Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling sering di

dunia. Identifikasi individu mengenai peningkatan risiko dari penyakit kardiovaskular

merupakan hal yang diutamakan. Data dari studi terakhir menunjukkan bahwa populasi

dengan BMI yang lebih tinggi, waist-hip-ratio yang lebih besar, dan nilai rata-rata

tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih tinggi, dan juga level serum trigleserida

serta kolesterol yang lebih tinggi meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Min Lu

et al, 2011).

Meskipun penelitian mengenai lipid dan derajat aterosklerosis koroner dimulai

pada akhir 1960-an, masih merupakan ketidakpastian mengenai lipid mana yang

terbaik dalam menentukan derajat penyakit jantung koroner (coronary heart disease =

CHD). Penelitian epidemiologi dan klinis secara konsisten menunjukkan bahwa

peningkatan low-density lipoprotein cholesterol (LDL-C) merupakan lipoprotein

aterogenik yang berkembang menyebabkan CHD yang saat ini direkomendasikan

sebagai target primer untuk terapi dalam menurunkan lipid untuk pencegahan dan

pengobatan penyakit kardiovaskular, akan tetapi banyak juga pasien dengan CHD

memiliki kadar konsentrasi LDL-C normal atau bahkan lebih rendah. Adanya

perkembangan dalam penilaian liporotein membantu pengertian kita mengenai proses

aterosklerosis. Terdapat sejumlah laporan mengenai rasio apoB/apoA1 sebagai indeks

risiko kardiovaskular(Min Lu et al, 2011).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular termasuk di dalamnya mencakup penyakit jantung,

penyakit vaskular otak dan penyakit pembuluh darah. Penyakit kadiovaskular

bertanggungjawab pada lebih dari 17.3 juta kematian setiap tahunnya dan berperan

menjadi salah penyebab kematian terbanyak di dunia (WHO, 2011). Penelitian dari

Global Burden of Disease memperkirakan sekitar 29.6% kematian di seluruh dunia

(15.616,1 juta kematian) disebabkan oleh penyakit kardiovaskular pada tahun 2010.

Berikut penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh aterosklerosis (WHO, 2011):

 Penyakit jantung iskemik atau penyakit arteri koroner (contoh: serangan

jantung)

 Penyakit serebrovaskular (contoh: stroke)

 Penyakit aorta dan arteri, termasuk di antaranya hipertensi dan penyakit

vaskular perifer

Penyakit kardiovaskular lainnya (WHO, 2011):

 Penyakit jantung kongenital

 Penyakit jantung rematik

 Kardiomyopati

 Aritmia jantung

2.1.1 Patogenesis Aterosklerosis

Proses yang mendasari penyakit pada pembuluh darah yang menghasilkan

pada kondisi penyakit jantung koroner (serangan jantung) dan penyakit

serebrovaskular (stroke) dikenal dengan aterosklerosis. Aterosklerosis

2
bertanggungjawab terhadap sejumlah besar kejadian penyakit kardiovaskular.

Aterosklerosis merupakan proses patologis yang kompleks dimana dinding dari

pembuluh darah mengalami proses yang berkembang selama bertahun-tahun. Pada

aterosklerosis, lemak dan kolesterol terdeposit ke dalam lumen pembuluh darah

berukuran sedang dan besar. Deposit (plak) menyebabkan permukaan dalam

pembuluh darah menjadi ireguler dan lumen menjadi sempit, membuat menjadi lebih

sulit bagi darah untuk lewat. Pembuluh darah juga menjadi kurang lentur. Pada

akhirnya, plak dapat mengalami ruptur, mencetuskan terbentuknya klot pembuluh

darah. Jika klot pembuluh darah terbentuk dalam arteri koroner, hal ini dapat

menyebabkan terjadinya serangan jantung; jika berkembang di dalam otak dapat

menyebabkan stroke (WHO, 2011).

Faktor yang menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang dikenal sebagai

faktor risiko termasuk di antara di bawah ini.

