Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Berkat kuasa
dan kehendak Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul penelitian:
Pengaruh Aromaterapi terhadap Tingkat Kecemasan pada Ibu Bersalin.
Makalahi ini disusun guna memenuhi tugas dari matakuliah asuhan
keperawatan maternitas. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih atas pihak pihak yang
telah membantu hingga terselesainya makalah ini.
Saran dan kritik yang mambangun kami harapkan dari para pembaca. Semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa persalinan merupakan salah satu tahapan yang mendebarkan bagi
setiap wanita (Kasdu, 2005). Bagi beberapa wanita yang akan menghadapi
persalinan, cerita tentang persalinan dan kelahiran ataupun menghadiri kelahiran
menggambarkan proses yang dapat menyebabkan rasa sakit yang tak tertahankan dan
perasaan takut kehilangan kendali. Akibat dari ketakutan akan rasa sakit tersebut
mengakibatkan mereka kehilangan pandangan bahwa persalinan merupakan suatu hal
yang normal dan alami (Chopra, 2006).
Tahapan persalinan terbagi menjadi 4 kala yaitu: kala I (pembukaan); kala II
(pengeluaran janin); kala III (pengeluaran plasenta); dan kala IV (observasi)
(Sulisetyawati dan Nugraheny, 2010). Pada persalinan kala I. terjadi perubahan
psikologis pada seorang ibu yaitu adanya perasaan khawatir, cemas, sedangkan pada
persalinan kala II seorang ibu sudah dapat mengontrol dirinya kembali, lelah, gelisah,
pada kala III nyeri pada ibu mulai berkurang dan adanya perasaan gelisah, lelah yang
berlanjut, dan pada kala IV seorang ibu akan melepaskan tekanan dan ketegangan yang
dirasakannya, serta mendapat tanggung jawab baru untuk mengasuh dan merawat bayi
yang telah dilahirkannya (Cunnigham, 2005).
Menurut Nolan (2003) selama persalinan kala I, seorang wanita akan mengalami
gangguan psikologi yaitu kecemasan. Selain itu, adapun faktor psikologis yang
berhubungan dengan kecemasan selama persalinan kala I yaitu beberapa ketakutan
melahirkan. Takut akan peningkatan nyeri, takut akan kerusakan atau kelainan bentuk
tubuhnya seperti episiotomi, rupture, jahitan ataupun seksio sesarea, serta ibu takut akan
melukai bayinya. Faktor psikis dalam persalinan merupakan faktor yang sangat
penting mempengaruhi lancar tidaknya proses kelahiran (Simpkin, 2005).
Kecemasan dapat dikurangi dengan beberapa terapi penurun kecemasan
yaitu terapi farmakologi dan non-farmakologi. Benzodiazepine, buspirone, dan
antidepresan dapat menjadi terapi farmakologi untuk menurunkan gangguan kecemasan
yang biasanya kronik sedangkan terapi non-farmakologi untuk menurunkan
kecemasan yaitu terapi psikologis, psikoterapi, kognitif-perilaku dan berorientasi insight
yang meliputi relaksasi, latihan pernapasan dan distraksi.
Salah satu cara untuk menurunkan kecemasan adalah dengan pemberian
aromaterapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan inhalasi pada
aromaterapi mampu menurunkan tingkat kecemasan seseorang (Davis, 2005; Indrati,
2009). Aromaterapi merupakan tindakan terapeutik dengan menggunakan minyak
essensial yang bermanfaat meningkatkan keadaan fisik dan psikologi seseorang agar
menjadi lebih baik. Setiap minyak essensial memiliki efek farmakologis yang unik,
seperti antibakteri, antivirus, diuretic, vasodilator, penenang, dan merangsang
adrenal (Runiari, 2010; Ana, 2010).
Butje & Shattel (2008) juga menyebutkan bahwa inhalasi terhadap minyak
essensial dapat meningkatkan kesadaran dan menurunkan kecemasan. Efek positif pada
sistem saraf pusat diberikan oleh molekul-molekul bau yang terkandung dalam minyak
essensial, efek positif tersebut menghambat pengeluaran Adreno Corticotriphic
Hormone (ACTH) dimana hormon ini adalah hormon yang mengakibatkan terjadinya
kecemasan pada individu. Aromaterapi terkenal dengan penggunaannnya dalam
mengatasi stres (Varney & Buckle, 2013), dan secara jelas, persalinan merupakan
pengalaman stres untuk hampir semua ibu. Oleh karenanya hal ini tidak mengejutkan
jika beberapa laporan saat ini menyarankan aromaterapi untuk menurunkan stres pada
kehamilan (Conrad, 2010; Tilllet & Ames, 2010).
Salah satu herbal esensial yang digunakan dalam aromaterapi adalah mawar.
Aroma mawar efektif pada sistem saraf pusat. Dua bahan dari aromaterapi mawar,
sytrinol dan 2-phenyl ethyl alcohol, pada mawar dikenal sebagai agen anti ansietas.
Menggunakan mawar oil mengurangi kecemasan sebesar 71% dalam persalinan dan
hanya 14% dari mereka yang membutuhkan pembiusan lokal (Kheirkhah dkk,
2014).
B. RUMUSAN MASALAH
bagaimana sejarah terpi komlementer aroma theraphi dan cara mengapliklasikannya
dalam keperawatan?
C. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai berbagai macam aroma
terapi.
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian aroma terapi dan manfaat aroma
terapi
2. Mahasiswa mampu membedakan jenis aroma terapi
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara penggunaan aroma terapi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan keadaan emosi yang tidak menyenangkan,

