangkan fungsi mekanik melindungi organ-organ vital, tempat melekatnya otot dan menunjang gerak tubuh serta menjadi pembungkus sumsum tulang. Sebagai fungsi hemopoetik, sumsum tulang juga merupakan tempat asal utama limfosit manusia dan ada bukti untuk sel prekursor sama dari kedua sistem hemopoetik dan limfoid. Stem sel hemopoetik juga membentuk osteoklas yang merupakan bagian sistem fagosit monosit dan berfungsi sebagai resorpsi tulang. Proses pembentukan tulang terdiri dari dua tahap yaitu modeling dan remodeling tulang sebagai berikut (Hoffbrand, 1996, Buckwalter, 2000; Soeatmadji, 2002; Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006) Modeling Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang. Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular. Hal ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks

ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas dan prekursor osteoblas. Kalsifikasi tulang rawan disebut the primary spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan disebut the secondary spongiosum bone yang nantinya dikenal sebagai woven bone (Compston, 2001; Rachman, 2006). Remodeling Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar), tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses ketuaan atau aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut bone remodeling unit (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik aktif saat modeling dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar 0,24 mm bekerja memahat tulang, meresorpsi tulang dan membentuk tulang baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan 1 juta BRU aktif bekerja sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non aktif. BRU bekerja pada tulang kortikal maupun trabekular (Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006). C. DEFINISI OSTEOPOROSIS Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Menurut WHO (1994), osteoporosis adalah

suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko terjadinya patah tulang. (Karolina, 2009)

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey kependudukan tahun

1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat. Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4%/tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis yang meliputi umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas dan latihan yang teratur. Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh Indoneisa dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standar untuk osteoporosis di Indonesia. (Setiyohadi, 2007) D. FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur merupakan salah satu faktor risiko yang terpenting yang tidak tergantung pada densitas tulang. Setiap peningkatan umur 1 dekade setara dengan peningkatan risiko osteoporosis 1,4-1,8 kali. Ras kulit putih dan wanita juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pencapaian puncak massa tulang juga merupakan faktor risiko osteoporosis, seperti sindrom Klinefelter, sindrom Turner, tetapi glukokortikoid jangka panjang dan dosis tinggi, hipertiroidisme atau defisiensi hormon pertumbuhan. Pubertas terlambat, anoreksia nervosa dan kegiatan fisik yang berlebihan yang menyebabkan amenore juga berhubungan erat dengan puncak massa tulang yang tidakmaksimal. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga merupakan faktor risiko osteoporosis, oleh sebab itu harus diperhatikan masalah ini pada penduduk yang tinggal di

daerah 4 musim. Selain kalsium dan vitamin D, defisiensi protein dan vitamin K juga berhubungan dengan osteoporosis. Faktor hormonal juga berperan pada pertumbuhan tulang, termasuk hormon seks gonadal androgen adrenal (dehidroepiandrosteron dan androstenedion). Aspek hormonal lain yang berperan pada peningkatan massa tulang adalah IGF-1, 1,25(OH)2D, reabsorbsifosfat anorganik di tubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor hormonal yang berhubungan dengan kehilangan massa tulang adalah hiperkortisolisme, hipertiroidisme dan hiperparatiroidisme. Faktor lain yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Aspek skeletal yang harus diperhatikan sebagai faktor risiko osteoporosis adalah densitas massa tulang, ukuran tulang, makro- dan mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen tulang. Selain faktor risiko osteoporosis, maka risiko terjatuh juga harus diperhatikan karena terjatuh berhubungan erat dengan fraktur osteoporotik. Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko terjatuh adalah usia tua, ketidakseimbangan, penyakit kronik seperti sakit jantung, gangguan neuroligik, gangguan penglihatan, lantai yang licin dan sebagainya. (Setiyohadi, 2007) E. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. 1. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, dapat terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik pria maupun wanita.