Faktor risiko behavioural:

1. Merokok

2. Kurangnya aktivitas fisik

3. Diet yang tidak sehat (tinggi garam, lemak, dan kalori)

4. Konsumsi alkohol berlebihan

Faktor risiko metabolik:

5. Peningkatan tekanan darah (hipertensi)

6. Peningkatan kadar gula darah (diabetes)

7. Peningkatan lemak dalam darah (misal kolesterol)

8. Overweight dan obesitas

Faktor risiko lainnya:

1. Status ekonomi dan pendidikan rendah

2. Usia lanjut

3. Jenis kelamin
3
4. Faktor keturunan

5. Faktor psikologis (misal, stres, depresi)

6. Faktor risiko lainnya (misal kelebihan homcysteine)

Terdapat bukti ilmiah yang kuat bahwa faktor risiko behavioural dan metabolik

berperan penting dalam etiologi aterosklerosis (WHO, 2011).

Gambar 1. Perkembangan lesi aterosklerosis

Lesi fatty streak awal ditandai dengan akumulasi apolipoprotein B-containing lipoprotein (apoB-

LPs) pada ruang subendotel, dimana menyebabkan penarikan sel dendritik dan makrofag.

Ketika perkembangan lesi aterosklerosis, otot polos dan sel T juga menginfiltrasi intima, dan

retensi apoB-LP semakin kuat. Plak yang rentan ditandai dengan akumulasi sel apoptosis dan

klirens fagosit yang kurang baik (efferocytosis), menghasilkan lipid-filled necrotic core. Sebuah

thinning fibrous cap menurunkan stabilitas lesi, sehingga plak aterosklerosis ini rentan terjadi

ruptur dan terbentuk trombus (Moore, K.J. & Tabas Ira, 2011)

2.2 Prediksi Risiko Penyakit Kardiovaskular

Penilaian risiko dari penyakit kardiovaskular menjadi kunci dalam menentukan

faktor risiko penyakit kardiovaskular, untuk menentukan marker baru risiko penyakit

kardiovaskular, untuk menentukan dan menilai target potensial terapi, dan

meningkatkan penerapan cost-effective terapi baik untuk pencegahan primer dan

sekunder penyakit kardiovaskular. Estimasi risiko secara teoritis dapat digunakan

4
untuk kesadaran populasi akan penyakit yang dapat menyebabkan beban morbiditas

dan mortalitis, untuk menginformasikan pengetahuan mengenai risiko tersebut

terhadap individu atau subgrup, dan untuk memotivasi kepatuhan terhadap perubahan

gaya hidup atau terapi yang direkomendasikan. Pada praktik klinis, algoritma prediksi

risiko telah digunakan sebagai besar untuk mengidentifikasi individu dengan risiko

tinggi mengalami penyakit kardiovaskular dalam jangka pendek untuk men-seleksi

individu tersebut dalam penerapan intervensi pencegahan lebih intensif (Llyod-Jones,

D.M., 2010).

2.3 Rasio ApoB/ApoA1 yang tinggi sebagai salah prediktor faktor risiko

penyakit kardiovaskular

Apolipoprotein merupakan komponen penting dari partikel lipoprotein dan

terdapat bukti bahwa akumulasi dari sejumlah pengukuran bentuk apolipoprotein dapat

meningkatkan prediksi risiko penyakit kardiovaskular. Apolipoprotein B (ApoB)

merupakan molekul tunggal pada pada semua partikel lipoprotein aterogenik, misal

very-low density lipoprotein (VLDL), intermediate-density lipoprotein (IDL), dan LDL.

Terdapat hanya satu apoB setiap partikel. Sehingga nilai plasma dari total apoB

menunjukkan jumlah kolesterol. Apolipoprotein A1 (ApoA1) merupakan apolipoprotein

utama pada partikel high-density lipoprotein (HDL), dan merupakan sebuah inisiator

utama dan “driver of the reservese cholesterol transport”. ApoA1 dapat juga

bermanifestasi sebagai antioksidan dan antiinflamasi, dan dapat menstimulasi baik

produksi endotel dari nitric oxide serta pelepasan prostacyclin dari endotel. Dengan

demikian, ApoA1 memberikan efek anti aterogenik (Min Lu et al, 2011).

Sejumlah data yang terkumpul menunjukkan bahwa rasio apoB/apoA1

merupakan marker yang kuat untuk risiko terjadinya penyakit kardiovaskular ke

depannya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Min Lu et al, 2011 menunjukkan bahwa

apo B dan apoA1 merupakan indikator klinis sederhana, serta rasio dari apoB/apoA1
5
berhubungan dengan CHD pada pasien yang mengalami overweight dan obesitas.

