Anda di halaman 1dari 32

OSTEOPOROSIS

OLEH:
Shinta Pedia Dinanti 110100324

PEMBIMBING :
dr. Otman Siregar, Sp.OT(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Osteoporosis.
Penulisan

makalah

ini

adalah

salah

satu

syarat

menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen


Ilmu Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Otman Siregar, Sp.OT(K) yang telah meluangkan waktunya dan
memberi banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2016

Penulis

DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

ii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................

1.1. Latar Belakang...............................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................

2.1. Komposisi dan Struktur Tulang.................................................

2.1.1 Komposisi Tulang................................................................

2.1.2 Sturktur Tulang.....................................................................

2.1.3 Remodeling Tulang..............................................................

2.2. Regulasi Metabolisme Tulang dan Kalsium..............................

2.3. Osteoporosis..................................................................................

2.3.1 Definisi.................................................................................

2.3.2 Epidemiologi........................................................................

2.3.3 Etiologi.................................................................................

2.3.4 Klasifikasi.............................................................................

2.3.5 Patogenesis........................................................................... 10
2.3.6 Gejala Klinis......................................................................... 14
2.3.7 Diagnosis.............................................................................. 15
2.3.8 Penatalaksanaan................................................................... 23
2.3.9 Pencegahan........................................................................... 27
BAB 3 KESIMPULAN................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang1,2

1.1.

Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi
alat-alat di dalam tubuh, pembentuk tubuh, metabolism kalsium dan mineral,
dan organ hemopoetik. Tulang juga merupakan jaringan ikat yang dinamis
yang selalu diperbarui melalui proses remodeling yang terdiri dari proses
resorpsi dan formasi. Dengan proses resorpsi, bagian tulang yang tua dan
rusak akan dibersihkan dan diganti oleh tulang yang baru melalui proses
formasi. Proses resorpsi dan formasi selalu berpasangan. Dalam keadaan
normal, massa tulang yang diresorpsi akan sama dengan massa tulang yan
diformasi, sehingga terjadi keseimbangan. Pada pasien osteoporosis, proses
resorpsi lebih aktif dibandingkan formasi, sehingga terjadi defisit massa tulang
dan tulang menjadi semakin tipis dan perforasi.
Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai
oleh menurunnya massa tulang,oleh karena berkurangnya matriks dan mineral
tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan
akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang
mudah patah. Menurunnya massa tulang dan memburuknya arsitektur jaringan
tulang ini, berhubungan erat dengan proses remodeling tulang yaitu terjadi
abnormalitas bone turnover. Pengobatan osteoporosis yang sudah lanjut
dengan komplikasi patah tulang merupakan hal yang sangat sulit, dan
memerlukan waktu lama dan biaya yang cukup besar. Jadi osteoporosis lebihlebih yang sudah terjadi komplikasi menimbulkan morbiditas dan mortalitas
yang cukup serius.
Osteoporosis dapat dijumpai diseluruh dunia dan sampai saat ini masih
merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang. Di Amerika Serikat, osteoporosis menyerang 20-25 juta
penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post menopause dan lebih dari 505 penduduk

di atas umur 75-80 tahun. WHO menunjukkan bahwa diseluruh dunia ada
sekitar 200 juta orang yang menderita osteoporosis. Pada tahun 2050,
diperkirakan angka patah tulang pinggul akan meningkat 2 kali lipat pada
wanita dan 3 kali lipat pada pria. Laporan WHO juga menunjukkan bah 50%
patah tulang adalah patah tulang pada paha atas yang dapat mengakibatkan
kecacatan seumur hidup dan kematian. Dibandingkan dengan masyarakat di
negara-negara Afrika, densistas tulang masyarakat Eropa dan Asia lebih
rendah, sehingga mudah sekali mengala osteoporosis. Hasil penelitian white
paper yang dilaksanakan bersama Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun
2007, melaporkan bahwa proporsi penderita osteoporosis pada penduduk
berusia di atas 50 tahun adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria.
Sedangkan data Sistem Informasi Rumah Sakit tahun 2010 menunjukkan
angka insiden patah tukang pada atas akibat osteoporosis adalah sekitar 200
atau 100.000 kasus pada usia 40 tahun.
Penanganan osteoporosis tidak hanya sekedar untuk menurunkan resorpsi
tulang atau meningkatkan densitas tulang, tetapi yang penting adalah
mencegah fraktur. Dahulu dianggap bahwa peningkatan densitas tulang sudah
cukup untuk mencegah terjadinya fraktur akibat osteoporosis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komposisi dan Struktur Tulang3
2.1.1 Komposisi Tulang
Tulang sebagian besar tersusun atas matriks kolagen yang
mengandung garam-garam mineral dan sel-sel tulang. Matriks terdiri atas
kolagen tipe II yang terdapat dalam substansi mukopolisakarida. Dalam
matriks terdapat pula sebagian kecil protein non-kolagen yang berbentuk
proteoglikan dan protein yang spesifik pada tulang, yaitu osteonektin yang
berfungsi dalam mineralisasi tulang serya osteokalsin (Gla Protein) yang
fungsinya belum diketahui dengan jelas. Osteokalsin diproduksi oleh
osteoblast dimana kinsentasi dari protein ini dapat digunakan untuk
mengukur aktivitas osteoblastik tulang. Matriks yang tidak mengandung
mineral tersebut osteoid dan terdapat sebagian lapisan yang tipis dimana
pembentukan aktif tulang baru terjadi.
a. Mineral Tulang
Hampir separuh dari volume tulang diisi oleh mineral tulang terutama
oleh kalsium dan fosfat dalam bentuk Kristal hidrosiapatit. Komponen
mineral ini berada pada osteoid dalam bentuk kalsifikasi, yang terletak
antara tulang dan osteoid.
b. Sel-sel Tulang
Sel-sel tulang terdiri atas:
1. Osteoblas
Osteoblas bertanggungjawab atas pembentukam tulang, terbentuk dari
sel-sel mesenkim lokal yang terbentuk sel kuboid pada permukaan
bebas

dari

trabekula

tulang

dan

system

Haversian

dimana

pembentukan tulang baru terjadi. Sel osteoblast ini banyak


mengandung alkasi fosfatase dan bertanggungjaawab atas produksi
dan mineralisasi matriks tulang.
2. Osteosit