Osteoporosis tipe I berkaitan dengan perubahan hormon setelah menopouse. Pada osteoporosis tipe ini terjadi penipisan bagian keras tulang paling luar (korteks) dan perluasan rongga tulang (trabekula)
2. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh

gangguan

absorpsi

kalsium

di

usus

sehingga

menyebabkan

hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Osteoporosis jenis ini banyak terjadi pada usia di atas 70 tahun. (Karolina, 2009) Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis. Sementara osteoporosis sekunder disebabkan berbagai penyakit tulang (kronik rheumatoid arthritis, tbc spondilitis, osteomalacia, dll) pengobatan menggunakan kortikosteroid untuk waktu yang lama, astronot tanpa gaya berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode waktu yang lama, hipertiroid, dll. Peran Estrogen pada Tulang Struktur estrogen vetebrata terdiri dari 18 karbon dengan 4 cincin. Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17-estradiol (E2), estriol (E3). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen), estrogen sintetik (misal etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen sitrat), xenobiotik (DDT, bifonel dll). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi pada organ nonreproduktif bersifat estrogenik; struktur ini disebut selective estrogen receptor modulators (SERMs). Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga dihasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol

merupakan estrogen yang terutama didapatkan di dalam urin, berasal dari hiroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran pada payudara. Selain itu estrogen juga mempengaruhi profil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular dan sistem gastrointestinal. Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor estrogen- (ER) dan reseptor estrogen- (ER). ERa dikode oleh gen yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan ERm dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERb belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misal di otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis idiopatik mengekspresikan mRNA ER yang rendah pada osteoblas maupun osteosit. Delesi ERa pada tikus jantan dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan perusakan gen ER pada wanita ternyata meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun trabekular. Delesi gen ER dan ER juga menurunkan kadar IGF-1 serum. Tabel. Distribusi Reseptor Estrogen pada Sel-sel Tulang Sel Tulang Osteoblas Osteosit Bone marrow stromal cells Osteoklas Kondrosit Reseptor Estrogen ER dan ER ER dan ER ER dan ER ER dan ER ER dan ER

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang.

Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid (PTH). Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. (Setiyohadi, 2007) F. PENDEKATAN KLINIS OSTEOPOROSIS Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang. Anamnesis Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik. Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfot dan vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing. Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon steroid, antikonvulsan, heparin, antasid yang mengandung alumunium, sodium fluorida dan bifosfonat etidronat.

Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopouse, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter. Pemeriksaan Fisik Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien osteoporosis. Demikin juga gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid). Sklera yang biru biasanya terdapat pada pasien osteogenesis imperfekta. Pasien ini biasanya juga akan mengalami ketulian, hiperlaksitas ligamen dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albrigt. Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe II, sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya berambut jarang. Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarahkan ke diagnosis, seperti perawakan pendek, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendiri kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang panjang dan kelainan gigi. Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani. Biasanya akan didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi IP. Pada keadaan yang laten, akan didapatkan tanda hovstek dan Trosseau. Pada pasien hipoparatiroidisme idiopatik, pemeriksa harus mencari tanda-tanda sindrom kegagalan poliglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik, penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium prematur, diabetes melitus, tiroiditis otoimun, dan anemia pernisiosa. Pada

pasien hiperparatiroidisme primer dapat ditemukan band keratoplasty akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea. Pasien dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey). (Setiyohadi, 2007) G. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS Mekanisme dasar kerapuhan tulang Kerapuhan tulang terjadi karena suatu keadaan yaitu ( Raisz, 2005) :
1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal

selama pertumbuhan atau non optimal peak bone mass. 2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas tulang dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem skeleton.
3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon peningkatan resorpsi

selama remodeling tulang Semua bagian tubuh berubah seiring bertambahnya usia, begitu pula dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir hinggga mencapai usia dewasa atau kira-kira 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang, namun setelah 30 tahun situasi terbalik jaringan tulang yang hilang lebih (Lane, 2001). Kekuatan tulang berasal dari dua sumber yaitu bagian luar yang padat (korteks) yang beratnya 80% dari massa tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons yang disebut trabekular 20% dari massa tulang dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang (osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk) (Gomez,2006 dan Roesma 2006) Siklus resobrsi dan pembentukan tulang terjadi sepanjang hidup, pada masak anak-anak pembentukan tulang lebih banyak daripada proses resobrso tulang, namun keadaan ini menurun secara bertahap selama masa dewasa muda dan pada usia 25-35 tahun kedua proses ini berada dalam keseimbangan,