melibatkan rasa takut yang subjektif, rasa tidak nyaman pada tubuh, dan gejala

fisik (Katona, 2012). Menurut Juall (2009) kecemasan merupakan perasaan

yang ditimbulkan oleh ancaman nonspesifik terhadap konsep diri seseorang yang

menyangkut kesehatan, aset, nilai, lingkungan, peran fungsi, pemenuhan

kebutuhan, pencapaian tujuan, hubungan personal, serta perasaan aman.

Deskripsi umum akan kecemasan yaitu “perasaan tertekan dan tidak tenang,

serta berpikiran kacau dengan disertai banyak penyesalan”. Hal ini sangat

berpengaruh pada tubuh, hingga tubuh menggigil, menimbulkan banyak keringat,

jantung berdegup cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa lemas, kemampuan

berproduktivitas berkurang, hingga banyak mereka yang melarikan diri kealam

imajinasi sebagai bentuk terapi sementara (Said Az- zahroni, 2005).

Pengertian lain menurut Wilkinson menyatakan bahwa kecemasan

adalah suatu keresahan, perasaan tidak nyaman dan menakutkan, disertai

dengan respon automatis, dan sumbernya sering kali tidak spesifik, antisipasi

terhadap keadaan bahaya. Sedangkan menurut Stuart dan Sinden mengartikan

kecemasan adalah suatu perasaan diri, pengalaman subjektif individu. Keadaan emosi

ini tidak memiliki subjek yang spesifik (Ni Komang, 2012).

2. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart (2006) penyebab kecemasan dapat dipahami melalui berbagai

teori yaitu teori psikoanalitis dimana Sigmud Freud mengidentifikasikan kecemasan

sebagai konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id
dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan

superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego dan

Aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan

fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

Teori interpersonal Sullifan menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari

perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan

juga berhubungan dengan perkembangan trauma, individu dengan harga diri rendah

terutama rentan mengalami kecemasan yang berat (Stuart, 2006).

Teori perilaku menyebutkan kecemasan merupakan produk frustasi yaitu

segala sesuatu karena mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Ahli perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu

dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari

kepedihan. Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa individu terbiasa sejak kecil

dihadapkan suatu ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada

kehidupan selanjutnya. Ahli teori konflik memandang kecemasan sebagai

pertentangan antar dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya

hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan yaitu konflik menimbulkan

kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada

gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan (Stuart, 2006).

Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga

memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai

oleh gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk

mengatasi stressor (Stuart,2006).

Menurut Stuart (2006) respon terhadap kecemasan meliputi respon fisiologi,

perilaku, kognitif dan efektif yaitu:


a. Respon fisiologi

Gejala somatik/fisik (otot), meliputi: sakit dan nyeri otot-otot, kaku, kedutan

otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil. Gejala sensorik meliputi: tinnitus

(telinga berdengung), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa

lemas, perasaan ditusuk-tusuk. Gejala kardiovaskular (jantung dan pembuluh

darah), meliputi: takikardia (denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri dada,

denyut nadi mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan, detak jantung

menghilang (berhenti sekejap). Gejala pernafasan: rasa tertekan di dada,

perasaan tercekik, merasa nafas pendek/sesak, sering menarik nafas panjang.

Gejala gastrointestinal meliputi : sulit menelan, perut melilit, gangguan

pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa

penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek, sukar buang air

besar (konstipasi), kehilangan berat badan. Gejala urogenital, meliputi: sering

buang air kecil, tidak dapat menahan kencing, tidak datang bulan (tidak ada

haid), masa haid amat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi

dingin (frigid), ejakulasi dini.

Adapun gejala – gejala yang dialami oleh orang yang mengalami kecemasan

adalah (1) ketegangan motorik / alat gerak seperti : gemetar, tegang, nyeri otot,

letih, tidak dapat santai, gelisah, tidak dapat diam, kening berkerut, mudah kaget

(2). Hiperaktifitas saraf autonom (simpatis dan saraf parasimpatis) seperti

keringat berlebihan, jantung berdebar – debar, rasa dingin ditelapak tangan dan

kaki, mulut kering, pusing, rasa mual, sering buang air kecil, diare, muka merah /

pucat, denyut nadi dan nafas cepat (3). Rasa khawatir yang berlebihan tentang

hal –hal yang akan datang seperti : cemas, takut, khawatir, membayangkan akan

datangnya kemalangan terhadap dirinya (4). Kewaspadaan berlebihan seperti :

Perhatian mudah beralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, mudah tersinggung, tidak
sabar (Hawari, 2004).

b. Respon perilaku

Respon kecemasan terhadap perilaku adalah gelisah, ketenangan fisik,

tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami

cidera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari

masalah, menghindar, hiperventilasi dan sangat waspada.

c. Respon kognitif

Respon kecemasan pada kognitif adalah perhatian terganggu, konsentrasi

buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan

berfikir, lapang persepsi menurun, kreatifitas menurun, produktifitas menurun,

bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut

kehilangan kendali, takut pada gambar visual, takut cidera atau kematian, kilas

balik, mimpi buruk.

d. Respon afektif

Respon kecemasan pada afektif adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,

tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati

rasa, rasa bersalah, dan malu. Menurut Suliswati (2005) respons afektif

klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan

sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.