Osteosit berada pada lakuna tulang, berhubungan dengan osteosit


lainnya dan permukaan sel melalui prosesus sitoplasma. Fungsi
osteosit masih belum jelas dan diduga berperan dalam resorpsi tulang
(dalam proses osteolotik-osteolisis) dan transport ion kalsium, dibawah
pengaaruh hormone paratiroid.
3. Osteoklas
Osteoklas merupakan mediator utama dalam proses resorpsi tulang.
Sel osteoklas adalah sel dengan inti banyak yang berasal dari sel
monosit dalam sumsusm tulang. Apabila terjadi resorpsi matriks
organic, maka osteoklas dapa terlihat dalam suatu saluran yang disebut
how sheeps lacunae.
2.1.2

Struktur Tulang
Tulang imatur (woven bone) adalah tulang denga serapserat kolagen
yang tidak teratur baik dan sel-selnu\ya tidak mempunyai orientasi yang
khusus.
Tulang matur (lameral bone) adalah tulang denga serat kolagen yang
teratur, tersusun secara paralel membentuk lapisan yang multiple disebut
lamellae dengan sel osteosit diantar lapisa-lapisan tersebut. Tulang matur
terdiri dari dua struktur yang berbeda bentuknya, yaitu:
1. Tulang kortikal yang bersifat kompak
2. Tulang trabekuler yang bersifat spongiosa

2.1.3

Remodeling Tulang
Tulang baru dapat terbentuk dari dua cara yang berbeda, yaitu:
1. melalui osifikasi dan proliferasi tulang rawan yang disebut osifikasi
endokonral, terutama terlihat pada lempeng epifisi atau pada suatu
penyembuhan tulang.
2. Melalui osifikasi langsung pada jaringan lunak yang disebut osifikasi
mebranosa yang dapat terlihat pada pembentukan tulang subperiosteal
yang baru.

2.2 Regulasi Metabolisme Tulang dan Kalsium3


Lebih dari 98% kalsium dan lebih dari 85% fosfor tubuh tersimpan dalam
tulang serta mempunyai kapasitas yang kecil dalam penggantiannya.
Sejumlah kecil mineral dapat mengalami penggantian secara cepat baik

dalam bentuk kristal atau dalam cairan ekstraseluler dimana konsentrasi


kalsium dan fosfat tergantung dari absorbsinya pada usu dan ekskresinya
pada ginjal. Terjadinya perubahan kadar mineral plasma akan diatasi melalui
pengaturan absorbsinya pada tubulus ginjal.
Kalsium mempunyai hubungan yang erat dalam pemebntukan dan resorpsi
tulang. Keseimbangan antara absorbsi, eksresi, sirkulasi ekstraseluler dan
penggantian kalsium di dalam tulang dikontrol oleh faktor-faktir sistemik dan
lokal.
1. Kalsium
Kalsium merupakan mineral esensial bagi kelangsungan fungsi dan proses
biologis normal sel misalnya pada proses penghantaran impuls saraf dan
kontraksi otot. Konsentrasi normal kalsium dalam darah dan cairan
ekstraseluer antara 8,8-10,4 mg/100 ml.Umumnya kalsium terikat dengan
protein dan sebagian dalam bentuk ion yang efektif untuk metabolism sel
dan proses homeostasis tubuh. Untuk mencukupi kebutuhan kalsium
tubuh, makanan sehari-hari haring mengandung kalsium sebanyak 400800 mg dimana sebanyak 50% akan masuk ke dalam sirkulasi yang
absorbsinya dari intestinal dimungkinkan oleh adanya metabolit vitamin
D. ekskresi kalsium dalam urin bervariasi antara 100-400 mg/24 jam dan
bila kadar kalsium darah berkurang, tubuh akan berusaha mengimbangi
dengan cara meningkatkan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal
sehingga akibatnya ekskresi akan berkurang.
2. Fosfor
Fosfor diperlukan untuk berbagia proses metabolism yang penting.
Konsentrasi fosfor di dalam darah hamper seluruhnya dalam benyuk ion
fosfat inorganic sebanyak 2,8-4mg/100ml. ekskresi fosfat sangat efisien,
tapi sebanyak 90% diresorpsi kembali ke dalam tubulus proksimalis ginjal
dibawah pengaruh hormon paratiroid.
3. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid berperan dalam regulasi metabolism kalsium tubuh
yang bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi kalsium ekstraseluler.
Efek hormon paratiroid pada tubulus renalis adalah menurunkan

reabsorbsi fosfor dan meningkatkan reabsorbsi kalsium sehingga ekskresi


fosfor meningkar dan ekskresi kalsium berkurang pada urin.
Pada tulang, hormone paratiroid akan meningkatkan resorpsi tulang oleh
sel osteoklas dan pelepasan kalsium serta fosfat dalam darah.
4. Kalsitonin
Kalsitonin diproduksi oleh sel C tiroid dan memounyai fungsi yang
berlawanan dengan hormon tiroid.
5. Vitamin D
Vitamin D berfungsi dalam remodeling tulang serta mobilisasi kalsium
dari usus halus dan tulang. Secara alamiah vitamin D yang aktif dalam
tubuh dalam bentuk vitamin D3 (kolekalsiferol) yang berasal dari dua
sumber yaitu langsung dari diet dan secara tidak langsung terjadi dari
perubahan precursor vitamin D3 pada kulit dibawah pengaruh sinar ultar
violet. Kebutuhan sehari-hari tubuh terhadap vitamin D sebesar 400 IU.
2.3.
Osteoporosis
2.3.1 Definisi4
Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit tulang
yang ditandai dengan adanya penurunan masa tulang dan perubahan
struktur pada jaringan mikro arsitektur tulang, yang menyebabkan
kerentanan tulang meningkat disertai kecenderungan terjadinya
fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang belakang dan pada
tulang radius. Sedangkan definisi yang sering dan banyak digunakan
adalah definisi dari WHO yaitu suatu penyakit yang disifati oleh
adanya berkurangnya massa tulang dan kelainan mikro arsitektur
jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan
resiko terjadinya fraktur tulang.
2.3.2

Epidemiologi2
Osteoporosis dapat dijumpai diseluruh dunia dan sampai saat ini
masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, osteoporosis menyerang

20-25 juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post menopause dan


lebih dari 505 penduduk di atas umur 75-80 tahun.
WHO menunjukkan bahwa disekuruh dunia ada sekitar 200 juta
orang yang menderita osteoporosis. Pada tahun 2050, diperkirakan
angka patah tulang pinggul akan meningkat 2 kali lipat pada wanita
dan 3 kali lipat pada pria. Laporan WHO juga menunjukkan bah
50% patah tulang adalah patah tulang pada paha atas yang dapat
mengakibatkan kecacatan seumur hidup dan kematian. Dibandingkan
dengan masyarakat di negara-negara Afrika, densistas tulang
masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah, sehingga mudah sekali
mengala osteoporosis.
Hasil penelitian white

paper

yang

dilaksanakan

bersama

Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007, melaporkan bahwa


proporsi penderita osteoporosis pada penduduk berusia di atas 50
tahun adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria. Sedangkan
data Sistem Informasi Rumah Sakit tahun 2010 menunjukkan angka
insiden patah tukang pada atas akibat osteoporosis adalah sekitar 200
atau 100.000 kasus pada usia 40 tahun.