sampai akhirnya proses resorbsi lebih banyak daripada pembentukan tulang, yang biasanya dimulai pada usia 35 tahun sehingga secara bertahap jaringan tulang akan menghilang bersamaan dengan kandungan mineralnya (kalsium) terutama pada bagian trabekular (Gomez,2006) Pada wanita menopause tingkat estrogen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan penguran jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika estrogen turun tingkat resobsi tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Lane, 2001)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari 50% belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu teknik dan tingginya kilovoltage juga memengaruhi hasil pemeriksaan radiologik tulang. Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. (Setiyohadi, 2007)

I. PENCEGAHAN Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan terjadinya osteoporosis adalah: 1. Peningkatan peak bone mass (umur 0 35 tahun) a. Masukan kalsium yang adekuat b. Latihan yang cukup c. Hindari merokok d. Pengobatan defisiensi estrogen sesegera mungkin e. Hindari pengobatan kortison jika mungkin 2. Pencegahan kehilangan tulang saat menopause
a. Terapi sulih hormon estrogen (gold standar)

b. Masukan kalsium yang adekuat. (UNSRI) J. TERAPI Osteoporosis bersifat multifaktorial sehingga penanganannya pun sangat komplek. Terapi untuk osteoporosis difokuskan tidak hanya untuk menghambat resorpsi tulang atau merangsang pembentukan tulang. Tidak kalah penting untuk mengurangi risiko terjatuh. Beberapa RCT dilaksanakan lebih dari 10 tahun telah membantu mengarahkan terapi farmakologi, yang juga meliputi intervensi nonfarmakologi yang sebaiknya direkomendasikan pada semua pasien. Penghambat resorpsi tulang meliputi estrogen, kalsitonin, bisphosphonate dan kalsium. Estrogen memperlambat bone loss pada menopause. Estrogen juga meningkatkan massa tulang pada wanita dengan osteoporosis dan mungkin efektif digunakan pada wanita usia 65 70 tahun. Namun harus mempertimbangkan efek sampingnya. Sementara HRT lebih disarankan. Osteoporosis sekunder sebaiknya jika memungkinkan diterapi sesuai dengan penyebabnya. Asupan kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 800 IU/hari, aktifitas fisik 30 menit minimal 3 kali dalam seminggu, menghindari

merokok dan konsumsi alkohol juga telah dibuktikan mampu mencegah osteoporosis. Latihan dan Program Rehabilitasi Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi pasien osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih lincah, tangkas, dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburuhkan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang. Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat. Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk pasien yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang terganggu keseimbangannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan tangan, terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan, mengggunakan kacamata dan lain sebagainya. Pada umumnya fraktur pada pasien osteoporosis disebabkan oleh terjatuh dan risiko terjatuh yang paling sering justru terjadi dalam rumah. Vitamin D Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur nonspinal sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar

matahari, tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari. (Setiyohadi, 2007) Kalsium Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada pasien osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemen 400mg/gr, disusul Kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemen 230 mg/gr, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 mg/gr, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen 130 mg/gr, dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemen 90 mg/gr. Pembedahan Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah pasien osteoporosis adalah: 1. Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan, sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur lebih lanjut. 2. 3. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi pasien dapat dilakukan sedini mungkin. Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada pasien yang menjalani tindakan bedah, sehinggal mineralisasi kalus menjadi sempurna. 4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporosis dengan bisfosfonat, atau raloksifen, atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.