Dimana penelitian membandingkan antara pasien CHD dengan pasien sehat yang

diukur level TG, rasio apoB/apoA1, apoA1, HDL-C, TC, LDL-C dan apoB. Pada pasien

CHD kadar TG dan apoB/apoA1 lebih tinggi, sedangkan level HDL-C dan apoA1 lebih

rendah. Tidak terdapat perbedaan sginifkan antara kedua grup pada level TC, dan

terlihat pada kadar LDL-C dan apoB. Dari penelitian tersebut disimpulkan jika level

apoB/apoA1 lebi baik dibanding level LDL-C dalam memprediksi risiko CHD. Bahkan

dikatakan jika rasio apoB/apoA1 dapat menjadi salah satu informasi yang bermanfaat

dalam mendiagnosa banding (Min Lu et al, 2011).

Rasio apoB/apoA1 menunjukkan keseimbagan antra pro-aterogenik partikel

IDL, VLDL, LDL dan partikel anti-aterogenik HDL. Pada AMORIS (penelitian prospektif

terbesar, Apoliprotein-related Mortality RISk study), rasio apoB/apoA1 merupakan

variabel risiko tunggal terbaik terkait lemak, juga menentukan lipid konvensional dan

rasio lipid lainya. Lebih tinggi level rasio apoB/apoA1, maka kolesterol akan terdeposit

di dinding arteri, yang berlanjutnya aterogenesis.

Terdapat sebuah penelitian mengenai variasi rasio apoB/apoA1 pada individu

normal dengan normolipidemia dan hubungan antara rasio apoB/apoA1 dengan index

lipid lainnya. Didapatkan nilai rasio apoB/apoA1 melebihi 0.9 ditemukan apda subyek

dengan normolipidemia. Peningkatan rasio apoB/apoA1 diikuti dengan peningkatan

atherogenic index of plasma (AIP), dimana mengindikasikan perubahan simultan

jumlah dan komposisi lipoprotein pada subyek penelitian. Subyek dengan rasio

apoB/apoA1 > 0.9 juga ditandai dengan level TG lebih tinggi dan nilai rasio LDL-

C/apoB serta konsentrasi apo E lebih rendah jika dibandingkan dengan subyek yang

memiliki rasio apob/apoA1 < 0.9. Secara keseluruhan, subyek dengan apoB/apoA1 >

0.9 menunjukkan profil lipid lebih aterogenik. Sehingga rasio apoB/apoA1 dapat

dijadikan marker sensitif risiko aterogenik (Kaneva, A.M et al, 2015). Berdasarkan

Cleveland Heartlab, Inc rasio apoB/apoA1 pada wanita tergolong rendah jika <0.7,
6
tergolong moderate jika 0.7-0.8, dan tergolong tinggi jika >0.8. Sedangakan pada pria

tergolong rendah jika <0.75, tergolong moderate jika 0.75-0.9 dan tergolong tinggi jika

>0.9. Dimana rasio apoB/apoA1 mengindikasikan keseimbangan kolesterol dan

menunjukkan hubungan langsung yang kuat dengan risiko kejadian iskemik. Individu

yang memiliki rasio apoB/apoA1 yang tinggi memiliki risiko 3x lebih tinggi mengalami

infark myokard (Walldius G et al, 2006).

2.3.1 Prinsip Tes rasio ApoB/ApoA1

2.3.2 Pengambilan dan Persiapan Sampel Tes rasio ApoB/ApoA1

Pengambilan sampel darah untuk penghitungan rasio apoB/apoA1 dilakukan

dengan mengambil darah vena. Darah vena dapat diambil dari regio antecubital

dengan kondisi pasien puasa semalam. Sebanyak 4 mL darah diambil. Sampel serum

disimpan dalam aliquots pada suhu 20°C dan sebelumnya tidak dicairkan hingga

dianalisis serum apoA1 dan apoB. Analisis dilakukan selama 8 minggu. Analisis dapat

dilakukan dengan autoanalyser Synchron CX 9 (Beckman) menggunakan kit dari

Randox (UK). Menentukan apolipoprotein A1 dan apolipoprotein B dalam serum

dilakukan dengan immunoturbidometric immunoassay. Sampel yang mengandung

human apoA1 dan apoB dibuat bereaksi terhadap antiserum spesifik untuk membentuk

kompleks tidak terlarut yang diukur dengan turbidometric pada 340 nm. Konsentraasi

apolipoprotein A1 dan B selanjutnya ditentukan dengan kurva standard (Dawar, Rajni

et al, 2010).