2.3.3

Etiologi3
Osteoporosis merupakan hasil interaksi kompleks yang menahun
antara faktor genetic dan faktor lingkungan. Faktor-faktor risiko
terjadinya osteoporosis adalah:
1. Umur : lebih sering terjadi pada usia lanjut
2. Ras : kulit putih mempunyai risiko paling tinggi
3. Faktor keturunan : ditemukan riwayat keluarga dengan keropos
tulang
4. Adanya kerangka tubuh yang lemah dan scoliosis vertebra.
Keadaan ini terutama terjadi pada wanita antar umur 50-60 tahun
dengan densitas tulang yang rendah dan diatas umur 70 tahun
dengan BMI yang rendah
5. Aktivitas fisik yang kurang
6. Tidak pernah melahirkan
7. Menopause dini

8. Gizi (antara lain protein), kandungan garam pada makanan,


kekurangan protein dan kalsium dalam masa kanak-kanak dan
remaja menyebabkan tidak tecapainya massa tulang yang
maksimal pada waktu dewasa
9. Gaya hidup seperti peminum alcohol berat, peminum kopi berat
dan perokok berat
10. Hormonal yaitu kadar estrogen plasma yang kurang
11. Obat misalnya kortikosteroid
12. Kerusakan tulang akibat kelelahan fisik (fatigue damage)
misalnya jogging yang berlebihan tanpa diimbangi gizi yang
cukup
13. Jenis kelamin : 3 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria.
Perbedaan ini mungkin, disebabkan oleh faktor hormonal dan
rangka tulang yang lebih kecil.
2.3.4

Klasifikasi5,6
A. Osteoporosis Primer
Merupakan tipe osteoporosis yang paling banyak, dengan
penderita sekitar 95%. Osteoporosis primer, kemudian dibagi lagi
menjadi osteoporosis primer tipe 1 dan osteoporosis primer tipe 2.
1. Osteoporosis primer tipe 1 (post menopause) : Merupakan
tipe yang paling sering ditemukan, yang ditandai dengan
meningkatkan aktivitas remodeling tulang. Peningkatan
remodeling tulang ini, menyebabkan hilangnya kepadatan
tulang-tulang trabekular. Onset dari tipe 1 ini berkaitan dengan
kehilangan hormone estrogen, jadi secara tidak langsung,
penyakit tipe 1 ini lebih banyak di derita oleh wanita
dibandingkan dengan pria (6:1). Efek langsung dari hilangnya
kepadatan tulang trabekular adalah dapat menyebabkan tulang
menjadi lebih mudah fraktur. Fraktur tulang vertebra,
pergelangan tangan dan ankle adalah jenis fraktur yang paling
sering terjadi. Fraktur pada vertebra biasanya menyebabkan

deformitas dan sakit. Pasien biasanya akan semakin mengecil


karena kehilangan sekitar 25% dari tinggi vertebra mereka.
2. Osteoporosis primer tipe 2 (senile osteoporosis)

osteoporosis ini terjadi karena kaitannya dengan usia dan bisa


menyerang baik wanita maupun pria yang berusia di atas 70
tahun, walaupun dalam kenyataannya, wanita lebih beresiko 2
kali lebih banyak terkena osteoporosis tipe 2 ini dibandingkan
dengan pria. Osteoporosis tipe 2 ini, hilangnya kepadatan
tulang terjadi secara perlahan (pelan), dimulai sejak umur 40
tahun dan terus berlanjut selama beberapa decade kemudian.
Tidak seperti tipe 1 yang hanya kehilangan tulang trabekular,
tipe 2 mengalami kehilangan tulang trabekular dan kortikal
dalam jumlah yang sama. Dalam prosesnya, osteoklas dalam
tulang melakukan resorpsi dalam batas yang normal, tetapi
karena

aktivitas

dari

osteoblas

terganggu,

sehingga

aktivitasnya di bawah normal sehingga produksi matriks


tulang menurun, maka sebagai hasilnya, tulang trabekular
secara perlahan menjadi lebih tipis dan tebal dari korteks
tulang kortikal menurun. Fraktur yang paling sering terjadi
adalah fraktur pada panggul ( hip / coxae ), tulang humerus
proksimal, tibia proksimal dan pelvis.
B. Osteoporosis Sekunder
Hasil osteoporosis sekunder dari berbagai penyebab. Yang paling
umum adalah kronis atau lama kortikosteroid penggunaan dan
gangguan endokrin. Endokrin gangguan yang berkaitan dengan
osteoporosis adalah hipertiroidisme; hiperparatiroidisme; diabetes,
penyakit Cushing, dan gangguan euplastic.
2.3.5

Patogenesis7
Tulang terdiri atas sel dan matriks. Terdapat dua sel yang penting
pada pembentukan tulang yaitu osteoclas dan osteoblas. Osteoblas
berperan pada pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas pada

10

proses resorpsi tulang. Matriks ekstra seluler terdiri atas dua


komponen, yaitu anorganik sekitar 30-40% dan matrik inorganik
yaitu garam mineral sekitar 60-70 %. Matrik inorganik yang
terpenting adalah kolagen tipe 1 ( 90%), sedangakan komponen
anorganik terutama terdiri atas kalsium dan fosfat, disampinh
magnesium, sitrat, khlorid dan karbonat.
Osteoblas adalah sel pembentuk tulang. Mereka membentuk dan
mesekresikan kolagen (kebanyakan tipe I) dan nonkolagen organik
komponen pada fase matrik tulang. Mereka mempunyai peranan
penting pada mineralisasi matrik organik. Protein nonkolagen
produksi osteoblas meliputi osteokalsin (komponen nonkolagen
tulang terbesar), 20% dari total massa tulang; osteonectin; protein
sialyted dan phosphorylated; dan thrombospondin. Peranan protein
nonkolagen tersebut tidak diketahui tapi sintesisnya diatur oleh
hormon paratiroid (PTH) dan 1,25 dihidroksivitamin D. Mereka juga
berperan pada kemotaksis dan adhesi sel. Pada proses pembentukan
matrik tulang organik, ostoblas terperangkap diantara formasi
jaringan baru, kehilangan kemampuan sintesis dan menjadi osteosit.
Osteoklas adalah sel terpenting pada resorpsi tulang. Mereka
digambarkan dengan ukurannya yang besar dan penampakan yang
multinucleated. Sel ini bergabung menjadi tulang melalui permukaan
reseptor.