3. Respon Fisiologis dan Psikologis terhadap Ansietas

Respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan

aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam pertahanan diri. Serabut saraf

simpatis “mengaktifkan” tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk

mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar adrenal melepas adrenalin (epinefrin),

yang menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil, dan

meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil membuat kontriksi


pembuluh darah perifer dan memirau darah dari sistem gastrointestinal dan

reproduksi serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna

menyokong jantung, otot, dan sistem saraf pusat. Ketika bahaya telah berakhir,

serabut saraf parasimpatik membalik proses ini dan mengembalikan tubuh ke

kondisi normal sampai tanda ancaman berikutnya mengaktifkan kembali respon

simpatis.

Ansietas menyebabkan respon kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang

tidak nyaman. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman ini, individu mencoba

mengurangi tingkat ketidaknyamanan tersebut dengan melakukan perilaku

adaptif yang baru atau mekanisme pertahanan. Perilaku adaptis dapat menjadi

hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan belajar (Videbeck,

2008).

4. Tingkat Kecemasan

Menurut Dalami (2009) kecemasan dibagi menjadi empat berdasarkan

tingkatan atau rentang responnya, yaitu ansietas ringan yang memiliki ciri-ciri

lapangan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada, ansietas

sedang dengan ciri-ciri tingkat lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun yang

mengakibatkan individu lebih memfokuskan hal-hal penting saat itu dan

mengenyampingkan hal lain, sedangkan pada ansietas berat individu akan mengalami

lapangan persepsi yang sangat sempit sehingga mengakibatkan individu cenderung

memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal lain, individu tidak mampu

lagi berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan

perhatian pada area lain, dan tingkat ansietas terakhir yaitu panik, pada tingkatan ini

lapangan persepsi individu sudah sangat menyempit dan terganggu sehingga tidak

dapat mengendalikan diri lagi walaupun telah diberikan pengarahan.


Peplau dalam Ni Komang (2012) mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan

yaitu:

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tanda dan

gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan

stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif

serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan

gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.

2) Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami

perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

Respon fisiologi: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut

kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi

menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang

menjadi perhatiannya.

3) Kecemasan Berat

Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta

tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk

mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu:

persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian

sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta

tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit

kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi,

sering buang air kecil maupun besar, dan diare. Secara emosi individu
mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

4) Panik

Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,

ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang

mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,

kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan

kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat

bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat

fokus pada suatu kejadian

5. Terapi Kecemasan

1. Terapi farmakologi

Obat masih menjadi pilihan utama terapi, tetapi gangguan itu sendiri

biasanya kronik, sehingga potensi terjadinya toleransi,

ketergantungan dan kekambuhan membatasi nilai obat ansiolitik

menjadi jangka pendek.

 Benzodiazepine merupakan obat dengan mula kerja yang cepat, tetapi

toleransi dapat terjadi pada penggunaan kronik, sehingga

membutuhkan peningkatan dosis pada reaksi putus obat akut ketika

obat dihentikan pada 30% kasus serta pada 10% penghentian

kronik. Efek sampingnya meliputi sedasi dan amnesia dan

kemungkinan juga ansietas dan depresi: terdapat potensi yang besar

untuk penyalahgunaan dan interaksi dengan alkohol.

 Buspirone – Walaupun ketergantungan belum pernah terjadi pada

pemakaian buspiron, banyak pasien meragukan efikasinya, mungkin


karena mula kerjanya yang lambat. Untuk ansietas kronik, pengobatan

ini masih bermanfaat. Percobaan terapi hingga delapan minggu

dengan setidaknya 30 mg buspiron setiap harinya, setelah peningkatan

dosis secara bertahap selama dua minggu pertama, sering menunjukan

hasil yang baik.

 Antidepresan – Pasien yang sebelumnya mengonsumsi

benzodiazepine dapat tidak merasakan efek sedatif dan efek ansiolitik

akut bila digantikan dengan buspirone, pada kasus tersebut percobaan

terapi dengan antidepresan selama enam hingga delapan minggu

dapat bermanfaat. Antidepresan menimbulkan eksaserbasi-awal

ansietas, yang dapat dicegah dengan pemberian benzodiazepine

selama tujuh hingga 10 hari pertama dengan risiko ketergantungan

yang lebih kecil.

Durasi yang diperlukan untuk terapi obat tidak pasti, dan

biasanya digunakan durasi yang sama dengan pengobatan depresi –

enam hingga sembilan bulan pada tahap awal.

