Anda di halaman 1dari 11

Secondary survey

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head

to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien

mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan

bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat

masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.

Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika

berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,

konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali

melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan

gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:

a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,

maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau

vertebra lain, fraktur ekstremitas.

c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga:

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani

pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah

diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam

komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi

pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa

pertanyaan di bawah ini :

 C. have you ever felt should Cut down your drinking?

 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?

 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?

 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get

rid of a hangover (Eye-opener)

Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi

alkohol.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses

pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini

seberapa sering pasanganmu” :1,2

 Hurt you physically?

 Insulted or talked down to you?

 Threathened you with physical harm?

 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi

:
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya

lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan

saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?

 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,

ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien

mengatakan dengan kata-katanya sendiri.

 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri

terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri

dan 10 adalah nyeri hebat

 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama

nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah

merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya

atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-

tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,

tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.1

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut2
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan
rectal. Untuk mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri pulmonal,
kateter urin, esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais
irama jantung, frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari peningkatan
usah abernafas adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor melalui
oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi
pasien dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal. Pengukurna
dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari gambaran
kontraktilitas jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik menunjukkan
cardiac output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu dipompakan.
Tekanan diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD
karena berhubungan dengan keakuratan
dosis atau ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan, vasopressor, dan
medikasi lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang

dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang

kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya

pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri

tekan serta adanya sakit kepala.3

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.

Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi

sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.

1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah

isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah

pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,

ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah

konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,

gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,

serta diplopia

2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan

palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan

atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai

keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum

4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas

5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur

6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,

kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan

daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,

pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil

meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya

respon nyeri
Pada skenario pasien mengalami luka di frontal dextra, depressed fracture, racoon eyes,

dan epistaksis. Dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan GCS, didapatkan bahwa

skor GCS pasien adalah 8 (cedera kepala berat). Pada skenario diketahui bahwa kepala

pasien membentur bingkai kaca depan, selain bisa menyebabkan terjadinya fraktur

cranium, hal tersebut juga bisa menyebabkan terjadinya fraktur nasal yang berpengaruh

terhadap pecahnya plexus kiessel bach, sehingga terjadi epistaksis. Terjadinya fraktur

cranium menyebabkan terjadinya kebocoran LCS dan mempengaruhi os. Spenoid yang

menyebabkan ekimosis periorbital (racoon eyes).

c. Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,

edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan

suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian

otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema

subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga

imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.

Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks

Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang

untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,

ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,

kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan

tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker,

frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)

Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,


emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi

jantung (murmur, gallop, friction rub)

Penilaian Thoraks pada kasus:

Pada skenario diketahui bahwa hasil pemeriksaan thoraks yaitu gerakan hemitoraks

kanan tertinggal, JVP meningkat, trakea terdorong ke kiri, hipersonor thoraks kanan,

VBS kanan hilang, bunyi jantung murni reguler. Pada pasien ini terjadi Tension

Pneumotoraks Dextra.

Penanganannya adalah dengan needle thorakosentesis di ICS 2 berpotongan dengan

linea midclavicularis, lakukan pemasangan chest tube no 14 di ICS 5, sambungkan

dengan WSD.

e. Abdomen

Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada

keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan

kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri

tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya

trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites,

luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka ,

dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas

(ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang

hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan

DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi
organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera

karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer

penderita ke ruang operasi bila diperlukan.4

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis

menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam

keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk

mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis .4

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema,

atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum

memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen

rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus

musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya

darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan

jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20

sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia

subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita,

walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,

kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali

mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan

minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih

harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi,

hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.5
g. Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa

untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi

jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,

jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra

kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah),

mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau

kelumpuhan .9Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi

harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-

jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa

detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat

pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat

menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu

pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat

disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat

dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin

menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat

didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum

dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok

yang dpat berakibat fatal


2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan

tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini

dikenali.

3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita

mulai sadar kembali10

Pada skenario, pasien mengalami fraktur terbuka femur dextra 1/3 tengah dan terdapat

displaced. Prinsip terapi fraktur adalah: rekognisi atau pengenalan, reduksi (pemilihan

keselarasan anatomi untuk tulang fraktur, reposisi), imobilisasi dan rehabilitasi.

Penatalaksaan fraktur terbuka adalah :

 Debridement

 Pemberian tetanus toksoid

 Pemeriksaan kultur jaringan

 Pemberian rawat luka dengan kompres terbuka

 Pemberian antibiotic

 Pemantauan gejala infeksi

 Menutup luka dengan memastikan tidak adanya infeksi

Imobilisasi pada ekstrimitas yang patah.

h. Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan

penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan

pemeriksaan punggung.4 Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,

ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra

periksa adanya deformitas.


i. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,

ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status

neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan

oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan

short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai

terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk

melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih

dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita

memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.

Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan

intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus

diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada

perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf .5

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,

hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam

mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon

sensori

1. American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

2. Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian
Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
3. Delp & manning. Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC. 2008
4. Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support
and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

5. Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita


Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Anda mungkin juga menyukai