Penggabungan

pada

permukaan

osteoklas

tulang

membentuk komparment yang dikenal sebagai sealing zone.


Reorpsi tulang terjadi oleh kerja proteinase asam pada pusat ruang
isolasi subosteoklas yang dikenal sebagai lakuna Howship. Membran
plasma dari sel ini diinvaginasi membentuk ruffled border. Osteoklas
mungkin berasal dari sel induk sum-sum tulang, yang juga
menghasilkan makrofag-monosit. Perkembangan dan fungsi mereka
dimodulasi oleh sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6
(IL-6) dan interulekin-11 ( IL-11).

11

Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami


perubahan selama kehidupan melalui tiga fase: Fase pertumbuhan,
fase konsolodasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak
90% dari massa tulang dan akan berakhir pada saat eepifisi tertutup.
Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun.
Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak (peak
bone mass) pada pertengahan umur tiga puluhan. Serta terdapat
dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang berkrang (bone loss)
sebanyak 35-50 tahun Secara garis besar patofisiologi osteoporosis
berawal dari Adanya massa puncak tulang yang rendah disertai
adanya penurunan massa tulang.
Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan
faktor genetic, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan
massa tulang adalah proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi
obat obatan atau aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik.
Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan
massa tulang menyebabkan Densitas tulang menurun yang
merupakan faktor resiko terjadinya fraktur. Kejadian osteoporosis
dapat terjadi pada setiap umur kehidupan. Penyebabnya adalah
akibat terjadinya penurunan bone turn over yang terjadi sepanjang
kehidupan. Satu dari dua wanita akan mengalami osteoporosis,
sedangkan pada laki-laki hanya 1 kasus osteoporsis dari lebih 50
orang laki-laki. Dengan demikian insidensi osteoporosis pada wanita
jauh lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini di duga berhubungan
dengan adanya fase masa menopause dan proses kehilangan pada
wanita jauh lebih banyak.
Remodelling Tulang
Di dalam Tulang yang mengalami osteoporosis akan ditemukan
struktur padat dan rongga tulang berkurang. Penipisan dinding luar
tulang lebih nyata dan keadaan ini meningkatkan resiko fraktur.

12

Hilangnya massa tulang juga tampak pada tulang berongga. Aktivitas


remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal.
Faktor sistemik adalah Hormonal hormonal yang berkainan dengan
metabolisme Calsium, seperti Parat hormone, Vitamin D, Calcitonin,
estrogen, androgen, growth hormon, dan hormon tiroid. Sedangkan
faktor lokal adalah Sitokin dan faktor pertumbuhan lain. Dalam
proses remodeling tulang atau bone turnover, intinya adalah
terjadinya pergerakan ion kalsium. Ion kalsium yang berada dalam
osteoklas akan dilepaskan kemudian oleh osteoblas akan digunakan
sebagai bahan baku tulang di dalam osteocyte dan pada akhirnya
berperan dalam pembentukan tulang baru. Artinya metabolisme
kalsium inilah yang mempunyai peranan dominan dalam proses
pembentukan tulang.
Seperti diketahui, asupan kalsium yang normal berkisar 1000
1500 mg / hari, dan akan diekskresikan juga tidak jauh berbeda
dengan asupan tersebut, melalui faeces ( 800 mg ) dan urine (200
mg). Dalam perjalanannya Kasium akan mempunyai peran penting
dalam remodeling tulang, yaitu sebanyak 300 500 mg kalsium
ekstra seluler sebanyak 900 mg. Artinya dalam proses remodeling
tulang Kalsium tersebut diperlukan kadar antara 300- 500 mg.
Jumlah inilah yang akan ditambahkan dalam asupan kalsium dari
luar, jadi berkisar 1000 1500 mg, sehingga kalsium serum berada
dalam keadaan homeostatis ( seimbang ). Dalam mempertahankan
keseimbangan kalsium serum ini, dua hormon secara langsung
berhubungan dengan metabolisme Kalsium, yaitu hormon paratiroid
dan calsitonin. Adanya peningkatan asupan kalsium / kalsium darah
maka akan merangsang calsitonin, upaya ini untuk menekan proses
resorpsi tulang, dan sebaliknya. Sedangkan dengan adanya kalsium
yang rendah maka hormon paratiroid akan meningkat seimbang.
Apabila kalsium plasma meningkat maka akan meningkatkan
formasi tulang dan meningkatkan Calsitonin dari sel parafolikuler

13

kelenjar thyroid. Dengan adanya calsitonin, maka proses resopsi


tulang ditekan. Dan sebaliknya keadaan kalsium darah yang rendah
akan

meningkatkan

sekresi

hormon

paratiroid

dan

akan

meningkatkan proses resopsi tulang serta peningkatan absorpsi


kalsium di intestinal. Mekanisme ini adalah upaya kalsium didalam
darah tetap dalam keadaan stabil. Jadi hormon paratiroid berperan
dalam meningkatkan resorpsi kalsium, menurunkan resorpsi fosfat di
intestinal, dan meningkatkan sintesis vitamin D di ginjal. Selain itu
hormon ini juga dapat meningkatkan aktifitas osteoclast yang
menyebabkan proses resorpsi tulang meningkat.
Peran vitamin D dalam mekanisme burn turn-over tulang melalui
peningkatan absorpsi kalsium dan fosfat di intestinal. Melalui
mekanisme ini maka vitamin D berperan dalam menyediakan
cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses mineralisasi tulang
sehingga mempertinggi resorpsi tulang. Secara pathofisiologi,
vitamin D mempunyai peran penting pada kelainan tulang. Dalam
mempertahankan

intergritas

mekanisme

dan

struktur

tulang

diperlukan proses remodelling tulang yang konstan, yaitu respon


terhadap keadaan baik fisiologis maupun patologis yang terjadi
selama kehidupan. Adanya kebutuhan asupan kalsium dan vitamin D
yang meningkat terutama dengan bertambahnya umur, dengan
sendirinya akan meningkatkan proses remodeling.
2.3.6

Gejala Klinis8
a) Nyeri. Gejala awal tersering adalah nyeri pinggang tanpa tandatanda sebelumnya, biasanya nyeri ini timbul sesudah mengangkat
barang berat. Sifat nyeri tersebut tajam atau seperti terbakar,
yang bertambah hebat bila bergerak membungkuk, mengangkat
beban lebih berat, melompat, atau tanpa trauma sedikit pun.
Keadaan ini menunjukkan adanya fraktur kompresi pada korpus
vertebra. Vertebra yang paling sering terkena adalah T12 dan L1.

