I. REKAM MEDIS
A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. HAI
Umur : 41 tahun
Medrec : 985088
Suku : Sumatera
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Lakitan I No 267, Kel. Sialang, Kec. Sako, Kota
Palembang
MRS tanggal : 11 Maret 2019 pukul 15.00 wib
2. Riwayat Perkawinan
1 kali, lamanya 10 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menars 14 tahun, tidak teratur, siklus 28 hari, lama 5-7 hari, HPHT : 01-07-
2018
4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. 2008. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret
2. 2009. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret
3. 2012. Abortus. 12 minggu. Kuretase, RS. Hermina
4. 2014. Abortus. 8 minggu. Tidak dikuret.
5. 2016. Abortus. 16 minggu. Kuretase. RS. Hermina
6. 2017. Abortus, 9 minggu. Tidak dikuret.
7. 2018. Abortus, 11 minggu, kuretase di RS Bayagkara
8. Hamil ini.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
Keadaan umum : Sedang Berat badan : 74 kg
Kesadaran : Kompos mentis Tinggi badan: 150 cm
Tekanandarah : 160/100 mmHg
Nadi : 92x/menit, IT cukup
3
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra (-/-)
Leher : Tekanan vena jugularis (5-2) cmH2O, pembesaran
kelenjar getah bening tidak ada
Thoraks : Paru-paru : sonor,vesikuler (+) normal, wheezing(-),
ronkhi (-)
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Lihat status obstetrik
Ekstremitas : Edema pretibial (-/-), akral pucat (-/-), sianosis(-),
2. PemeriksaanObstetrik
Periksa luar :
Tinggi fundus uteri ½ pusat-proc.xiphoideus (26 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, U 5/5, his (-), DJJ 153 x/mnt TBJ : 2015 gr
VT : portio lunak, posterior, eff 0%, kuncup, kepala H-I, ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai
Indeks Gestosis
TD sistolik :2
TD diastolik : 1
Protein urine : 0
Edema :1
Total :5
3. Pemeriksaan USG
4
C. PemeriksaanPenunjang
Laboratorium (12-03-2019)
Kimia Klinik
SGOT : 10 U/L
SGPT : 7 U/L
Albumin : 3,3 g/dl
LDH : 213 U/L
6
GDS : 71 mg/dL
Ureum : 11 mg/dL
Asam Urat : 3,9 mg/dL
Kreatinin : 0,58 mg/dL
Kalsium : 9,0 mEq/L
Natrium : 143 mEq/L
Kalium : 3,4 mEq/L
Magnesium : 1,7 mEq/L
Urinalisis
Warna : kuning
Kejernihan : Jernih
Berat Jenis : 1,005
pH : 7,0
Protein : Negatif
Ascorbic acid : Negatif
Glukosa : Negatif
Keton : Negatif
Darah : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen :1
Nitrit : Negatif
Lekosit esterase : Negatif
Sedimen Urine
Epitel : Positif +
Lekosit : 2-5
Eritrosit : 0-1
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
7
Bakteri : Negatif
Mukus : Negatif
Jamur : Negatif
Lab (17/02/2018)
ACA IgG : 12,09 MPL
ACA AgM : 14,44 MPL
Anti DS DNA : 75,3 IU/ml
ANA test : 1/100
8
D. Diagnosis
G8P0A7 hamil 36 minggu, belum inpartu dengan impending eklampsia + anti
phospolipid sindrom + riwayat obstetrik buruk janin tunggal hidup, presentasi
kepala
E. Prognosis
Ibu dan janin: Dubia
F. Terapi
Stabilisasi 6 jam
Observasi TVI, his, djj, tanda inpartu
IVFD RL gtt xx/menit
Cek laboratorium
Cateter menetap
IVFD NaCl 100cc + MgSO4 40% gtt ( dosis awal)
Maintenance MgSO4 40% 6gr + RL 500cc gtt
Nifedipine 10 mg/6 jam p.o
Evaluasi sesuai satgas gestosis
Rencana terminasi perabdominam setelah stabilisasi
G. Follow up
9
12/03/2019 A/ P/
- Hipertensi dalam - Metildopa 250 mg/ 12 jam PO
Penyakit Dalam kehamilan
- Konsul ulang post op
Hiperkoagulasi
12/03/2019 A/ P/
Saat ini tidak ditemukan - Informed consent
Mata tanda-tanda retinopati atau
- Regulasi TD sesuai TS
coroidopati hipertensi
Obgyn
Anomali refraksi ODS - Konsul ulang bila
terjadi penurunan visus
mendadak
Laporan Operasi
Tanggal 11/03/2019
Pukul 08.20 WIB
Operasi dimulai
Penderita dalam posisi terlentang dalam spinal anestesi. Dilakukan tindakan aseptik
dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit
dengan doek steril.