OSTEOARTRITIS

A. Definisi Osteoartritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro yang berarti sendi, dan itis yang berarti inflamasi meskipun sebenarnya. penderita osteoartritis tidak mengalami inflamasi atau hanya mengalami inflamasi ringan. Osteoartritis (OA) adalah penyakit degeneratif sendi yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat, seringkali tidak meradang atau hanya menyebabkan inflamasi ringan, dan ditandai dengan adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi serta pembentukan tulang baru pada permukaan sendi (Koentjoro, 2010). B. Epidemiologi Osteoartritis merupakan penyakit tersering yang menyebabakan timbulnya nyeri dan disabilitas (hambatan) gerakan pada populasi usia lanjut. OA merupakan kelainan yang mengenai berbagai ras dan kedua jenis kelamin. Pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama untuk terkena OA, namun pada wanita biasanya sendi yang terkena lebih banyak. Seiring dengan bertambahnya usia, insidens OA juga semakin bertambah. Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 4060 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk osteoarthritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita (Koentjoro, 2010) C. Faktor risiko Hal-hal yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya OA antara lain (Soeroso, 2006) :
a. b. c.

Trauma, yaitu patah tulang yang mengenai permukaan sendi. Pekerjaan yang menimbulkan beban berulang pada sendi. Obesitas, yang menyebabkan peningkatan beban pada sendi, terutama sendi lutut.

d. e.

Riwayat OA pada keluarga. Densitas (kepadatan) tulang yang rendah Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama

D. Gejala Klinis apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri yang dirasakan adalah nyeri tumpul. Nyeri tumpul ini dapat berkurang bila pasien beristirahat. Nyeri merupakan keluhan utama tersering dari pasien-pasien dengan OA yang ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul fibrosa, dan spasme otot-otot di sekeliling sendi. Nyeri awalnya tumpul kemudian semakin berat, hilang timbul, dan diperberat oleh aktivitas gerak sendi (Soeroso, 2006). Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan kontraktur (tertariknya) sendi dan menyebabkan terbatasnya gerakan. Kekakuan sendi juga dapat terjadi jika sendi tersebut tidak digerakkan, namun kekakuan ini akan menghilang setelah sendi digerakkan kembali. Kekakuan ini bisa terjadi di pagi hari yang biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh arthritis rematoid. Spasme otot atau tekanan pada saraf di daerah sendi yang terganggu adalah sumber nyeri (Price&Wilson, 2006). Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.Sendi akan terlihat membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi. Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya yang diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan (Soeroso, 2006).

Gambar 1. Gambaran Peradangan Osteoartritis Gejala klinis lainnya adalah keterbatasan dalam gerakan (terutama tidak dapat berekstensi penuh), nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi yang minimal, dan krepitasi (Price&Wilson, 2006).

Gambar 2. Gambaran Osteoarthritis Lanjut E. Patofisiologi dan Patogenesis degenerasi matriks Chondroitin matriks sintesis

Sitokin IGF-1 Enzim Nitric Oxide Genetic Hormon

Chondroit in

Chondroitin TGF- Growth CSFs

Keterangan : IGF-1 : Insulin like Growth Factor TGF- : Transforming Growth Factor CSFs : Coloni Stimulating Factor Berdasarkan patogenesisnya, OA diklasifikasikan menjadi 2, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoarthritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA sekunder merupakan OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan disbanding OA sekunder (Soeroso et al., 2006). Patofisiologi OA mulanya ditandai dengan fase hipertofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodeling, tulang dan inflamasi cairan sendi. Beberapa studi membuktikan bahwa ternyata rawan sendi dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar-sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan.

Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth hormone (IGF1), growth hormone, transforming growth factor (TGF-) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitive terhadap efek IGF-1. Faktor pertumbuhan TGF- mempunyai efek multiple pada matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi sintesis komponen kartilago adalah testosterone, -estradiol, platelet derivate growth factor (PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin. Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolism rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi. Perbandingan rata-rata antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih rendah disbanding normal, yaitu 0,29 dibanding 1. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan thrombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Hal tersebut menyebabkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensible yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Rasa nyeri pada sendi juga disebabkan oleh adanya osteofit yang

menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodeling pada trabekula dan subkondrial. Peran makrofag di dalam cairan sendi juga berperan penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin activator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1,IL-6, TNF dan , dan interferon (IFN) dan . Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Interleukin-1 mempunyai efek multiple pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Pada percobaan menggunakan sebesar binatang, 0,01 ng ternyata dapat pemberian human sintesis recombinant IL-1a menghambat

glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Kondrosit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal. Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama. Percobaan pada Kelinci membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu. F. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan darah lengkap