2.3.3 Bukti Epidemiologi yang Mendukung Evaluasi rasio ApoB/ApoA1

Sebuah penelitian yang mencakup rasio apoB/apoA1 dilakukan oleh peneliti

INTERHEART pada 26,903 subyek dari 52 negara mengenai risiko infark myokard

akut terkait dengan sindrom metabolik. Dimana 12,297 partisipan termasuk dalam
7
kelompok kasus, sedangkan 14,606 partisipan termasuk ke dalam kelompok kontrol.

Keseluruhan partisipan direkrut dari 263 pusat di kawasan Asia, Eropa, Timur Tengah,

Afrika, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Metode penelitian dilakukan

dengan menggunakan kuisioner, pemeriksaan fisik, dan pengambilan sampel darah

pada kedua kelompok. Faktor risiko yang dicantumkan adalah hipertensi dan diabetes

mellitus. Sedangkan pemeriksaan fisik yang dilakukan termasuk diantaranya adalah

lingkar pinggang dan lingkar panggul, tekanan darah, dan berat badan. Kemudian

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah mengukur apoB, apoA, dan HbA1C.

Dari hasil didapatkan mengenai PAR (population attributable risk) infark myokard yang

berhubungan dengan metabolik sindrom yakni dari peningkatan rasio apoB/apoA pada

pasien diabetes mellitus, hipertensi, dan obesitas abdomen masing-masing sebesar

16.4%, 13.2%, dan 31,9%(Mente, Andrew et al, 2010). Dari studi INTERHEART yang

melibatkatkan 52 negara tersebut menunjukkan bahwa rasio apoB-apoA1 lebih kuat

berhubungan dengan prediksi infark myokard dibanding faktor risiko konvensional

lainnya seperti, merokok, hipertensi, diabetes, stres dan obesitas abdominal, tanpa

melihat jenis kelamin, usia, dan ras (Lima et al, 2007).

Pada penelitian MONICA/KORA, 1414 pria dan 1436 wanita dengan tanpa

disertai riwayat infark myokard dilakukan evaluasi selama 13 tahun. Dimana hasil

utama dari penelitian ini adalah hubungan kuat antara peningaktan level apoB dan

peningkatan risiko infark myokard, dimana peningkatan level apoA1 tidak berhubungan

secara signifikan dengan rendahnya risiko infark myokard. Bagaimanapun, analisis

multivariat menunjukkan bahwa rasio apoB-apoA1 secara kuat berhubungan dengan

risiko infark myokard bahkan setelah dilakukan penyesuaian dalam usia, body mass

index, merokok, diabetes mellitus dan hipertensi (Lima et al, 2007)

Sebuah studi yang dilakukan pada 170 ribu orang di swedia, studi AMORIS

menunjukkan bahwa apo B merupakan marker yang lebih baik bagi kardiovaskular

dibanding LDLc, khususnya pagi mereka yang dengan level LDLc yang diinginkan,
8
tanpa memandang jenis kelamin. Rasio apoB-apoA1 diidentifikasi pada penelitian

tersebut sebagai variabel tunggal yang kuat berhubungan dengan peningkatan risiko

infark myokard, khususnya ketika level lipid berada dalam angka yang diinginkan (Lima

et al, 2007).

Terdapat studi lain yang membandingkan rasio antara apoB/apoA1 dengan

lipid lainnya yaitu Wailenfeldt K et al (2004) di Swedia, meneliti mengenai rasio

apoB/apoA1 dalam hubungannya dengan sindrom metabolik dan perubahan pada

penebalan di arteri karotis intima media, selama 3 tahun pada pasien laki-laki usia

pertengahan. Dari hasil penelitiannya didapatkannya peningkatan signifikan rasio

apoB/apoA1 pada masing-masing komponen sindrom metabolik.

Berkebalikan dengan hasil penelitian di atas, Women’s Health Study yang

mengevaluasi 1500 wanita usia di atas 45 tahun selama 10 tahun, menunjukkan

bahwa kolesterol non HDL dan rasio total kolesterol-HDLc bersifat sama efisien

dengan apolipoprotein A-1 dan B dan rasio apoB-apoA1 untuk memprediksi risiko

kardiovaskular. Meskipun begitu, apo B merupakan parameter tunggal terbaik untuk

memprediksi kejadian kardiovaskular ke depannya pada wanita (Lima et al, 2007). Dari

sejumlah penelitian dinyatakan kegunaan dari peningaktan level apoB sebagai

prediktor risiko kardiak, sedangkan yang lain menghubungkan risiko ini untuk

mengurangi level apoA1. Akan tetapi konsesus pada literatur masih menyebutkan

bahwa keseimbangan antara partikel aterogenik dan antiaterogenik, ditunjukkan

dengan rasio apoB-apoA1, menunjukkan sebagai parameter tambahan dan penting

untuk prediksi risiko kardiovaskular, dan saat ini dipertimbangkan sebagai marker lebih

baik ketika dibandingkan dengan lipid, lipoprotein dan rasio lipid konvensional (Lima et

al, 2007).

