Anda di halaman 1dari 29

1

I. REKAM MEDIS
A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. HAI
Umur : 41 tahun
Medrec : 985088
Suku : Sumatera
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Lakitan I No 267, Kel. Sialang, Kec. Sako, Kota
Palembang
MRS tanggal : 11 Maret 2019 pukul 15.00 wib
2. Riwayat Perkawinan
1 kali, lamanya 10 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menars 14 tahun, tidak teratur, siklus 28 hari, lama 5-7 hari, HPHT : 01-07-
2018
4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. 2008. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret
2. 2009. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret
3. 2012. Abortus. 12 minggu. Kuretase, RS. Hermina
4. 2014. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret.
5. 2016. Abortus. 16 minggu. Kuretase. RS. Hermina
6. 2017. Abortus, 9 minggu. Tidak dikuret.
7. 2018. Abortus, 11 minggu, kuretase di RS Bayagkara
8. Hamil ini.

5. Riwayat Penyakit Dahulu


2

Di diagnose APS sejak th 2016, rutin minum obat heparin (invicloth) 2 x


5000 im, folamil genio 1x1 tab, calos 1x1 tab dan tablet penambah darah
1x1 tab

Riwayat hipertensi hamil sebelumnya (-)


6. Riwayat Gizi / Sosial Ekonomi
Baik
7. Anamnesis Khusus
Keluhan Utama
Hamil kurang bulan dengan darah tinggi, penyakit gangguan darah, dan
sakit kepala.

Riwayat Perjalanan Penyakit :


 1 hari SMRS os mengeluh nyeri kepala terus menerus, riwayat perut
mulas menjalar ke pinggang makin lama makin sering dan kuat (-), riwayat
keluar darah lendir (-), riwayat keluar air-air (-). riwayat darah tinggi hamil
ini (+), riwayat darah tinggi pada kehamilan sebelumnya (-), Riwayat darah
tinggi sebelum hamil (-), Riwayat darah tinggi dalam keluarga (-). riwayat
darah tinggi pada kehamilan sebelumnya (-). Sakit kepala (+), nyeri ulu hati
(-), mual muntah (-), pandangan mata kabur (-)
Os mengaku hamil kurang bulan dan gerakan anak masih dirasakan

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
Keadaan umum : Sedang Berat badan : 74 kg
Kesadaran : Kompos mentis Tinggi badan: 150 cm
Tekanandarah : 160/100 mmHg
Nadi : 92x/menit, IT cukup
3

Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,50C

Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra (-/-)
Leher : Tekanan vena jugularis (5-2) cmH2O, pembesaran
kelenjar getah bening tidak ada
Thoraks : Paru-paru : sonor,vesikuler (+) normal, wheezing(-),
ronkhi (-)
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Lihat status obstetrik
Ekstremitas : Edema pretibial (-/-), akral pucat (-/-), sianosis(-),

2. PemeriksaanObstetrik
Periksa luar :
Tinggi fundus uteri ½ pusat-proc.xiphoideus (26 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, U 5/5, his (-), DJJ 153 x/mnt TBJ : 2015 gr

VT : portio lunak, posterior, eff 0%,  kuncup, kepala H-I, ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai
Indeks Gestosis
TD sistolik :2
TD diastolik : 1
Protein urine : 0
Edema :1
Total :5
3. Pemeriksaan USG
4

USG (VNY) tanggal 11 Maret 2019


 Tampak JTH Preskep
 Biometri janin :
o BPD : 8,19 cm AC : 25,13 cm TCD : 4,76 ~ 36 w
o HC : 29,38 m FL : 6,72 cm
o EFW : 1868 gr
 Plasenta di korpus anterior
 Ketuban cukup

K/ Hamil 36 minggu JTH, preskep


5

C. PemeriksaanPenunjang
Laboratorium (12-03-2019)

Hemoglobin : 11,6 g/dl (11.40 – 15.00 g/dL)


Eritrosit : 4,02 106/mm3
Leukosit : 11.510 /mm3 (4.730 – 10.890 /mm3)
Hematokrit : 34 % (35 -45 %)
Trombosit : 248.000/mm3 (189.000 -436.000/mm3)
Hitung jenis : 0/0/72/20/6 (<20/0-1/1-6/50-70/ 20-40/ 2-8s
PT : 13,4
APTT : 30,3
INR : 0,99
Fibrinogen : 560
D-dimer : 1,26

Kimia Klinik
SGOT : 10 U/L
SGPT : 7 U/L
Albumin : 3,3 g/dl
LDH : 213 U/L
6

GDS : 71 mg/dL
Ureum : 11 mg/dL
Asam Urat : 3,9 mg/dL
Kreatinin : 0,58 mg/dL
Kalsium : 9,0 mEq/L
Natrium : 143 mEq/L
Kalium : 3,4 mEq/L
Magnesium : 1,7 mEq/L