Osteoarthritis adalah gangguan arthritis lokal, sehingga tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji laboratorium hanya dipakai untuk menyingkirkan bentuk-bentuk arthritis lainnya. Faktor rheumatoid bisa ditemukan dalam serum, karena faktor ini meningkat secara normal pada peningkatan usia. Laju endap darah eritrosit mungkin akan sedikit meningkat apabila ada sinovitis yang luas(Soeroso, 2006). b. Pemeriksaan radiologi Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiologram osteoarthritis adalah penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi akibat menyusutnya tulang rawan sendi. Pada sendi lutut, penyempitan ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Disamping ditemukan penyempitan sendi, peningkatan densitas tulang di sekitar sendi juga dapat terjadi. Osteofit (spur) dapat terlihat pada aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat perubahan-perubahan kistik dalam berbagai ukuran (Soeroso, 2006). G. Penatalaksanaan Tatalaksana terhadap OA secara umum dapat dibedakan menjadi tatalaksanan non bedah dan bedah. Tatalaksana non bedah berupa obatobatan, perubahan pola diet, fisioterapi, serta modifikasi aktivitas. Terapi obat-obatan berupa antinflamsi non steroid merupakan penatalaksanaan utama pada OA (Soeroso, 2006). Pengobatan ini selain membantu menghilangkan gejala nyeri juga dapat mencegah perburukan yang dapat terjadi. Injeksi kortikosteroid pada sendi dapat mengurangi nyeri untuk sementara, namun injeksi ini tidak boleh sering diulang karena merupakan dapat menyebabkan destruksi tulang. Fisioterapi bertujuan untuk memelihara mobilitas sendi dan meningkatkan kekuatan otot. Memperkuat otot-otot di sekitar sendi dapat memberikan efek proteksi terhadap sendi yang terserang OA dengan meningkatkan penyerapan tekanan dan mengurangi beban terhadap sendi (Soeroso, 2006).

Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik, namun tetap menghindari aktivitas yang memberatkan sendi. Latihan secara teratur dapat berguna dalam menurunkan berat badan yang pada akhirnya membantu perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah satu faktor risiko OA.Terapi operatif pada pasien OA diindikasikan apabila penatalaksanaan secara konservatif tidak memberikan hasil yang adekuat berupa peningkatan fungsi sendi yang terkena serta adanya kelainan yang progresif (Soeroso, 2006). Debridement (pembersihan) sendi efektif dalam mencegah atau menunda tindakan operatif. Sendi seperti sendi lutut cocok apabila dilakukan debridement menggunakan alat yang disebut artroskopi. Artroplasti atau prostatic joint replacement (penggantian sendi) merupakan tindakan pembuangan sendi yang dan membuat sendi palsu yang dapat terbuat dari plastik atau logam. Indikasi utama tindakan ini adalah adanya nyeri, terutama yang disertai deformitas dan instabilitas. Terapi ini memberikan hasil yang baik pada pasien-pasien OA yang berat dan tidak dapat ditangani dengan terapi konservatif. Artrodesis atau penggabungan sendi merupakan tindakan yang menghilangkan nyeri sendi secara permanen namun menyebabkan hilangnya fungsi pergerakan (Soeroso, 2006). Tindakan ini lebih sering dilakukan pada sendi-sendi kecil seperti sendi tangan, sedangkan bila dilakukan pada sendi-sendi besar seperti sendi lutut atau sendi panggul umumnya memberikan hasil yang kurang baik. Tindakan ini hanya dilakukan bila tindakan artroplasti tidak dapat dilakukan karena alasan tertentu; atau untuk menyelamatkan artroplasti yang gagal (Soeroso, 2006).