2.3.4 Keterbatasan Evaluasi

9
Saat ini telah terdapat peningkatan dalam ketertarikan untuk menemukan

marker terbaru untuk risiko penyakit kardiovaskular, sehingga dibutuhkan adanya

penilaian dalam penggunaan marker tersebut. Saat ini terdapat konsep terbaru

mengenai evaluasi risiko dan mengajukan standard mengenai metode penilaian risiko.

Evaluasi yang adekuat dari marker risiko terbaru membutuhkan desain penelitian,

populasi risiko yang mewakili, dan jumlah adekuat dari outcome. Penelitian dari marker

terbaru selayaknya memberikan informasi mengenai prognosis yang diperoleh dari

marker risiko standard. Tidak adanya pengukuran statistik yang memberikan semua

infomasi yang dibuthkan dalam menilai marker terbaru, sehingga mengukur baik

perbedaan maupun akurasi harus dilaporkan. Nilai klinis dari sebuah marker harus

dinilai efeknya terhadap tatalaksana pasien dan hasilnya. Secara garis besar, marker

risiko dievaluasi dalam beberapa fase, termasuk diantaranya adalah bukti awal

konsep, validasi prospektif pada populasi independen, dokumentasi informasi

tambahan ketika ditambahkan pada marker risiko standard, penilaian efek terhadap

manajemen pasien dan outcome, dan tentunya efektivitas dari segi biaya (Hlatky et al,

2009).

Telah dijelaskan pada penelitian AMORIS dan INTERHEART bahwa rasio

apoB-apoA1 dijadikan sebagai salah prediktor yang kuat untuk risiko penyakit

kardiovaskular. Selain itu peran dari pengukuran rasio apoB-apoA1 terhadap

pemberian terapi penurunan kadar lipid seperti statin dapat dikatakan terdapat

keterkaitan. Dimana dalam praktik klinis penggunaan simwastatin dan pravastatin

dapat menurunkan apoB hingga 20% dan meningkatkan apoA1 sekitar 2-5%. Selain itu

statin yang lebih efektif dalam menurunkan apoB adalah atorvastatin dan rosuvastatin

dimana dapat menurunkan nilai apoB masing-masing sebesar 40-45% dan 45-50%.

Rosuvastatin merupakan agen terbaik dalam meningkatkan konsentrasi apoA1 sekitar

10-15% (Koha et al, 2011; Nicholls et al, 2010; Faergeman et al, 2008).

10
Namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai evaluasi penggunaan

marker rasio apoB-apoA1 terkait dengan efektivitas biaya.

11
2.3.6 Kriteria rasio apoB/apoA1

Berikut merupakan salah satu kriteria dari rasio apoB/apoA1 berdasarkan

Cleveland Heartlab, Inc:

W a n i t a P r i a

Rendah < 0 . 7 < 0 . 7 5

Sedang 0 . 7 – 0 . 8 0 . 7 5 – 0 . 9

T i n g g i > 0 . 8 > 0 . 9

Dimana rasio apoB/apoA1 mengindikasikan keseimbangan kolesterol dan

menunjukkan hubungan langsung yang kuat dengan risiko kejadian iskemik. Individu

yang memiliki rasio apoB/apoA1 yang tinggi memiliki risiko 3x lebih tinggi mengalami

infark myokard (Walldius G et al, 2006).