Urinalisis
Warna : kuning
Kejernihan : Jernih
Berat Jenis : 1,005
pH : 7,0
Protein : Negatif
Ascorbic acid : Negatif
Glukosa : Negatif
Keton : Negatif
Darah : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen :1
Nitrit : Negatif
Lekosit esterase : Negatif
Sedimen Urine
Epitel : Positif +
Lekosit : 2-5
Eritrosit : 0-1
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
7

Bakteri : Negatif
Mukus : Negatif
Jamur : Negatif

Lab (17/02/2018)
ACA IgG : 12,09 MPL
ACA AgM : 14,44 MPL
Anti DS DNA : 75,3 IU/ml
ANA test : 1/100
8

D. Diagnosis
G8P0A7 hamil 36 minggu, belum inpartu dengan impending eklampsia + anti
phospolipid sindrom + riwayat obstetrik buruk janin tunggal hidup, presentasi
kepala

E. Prognosis
Ibu dan janin: Dubia

F. Terapi
 Stabilisasi 6 jam
 Observasi TVI, his, djj, tanda inpartu
 IVFD RL gtt xx/menit
 Cek laboratorium
 Cateter menetap
 IVFD NaCl 100cc + MgSO4 40% gtt ( dosis awal)
 Maintenance MgSO4 40% 6gr + RL 500cc gtt
 Nifedipine 10 mg/6 jam p.o
 Evaluasi sesuai satgas gestosis
 Rencana terminasi perabdominam setelah stabilisasi

G. Follow up
9

12/03/2019 A/ P/
- Hipertensi dalam - Metildopa 250 mg/ 12 jam PO
Penyakit Dalam kehamilan
- Konsul ulang post op
Hiperkoagulasi

12/03/2019 A/ P/
Saat ini tidak ditemukan - Informed consent
Mata tanda-tanda retinopati atau
- Regulasi TD sesuai TS
coroidopati hipertensi
Obgyn
Anomali refraksi ODS - Konsul ulang bila
terjadi penurunan visus
mendadak

Laporan Operasi
Tanggal 11/03/2019
Pukul 08.20 WIB
Operasi dimulai
Penderita dalam posisi terlentang dalam spinal anestesi. Dilakukan tindakan aseptik
dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit
dengan doek steril.
Dilakukan insisi Pfanneinsteil 2 jari diatas simfisis, kemudian insisi diperdalam
secara tajam dan tumpul sampai menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka,
tampak uterus sebesar kehamilann 34 minggu.
Diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara:
 Insisi segmen bawah rahim semilunar ± 5 cm secara tajam kemudian diperlebar
ke lateral secara tumpul, didapatkan cairan ketuban (+), jernih, bau (-).
 Bayi dilahirkan dengan cara meluksir kepala
Pukul 08.25 WIB Lahir neonatus hidup perempuan, BB 1550 g, PB 44 cm, LK : 31
A/S 8/9 SGA
Pukul 08.30 WIB Plasenta lahir lengkap, BP 360 g, PTP 40 cm, Ø 18x18 cm.
 SBR dijahit satu lapis secara jelujur dengan PGA no. 1
 Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
 Dilakukan pencucian kavum abdomen dengan NaCl 0,9 %
Setelah kavum abdomen diyakini bersih dan tidak ada perdarahan, dilanjutkan
penutupan dinding abdomen lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut :
10

 Peritoneum dan Otot dijahit secara jelujur dengan Plain catgut no 2.0
 Fascia dijahit dan subkutis secara jelujur dengan PGA no.1.
 Kutis dijahit secara jelujur subkutikuler dengan PGA no. 3.0
 Luka operasi ditutup dengan opsite
Pukul 09.20 WIB Operasi selesai.

Diagnosis prabedah : G8P0A7 hamil 36 minggu, belum inpartu dengan impending


eklampsia
+ anti phospolipid sindrom + riwayat obstetrik buruk janin
tunggal
hidup, presentasi kepala
Diagnosis pascabedah: P8A0 post SSTP a.i impending eklampsia dengan + anti
phospholipid sindrom + riwayat obstetrik buruk janin
tunggal hidup
Tindakan : SSTP
11
12
13

II. PERTANYAAN KASUS


1. Apakah kemungkinan penyebab riwayat obsterik buruk pada pasien ini?
2. Apakah ada hubungan antara APS dan Impending eclampsia pada kasus ini?
3. Apa penyebab terjadiya IUGR pada kasus ini?
4. Apa pilihan cara persalinan dengan sectio sesaria pada pasien ini sudah tepat?
5. Bagaimanakah persiapan kehamilan berikutnya?