DISLOKASI
I. Pengertian Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi. II. Diagnosa umum dislokasi: - Anamnesis: Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya Nyeri Spasme otot Gangguan fungsi- Pemeriksaan Fisik: Swelling/pembengkakan Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal, pemendekan Gerakan yang abnormal Nyeri setempat Dislokasi Shoulder/Bahu a. Definisi Dislokasi shoulder adalah pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior). Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi.Ini disebabkan karena banyaknya rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid yang dangkal serta adanya longgarnya ligament. 1. Dislokasi Anterior Dislokasi preglenoid subkorakoid, subklavikuler Mekanisme trauma:

Paling sering ditemukan, jatuh dalam keadaan out stretched, trauma pada scapula gambaran klinis nyeri hebat dengan gangguan pergerakan bahu, kontur sendi bahu jadi rata, kaput humerus bergeser ke depan pemeriksaan radiologist: Kaput humerus terlihat di depan dan medial glenoid Pengobatan: 1. dengan bius umum

Metode hipocrates: dibaringkan, tank anggota gerak, tekan kaput Metode kocher: dilakukan tahap-tahap reposisi kocher Teknik menggantung lengan

humeri

2. tanpa pembiusan

2. Dislokasi Posterior Mekanisme trauma Jarang ditemukan, trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna. Gambaran klinis

Nyeri, benjolan dibagian belakang sendi pemeriksaan radiologis Khas: light bulb karena rotasi internal humerus

Pengobatan Reduksi dengan menarik lengan, rotasi interna, Imobilisasi 3-6 minggu 3. Dislokasi Inferior Kaput humerus terjepit di bawah glenoid, dengan lengan arah ke atas pengobatan dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior, jika gagal dilakukan reposisi terbuka dengan operasi 4. Dislokasi dengan Fraktur Biasanya adalah dislokasi tipe anterior dengan fraktur Pengobatan Dilakukan reposisi pada dislokasi maka fraktur akan tereposisi dan kembali melekat pada humerus

b. Patofisiologi Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadangkadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta [dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid c. Indikasi Operasi Dislokasi bahu yang tidak berhasil direduksi secara tertutup dan dislokasi yang sudah neglected lebih dari 2 minggu. d. Komplikasi reduksi tertutup pada dislokasi bahu akut

Kerusakan nervus aksilaris Kerusakan pembuluh darah Tidak dapat tereposisi Kaku sendi Dislokasi rekuren, dilakukan tindakan operasi Putti-platt, Bristow dan bankart

Perawatan Pasca reduksi tertutup Imobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama 3 minggu Follow up Pengawasan posisi ekstremitas atas dalam posisi fleksi, adduksi dan internal rotasi untuk dislokasi bahu anterior dan ekstensi, abduksi, dan eksternal rotasi untuk yang tipe posterior. Daerah lipatan aksilla harus diperhatikan terjadinya mycosis, dan kondisi yang lembab harus dihindarkan dan diatasi. Latihan isometrik segera dilakukan dan latihan isotonik setelah 3 minggu. e. Kontra indikasi operasi Berhubung dengan kondisi medis/cedera penyerta yang tidak memungkinkan dilakukan tindakan pembiusan

f. Diagnosis Banding 1. dislokasi akromioklavikula 2. fraktur klavikula 3. firaktur kolumna humeri 4. traktur humerus proksimal g. Pemeriksaan penunjang Rontgen foto (X-ray) Sinar X pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid,Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi. h. Komplikasi Komplikasi Dini Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak. Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat Komplikasi lanjut mengakibatkan kekakuan sendi bahu ,terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral ,yang secara otomatis membatasi Abduksi Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid kelemahan otot