Dilakukan insisi Pfanneinsteil 2 jari diatas simfisis, kemudian insisi diperdalam
secara tajam dan tumpul sampai menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka,
tampak uterus sebesar kehamilann 34 minggu.
Diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara:
Insisi segmen bawah rahim semilunar ± 5 cm secara tajam kemudian diperlebar
ke lateral secara tumpul, didapatkan cairan ketuban (+), jernih, bau (-).
Bayi dilahirkan dengan cara meluksir kepala
Pukul 08.25 WIB Lahir neonatus hidup perempuan, BB 1550 g, PB 44 cm, LK : 31
A/S 8/9 SGA
Pukul 08.30 WIB Plasenta lahir lengkap, BP 360 g, PTP 40 cm, Ø 18x18 cm.
SBR dijahit satu lapis secara jelujur dengan PGA no. 1
Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
Dilakukan pencucian kavum abdomen dengan NaCl 0,9 %
Setelah kavum abdomen diyakini bersih dan tidak ada perdarahan, dilanjutkan
penutupan dinding abdomen lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut :
10
Peritoneum dan Otot dijahit secara jelujur dengan Plain catgut no 2.0
Fascia dijahit dan subkutis secara jelujur dengan PGA no.1.
Kutis dijahit secara jelujur subkutikuler dengan PGA no. 3.0
Luka operasi ditutup dengan opsite
Pukul 09.20 WIB Operasi selesai.
III. PEMBAHASAN
1. Apakah kemungkinan penyebab riwayat obsterik buruk pada pasien ini?
Bad obstetric history (BOH) atau dikenal dengan riwayat obstetri buruk
merupakan sebuah kondisi dimana pasien memiliki riwayat 2 atau lebih abortus,
kematian intrauterine, intrauterine growth restriction (IUGR), stillbirth, kematian
14
neonatus dini dan atau anomali kongenital secara berturut – turut.(Textbook donald)
BOH diperkirakan terjadi pada 1 – 2% kehamilan. Dari seluruh kasus yang
dilaporkan,(CHAMPA) hanya 40 – 50% yang diketahui penyebabnya.(MAAT)
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BOH adalah sbb: (Textbook donald)
a. Genetik
Sekitar 50% abortus sporadis yang terjadi di trimester pertama dan 29 – 57%
dari abortus berulang disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Faktor
genetik yang dapat menyebabkan BOH adalah rearrangement dari kromosom
parental, aneuploidi dan poliploidi embrionik, atau mekanisme molekular
seperti mutasi gen tinggal atau inaktivasi kromosom X.
b. Endokrin
Faktor endokrin yang dapat memicu terjadinya BOH adalah lutheal phase
defect (LPD) dan defisiensi progesteron. Selain itu polycystic ovarian
syndrome (PCOS), hipersekresi luteinizing hormone (LH) dan
hiperandrogenemia juga terkait dengan abortus berulang. Diabetes mellitus
dan penyakit tiroid dilaporkan menyebabkan abortus namun tidak terbukti
berhubungan langsung dengan abortus berulang.