14

b) Deformitas. Osteoporosis tidak menyebabkan deformitas pada


ekstremitas, kecuali bila ada fraktur. Deformitas collumna
vertebralis akan terjadi sesudah fraktur kompresi yang berulangulang. Terkadang deformitas muncul tanpa ada nyeri pinggang
yang nyata. Deformitas tersebut meliputi :
Penurunan tinggi badan : adanya fraktur kompresi ini
menyebabkan tinggi badan dapat berkurang beberapa
sentimeter apabila proses tersebut mengenai beberapa corpus

vertebra.
Kifosis : kelainan ini muncul sebagai gejala khas adanya

proses osteoporosis.
c) Fraktur. Fraktur patologis pada ekstremitas dapat menyebabkan
deformitas. Tempat yang paling sering terkena fraktur akibat dari
osteoporosis adalah colum femoris dan radius distalis yang
terjadi karena jatuh.
2.3.7

Diagnosis9,10,11,12,13,14,15
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang
dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan
pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu
dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu
berdasarkan

pengetahuan

tentang

penyakit

dan

dasar-dasar

pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta


bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan
anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal
mengenai hal-hal berikut.
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan
pasien (kemungkinan diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain
penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)

15

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya


penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk
keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang
diperlukan untuk menentukan diagnosisnya
Selain

pengetahuan

kedokterannya,

seorang

dokter

diharapkan juga mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan


membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk
mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis.
Lengkap artinya mencakup semua data yang diperlukan untuk
memperkuat ketelitian

diagnosis, sedangkan akurat berhubungan

dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.


Melalui skenario yang ada, dapat diketahui bahwa seorang
perempuan berusia 65 tahun datang control ke poliklinik RS untuk
pemeriksaan berkala setelah mengalami patah tulang lengan kanan 6
bulan yang lalu dan telah di operasi. Perempuan tersebut juga
memiliki riwayat merokok sekitar 30 tahun, memiliki riwayat asma
dan sudah berhenti haid sejak 40 tahun. Hal-hal yang perlu
ditanyakan oleh seorang dokter pada pasien tersebut (melalui
autoanamnesis) adalah anamnesis umum (nama, alamat, tempat dan
tanggal lahir, pekerjaan dan lain lain ), keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, lingkungan tempat
tinggal dan lain-lain.
Faktor yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma
minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan
vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing. Obatobatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan,
seperti kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid

16

yang mengandung alumunium, sodium-fluorida dan bifosfonat


etidronat.
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko
osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang
juga berhubungan dengna osteoporosis adalah penyakit ginjal,
saluran cerna, hati, endrokrin, dan insufisiensi pankreas. Riwayat
haid umur menarke dan menopause, penggunaan obat-obat
kontraseptif juga harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan
osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit
tulang metabolik yang bersifat herediter.
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien yang diduga menderita osteoporosis, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik berupa pengukuran tinggi badan dan berat badan.
Selain itu, perlu juga diperhatikan gaya berjalan penderita,
deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri spinal, dan jaringan
parut pada leher (mungkin bekas operasi tiroid).
Penderita osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau
gibbus (Dowager's Hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu
juga didapatkan protuberantia abdomen, spasme otot paravertebral,
dan kulit yang tipis (tanda McConkey).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosa
akan suatu penyakit, dalam scenario ini adalah osteoporosis.
Pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

antara

lain,

pemeriksaan laboratorium (biokimia) untuk mengetahui proses


pembentukan tulang dan resorpsi tulang, pemeriksaan radiologi serta
pemeriksaan densitometri tulang atau pemeriksaan BMD (bone mass
density).

17

Tujuan analisis pertanda tulang adalah untuk memantau dan


menilai respons pengobatan, diagnosis penderita dengan risiko
osteoporosis, mencari penyebab berkurangnya tulang secara cepat,
memilih pengobatan yang sesuai, memantau pasien dengan
pengobatan

kortikosteroid

dan

mempelajari

patogenesis

osteoporosis.
Pertanda tulang dapat memberikan gambaran proses remodelling
yang sedang terjadi. Pemeriksaan ini meliputi pertanda resorpsi
tulang (resorption bone marker) yang dilakukan oleh osteoklas dan
pertanda formasi tulang (formation bone marker) yang dilakukan
oleh osteoblas. Pemeriksaan pertanda tulang dapat dilakukan
terhadap bahan serum atau urin. Dilakukan pada usia >40 tahun,
sebelum diberikan terapi antiresorpsi oral (obat penghambat
penyerapan tulang) dan 3 bulan setelah terapi antiresorpsi oral, untuk
mengetahui keberhasilan pengobatan. Beberapa ahli menganjurkan
untuk memakai pertanda tulang sebagai cara untuk mengelola
osteoporosis dengan alasan: (i) dapat menilai proses remodeling dan
tingkat kecepatan hilangnya tulang; (ii) BMD tidak mampu
memprediksi risiko fraktur pada pengobatan osteopososis; (iii) dapat
menilai respons pengobatan dalam 36 bulan.
Pemeriksaan laboratorium (biokimia).
Pemeriksaan yang termasuk dalam pertanda formasi tulang
(formation bone maker) adalah :
1. Alkali phosphatase
Serum alkaline phosphatase (ALP) terdiri dari beberapa isoensim
yang terdapat pada banyak organ seperti hati, tulang, ginjal, usus dan
placenta. ALP hati dan tulang kadarnya tinggi dalam serum sehingga
banyak dipakai untuk menilai proses metabolisme tulang khususnya
menilai dan memantau aktivitas osteoblas dan untuk menilai