Dislokasi sendi panggul

Dislokasi sendi panggul merupakan suatu trauma yang hebat apalagi dengan meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi sendi panggul dibagi menjadi dalam tiga jenis : a. Dislokasi posterior atau dislokasi posterior disertai adanya fraktur Mekanisme trauma Kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam

keadaan fleksi dan menabrak dengan keras bagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor. Lima puuh persen dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar. Klasifikasi Klasifikasi menurut Thompson Epstein 1973 , klasifikasi ini penting untuk rencana pengobatan. 1) Tipe I; dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil 2) Tipe II; dislokasi dengan fragmen tunggal yang besar pada bagian posterior acetabulum 3) Tipe III; dislokasidengan fraktur bibir acetabulum yang kominutif 4) Tipe IV; dislokasi dengan fraktur dasar acetabulum 5) Tipe V; dislokasi dengan fraktur caput os femur Gambaran klinis Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi abduksi, fleksi dan rotasi interna. Terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Pemeriksaan radiologi Dengan sinar-x akan diketahui jenis dislokasi dan apakah dislokasi disertai fraktur atau tidak. Pemeriksaan radiografi menunjukkan caput os femur berada di atas acetabulum. Pengobatan Dislokasi harus direposisi secepatnya dengan pembiusan umum disertai relaksasi yang cukup. Penderita dibaringkan dengan pembantu menahan panggul. Sendi panggul difleksikan serta lutut difleksikan 900 dan kemudian dilakukan penarikan pada paha secara vertikal. Setelah direposisi, stabilitas sendi diperiksa apakah sendi panggul dapat didislokasi dengan cara menggerakkan secara vertikal pada sendi panggul.

Pada tipe II setelah reposisi, maka fragmen yang besar difiksasi dengan screw secara operasi. Pada tipe III biasanya dilakukan reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak dalam acetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan V juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen yang lepas tak tereposisi maka harus dilakukan reposisi dengan operasi. Perawatan pasca reposisi Traksi bulan. Komplikasi 1) Dini
a) Kerusakan

kulit

selama

4-6

minggu,

setelah

itu

tidak

menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat selama 3

nervus sciatic; biasanya dapat mengalami

pemulihan. Apabila terdapat lesi sesudah reposisi, maka perlu dilakukan eksplorasi saraf. b) Kerusakan pada caput femur; sewaktu dislokasi sering caput femur berbenturan dengan acetabulum hingga pecah. c) Kerusakan pada pembuluh darah; pembuluh darah yang biasa mengalami robekan adalah arteri gluteus superior. Bila terdapat kecurigaan terhadap robekan pembuluh darah perlu dilakukan arteriogram d) Fraktur diafisis femur 2) Lanjut
a)

Nekrosis avaskuler; sebanyak 10% dari seluruh dislokasi panggul mengalami kerusakan pembuluh darah. Apabila reposisi ditunda sampai beberapa jam, maka insidensnya akan meningkat menjadi 40%. Kelainan ini biasanya dideteksi setelah enam bulan sampai 2 tahun dan dengan

pemeriksaan radiologist ditemukan fragmentasi, sklerosis dan pembentukan kista.


b) c)

Miositis osifikans Dislokasi yang tidak dapat direduksi. Apabila reduksi tertunda untuk beberapa hari biasanya reposisi dengan cara manipulasi sulit dilakukan.

d)

Osteoarthritis; terjadi karena adanya kerusakan tulang rawan, terdapat fragmen fraktur dalam ruang sendi atau adanya nekrosis iskemik caput femur.

b.

Dislokasi Anterior Mekanisme trauma Dislokasi anterior dapat terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang pada saat berjongkok dan posisi penderita dalam keadaan abduksi yang dipaksakan. Trochanter menabrak acetabulum dan keluar melalui robekan pada kapsul anterior. Bila sendi panggul dalam keadan fleksi, maka terjadi dislokasi tipe obturator dan bila sendi panggul dalam posisi ekstensi maka terjadi dislokasi tipe pubic atau iliaca. Gambaran klinis Tungkai bawah dalam keadaan rotasi eksterna, abduksi dan sedikit fleksi. Tungkai tidak mengalami pemendekan karena perlekatan musculus rectus femoris mencegah caput femur bergeser ke proksimal. Terdapat benjolan di depan daerah inguinal, dimana caput femur dapat diraba dengan mudah. Sendi panggul sulit digerakan. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan menunjukkan caput os femur berada di bawah acetabulum pada region foramen obturator, foto oblik dapat menunjukkan bahwa letak caput os femur berada di anterior. Pengobatan