Sedangkan jika berdasarkan penelitian AMORIS dan INTERHEART nilai rasio

apoB/apoA1 sehubungan dengan risiko infark myokard adalah (Lima et al, 2007):

Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi

P r i a 0.40 – 0.69 0.70 – 0.89 0.90 – 1.10

W a n i t a 0.30 – 0.59 0.60 – 0.79 0.80 – 1.00

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling sering di

dunia. Identifikasi individu mengenai peningkatan risiko dari penyakit kardiovaskular

merupakan hal yang diutamakan (Min Lu et al, 2011). Penilaian risiko dari penyakit

kardiovaskular menjadi kunci dalam menentukan faktor risiko penyakit kardiovaskular,

untuk menentukan marker baru risiko penyakit kardiovaskular, untuk menentukan dan

menilai target potensial terapi, dan meningkatkan penerapan cost-effective terapi baik

untuk pencegahan primer dan sekunder penyakit kardiovaskular (Llyod-Jones, D.M.,

2010). Sejumlah data yang terkumpul menunjukkan bahwa rasio apoB/apoA1

merupakan marker yang kuat untuk risiko terjadinya penyakit kardiovaskular ke

depannya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Min Lu et al, 2011 menunjukkan bahwa

apo B dan apoA1 merupakan indikator klinis sederhana, serta rasio dari apoB/apoA1

berhubungan dengan CHD pada pasien yang mengalami overweight dan obesitas.

Terdapat pula bukti epidemiologi yang mendukung rasio apoB/apoA1 yakni pada

penelitian AMORIS dan INTERHEART bahwa rasio apoB-apoA1 dijadikan sebagai

salah prediktor yang kuat untuk risiko penyakit kardiovaskular. Dimana semakin tinggi

rasio apoB/apoA1 menunjukkan risiko kuat terjadi penyakit kardiovaskular, termasuk di

antaranya infark myokard.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dawar R., Gurtoo A., Singh R. ApoB/apoA1 ratio is statistically the best predictor of

myocardial infarction compared to other lipid ratios. International Journal of

Pharma and Bio Sciences. 2010. V1(2).

Faergeman O, Hill L, Windler E, Wiklund O, Asmar R, Duffield E, Sosef F on behalf of

the ECLIPSE study investigators. Efficacy and Tolerability of Rosuvastatin and

Atorvastatin when Force-Titrated in Patients with Primary Hypercholesterolemia.

Results from the ECLIPSE Study. Cardiology 2008; 111: 219-228. DOI:

10.1159/000127442.

Koha KK, Sakumab I, Quonc MJ. Review; Differential metabolic effects of distinct

statins. Atherosclerosis 2011; 215: 1-218.

Lima LM, Carvalho MG., Sousa MO. ApoB/apoA-1 ratio and cardiovascular risk

prediction. 2007. Arq Bras Cardiol; 88(6) : e140-e143

Lloyd-Jones DM. Cardiovascular Risk Prediction. Circulation. 2010; 121: 1768-1777.

Mente A., Yusuf S., Islam S., McQueen MJ., Tanomsup S., Onen CL., Rangarajan S.,

Gerstein HC., Anand SS. Metabolic Syndrome and Risk of Acute Myocardial

Infarction. Journal of the Americal College of Cardiology. 2010. Vol 55, No. 21.

2390-8.

Min Lu, Qun Lu, Yong Zhang, Gang Tian. ApoB/apoA is an effective predictor of

coronary heart disease risk in overweight and obseity. Journal of Biomedical

Research. 2011. 25(4):266-273

Min Lu. Qun Lu, Yong Zhang. Gang Tian. ApoB/apoA1 is an effective predictor of

coronary heart disease risk in overweight and obesity. Journal of Biomedical

Research, 2011, 25(4):266-273

14
Moore KJ., Tabas I. Macrophages in the Pathogenesis of Atherosclerosis. J Cells.

2011.

Nicholls SJ, Brandrup-Wognsen G, Palmer M, Barter PJ. Meta-analysis of Comparative

Efficacy of Increasing Dose of Atorvastatin Versus Rosuvastatin Versus

Simvastatin on Lowering Levels of Atherogenic Lipids (from VOYAGER). Am J

Cardiol 2010; 105: 69- 76.

Walldius G et al. Stroke mortality and the ApoB/ApoA-1 ratio: Results of the AMORIS

prospectivestudy. J Intern Med. 2006; 259: 259-266.

Wallenfeldt K, Bokemark L, Wikstrand J, Hulthe J, Fagerberg B. 2004. Apolipoprotein

B/ apolipoprotein A-I in relation to the metabolic syndrome and change in carotid

artery intima-media thickness during 3 years in middle-aged men. Stroke 35:

2248-52.apo

WHO. Global Atlas on cardiovascular disease prevention and control. 2011.

15

Anda mungkin juga menyukai