18

kelainan pada hepatobilier. Nilai normal: pria 90239 /L dan wanita


di bawah 45 tahun 76196 /L dan wanita >45 tahun 87250 /L.
2. P1NP (Procollagen type 1 amino-terminal propeptide)
Lebih dari 90% matriks organik tulang berisi type 1 collagen yang
akan dibentuk menjadi tulang. Type 1 collagen berasal dari type 1
procollagen yang dihasilkan fibroblast dan osteoblas. Type 1
procollagen mengandung N-amino dan C carboxy terminal
propeptida yang akan diuraikan oleh ensim protease selama terjadi
perubahan procollagen menjadi collagen dan kemudian dibentuk
matriks tulang.
Pertanda tulang P1NP merupakan indicator spesifik dan alat
prediktor untuk menilai pembentukan tulang. P1NP dilepas selama
pembentukan type 1 collagen dan akan masuk ke dalam aliran darah.
Pasien yang diobati dengan pengobatan anabolik akan meningkat
kadarnya (Gambar 3). Braso (23) memakai pertanda tulang ini dalam
pengobatan karsinoma prostat. Nilai normal P1NP: 51200 g/L atau
ng/ml.
3. N-mid Osteocalcin (Osteocalsin)
Osteocalcin merupakan protein non-kolagen yang terdapat paling
banyak dalam tulang dan diproduksi sel osteoblas. Osteocalcin
berperan penting dalam proses mineralisasi dan proses homeostasis
ion kalsium. Maka pemeriksaan osteocalcin merupakan parameter
yang baik untuk menentukan gangguan metabolisme tulang pada saat
pembentukan tulang dan penggantian tulang (bone turn over).
Pemeriksaan osteocalcin sering dipakai sebagai biomarker awal pada
pengobatan obat pembentuk tulang dan untuk menilai efektivitas
hasil pengobatan.Hasil pemeriksaan osteocalcin cukup akurat dan
stabil

dalam

menilai

proses

pembentukan

tulang.

Metode

pemeriksaan osteocalcin adalah enzyme-linked immunosorbent assay


(ELISA). Nilai normalnya adalah: 10,1 9,4 ng/ml.

19

Pemeriksaan yang termasuk dalam pertanda resorpsi tulang


(resorption bone marker) adalah :
1. Hidroksiprolin urine
Hidroksiprolin urin dibentuk dari asam amino prolin dari jaringan
kolagen, 90% hidroksiprolin yang dilepaskan tulang di metabolisme
di hati, dan 10% diekskresi melalui urine. Hidroksiprolin urine
mewakili kurang lebih 10% dari total katabolisme kolagen tulang.
Pemeriksaan dengan menggunakan hidroksiprolin urine bersifat
kurang spesifik.
2. Kalsium urine
Bila terjadi peningkatan resorpsi kalsium tulang, akan menyebabkan
kadar kalsium darah meningkat. Tubuh berusaha mempertahankan
agar kadar kalsium di darah tetap normal, melalui peningkatan
ekskresi kalsium melalui urine.
3. Beta cross laps
Saat ini telah dikembangkan pemeriksan -CrossLaps yang dapat
digunakan sebagai marker resorpsi tulang yang sensitif dan spesifik.
Sensitivitas mencapai >70% dan spesifisitas 80%. -CrossLaps
adalah hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik tulang
dan merupakan produk metabolisme atau pembongkaran tulang
secara langsung. Perombakan tulang yang dilakukan oleh osteoklas
akan menghancurkan kolagen tipe 1 dan terbentuk bentuk dan .
Bentuk ini disebut -CrossLaps dan kadarnya dapat diukur dari
serum, plasma atau urin. Kadar -CrossLaps dipengaruhi usia, jenis
kelamin dan siklus sirkadian dengan puncak tengah malam dan kadar
terendah sore hari.
Diduga pada saat puncak kadarnya 66% lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar rata-rata. Pemeriksaan -CrossLaps dapat dipakai
sebagai alat pemantau terapi terutama pada pengobatan dengan antiresorptif seperti bisphosphonate. Dalam waktu 3 minggu seharusnya
terjadi penurunan kadar -CrossLaps dalam darah atau urin sehingga

20

dokter yang memberi pengobatan dapat memprediksi hasil


pengobatan. Pemeriksaan kadar -CrossLaps lebih sensitive dalam
menilai perbaikan metabolisme tulang dibandingkan dengan
pemeriksaan BMD.
Gambaran radiologis
Deteksi osteoporosis pada film polos setidaknya membutuhkan
penurunan masa tulang sebesar 30%. Osteoporosis menyebabkan
hilangnya densitas tulang, suatu penurunan jumlah tulang trabekula
dan lapisan-lapisan yang kasar. Keadaan ini paling menonjol terlihat
di tulang belakang. Badan vertebra tampak lusen dengan garis-garis
vertikal yang tipis, sering disertai penampakan bikonkaf, penjepitan
dan kolaps vertebra; hal ini berlanjut dengan kifosis. Fraktur pada
tulang perifer, termasuk fraktur leher femoris, sering terjadi
walaupun setelah trauma minor.
Pemeriksaan densitometry
Untuk mengetahui densitas tulang, dapat dilakukan dengan
melakukan dua pemeriksaan, yaitu :
1. Dual energy x-ray absorptiometry (DEXA/DXA)
Pemeriksaan ini merupakan suatu gold standart untuk melakukan
pemeriksaan bone mass density (BMD) yang digunakan untuk
mendiagnosis osteoporosis. Pemeriksaan ini aman dan tidak
menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. Semua
wanita berusia 65 tahun ke atas, pasca-menopause, kekurangan
estrogen, yang pernah patah tulang, atau yang banyak mengkonsumsi
steroid perlu melakukan pemeriksaan BMD ini.
2. Quantitative computed tomography (QCT)
adalah suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan
tulang belakang. Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT
(pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan
seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT
jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan

21

dosis tinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA,


PDEXA,atau DPA.

3. Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA)


merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi
tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang
seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan
P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa,
menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil, dan
hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA.
4. Dual photon absorptiometry (DPA)
menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat
mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga
menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi
memerlukan waktu yang cukup lama.
Metode DEXA dan QCT memiliki tingkat kesalahan hanya 0,5 2
persen dan dianjurkan untuk dipakai sebagai alat diagnosis.
Walaupun pemeriksaan CT lebih sensitif tetapi lebih banyak terjadi
radiasi sehingga para ahli lebih memilih pemeriksaan Dxa.
Pemeriksaan densitas tulang dianjurkan dilakukan pada wanita
perimenopause yang akan memulai pengobatan dengan hormon,
pasien yang lama memakai glukokortikoid, hiperparatiroid dan
sebagai alat untuk memantau mereka yang diberikan pengobatan
untuk osteoporosis.
T-score dan Z-score
T-score adalah istilah yang dipakai untuk hasil pemeriksaan BMD.
Yang dimaksud dengan T-score adalah jumlah standar deviasi (SD)