III. PEMBAHASAN
1. Apakah kemungkinan penyebab riwayat obsterik buruk pada pasien ini?
Bad obstetric history (BOH) atau dikenal dengan riwayat obstetri buruk
merupakan sebuah kondisi dimana pasien memiliki riwayat 2 atau lebih abortus,
kematian intrauterine, intrauterine growth restriction (IUGR), stillbirth, kematian
14

neonatus dini dan atau anomali kongenital secara berturut – turut.(Textbook donald)
BOH diperkirakan terjadi pada 1 – 2% kehamilan. Dari seluruh kasus yang
dilaporkan,(CHAMPA) hanya 40 – 50% yang diketahui penyebabnya.(MAAT)
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BOH adalah sbb: (Textbook donald)
a. Genetik
Sekitar 50% abortus sporadis yang terjadi di trimester pertama dan 29 – 57%
dari abortus berulang disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Faktor
genetik yang dapat menyebabkan BOH adalah rearrangement dari kromosom
parental, aneuploidi dan poliploidi embrionik, atau mekanisme molekular
seperti mutasi gen tinggal atau inaktivasi kromosom X.
b. Endokrin
Faktor endokrin yang dapat memicu terjadinya BOH adalah lutheal phase
defect (LPD) dan defisiensi progesteron. Selain itu polycystic ovarian
syndrome (PCOS), hipersekresi luteinizing hormone (LH) dan
hiperandrogenemia juga terkait dengan abortus berulang. Diabetes mellitus
dan penyakit tiroid dilaporkan menyebabkan abortus namun tidak terbukti
berhubungan langsung dengan abortus berulang.
c. Respon imun maternal abnormal
Antiphospolipid syndrome (APS) merupakan gangguan imun yang ditandai
dengan trombosis vaskular dan atau morbiditas kehamilan. Abortus berulang
merupakan ciri khas utama dari APS dalam kehamilan.
d. Infeksi maternal
Peranan infeksi dalam menyebabkan abortus berulang cukup lemah. Viremia
dan bakteremia yang disebabkan oleh infeksi dapat memicu abortus sporadis
namun tidak terbukti menyebabkan abortus berulang. Infeksi yang terbukti
terkait dengan abortus berulang adalah infeksi TORCH.
e. Defek anatomi
Pada 1,8 – 37,6% wanita dengan abortus berulang ditemukan adanya anomali
pada uterus. Prevalensi anomali uterus paling tinggi pada wanita dengan
15

abortus yang terjadi di usia kehamilan lebih tua. Selain anomali, inkompetensi
serviks dan adhesi intrauterin juga dapat menyebabkan abortus berulang.
Distorsi mekanik kavum uteri oleh fibroid dalam uterus juga dapat memicu
abortus.
Berdasarkan kasus, pasien tidak terbukti memiliki adanya defek
anatomi uterus, tidak ada infeksi dan tidak menunjukkan adanya tanda PCOS
atau hiperandrogenemia. Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan abortus
berulang hingga 7 kali berturut – turut dan hasil laboratorium menunjukkan
adanya APS, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab BOH dalam kasus ini
adalah APS.
Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan yang disebabkan oleh
antibodi antifosfolipid dan mengakibatkan kematian janin berulang,
morbiditas maternal, dan infertilitas akibat berbagai proses imunopatogenik
pada plasenta yang dihubungkan dengan terbentuknya trombosis atau
terhambatnya proses fibrinolitik. Berdasarkan konsensus internasional di
Sapporo, sindroma antifosfolipid didefinisikan sebagai kelainan dengan
gejala trombosis vaskuler dan atau morbiditas obstetrik disertai adanya
antibodi antikardiolipin dan atau antikoagulan lupus.
Sindroma antifosfolipid dapat ditemukan pada wanita normal dan
wanita hamil normal tanpa kelainan klinik lainnya. Pada wanita hamil normal
ditemukan 4,6% antibodi antikardiolipin dan 1,8% sampai 13,7%
antikoagulan lupus, sedangkan pada wanita yang pernah mengalami abortus
berulang ditemukan 2,5% sampai 21% antibodi antikardiolipin dan 0%
sampai 9% antikoagulan lupus. Terjadi peningkatan antibodi antifosfolipid
sebanyak lebih dari lima kali pada wanita yang mengalami abortus berulang
dibandingkan pada wanita normal. Sebagian besar kematian janin ditemukan
diatas usia gestasi 10 minggu.
Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan kriteria Sydney atau disebut
juga dengan kriteria Sapporo edisi revisi. Kriteria diagnosis APS ditampilkan
16