c. Respon imun maternal abnormal
Antiphospolipid syndrome (APS) merupakan gangguan imun yang ditandai
dengan trombosis vaskular dan atau morbiditas kehamilan. Abortus berulang
merupakan ciri khas utama dari APS dalam kehamilan.
d. Infeksi maternal
Peranan infeksi dalam menyebabkan abortus berulang cukup lemah. Viremia
dan bakteremia yang disebabkan oleh infeksi dapat memicu abortus sporadis
namun tidak terbukti menyebabkan abortus berulang. Infeksi yang terbukti
terkait dengan abortus berulang adalah infeksi TORCH.
e. Defek anatomi
Pada 1,8 – 37,6% wanita dengan abortus berulang ditemukan adanya anomali
pada uterus. Prevalensi anomali uterus paling tinggi pada wanita dengan
15
abortus yang terjadi di usia kehamilan lebih tua. Selain anomali, inkompetensi
serviks dan adhesi intrauterin juga dapat menyebabkan abortus berulang.
Distorsi mekanik kavum uteri oleh fibroid dalam uterus juga dapat memicu
abortus.
Berdasarkan kasus, pasien tidak terbukti memiliki adanya defek
anatomi uterus, tidak ada infeksi dan tidak menunjukkan adanya tanda PCOS
atau hiperandrogenemia. Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan abortus
berulang hingga 7 kali berturut – turut dan hasil laboratorium menunjukkan
adanya APS, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab BOH dalam kasus ini
adalah APS.
Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan yang disebabkan oleh
antibodi antifosfolipid dan mengakibatkan kematian janin berulang,
morbiditas maternal, dan infertilitas akibat berbagai proses imunopatogenik
pada plasenta yang dihubungkan dengan terbentuknya trombosis atau
terhambatnya proses fibrinolitik. Berdasarkan konsensus internasional di
Sapporo, sindroma antifosfolipid didefinisikan sebagai kelainan dengan
gejala trombosis vaskuler dan atau morbiditas obstetrik disertai adanya
antibodi antikardiolipin dan atau antikoagulan lupus.
Sindroma antifosfolipid dapat ditemukan pada wanita normal dan
wanita hamil normal tanpa kelainan klinik lainnya. Pada wanita hamil normal
ditemukan 4,6% antibodi antikardiolipin dan 1,8% sampai 13,7%
antikoagulan lupus, sedangkan pada wanita yang pernah mengalami abortus
berulang ditemukan 2,5% sampai 21% antibodi antikardiolipin dan 0%
sampai 9% antikoagulan lupus. Terjadi peningkatan antibodi antifosfolipid
sebanyak lebih dari lima kali pada wanita yang mengalami abortus berulang
dibandingkan pada wanita normal. Sebagian besar kematian janin ditemukan
diatas usia gestasi 10 minggu.
Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan kriteria Sydney atau disebut
juga dengan kriteria Sapporo edisi revisi. Kriteria diagnosis APS ditampilkan
16
Dalam kehamilan fosfolipid bekerja sebagai perekat yang menjaga sel yang
membelah agar tetap berkelompok dan diperlukan untuk pertumbuhan plasenta
pada dinding uterus. Fosfolipid juga merupakan penyaring nutrisi dari darah ibu
ke darah janin dan sebaliknya menyaring sisa-sisa metabolit dari darah bayi ke
darah ibu melalui plasenta.
Seorang wanita mempunyai hasil tes antibodi antifosfolipid positif, hal ini
mengindikasikan wanita tersebut mempunyai risiko terjadinya abortus berulang.
Antibodi sendiri tidak akan menyebabkan abortus, tetapi dengan adanya antibodi
akan menunjukkan adanya proses autoimun yang abnormal yang akan
mengganggu kemampuan fosfolipid dalam melakukan fungsinya. Antibodi
tersebut bisa berupa Ig G atau Ig M yang secara langsung melawan fosfolipid
yang bermuatan negatif.
Secara in vivo, mekanisme yang bertanggung jawab terhadap trombosis dan
keguguran pada pasien-pasien dengan sindrom antifosfolipid belum diketahui,
meskipun telah diketahui beberapa kemungkinan jalur patogenik sindrom
tersebut. Yang pertama, antibodi antifosfolipid dapat mempengaruhi fungsi
18
2. Apakah ada hubungan antara APS dan impending eklampsia pada kasus ini?
Preeklampsia tidak dianggap sebagai kriteria utama APS, namun terjadinya
preeklampsia meningkatkan kemungkinan diagnosis APS. Telah dilaporkan
bahwa 18% wanita hamil dengan APS juga menunjukkan presentasi klinis
preeklampsia.Patabendige
Sebuah studi cross sectional di Florida pada 141.286 wanita yang melahirkan
di tahun 2001 menunjukkan bahwa wanita dengan titer aPL tinggi (n=88) berisiko
lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia atau eklampsia (adjusted odds ratio
2,93).Marchetti
Plasenta merupakan target utama aPL. Pada kasus APS seringkali dijumpai
adanya kegagalan trofoblast ekstravili untuk melakukan remodelling arteri
spiralis (Gambar 1). Akibatnya terjadi penurunan/hambatan pada aliran darah
maternal ke plasenta, disertai dengan iskemia dan hipoksia, pengiriman nutrien
yang tidak adekuat ke janin dan velositas aliran darah yang tinggi yang mungkin
menyebabkan kerusakan plasenta. Antibodi antifosfolipid dapat menurunkan
20
Gambar 1. (A) Uterus tidak hamil menunjukkan arteri spiralis yang menunjukkan
arteri spiralis yang berbentuk kumparan dengan dinding muskuloelastis yang
terhubung ke vena desidual, (B) uterus pada wanita hamil trimester I dimana
trofoblas ekstravili telah menginvasi dari plasenta ke arteri spiralis dan mulai
meremodeling pembuluh darah dan dinding muskulo-elastis mulai menghilang.
Pada tahap awal ini, trofoblast invasif membentuk TB plugs yang mengoklusi sel
darah merah namun tetap memungkinkan aliran plasma dan aPL untuk mengakses
sinsitiotrofoblas dan menginvasi sitotrofoblas. (C) Uterus hamil pada pertengahan
21
Antovic dkk melaporkan bahwa rasio odds terjadinya IUGR pada kehamilan
dengan APS adalah 4,7. Artinya, wanita dengan APS 4,7 kali lebih berisiko
mengalami IUGR dibandingkan dengan wanita tanpa APS.Antovic
Sebuah meta-analisis terbaru terkait temuan histopatologis plasenta pada
kehamilan dengan APS menemukan bahwa ada 5 ciri khusus plasenta pada kasus
APS, yaitu:
a. Infark plasenta
b. Gangguan remodeling arteri spiralis
c. Inflamasi desidual
d. Peningkatan simpul sisitial
e. Penurunan membran vaskulosinsitisial
Kelima patologi ini menimbulkan morbiditas obstetrik termasuk pertumbuhan
janin terhambat atau IUGR. Morbiditas obstetrik pada sindroma antifosfolipid
dikarenakan pembentukan trombosis pada pembuluh plasenta. Pengamatan
perubahan plasenta pada kematian janin akibat antibodi antifosfolipid
ditunjukkan dengan adanya vaskulopatia arteri spirales, infark plasenta, atau
kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma antifosfolipid
akan berakibat insufisiensi plasenta yang akan Ditemukan kalsifikasi plasenta
yang terbentuk karena peningkatan deposit fibrin atau fibrinoid pada permukaan
trofoblas vili dan tertutupnya lumen pembuluh uteroplasenter sebagian atau
seluruhnya oleh trombosis. Aliran darah uteroplasenter dihambat oleh trombosis,
sehingga fungsi nutrisi dan respirasi terganggu yang berakibat pertumbuhan janin
terhambat, gawat janin, hingga kematian janin.
Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi korialis dapat
berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpul sinsisial, nekrosis
sel trofoblas, edema, dan perdarahan stroma vili. Proliferasi trofoblas serta
hipovaskularisasi vili merupakan gambaran kelainan pada sindroma antifosfolipid
dengan penyulit preeklampsia. Pada plasenta dengan kematian janin intrauterin
dan antibodi antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulosinsitial,
23
fibrosis pada daerah infark disertai gambaran hipovaskuler vili dan trombosis,
serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan dengan proses
hipoksia kronik.
aPL juga diketahui menghambat migrasi trofoblast yang dimediasi oleh
apolipoprotein E receptor 2 (ApoER2; dikenal juga dengan LRP8). Studi in vivo
menunjukkan bahwa ApoER berperan dalam menyebabkan IUGR pada pasien
APS.
Pada pasien APS dengan titer aPL tinggi terjadi transfer pasif IgG yang akhirnya
memicu resorpsi janin dan pertumbuhan janin terhambat. aPL memicu aktivasi
complement dan rekrutmen serta stimulasi neutrofil. Aktivasi complement
menstimulasi infiltrating leukosit untuk melepaskan TNF-α dan sFlt1. Kadar
sFlt1 yang berlebihan memproduksi defisiensi faktor angiogenik yang dibutuhkan
untuk homeostasis vaskular. Ketidakseimbangan antara protein antiangiogenik
dan proangiogenik diketahui terkait dengan IUGR.
4. Apa pilihan cara persalinan dengan sectio sesaria pada pasien ini sudah tepat?
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
24
Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama Anamnesis:
Pemeriksaan fisik:
Ditinjau dari tujuan penanganan wanita hamil dengan APS adalah untuk
meningkatkan hasil luaran neonatal dan janin dengan meminimalkan risiko
komplikasi seperti trombosis maternal, kematian janin, preeklampsia, insufisiensi
plasenta, IUGR dan kebutuhan persalinan prematur iatrogenik.
Pada trimester ketiga kehamilan diperlukan observasi ketat hipertensi maternal,
proteinuria, dan gejala preeklampsia lainnya. Pemantauan pasien perlu dilakukan
lebih sering dan mencakup pemeriksaan ultrasonografi untuk menipai
pertumbuhan janin dan volume cairan amnion serta surveilans janin. Pemeriksaan
surveilans perlu dilakukan sejak usia kehamilan 32 minggu dan jika ditemukan
adanya insufisiensi plasenta maka diperlukan terminasi kehamilan.
Jika tidak ada indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan dini, persalinan
sebaiknya dijawalkan (secara induksi atau seksio sesaria) pada usia kehamilan 39
minggu untuk mengontrol waktu penghentian obat antitrombotik.
a. Antikoagulasi
Pasien yang menerima terapi Low Molecular Weight Heparin umumnya
diganti ke dosis terapi heparin yang tidak terfragmentasi pada usia kehamilan
26
keberhasilan sebesar 75%. Namun, pengobatan ini terkait dengan morbiditas ibu
dan janin yang tinggi, termasuk diabetes gestasional, hipertensi, dan ketuban
pecah dini. Sebuah studi terkontrol acak dengan pemberian prednison dan aspirin
dibandingkan dengan heparin dan aspirin menunjukkan bahwa heparin subkutan
dosis rendah dengan aspirin dosis rendah sama-sama efektif dengan lebih sedikit
morbiditas. Selain itu, analisis Cochrane menyimpulkan bahwa imunoglobulin
intravena terkait dengan peningkatan risiko keguguran atau kelahiran prematur,
dibandingkan dengan heparin dan aspirin dosis rendah.