22

dimana BMD turun atau naik dibandingkan dengan control. Yang


menjadi kontrol adalah orang muda dengan tulang yang sehat.
Formula penghitungan T-score adalah :
T-score = (BMD pasien- BMD rata-rata orang muda normal)
standar deviasi rata-rata orang muda normal
Untuk lebih jelas dan mudahnya adalah, T-score adalah BMD
dibandingkan score rata-rata orang usia 25-35 tahun dengan ras dan
jenis kelamin yang sama. Perbedaan ini dinamakan standar deviasi
(SD).
T-score dengan hasil -1.0 sampai dengan -2.5 berarti menunjukkan
hasil osteopenia, yaitu tulang yang mulai kehilangan kepadatan
tulang, tetapi belum osteoporosis. T-score -2.5 atau <-2.5 berarti
tulang sudah mengalami osteoporosis. Bila T-score dibawah -2.5 dan
disertai dengan fraktur karena osteoporosis, dikategorikan dalam
osteoporosis yang berat ( severe osteoporosis ), dan hasil T-score
dikatakan normal bila hasilnya di atas -1.0 ( >-1.0 ).
Z-score. Berbeda dengan, Z-score membandingkan BMD seseorang
dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi
badan, dan berat badan yang sama. Hasil yang negative berarti tulang
anda keropos, sedangkan hasil yang positif, menyatakan tulang anda
lebih kecil memiliki resiko patah tulang dibandingkan dengan ratarata orang lain.
2.3.8

Penatalaksanaan16,17
Penatalaksanaan pada penderita osteoporosis dapat dilakukan secara
farmakalogik maupun secara nonfarmakologik. Secara farmakologik,
dapat diberikan obat-obatan sedangkan secara non-farmakologik
dapat dilakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas,
maupun postur dari penderita osteoporosis.

23

Terapi non-farmakologik
1. Terapi fisik (physical therapy) : Terapi fisik difokuskan untuk
meningkatkan
keseimbangan

kekuatan,
dari

fleksibilitas,

pasien

untuk

postur

menghindari

tubuh

dan

terjatuh

dan

memaksimalkan fungsi fisik. Mempertahankan postur tubuh


merupakan tujuan utama dari terapi ini. Menurut studi yang
dilakukan oleh Sinaki dkk, memperkuat otot ekstensor punggung
dapat mengurangi kifosis dan mengurangi resiko fraktur vertebra
yang berkelanjutan. Selanjutnya, terapi fisik dapat dilanjutkan
dengan weight-bearing excercises, seperti berjalan, aerobic dengan
santai,

yang

bertujuan

untuk

meningkatkan

keseimbangan,

kelincahan dan juga mengurangi resiko terjatuh.


2. Occupational therapy : Melakukan latihan dalam aktivitas sehari-hari
dengan menggunakan alat-alat yang bertujuan untuk melindungi
pasien agar tidak terjatuh untuk yang kedua kalinya. Pada
occupational

therapy

ini,

penderita

osteoporosis

diberikan

pegangan saat akan berjalan, menaiki tangga maupun saat akan


mandi. Khusus saat mandi.
Terapi Farmakologik (Medika Mentosa)
-

Vitamin D
Vitamin D merupakan suatu sekosteroid yang dibentuk di kulit dari
7-dehidrokolestrol di bawah pengaruh sinar ultraviolet matahari.
Vitamin ini juga terdapat di beberapa jenis makanan dan
ditambahkan dalam produk susu, keju, atau mentega. Bentuk alami
(vitamin D3, kolekalsiferol) dan yang berasal dari tumbuhan
(vitamin D2, ergokalsiferol) terdapat dalam makanan. Ergokalsiferol
berbeda dengan kolekalsiferol, karena mempunyai ikatan rangkap
pada C22-23 dam gugus metil pada rantai sampingnya. Meski
demikian perbedaan ini tidak menyebabkan perbedaan fisiologi.
Kalsitriol merupakan derivat 1,25-dihidroksi-vitamin D3, dan
sediaan ini lebih tepat disebut sebagai hormon (D hormone).

24

Perannya penting pada metabolisme Ca dan tulang. Meski sekarang


kalsitriol telah terdesak oleh obat antiresorpsi baru, misalnya
bisfosfonat,

tetapi

hasil

beberapa

uji

klinik

masih

tetap

memperlihatkan efektivitasnya sebagai terapi osteoporosis. Faktor


genetik nampaknya dapat mempengaruhi keberhasilan terapi dengan
kalsitriol.
Farmakokinetik
Pada pemberian per oral, absorpsinya baik dan cepat, dalam waktu 36 jam akan mencapai kadar puncak. Kecepatan absorpsinya
konsisten diikuti peningkatan ekskresi Ca di urin yang dapat
dideteksi sekitar 7 jam setelah pemberian oral.
Dosis dan Cara Pemberian
Terapi harus dimulai dengan dosis kecil, 2 kali 0,25g. Bila perlu
dosis dapat ditingkatkan, tetapi kadar Ca darah harus dimonitor
setiap 4 minggu sekali. Bila kadarnya telah melebihi 1mg/100mL
atau 0,25 mmol/L di atas harga normal (9-11mg/100mL atau 2,252,75mmol/L), dosis harus segera dikurangi atau terapi dihentikan
untuk mencegah hiperkalsemia dan hiperkalsuria. Apabila kadar Ca
darah telah normal kembali, obat dapat diberikan lagi.
-

Bifosfonat
Dari banyak uji klinik, terbukti bahwa golongan obat bifosfonat
menduduki posisi penting dalam pencegahan dan terapi osteoporosis.
Golongan obat ini dikenal sebagai obat antiresorpsi karena secara
aktif menghambat resorpsi tulang, menghambat kerja dan juga
menyebabkan apoptosis osteoklas. Secara in vitro, telah dibuktikan
bahwa bifosfonat mempunyai efek anabolic pada osteoblas, ini
menyimpulkan bahwa selain menghambat osteoklas, bifostonat juga
merupakan promoter proliferasi dan maturasi osteoblas.
Farmakokinetik

25

Pada pemberian per oral, absorpsi obat golongan ini minim, dan
adanya makanan dalam lambung dapat menghambat absorpsi.
Karenanya harus diberikan pada pagi hari 30 menit sebelum makan
pagi dan ditelah dengan minimal segelas air putih. Setengah jam
setelah itu, pasien tidak boleh berbaring, karena dapat terjadi refluks
esofagitis.
Dosis
Untuk mencegah atau terapi osteoporosis, dan mengurangi resiko
fraktur, terutama pada pasca menopause, diberikan alendronat 70mg
1 kali seminggu, risedronat 35mg 1 kali seminggu, ibandronat
150mg 1 kali sebulan. Lama terapi tergantung peningkatan BMD
tulang, dapat bebrapa bulan sampai 1-2 tahun.
-

Kalsitonin
Kalsitonin merupakan hormone peptide dengan 32 asam amino yang
membentuk

rantai

tunggal

lurus.

Gugus

disulfide

yang

menghubungkan asam amino 1 dan 7, mempunyai arti penting untuk


aktivitas biologiknya. Senyawa ini merupakan inhibitor kuat
osteoklas yang dapat menyebabkan resorpsi tulang, dan pada pasien
osteoporosis dapat meningkatkan BMD ini lebih jelas terlihat bila
kecepatan bone turnover tinggi.
Farmakokinetik
Kalsitonin dapat diberikan secara parenteral atau intranasal. Pada
pemberian subkutan, kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 1545 menit.
Dosis
Pada osteoporosis postmenopause, diberikan 50IU 3x/minggu,
kalsitonin

tidak

lagi

dianjurkan

untuk

pasien

osteoporosis

pascamenopause. Food and drug AS dan European Medicine


Agency (EMA) memberi peringatan agar kalsitonin tidak digunakan
jangka panjang (lebih dari 3 bulan), karena dapat terjadi karsinoma
bronkus.

26

Estrogen
Digunakan sebagai terapi pada menopause atau HRT ( hormone
replacement therapy ) pada wanita pascamenopause. Penggunaan
HRT dari awal menopause memang dapat mencegah gejala yang
lebih serius seperti gangguan kalsifikasi tulang, osteoporosis yang
berisiko terjadinya fraktur meski hanya trauma ringan. Tetapi
penggunaan estrogen saja jangka panjang ( >5tahun ) berisiko kanker
endometrium, karenanya diberikan bersama progesterone. Dosis
yang diberkan 17- estradiol patch 100 g/hari, Estradiol valerat tab
2 mg, etinilestradiol tab 50g.

Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM)


Yang digunakan adalah generasi ke-2 yaitu Raloksifen, pada
penelitian, didapatkan bahwa raloksifen berhasil untuk menurunkan
kejadian

fraktur

vertebra

dan

menaikkan

BMD.

FDA

merekomendasikan raloksifen sebagai prevensi osteoporosis pada


wanita pascamenopause dengan dosis 60mg sehari.
2.3.9

Pencegahan16
Pencegahan primer dimulai saat masih kecil, dengan mengkonsumsi
makanan yang memiliki kalsium yang cukup, vitamin D yang cukup
dan latihan atau berolahraga yang rutin. Selain itu, pencegahan
osteoporosis dapat dilakukan melalui perubahan gaya hidup, seperti
tidak lagi minum alcohol dan merokok, serta pencegahan dengan
obat-obatan,

seperti

mengkonsumsi

suplemen

kalsium

dan

penggunaan raloksifen dan bifosfonat karena kedua obat tersebut


merupakan first-line agents untuk pencetahan osteoporosis dengan
dosis 5mg/hari.

27

BAB 3
KESIMPULAN
Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit tulang yang
ditandai dengan adanya penurunan masa tulang dan perubahan struktur pada
jaringan mikro arsitektur tulang.
Penegakan diagnosis pada penderita osteoporosis dilakukan (1) anamnesis
mengenai faktor risiko, (2) pemeriksaan fisik dengan melihat cara berjalan
pasien, nyeri tulang belakang, (3) pemeriksaan penunjang dapat dilakukan seperti
pemeriksaan bone marker density (BMD).
Penatalaksanaan pada penderita osteoporosis dapat dilakukan secara
farmakalogik maupun secara nonfarmakologik. Secara farmakologik, dapat
diberikan obat-obatan seperti Vitamin D, Bifosfonat, Kalsitonin sedangkan secara
non-farmakologik dapat dilakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan,
fleksibilitas, maupun postur dari penderita osteoporosis.
Pencegahan primer dimulai saat masih kecil, dengan mengkonsumsi
makanan yang memiliki kalsium yang cukup, vitamin D yang cukup dan latihan
atau berolahraga yang rutin. Selain itu, pencegahan osteoporosis dapat dilakukan
melalui perubahan gaya hidup. Pencegahan dengan obat-obatan, seperti
mengkonsumsi suplemen kalsium.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohari, B. (2014) Struktur dan Metabolisme Tulang. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, pp. 3423.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) Data dan Kondisi
Penyakit Osteoporosis di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
3. Rasjad, C. (2012) Kelainan Metabolik dan Endokrin Pada Tulang. In:
Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yasrif Watampone, pp. 178-187.
4. Kawiyana, IKS. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan
Terkini. Jurnal Penyakit Dalam, 2009; 10: 157-170.
5. Stabler H, Catherine A. Osteoporosis : From Pathophysiology To
Treatment. America: American Association for Clinical Chemisty, Inc.,
2004.p.22-8.
6. Skinner, H. (2003) Osteoporosis. In: Current Diagnosis & Treatment in
Orthopaedics 3rd Edition. California: Appleton & Lange, pp. 1353-1355
7. Christian, H. Osteoporosis dan Pencegahannya. Fakultas Kedokteran
Unoversitas Kristen Krida Wacana, 2015.
8. Pujiastuti, SS. (2003) Fisioterapi Pada Osteoporosis. Jakarta: EGC, pp.
83-9.
9. Gleadle, J. (2007) Pengambilan anamnesis. In : At a Glance Anamnesis
dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga, pp. 1-17, 33-5.
10. Setiyohadi, B. (2010) Osteoporosis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010. pp. 2650-8.
11. Blake GM, Fogelman, I. Application of Bone Densitometry For
Osteoporosis. Endocrineol Metabolism Clinics North America. 2008; 27:
267-88.
12. Jeannettee, SP. Evaluation and Assessment of Osteoporosis. American
Family Physician. 2003; 63: 897-904.
13. Panteghini, M., Pagani, F. Biological Variation in Bone-derived
Biochemical Markers in Serum. Clinical Laboratory Investigation 2004;
55: 60916.
14. Harr, RR. (2005). Pemeriksaan Laboratorium Klinis. Jakarta: EGC, pp.
145-8.
15. Patel, PR. (2005). Radiologi. Jakarta: Erlangga, pp. 207-9.

29

16. Kosmin,

DJ.

Osteoporosis.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com [Accessed 20 July 2016]


17. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2005). Farkamologi dan
Terapi. Edisi V. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp. 451-63.

Anda mungkin juga menyukai