dalam tabel 1.Lupus

Tabel 1. Kriteria Sapporo APS


Kriteria klinis
Trombosis vaskular
 Satu atau lebih episode klinis trombosis arterial, vena, atau pembuluh darah
kecil pada jaringan atau organ
 Trombosis harus dikonfirmasi dengan menggunakan pencitraan atau
histopatologi
 Trombosis ditemukan tanpa adanya bukti inflamasi pada dinding pembuluh
darah
Morbiditas kehamilan
 Satu atau lebih kematian janin yang secara morfologi normal pada usia
kehamilan 10 minggu atau lebih, morfologi janin normal didokumenasikan
dengan USG atau pemeriksaan janin langsung
 Satu atau lebih persalinan prematur pada neonatus yang secara morfologi
normal pada usia kehamilan <34 minggu akibat eklampsia dan
preeklampsia berat atau disebabkan adanya insufisiensi plasenta
 Tiga atau lebih abortus spontan secara berturut – turut sebelum usia
kehamilan 10 minggu, setelah abnormalitas anatomi maternal atau
abnormalitas hormonal, dan abnormalitas kromosom maternal dan paternal
dieksklusi
Kriteria Laboratorium
 Lupus anticoagulant (LA)
Ditemukan dalam plasma pada dua kali pemeriksaan berjarak paling tidak
12 minggu, kadar yang terdeteksi sesuai dengan panduan dari International
Society on Thrombosis and Haemostasis (Scientific Subcommittee on
LAs/phospholipid-dependent antibodies)
17

 Anticardiolipin antibody of IgG and/or IgM isotype


Ditemukan pada serum atau plasma dengan titer medium atau tinggi (>40
GL atau MPL, atau >99 persentil), pada lebih dari 2 kali pemeriksaan denan
jarak 12 minggu, diukur dengan ELISA terstandar.
 Anti-β2 GPI antibody of IgG and/or IgM isotype
Ditemukan pada serum atau plasma (titer >persentil ke 99), pada lebih dari
2 kali pemeriksaan dengan jarak 12 minggu, diukur dengan ELISA
terstandar sesuai dengan prosedur yang direkomendasikan
*APS didiagnosa jika ditemukan paling tidak 1 kriteria klinis dan 1 kriteria
laboratorium
Dikutip dari: Antovic ALupus

Dalam kehamilan fosfolipid bekerja sebagai perekat yang menjaga sel yang
membelah agar tetap berkelompok dan diperlukan untuk pertumbuhan plasenta
pada dinding uterus. Fosfolipid juga merupakan penyaring nutrisi dari darah ibu
ke darah janin dan sebaliknya menyaring sisa-sisa metabolit dari darah bayi ke
darah ibu melalui plasenta.
Seorang wanita mempunyai hasil tes antibodi antifosfolipid positif, hal ini
mengindikasikan wanita tersebut mempunyai risiko terjadinya abortus berulang.
Antibodi sendiri tidak akan menyebabkan abortus, tetapi dengan adanya antibodi
akan menunjukkan adanya proses autoimun yang abnormal yang akan
mengganggu kemampuan fosfolipid dalam melakukan fungsinya. Antibodi
tersebut bisa berupa Ig G atau Ig M yang secara langsung melawan fosfolipid
yang bermuatan negatif.
Secara in vivo, mekanisme yang bertanggung jawab terhadap trombosis dan
keguguran pada pasien-pasien dengan sindrom antifosfolipid belum diketahui,
meskipun telah diketahui beberapa kemungkinan jalur patogenik sindrom
tersebut. Yang pertama, antibodi antifosfolipid dapat mempengaruhi fungsi
18

cascade koagulasi yang menimbulkan status prokoagulan. Keadaan ini meliputi


inhibisi aktivasi protein C dan antitrombin III, inhibisi fibrinolisis dan upregulasi
aktivitas faktor jaringan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, β 2 -
glikoprotein I, secara in vivo, dapat berfungsi sebagai antikoagulan dan dengan
demikian antibodi-antibodi terhadap molekul ini dapat berpengaruh melalui
mekanisme ini. Protein-protein lain yang penting dalam regulasi koagulasi,
seperti protrombin, protein C dan S, dan anneksin V, juga dapat menjadi target
antibodi antifosfolipid. Selain itu, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
ikatan anneksin V dengan permukaan prokoagulan dapat dihambat oleh antibodi
antifosfolipid.
Antibodi antifosfolipd (aPL) diduga berperan pada keseimbangan eikosanoid,
yaitu meningkatkan tromboksan A2 (TXA2) dan menurunkan prostaksiklin yang
diproduksi oleh endotel. Seperti diketahui, TXA2 merupakan vasokonstriktor
kuat yang membantu agregasi trombosit.
Studi lain memperlihatkan interaksi aPL dalam menghambat aktivitas
antikoagulan antitrombin (AT) III sehingga terjadi trombosis vaskuler. Selain itu
jalur protein C-protein S yang tergantung fosfolipid dihambat oleh aPL sehingga
mencetuskan efek prokoagulasi.
Selain mempengaruhi endotel, trombosit dan mekanisme koagulasi darah, aPL
tampaknya juga mempunyai efek langsung lokal di plasenta. Hipotesis mutakhir
mengaitkan aPL dengan annexin V atau plasenta anticoagulant protein-1, suatu
regulator dan inhibitor koagulasi alamiah di plasenta. Annexin V berikatan
dengan fosfolipid di permukaan membran sel yang bermuatan negatif (anion),
sehingga mencegah terikatnya faktor-faktor pembekuan darah yang tergantung
fosfolipid anion. Namun pada APS, aPL menggantikan annexin V di permukaan
membran sehingga jalur koagulasi tidak tercegah dan terjadilah trombosis.
Faktor yang menyebabkan terjadinya hiperkoagulasi dan trombosis dalam
plasenta sehingga menyebabkan terhentinya kehamilan ditampilkan dalam tabel
2.
19