Dilakukan reposisi seperti pada dislokasi posterior, kecuali pada saat fleksi dan tarikan tungkai pada dislokasi posterior, dilakukan adduksi pada dislokasi anterior. Komplikasi Komplikasi yang sering didapatkan adalah nekrosis avaskuler. c. Dislokasi Sentral Mekanisme trauma Terjadi apabila caput os femur terdorong ke dinding medial acetabulum pada rongga panggul. Namun kapsul tetap utuh. Fraktur acetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dari ketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana panggul dalam keadaan abduksi. Gambaran klinis Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trochanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Pemeriksaan radiologis Dengan pemeriksaan radiologis dapat diketahui adanya pergeseran dari caput femur menembus panggul. Pengobatan Selalu diusahakan untuk mereposisi fraktur dan mengembalikan bentuk acetabulum ke bentuk normalnya. Pada fraktur acetabulum tanpa penonjolan caput femur ke dalam panggul, maka dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang selama 4-6 minggu. Pada fraktur dimana caput femur tembus ke dalam acetabulum, sebaiknya dilakukan traksi pada 2 komponen yaitu komponen badan. Komplikasi longitudinal dan lateral selama 6 minggu dan diperbolehkan untuk berjalan dengan menggunakan penopang berat

1) Kerusakan alat-alat dalam panggul yang dapat terjadi bersamasama fraktur panggul 2) Kaku sendi merupakan komplikasi lanjut 3) Osteoartritis

DAFTAR PUSTAKA
Compston JE, 2001. Sex Steroid and Bone. In: Physiological reviews. The american physiology society: p. 419-46

Canalis E, 2005. The Fate of Circulating Osteoblast. N Engl J Med (35)2: p. 19 Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. Indomedika: p. 1-16

Buckwalter JA, Glinicher MJ, Cooper RR, Recher R, 1995. Bone biology. J.Bone Joint Surg; 77(8): p.1256-72

Cusharon, 1998. Basic Sciences. Electronic Textbook: www.worldortho.com

Darmawan. Ed.2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: hal. 180-5

Gomes J (2006). Osteoporosis dan bahaya pengeroposan tulang. Jakarta Arcan Hoffbrand A.V, Pettit J.E, 1996. Essential Haematology; alih bahasa, Iyan

Karolina, Maha S. 2009. Hubungan Pengetahuan dan Pencegahan Osteoporosis yang Dilakukan Lansia di Kecamatan Medan Selayang. FK USU.

Lane,N (2001). Osteoporosis : Patofisiologis. Jakarta. Raja Grafindo Persada Osteoporosis. edisi I. Editor: Suherman SK, Tobing S Dohar AL.

Rachman IA, 2006. Osteoporosis primer (Post menopause osteoporosis). In: Raisz LG, 2005. Pathogenesis of osteoporosis concepts, conflicts and prospects. J.Clin Invest; 115 (12): p. 3318-25

Riis BJ, 1996. The role of bone turnover in pathophysiology of osteoporosis. Br J Obstet Gynecol. 103 (13): p. 9-15 Setiyohadi, Bambang. 2007. Osteoporosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. EGC: Jakarta

UNSRI.

OSTEOPOROSIS

SUATU

PROBLEMATIK

PADA

MASA

KLIMAKTERIUM DAN MENOPAUSE. Diakses pada tanggal 10 Feb. 12 melalui http://digilib.unsri.ac.id

Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar

http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/20/dislokasi-bahu-akut/ http://dislokasisendibahu.blogspot.com/2011/04/dislokasi-pada-sendi-bahu.html http://herdinrusli.wordpress.com/2009/03/06/fisioterapi-pada-dislokasi-shoulderanterior/ http://www.emedicinehealth.com/shoulder_dislocation/article_em.htm

Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia; 2006. p. 1195-201.

Koentjoro, S.L. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan Derajat Osteoartritis Lutut menurut Kellgren dan Lawrence. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai