Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

KERN IKTERUS

DISUSUN OLEH:

dr. Nike Pebrica P

PEMBIMBING:

Dr. Gingin Sp.A.

PROGRAM INTERNSHIP
RUMAH SAKIT KURNIA CILEGON
PERIODE NOVEMBER 2018-NOVEMBER 2019
CILEGON
BAB I

PENDAHULUAN

Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral
palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang
berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning.
Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada
beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar
bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak.

Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern
ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus,
dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar
(exchange transfusion).

Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang
berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan
umum.

Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah
mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KERN IKTERUS

2.1. Definisi

Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin
indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1,

2.2. Insidensi

Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami
kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %.
Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit2, 7

Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia
berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.

Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu:

- Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera
menghubungi dokter.
- Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar
bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah
dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian.
- Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit
akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan
tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya
kulit pada bayi mereka.
- Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar
bilirubin yang belum selesai5, 6,8,.
2.3. Klasifikasi

Stadium 1

Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.

Stadium 2

Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.

Stadium 3

Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.

Stadium 4

Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata
ke atas, displasia mental1.

2.4. Etiologi

Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat
mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan
kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:

Ikterus fisiologis:

- Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.


- Defek pengambilan bilirubin plasma.
- Defek konjugasi bilirubin.
- Ekskresi bilirubin menurun.
Ikterus patologis:

- Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder


dari infeksi, dan mikroangiopati.
- Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan
sefalhematom.
- Polisitemia.
- Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus
paralitik, dan penyakit hirschprung.
- Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi
aliran empedu1,2,3.

2.5. Patogenesis

Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin
yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya
ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak
dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak.

Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin
bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern
ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis,
yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus
dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-
50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga
minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk
menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan
terhadap kern ikterus.

Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi
bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu
hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan
kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam
lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan
infeksi2.

Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu
secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus
subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus,
globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah
yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut
yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan
perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan
yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin
mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada
membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak
terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan
mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2,

2.6. Kriteria Diagnosis

Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian,
gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada
bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat
menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat
jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial
dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya
refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat
sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan.
Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan
melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme,
kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya
menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2.

Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup
biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul
beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak
teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi
gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi,
hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang
lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal,
kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi,
strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau
ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai
melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi otak
minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak
masuk sekolah2,4,5, 7.

2.7. Diagnosis Banding

2.7.1.Sepsis

Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.

Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat,
tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf
Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia
absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.

2.7.2. Asfiksia

Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi
CO2, dan asidosis.
2.7.3. Hipoglikemia

Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah,
mempunyai kadar glukosa darah <

Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis,
kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.

2.8. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan kadar bilirubin.


Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas
kadar bilirubin yang sangat tinggi.
- Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.

2.9. Pengobatan

2.9.1. Transfusi Tukar

Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-
tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka
transfusi tukar darurat harus dilakukan.

Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang
diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang
tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang
sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang
memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar
bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat
ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit,
sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat
rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk
transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi
bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika
penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih
efektif2.

2.9.2. Fisioterapi

Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi
intelek (kognitif) Dengan cara ini diharapkan kemampuan si anak
sebisanya mendekati normal

2.10. Prognosis

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih
bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis
bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis
lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2.

2.11. Pencegahan

Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan
dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat
memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini
masih terus dikembangkan7.8.

Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan
terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar
dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar
yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap
bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang
ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk
memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai
pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada
di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar
ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag
menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.

Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika
nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin
maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika
ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun,
maka transfusi tukar darurat harus dilakukan6,7,8.

- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum
meninggalkan Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan
Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.

Tabel 1. Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.

Berat Badan Tidak Ada Komplikasi Ada Komplikasi*


Lahir (gram)
(g/dL) (g/dL)

<> 12-13 10-12

1000-1250 12-14 10-12

1251-1499 14-16 12-14

1500-1999 16-20 15-17

2000-2500 20-22 18-20


*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV,
hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.

Tabel 2. Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang
sehat tanpa hemolisis.

Umur Fototerapi Fototerapi & Transfusi Tukar


Persiapan Jika Fototerapi
(Jam) (g/dL)
Transfusi Tukar* Gagal

(g/dL) (g/dL)
<> ** ** **

24-48 15-18 25 20

49-72 18-20 30 25

> 72 20 30 25

> 2 minggu *** *** ***

* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi
tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom
sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.

** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.

*** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar
hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena
ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme,
atau hepatitis neona
BAB III

KESIMPULAN

Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar
bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral palsy,
gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik.
Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran
orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern
ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th
edition. Saunders. 596-598.
3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103
4. http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
5. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
6. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Management Of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics;
114;297-316.
7. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.
8. Blackburn ST, penyunting.Bilirubin metabolism. Maternal, fetal & neonatal physiology, a clinical
perspective. Edisi ke-3.Saunders;2007.

Anda mungkin juga menyukai