Tabel 2. Faktor yang menyebabkan terhentinya kehamilan pada kasus APS


Eicosanoid Penurunan prostasiklin dan peningkatan produksi
tomboksan oleh sel endotel
Antitrombin III Inhibisi aktivasi heparan sulfat/heparin dependen
dari antitrombin III (AT III)
Protein C dan S Inhibisi aktivasi jalur protein C-protein S
Sel endotel dan platelet Aktivasi sel endotel dan platelet, peningkatan
ekspresi molekul adhesi
Annexin V Penurunan produksi annexin V, inhibisi
fungsinya dalam plasenta oleh antibodi aPL
Dikutip dari: Gharavi et almechanism

2. Apakah ada hubungan antara APS dan impending eklampsia pada kasus ini?
Preeklampsia tidak dianggap sebagai kriteria utama APS, namun terjadinya
preeklampsia meningkatkan kemungkinan diagnosis APS. Telah dilaporkan
bahwa 18% wanita hamil dengan APS juga menunjukkan presentasi klinis
preeklampsia.Patabendige
Sebuah studi cross sectional di Florida pada 141.286 wanita yang melahirkan
di tahun 2001 menunjukkan bahwa wanita dengan titer aPL tinggi (n=88) berisiko
lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia atau eklampsia (adjusted odds ratio
2,93).Marchetti
Plasenta merupakan target utama aPL. Pada kasus APS seringkali dijumpai
adanya kegagalan trofoblast ekstravili untuk melakukan remodelling arteri
spiralis (Gambar 1). Akibatnya terjadi penurunan/hambatan pada aliran darah
maternal ke plasenta, disertai dengan iskemia dan hipoksia, pengiriman nutrien
yang tidak adekuat ke janin dan velositas aliran darah yang tinggi yang mungkin
menyebabkan kerusakan plasenta. Antibodi antifosfolipid dapat menurunkan
20

proliferasi dan invasi trofoblas ekstravili baik in vitro dan in vivo.


Ketidakmampuan trofoblas untuk melakukan remodeling arteri spiralis secara
klinis sebenarnya secara klinis tidak terlalu signifikan, namun kondisi ini dapat
menyebabkan mal-perfusi plasenta yang kemudian memicu produksi faktor
angiogenik poten seperti soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt1, dikenal juga
dengan soluble VEGF receptor 1) dan soluble endoglin (sEng). sFlt1 mengisolasi
faktor angiogenik vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental
growth factor (PlGF), mencegahnya untuk berikatan dengan trofoblas dan
reseptor VEGF pada sel endotelial, dan berperan sebagai antagonis aksi
proangigenik. Pada sirkulasi maternal, sFlt1 yang berlebihan akan menimbulkan
defisiensi faktor angiogenik yang dibutuhkan untuk homeostasis endotel vaskular
dan akhirnya menimbulkan manifestasi klinis preeklampsia.Abrahams

Gambar 1. (A) Uterus tidak hamil menunjukkan arteri spiralis yang menunjukkan
arteri spiralis yang berbentuk kumparan dengan dinding muskuloelastis yang
terhubung ke vena desidual, (B) uterus pada wanita hamil trimester I dimana
trofoblas ekstravili telah menginvasi dari plasenta ke arteri spiralis dan mulai
meremodeling pembuluh darah dan dinding muskulo-elastis mulai menghilang.
Pada tahap awal ini, trofoblast invasif membentuk TB plugs yang mengoklusi sel
darah merah namun tetap memungkinkan aliran plasma dan aPL untuk mengakses
sinsitiotrofoblas dan menginvasi sitotrofoblas. (C) Uterus hamil pada pertengahan
21

kehamilan, dalam kehamilan normal, arteri spiralis (sekitar 30 – 50 arteri)


mengalami remodeling dengan menginvasi trofoblas hingga 1/3 kedalaman
miometrium. (D) Uterus pada pengetahangan kehamilan dimana hanya sebagian
arteri spiralis yang memiliki tonus aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah
ke plasenta dan memicu preeklampsia dan atau IUGR. (E) Uterus pada
pertengahan kehamilan dengan sangat sedikit remodeling arteri spiralis dan
penurunan parah volume darah dan peningkatan velositas aliran darah ke plasenta,
menyebabkan kerusakan plasenta berat, preeklampsia berat dan atau stillbirth.
Dikutip dari: Abrahams

Selain itu, penelitian pada sel trofoblas manusia di trimester I menunjukkan


bahwa aPL memicu profil pro-inflamatori, antimigratory dan anti-angiogenik
yang serupa dengan yang ditemukan pada preeklampsia. Penelitian in vitro ini
menunjukkan bahwa aPL mengenali β2GPI dan memicu trofoblas untuk
memproduksi peningkatan sitokin dan chemokin pro-inflamasi; menghambat
migrasi trofoblast spontan; meningkatkan sekresi sEng anti-angiogenik trofoblas;
dan mengganggu interaksi antara trofoblas dan endotel dalam model transformasi
arteri spiralis.Abrahams
Pada daerah avaskuler atau hipovaskuler vili plasenta dapat dijumpai penebalan stroma
disertai endovaskulitis hemoragik. Perubahan rasio tromboksan- prostasiklin akibat
kerusakan jaringan plasenta yang luas karena peningkatan antibodi antifosfolipid, serta
terpacunya aktifitas siklooksigenase-2 (COX-2) pada sel endotel berakibat terjadinya
peningkatan proses agregasi trombosit, penampilan gejala preeklampsia, dan
terpicunya proses persalinan preterm.Jurnal indonesia

3. Apa penyebab terjadiya IUGR pada kasus ini?


Sebuah penelitian yang disebut dengan Euro-Phospolipid Project melaporkan
hasil luaran dari 1000 kehamilan dengan APS dan melaporkan bahwa IUGR yang
disebabkan oleh insufisiensi plasenta ditemukan pada 11% kehamilan.Marchetti
22

Antovic dkk melaporkan bahwa rasio odds terjadinya IUGR pada kehamilan
dengan APS adalah 4,7. Artinya, wanita dengan APS 4,7 kali lebih berisiko
mengalami IUGR dibandingkan dengan wanita tanpa APS.Antovic
Sebuah meta-analisis terbaru terkait temuan histopatologis plasenta pada
kehamilan dengan APS menemukan bahwa ada 5 ciri khusus plasenta pada kasus
APS, yaitu:
a. Infark plasenta
b. Gangguan remodeling arteri spiralis
c. Inflamasi desidual
d. Peningkatan simpul sisitial
e. Penurunan membran vaskulosinsitisial
Kelima patologi ini menimbulkan morbiditas obstetrik termasuk pertumbuhan
janin terhambat atau IUGR. Morbiditas obstetrik pada sindroma antifosfolipid
dikarenakan pembentukan trombosis pada pembuluh plasenta. Pengamatan
perubahan plasenta pada kematian janin akibat antibodi antifosfolipid
ditunjukkan dengan adanya vaskulopatia arteri spirales, infark plasenta, atau
kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma antifosfolipid
akan berakibat insufisiensi plasenta yang akan Ditemukan kalsifikasi plasenta
yang terbentuk karena peningkatan deposit fibrin atau fibrinoid pada permukaan
trofoblas vili dan tertutupnya lumen pembuluh uteroplasenter sebagian atau
seluruhnya oleh trombosis. Aliran darah uteroplasenter dihambat oleh trombosis,
sehingga fungsi nutrisi dan respirasi terganggu yang berakibat pertumbuhan janin
terhambat, gawat janin, hingga kematian janin.
Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi korialis dapat
berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpul sinsisial, nekrosis
sel trofoblas, edema, dan perdarahan stroma vili. Proliferasi trofoblas serta
hipovaskularisasi vili merupakan gambaran kelainan pada sindroma antifosfolipid
dengan penyulit preeklampsia. Pada plasenta dengan kematian janin intrauterin
dan antibodi antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulosinsitial,
23

fibrosis pada daerah infark disertai gambaran hipovaskuler vili dan trombosis,
serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan dengan proses
hipoksia kronik.
aPL juga diketahui menghambat migrasi trofoblast yang dimediasi oleh
apolipoprotein E receptor 2 (ApoER2; dikenal juga dengan LRP8). Studi in vivo
menunjukkan bahwa ApoER berperan dalam menyebabkan IUGR pada pasien
APS.
Pada pasien APS dengan titer aPL tinggi terjadi transfer pasif IgG yang akhirnya
memicu resorpsi janin dan pertumbuhan janin terhambat. aPL memicu aktivasi
complement dan rekrutmen serta stimulasi neutrofil. Aktivasi complement
menstimulasi infiltrating leukosit untuk melepaskan TNF-α dan sFlt1. Kadar
sFlt1 yang berlebihan memproduksi defisiensi faktor angiogenik yang dibutuhkan
untuk homeostasis vaskular. Ketidakseimbangan antara protein antiangiogenik
dan proangiogenik diketahui terkait dengan IUGR.

4. Apa pilihan cara persalinan dengan sectio sesaria pada pasien ini sudah tepat?
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
24

Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama Anamnesis:

 Umur > 40 tahun 



 Nulipara 

 Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya 

 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru 

 Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih 

 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan 

 Kehamilan multipel 

 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus) 

 Hipertensi kronik 

 Penyakit Ginjal 

 Sindrom antifosfolipid (APS) 

 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio 

 Obesitas sebelum hamil 


Pemeriksaan fisik: 


 Indeks masa tubuh > 35 



 Tekanan darah diastolik > 80 mmHg 

 Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 
 300 mg/24 jam) 

25

Kriteria teriminasi kehamilan pada preeklampsia berat

Ditinjau dari tujuan penanganan wanita hamil dengan APS adalah untuk
meningkatkan hasil luaran neonatal dan janin dengan meminimalkan risiko
komplikasi seperti trombosis maternal, kematian janin, preeklampsia, insufisiensi
plasenta, IUGR dan kebutuhan persalinan prematur iatrogenik.
Pada trimester ketiga kehamilan diperlukan observasi ketat hipertensi maternal,
proteinuria, dan gejala preeklampsia lainnya. Pemantauan pasien perlu dilakukan
lebih sering dan mencakup pemeriksaan ultrasonografi untuk menipai
pertumbuhan janin dan volume cairan amnion serta surveilans janin. Pemeriksaan
surveilans perlu dilakukan sejak usia kehamilan 32 minggu dan jika ditemukan
adanya insufisiensi plasenta maka diperlukan terminasi kehamilan.
Jika tidak ada indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan dini, persalinan
sebaiknya dijawalkan (secara induksi atau seksio sesaria) pada usia kehamilan 39
minggu untuk mengontrol waktu penghentian obat antitrombotik.
a. Antikoagulasi
Pasien yang menerima terapi Low Molecular Weight Heparin umumnya
diganti ke dosis terapi heparin yang tidak terfragmentasi pada usia kehamilan
26

36 hingga 37 minggu untuk mempertimbangkan waktu paruh obat terakhir


dan memungkinkan pemberian anestesi neuraksial dan meminimalkan
perdarahan selama persalinan jika diharapkan akan terjadi persalinan spontan
pada akhir terapi. Pedoman anestesi merekomendasikan setidaknya interval
24 jam antara dosis terakhir terapi LMWH dan pemasangan kateter epidural
(setidaknya 12 jam untuk dosis profilaksis).
Terapi heparin unfractionated dihentikan 24 jam sebelum persalinan untuk
memungkinkan pemberian anestesi neuraxial dan meminimalkan perdarahan.
Pendekatan ini untuk memastikan bahwa pasien dengan trombosis tidak
menggunakan antikoagulan selama lebih dari 48 jam.
b. ASA dosis rendah
ASA dosis rendah dapat dihentikan kapan saja setelah usia kehamilan 36
minggu pada wanita yang tidak memiliki riwayat trombosis. Menghentikan
ASA 7 hingga 10 hari sebelum melahirkan menghindari perdarahan
perioperatif minor. Namun, pada wanita dengan riwayat komplikasi trombotik
arteri serius di masa lalu, seperti stroke atau infark miokard, ASA harus
dilanjutkan selama persalinan karena manfaat yang diberikan dalam hal
pengurangan risiko komplikasi selama persalinan melebihi risiko perdarahan
insisional.
Wanita dengan APS dengan kriteria laboratorium aPL dan riwayat trombosis
arteri atau vena berisiko tinggi untuk mengalami kekambuhan. Antikoagulasi
umumnya dapat dilanjutkan empat sampai enam jam setelah persalinan
pervaginam atau 6 sampai 12 jam setelah persalinan sesar, kecuali ada perdarahan
yang signifikan atau risiko pendarahan yang signifikan. Heparin dan warfarin
tidak dikontraindikasikan pada ibu menyusui.

5. Bagaimanakah persiapan kehamilan berikutnya?


Dengan penatalaksanaan yang tepat lebih dari 70% kehamilan dengan sindrom
antifosfolipid akan berkahir dengan bayi hidup dan sehat. Idealnya, konseling
27

prakonsepsi memungkinkan klinisi untuk memahami konteks spesifik dari tiap –


tiap pasien dengan APS dan untuk menilai risiko kehamilan dan penanganannya.
Kehamilan harus ditunda pada semua wanita dengan hipertensi pulmonal
karena tingginya risiko kematian maternal, dan harus ditunda jika ada hipertensi
yang tidak terkendali atau adanya kejadian trombotik terutama stroke. Penilaian
profil antibodi antifosfolipid lengkap, termasuk anticardiopilin dan antikoagulan
lupus, harus dilakukan sebelum merencaknakan kehamilan. Namun pengujian ini
tidak perlu diulang selama kehamilan.

Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan risiko


hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang. Pada tahun
1995, Nissel mendapatkan riwayat kehamilan dengan komplikasi hipertensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, berhubungan dengan risiko hipertensi
2
kronik 7 tahun setelahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Jose, dkk
menunjukkan kejadian hipertensi 10 tahun setelahnya terdapat pada 43,1% wanita
dengan riwayat preeklampsia dibandingkan 17,2% pada kelompok kontrol (OR
3,32; 95% CI 2,26 – 4,87). Shammas dan Maayah menemukan mikroalbuminuria
yang nyata dan risiko penyakit kardiovaskular pada 23 % wanita dengan
preeklampsia dibandingkan 3% pada wanita dengan tekanan darah normal selama
2
kehamilan. Irgens, dkk melakukan studi kohort retrospektif pada 626.272
kelahiran hidup di Norway antara tahun 1967 – 1992. Dari studi tersebut
didapatkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular pada wanita dengan
preeklampsia 8,12 x lebih tinggi dibandingkan kontrol (wanita tanpa riwayat
preeklampsia).

Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular, 4x
peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan
DVT di masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat
preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular.
Pasien harus diberikan konseling mengenai gejala trombosis dan
tromboembolisme dan harus diberikan edukasi mengenai tanda dan gejala
28

trombosis atau tromboemboli, preeklampsia berat, atau penurunan gerakan janin.


Pemeriksaan antenatal disarankan dilakukan lebih sering, paling tidak tiap 2 – 4
minggu di trimester I dan II dan 1-2 minggu setelahnya.
Pemeriksaan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) di trimester pertama
diperlukan untuk mengevaluasi kelayakan kehamilan. Jika kadar hCG meningkat
secara normal (yaitu, dua kali lipat setiap 2 hari) pada bulan pertama kehamilan,
keberhasilan kehamilan diperkirakan terjadi pada 80-90% kasus. Namun, ketika
peningkatannya abnormal (lebih lambat), hasil luaran buruk diperkirakan terjadi
pada 70-80% kasus. Pada pasien dengan riwayat obstetri buruk, preeklampsia,
atau IUGR, ultrasonografi direkomendasikan setiap 3-4 minggu mulai usia
kehamilan 18-20 minggu.
Tujuan perawatan prenatal pada trimester kedua dan ketiga adalah observasi ketat
untuk menilai hipertensi ibu, proteinuria dan gejala preeklampsia lainnya. USG
diperlukan untuk menilai pertumbuhan janin dan volume cairan ketuban, dan
surveilans janin.
Pasien direkomendasikan untuk menjalani konsultasi teratur dan terkoordinasi
setiap 2-4 minggu, terutama pada wanita dengan lupus erythematosus sistemik.
Pada pasien dengan APS tanpa komplikasi, ultrasonografi direkomendasikan di
usia kehamilan 30-32 minggu untuk menilai pertumbuhan janin. Pertumbuhan
janin yang lambat dapat mencerminkan insufisiensi uteroplasenta pada pasien
dengan APS. Penilaian doppler arteri uterina dan umbilikalis banyak digunakan
di Eropa untuk menilai risiko pre-eklampsia, insufisiensi plasenta, dan IUGR
setelah minggu ke 20 kehamilan, dan hasil pemeriksaan normal memiliki nilai
prediksi negatif yang tinggi.
Perawatan optimal ibu hamil dengan antibodi antifosfolipid dan 1 atau lebih
abortus setelah usia kehamilan 10 kehamilan minggu tanpa trombosis masih
kontroversial.
Perawatan paling awal untuk keguguran berulang yang terkait dengan aPL adalah
kombinasi prednison dosis tinggi dan aspirin dosis rendah, dengan tigkat
29

keberhasilan sebesar 75%. Namun, pengobatan ini terkait dengan morbiditas ibu
dan janin yang tinggi, termasuk diabetes gestasional, hipertensi, dan ketuban
pecah dini. Sebuah studi terkontrol acak dengan pemberian prednison dan aspirin
dibandingkan dengan heparin dan aspirin menunjukkan bahwa heparin subkutan
dosis rendah dengan aspirin dosis rendah sama-sama efektif dengan lebih sedikit
morbiditas. Selain itu, analisis Cochrane menyimpulkan bahwa imunoglobulin
intravena terkait dengan peningkatan risiko keguguran atau kelahiran prematur,
dibandingkan dengan heparin dan aspirin dosis rendah.

Anda mungkin juga menyukai