2. Terapi Non-Farmakologi

a. Terapi Psikologis

Terapi-terapi ini dirancang untuk melatih keterampilan dalam


mengelola komponen kognitif dan somatik ansietas dan sama
efektifnya dengan terapi obat tetapi dengan efek samping yang lebih
sedikit. Terapi psikologis spesialistik mungkin tidak praktis bagi
beberapa pasien di layanan lini pertama, tetapi konseling singkat dan
teknik penyelesaian masalah secara terstruktur efektif dan dapat
dilakukan di praktek umum.
b. Psikoterapi
c. Terapi kognitif-perilaku
d. Terapi berorientasi insight
Manajemen ansietas (relaksasi, latihan pernapasan, distraksi)
D. Kecemasan pada Persalinan Kala I

Pada persalinan kala I terjadi pembukaan serviks sampai pembukaan lengkap

10cm sehingga terjadi perubahan psikologis pada seorang ibu sewaktu fase laten,

seorang ibu dalam persalinan kala I akan merasa khawatir, cemas, tetapi masih dapat

berkomunikasi dan diberikan arahan sebelum persalinan berlangsung. Sedangkan pada

persalinan kala II, seorang ibu sudah dapat mengontrol dirinya kembali, merasakan

nyeri selama kontraksi, merasa lelah dan gelisah. Pada persalinan kala III, nyeri mulai

berkurang dan saat pelepasan plasenta seorang ibu akan merasa gelisah dan lelah.

Selanjutnya pada persalinan kala IV dengan segera seorang ibu akan melepaskan

tekanan dan ketegangan yang dirasakannya, dan mendapat tanggung jawab baru untuk

mengasuh dan merawat bayi yang telah dilahirkannya (Cunnigham, 2005).

Menurut Nolan (2003) selama persalinan kala I, ibu mengalami gangguan

psikologi yaitu kecemasan. Kecemasan merupakan reaksi fisik, mental, kimiawi dari

tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan

dan merisaukan seseorang (Yosep, 2007). Gangguan kecemasan memiliki beberapa

efek dalam persalinan yaitu, kadar katekolamin yang berlebihan pada kala I

menyebabkan turunnya aliran darah ke rahim, turunnya kontraksi rahim, turunnya

aliran darah ke plasenta, turunnya oksigen yang tersedia untuk janin serta dapat

meningkatkan lamanya persalinan kala I (Simpkin, 2005).

Secara epidemiologis, gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua persalinan

baik pada persalinan primigravida maupun multigravida. Dalam sebuah penelitian

ditemukan lebih dari 12% ibu yang pernah melahirkan mengatakan bahwa mereka

mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dalam hidupnya yaitu cemas pada

saat melahirkan. Pengeluaran hormon adrenalin akibat stress yang mereka alami

dikarenakan rasa takut dan sakit mereka dapat mengakibatkan penyempitan

pembuluh darah dan mengurangi aliran darah yang membawa oksigen ke rahim sehingga
terjadi penurunan kontraksi rahim yang akan memperpanjang waktu persalinan. Hal ini

merupakan suatu kerugian bagi ibu maupun janin yang berada dalam rahim ibu

(Aryasatiani, 2005).

Perlu diketahui bahwa setiap detak jantung ibu hamil, tentu dapat dirasakan pula

oleh janin. Oleh karena itu, bila ibu hamil sering mengalami kecemasan dan stres,

maka detak jantung akan semakin meningkat. Detak jantung yang semakin keras dapat

mempengaruhi gerakan pada janin. Akibatnya, janin pun lebih aktif bergerak-gerak di

dalam rahim (Novitasari, 2013). Menurut Kemenkes RI (2013) kecemasan pada

persalinan kala I merupakan salah satu penyebab terjadinya partus lama dan kematian

janin. Partus lama memberikan sumbangsih 5 % terhadap penyebab kematian ibu di

Indonesia.

a. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan pada Persalinan

Menurut Aryasatiani (2005) terdapat beberapa penentu terjadinya kecemasan

pada ibu bersalin yaitu, nyeri persalinan, keadaan fisik ibu, riwayat pemeriksaan

kehamilan, kurangnya pengetahuan tentang proses persalinan, dukungan dari

lingkungan sosial serta latar belakang psikososial lain dari ibu yang bersangkutan,

seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan

sosial ekonomi. Salah satu faktor yang berhubungan dengan gangguan kecemasan

pada kala I adalah pengetahuan. Berdasarkan pengalaman dan penelitian, perilaku

cemas didasarkan salah satunya pada pengetahuan seorang ibu. Dimana seorang

ibu mengalami kecemasan pada saat ibu tidak memiliki pengetahuan tentang

persalinan dan bagaimana prosesnya (Notoatmodjo, 2003).

Selain itu, adapun faktor psikologis yang berhubungan dengan kecemasan

selama persalinan kala I yaitu beberapa ketakutan melahirkan. Takut akan

peningkatan nyeri, takut akan kerusakan atau kelainan bentuk tubuhnya seperti

episiotomi, rupture, jahitan ataupun seksio sesarea, serta ibu takut akan melukai
bayinya. Faktor psikis dalam persalinan merupakan faktor yang sangat penting

mempengaruhi lancar tidaknya proses kelahiran (Simpkin, 2005). Menurut Stuart

(2006) faktor fisiologis penyebab kecemasan yaitu terjadinya perubahan fisik yang

dialami ibu. Perubahan tersebut yaitu perubahan kardiovaskuler, pernafasan,

neuromuskular, gastrointestinal, saluran perkemihan dan kulit.

Dalam penelitian Novitasari (2013) menyatakan terdapat faktor yang

menyebabkan adanya kecemasan, yaitu pengalaman negatif masa lalu. Pengalaman

ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa

yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu tersebut

menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan, hal

tersebut merupakan pengalaman umum yang menimbulkan kecemasan.

Pada ibu yang pernah mengalami kehamilan sebelumnya (multigravida),

mungkin mengalami kecemasan disebabkan oleh pengalaman yang tidak

menyenangkan yang pernah dialaminya pada proses persalinan pertama, misal:

kesakitan, komplikasi, pendarahan, atau proses persalinan yang tidak lancar.

Sedangkan yang terjadi pada primigravida, kecemasan terjadi karena kehamilan

yang dialaminya merupakan pengalaman yang pertama kali dan ketidaktauan

menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. Selain itu informasi negatif

tentang persalinan seperti televisi maupun film yang sering menampilkan adegan

melahirkan yang begitu menegangkan dan menakutkan, bahkan saat bertanya

dengan orang tua-kerabat dan teman tentang seputar pengalaman melahirkan yang

tidak menyenangkan (Novitasari, 2013).

C. Konsep Aromaterapi

1. Definisi Aromaterapi

Aromaterapi merupakan tindakan terapeutik dengan menggunakan minyak

essensial yang bermanfaat meningkatkan keadaan fisik dan psikologi seseorang


agar menjadi lebih baik. Setiap minyak essensial memiliki efek farmakologis yang

unik, seperti antibakteri, antivirus, diuretic, vasodilator, penenang, dan

merangsang adrenal. (Runiari, 2010; Ana, 2010)

Dilihat dari kesenjangan dalam praktik akhir-akhir ini, perhatian yang

diberikan kepada penggunaan Complementary and Alternative Medicine (CAM)

sebagai pengobatan tambahan mengalami peningkatan. Aromaterapi adalah salah

satu jenis dari CAM yang banyak digunakan dengan tujuan menghirup uap atau

penyerapan minyak ke dalam kulit yang berguna mengobati atau mengurangi

gejala fisik dan emosional (Price, 2007).

2. Sejarah Aromaterapi di Indonesia

Pengobatan tradisional di Indonesia kebanyakan mendapat pengaruh dari

Ayuverdic dan pengobatan China. Pengobatan tersebut bisa berpengaruh dan

berkembang di Indonesia dikarenakan pengaruh agama Hindu yang tiba di

Indonesia pada sekitar abad 400 SM. Pemimpin agama Hindu yang

memperkenalkan pengobatan Ayuverdic, dimana pengobatan yang dilakukan

menggunakan minyak yang berasal dari tanaman. Agama Budha juga memberikan

pengaruh terhadap masuknya aromaterapi di Indonesia, ketika ada biksu Budha

yang mengajarkan pengobatan tradisional China. Kemudian, pada masa

Pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Tengah, salah satu Raja, ada yang

mempersunting wanita cantik yang merupakan keturunan bangsa China. Dari

situlah, seni penyembuhan akupuntur dan refleksiologi diperkenalkan.

Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1450 SM, akibat kedatangan umat

Muslim, membuat penduduk Hindu berpindah ke dataran Bali, dengan

membawa pengetahuan pengobatan yang dimiliki selama di Jawa Tengah. Sejarah

tersebutlah yang menyebabkan pengobatan dan refleksiologi yang terdapat di Jawa

Tengah dan Bali menjadi hampir serupa dan historikal itu pula yang menyebabkan
banyaknya produk aromaterapi yang berasal dari Bali dan Jawa Tengah –

Jogjakarta (Rafika, 2013).

3. Sumber Tanaman Minyak Esensial di Indonesia

Minyak esensial adalah minyak yang dihasilkan dari tanaman dan merupakan

salah satu hasil metabolisme dalam tanaman, yang terbentuk karena reaksi berbagai

senyawa kimia dan air. Sifatnya minyak esensial adalah mempunyai rasa getir,

berbau wangi sesuai dengan bau tanaman seperti daun, buah, biji, bunga, akar, kayu

kulit, rimpang, bahkan seluruh bagian tanaman.

Tanaman yang menghasilkan minyak esensial berjumlah 150-200 spesies

tanaman, yang termasuk tanaman family Pinaceae, Labiatae, Compositae,

Lauraceae, Myrtaceae dan Umbeliferaceae.Khusus di Indonesia, dikenal sekitar 40

jenis tanaman penghasil minyak esensial, namun baru sebagian dari tanaman

tersebut yang digunakan sebagai sumber minyak esensial secara komersil berikut

merupakan daftar tanaman esensial penghasil minyak yang berkembang di

Indonesia (Rafika, 2013):

Tabel 2.1
Daftar Tanaman Esensial

No Tanaman Nama Lain Sumber Minyak


1. Adas Foenicullum vulqare Buah dan biji
2. Akar wangi Vetiveria Zizanoides Akar
3. Anis Clausena anisata Buah dan biji
4. Bangle Zinqiber purpureum Roxb. Akar
5. Cempaka Michelia champaca Cempaka
6. Cendana Santalum album Kayu teras
7. Cengkeh Syzyqium aromaticum Bunga
8. Eucalyptus Eucalyptus sp. Daun
9. Gaharu Aquilaria sp. Kayu
10. Gandapura Gaultheria sp. Daun dan ganggang
11. Jahe Zinqiber officinale Akar
13. Jeruk purut Citrus hystrix Buah
14. Kapulaga Amomum cardamomum Buah dan biji
15. Kayu manis Cinnamomum cassia Batang
16. Kayu putih Melaleuca leucadendron LI Daun
17. Kemangi Basil oil Daun
18. Kemukus Piper cubeba L Buah
19. Kenangan Canagium odoratum Bunga
20. Kencur Caempreria galangal Akar
21. Ketumbar Coriandrum sativum Buah dan biji
22. KlausenTa Clausena anisata Biji
23. Kunyit Curcuma domestica Akar
24. Lada Piper niqrum L Buah dan biji
25. Lengkuas hutan Alpina malacensis oil Akar
27. Manis Cinnamomum Daun
28. Massoi Criptocaria massoia Batang
30. Mawar
Melati Rosa sp. sambac
Jasminum Bunga
31. Mentha Mentha arvensis Daun
32. Nilam Pogostemon cablin Daun
33. 2Pala Myristica fragrans Houtt Biji dan Fuli
34. Palmarosa Cymbopogon martini Daun
35. .Pinus Pinus merkusii Getah
36. Rosemari Rosmarinus officinale Bunga
37. Sedap malam Polianthes tuberose Bunga
38. Selasih mekah Ocimum gratissimum Bunga
39. Seledri Avium graveolens L Daun dan batang
40. Sereh dapur Andropogon citrates Daun
41. Sereh wangi Cymbopogon citrates Daun
42. Sirih Piper bitle Daun dan batang
43. Sarawung pohon Backhousia citriodora Daun
44. Temulawak Curcuma xanthorizza Akar
45. Ylang-ylang Canangium odoratum Bunga
4. Bahan – Bahan Pendukung Aromaterapi
Berikut merupakan bahan pendukung untuk pembuatan Aromaterapi:

- Minyak Atsiri

Minyak wangi ini diekstrak dari tanaman melalui destilasi uap atau ekspresi

(minyak jeruk). Namun istilah ini juga kadang digunakan untuk

menggambarkan minyak wangi yang diekstrak dari tanaman yang

menggunakan ekstrasi pelarut. Selain itu minyak atsiri juga dikenal dengan

istilah essential oil.

- Absolutes

Merupakan hasil ekstrasi dari bunga atau jaringan tanaman halus melalui

fluida superkritis pelarut atau naik mutlak. Digunakan juga untuk

menggambarkan minyak yang diekstrak dari mentega harum, beton, dan

pomades enfleurage menggunakan etanol.

- Pembawa Minyak

Biasanya berminyak tanaman dasar tricglycerides yang cair dan biasanya

minyak ini dapat digunakan pada kulit (Almond manis).

- Distilat Herbal atau Hydrosols

Merupakan air yang terbentuk dari proses distilasi (Air mawar). Banyak

aromaterapi yang menggunakan sulingan herbal dan biasanya mereka dapat

digunakan pada kuliner, sebagai obat dan juga sebagai perawatan kulit.

Sulingan herbal biasanya berupa chamomile, mawar dan lemon balm.

- Infus

Ekstrak air dengan berbagai tanaman (misalnya infuse chamomile).

- Phytocendes

Merupakan berbagai senyawa organik yang mudah menguap dari tanaman

yang membunuh mikroba.


- Penguap (Voltiazed) Herbal Baku

Biasanya memiliki kandungan senyawa yang lebih tinggi dari senyawa

tanaman dengan konten berbasis kering, hancur dan dipanaskan untuk

mengekstrak dan menghirup uap minyak aromatik dalam modalitas

penghirupan langsung (Rafika, 2013).

5. Bentuk-Bentuk Aromaterapi

- Minyak Essensial Aromaterapi

Berbentuk cairan atau minyak. Penggunaanya bermacam – macam, pada

umumnya digunakan dengan cara dipanaskan pada tungku. Namun bisa juga

jika dioleskan pada kain atau pada saluran udara.

- Dupa Aromaterapi

Awalnya hanya digunakan untuk acara keagamaan tertentu, namun seiring

dengan perkembangan jaman, dupa pun kini sudah menjadi bagian dari salah

satu bentuk aromaterapi. Bentuknya padat dan berasap jika dibakar, biasanya

digunakan untuk ruangan berkukuran besar atau pada ruangan terbuka.

Jenis dupa aromaterapi ini, terdiri dari tiga jenis, yaitu dupa aroma

terapi panjang, dupa aromaterapi pendek dan dupa aromaterapi berbentuk

kerucut.

- Lilin Aromaterapi

Ada dua jenis lilin yang digunakan, yaitu lilin yang digunakan untuk

pemanas tungku dan lilin aromaterapi. Lilin yang digunakan untuk

memanaskan tungku aromaterapi tindak memiliki wangi aroma, karena hanya

berfungsi untuk memanaskan tungku yang berisi essential oil. Sedangkan

lilin aromaterapi akan mengeluarkan wangi aromaterapi jika dibakar.

- Minyak Pijat Aromaterapi

Bentuk ini memiliki wangi yang sama dengan bentuk aromaterapi yang lain,
hanya saja cara penggunaannya yang berbeda, karena ini digunakan untuk

minyak pijat .

- Garam Aromaterapi

Fungsi dari garam aromaterapi dipercaya dapat mengeluarkan toksin atau

racun yang ada dalam tubuh. Biasanya digunakan dengan cara merendam

bagian tubuh tertentu seperti kaki, untuk mengurangi rasa lelah.

- Sabun Aromaterapi

Bentuknya berupa sabun padat dengan berbagai wangi aromaterapi,

namun tidak hanya sekedar wangi saja. Tapi juga memiliki berbagai

kandungan atau ekstrak dari tumbuh – tumbuhan yang dibenamkan

dalam sabun ini, sehingga sabun ini juga baik untuk kesehatan tubuh, seperti

menghaluskan kulit dan menjauhkan dari serangga (Rafika, 2013).

6. Cara Penggunaan Aromaterapi

- Inhalasi

Merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode

aromaterapi yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi juga merupakan metode

yang paling tua. Aromaterapi masuk dari luar tubuh ke dalam tubuh dengan

satu tahap yang mudah, yaitu lewat paru – paru di alirkan ke pembuluh darah

melalui alveoli. Inhalasi sama dengan metode penciuman bau, di mana dapat

dengan mudah merangsang olfactory pada setiap kali bernafas dan tidak akan

mengganggu pernafasan normal apabila mencium bau yang berbeda

dari minyak essensial. Aroma bau wangi yang tercium akan memberikan

efek terhadap fisik dan psikologis konsumen. Cara ini biasanya terbagi

menjadi inhalasi langsung dan inhalasi tidak langsung. Inhalasi langsung

diperlakukan secara invidual, sedangkan inhalasi tidak langsung dilakukan

secara bersama – sama dalam satu ruangan. Menurt Walls (2009)


aromaterapi inhalasi dapat dilakukan dengan menggunakan elektrik,

baterai, atau lilin diffuser, atau meletakkan aromaterapi dalam jumlah yang

sedikit pada selembar kain atau kapas. Hal ini berguna untuk minyak esensial

relaksasi dan penenang.

- Pijat

Pijat merupakan tehnik yang paling umum. Melalui pemijatan, daya

penyembuhan yang terkandung dalam minyak essensial bisa menembus

melalui kulit dan dibawa ke dalam tubuh, kemudian akan mempengaruhi

jaringan internal dan organ – organ tubuh. Minyak essesnsial berbahaya jika

dipergunakan langsung ke kulit, maka dalam penggunaanya harus dilarutkan

dulu dengan minyak dasar seperti minyak zaitun, minyak kedelai, dan minyak

tertentu lainnya. Minyak lavender, ialah salah satu minyak yang terkenal

sebagai minyak pijat yang dapat memberikan relaksasi. Terapi aroma yang

digunakan dengan cara pijat ini merupakan cara yang sangat digemari untuk

menghilangkan rasa lelah pada tubuh, memperbaiki sirkulasi darah dan

merangsang tubuh untuk mengeluarkan racun, serta meningkatkan kesehatan

pikiran. Dalam penggunaannya dibutuhkan dua tetes minyak essensial yang

ditambahkan dengan 1 ml minyak pijat.

- Kompress

Penggunaan melalui proses kompress membutuhkan sedikit minyak

aromaterapi. Kompress hangat dengan minyak aromaterapi dapat digunakan

untuk menurunkan nyeri punggung dan nyeri perut. Kompress dingin yang

mengandung minyak lavender digunakan pada bagian perineum saat

persalinan.
- Berendam

Cara ini menggunakan aromaterapi dengan cara menambahkan tetesan

minyak essensial ke dalam air hangat yang digunakan untuk berendam.

Dengan cara ini efek minyak essensial akan membuat perasaan (secara

psikologis dan fisik) menjadi lebihrileks, serta dapat menghilangkan

nyeri dan pegal, memberikan efek kesehatan (Rafika, 2013).

7. Contoh ontAromaterapi
a. Mawar
Salah satu herbal esensial yang digunakan dalam aromaterapi adalah

mawar. Aroma mawar efektif pada sistem saraf pusat. Dua bahan dari

aromaterapi mawar, sytrinol dan 2-phenyl ethyl alcohol, pada mawar

dikenal sebagai agen anti ansietas. Menggunakan mawar oil mengurangi

kecemasan sebesar 71% dalam persalinan dan hanya 14% dari mereka

yang membutuhkan pembiusan lokal (Kheirkhah dkk, 2014)

Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam minyak atsiri bunga

mawar diantaranya sitral, sitronelol, geraniol, linalol, nerol, eugenol,

feniletil, alhohol, farnesol, nonil, dan aldehida (Rubkahwati, Purnobasuki,

Isnaeni, dan Utami, 2013). Pada saat aroma terapi minyak esensial

bunga mawar dihirup, molekul yang mudah menguap akan membawa

unsur aromatic yang terkandung didalamnya seperti geraniol dan linalol

kepuncak hidung dimana silia-silia muncul dari sel-sel reseptor. Apabila

molekul-molekul menempel pada rambut- rambut tersebut, suatu pesan

elektro kimia akan ditranmisikan melalui saluran olfaktori ke dalam system

limbik. Hal ini akan merangsang memori dan respon emosional.

Hipotalamus yang berperan sebagai regulator memunculkan pesan yang

harus disampaikan ke otak. Pesan yang diterima kemudian diubah menjadi


tindakan berupa senyawa elektrokimia yang menyebabkan perasaan tenang

dan rilek serta dapat memperlancar aliraan darah (Koensomardiyah, 2009).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan inhalasi

pada aromaterapi mampu menurunkan tingkat kecemasan seseorang

(Davis, 2005; Indrati, 2009). Butje & Shattel (2008) juga menyebutkan

bahwa inhalasi terhadap minyak essensial dapat meningkatkan kesadaran

dan menurunkan kecemasan. Efek positif pada sistem saraf pusat

diberikan oleh molekul-molekul bau yang terkandung dalam minyak

essensial, efek positif tersebut menghambat pengeluaran Adreno

Corticotriphic Hormone (ACTH) dimana hormon ini adalah hormon

yang mengakibatkan terjadinya kecemasan pada individu.

Dampak positif aromaterapi terhadap penurunan tingkat kecemasan

disebabkan karena aromaterapi diberikan secara langsung (inhalasi).

Mekanisme melalui penciuman jauh lebih cepat dibanding rute yang lain

dalam penanggulangan problem emosional seperti stress dan kecemasan,

termasuk sakit kepala, karena hidung/penciuman mempunyai kontak

langsung dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang

terbentuknya efek yang ditimbulkan oleh aromaterapi. Hidung sendiri

bukanlah organ untuk membau, tetapi hanya memodifikasi suhu dan

kelembaban udara yang masuk. Saraf otak (cranial) pertama

betanggung jawab terhadap indera pembau dan menyampaikan pada sel-

sel reseptor. Ketika aromaterapi dihirup, molekul yang mudah menguap

dari minyak tersebut dibawa oleh udara ke “atap” hidung dimana silia-silia

yang lembut muncul dari sel-sel reseptor. Ketika molekul-molekul itu

menempel pada rambut-rambut tersebut, suatu pesan elektro kimia akan

ditransmisikan melalui bola dan olfactory ke dalam sistem limbic. Hal


ini akan merangsang memori dan respons emosional. Hipotalamus

berperan sebagai relay dan regulator, memunculkan pesan-pesan ke bagian

otak serta bagian tubuh yang lain. Pesan yang diterima kemudian diubah

menjadi tindakan yang berupa pelepasan senyawa elektrokimia yang

menyebabkan euporia, relaks atau sedative. Sistem limbik ini terutama

digunakan untuk sistem ekspresi emosi (Koensoemardiyah, 2009).

Aromaterapi terkenal dengan penggunaannnya dalam mengatasi

stress (Varney & Buckle, 2013), dan secara jelas, persalinan merupakan

pengalaman stress untuk hampir semua ibu. Oleh karenanya hal ini

tidak mengejutkan jika beberapa laporan saat ini menyarankan aromaterapi

untuk menurunkan stress pada kehamilan (Conrad, 2010; Tilllet & Ames,

2010).

b. Lavender
Salah satu hal yang akan dikhawatirkan seorang ibu yang akan

mengalami persalinan merupakan rasa nyeri, sebagian besar dari ibu

akan mengalami kebingungan bagaimana akan mengatasi nyeri yang akan

dirasakan (Fauziah, 2015). Pengukuran nyeri pada saat proses persalinan

berlangsung akan sangat sulit untuk dilakukan, maka dari itu jika pasien

tidak dapat berkomunikasi dengan baik secara verbal, maka dapat

dilakukan dengan mengukur tanda-tanda fisiologis yang berhubungan

dengan nyeri seperti, peningkatan terhadap tekanan darah, peningkatan

denyut nadi, dan peningkatan pernapasan, yang akan efektif dilakukan

pada saat proses persalinan, tanpa harus mengganggu konsentrasi ibu saat

menghadapai rasa nyeri yang berlangsung (Dillon, 2007). Terdapat 2

metode umum yang diketahui dalam penaganan nyeri, yaitu dengan

metode terapi farmakologi dan non farmakologi (Price & Wilson, 2006).
Pada metode non farmakologi salah satumya dapat menggunakan

aromaterapi lavender. Lavender yang memiliki bahasa ilmiah Lavendula

Angustifoila ini merupakan jenis tanaman bunga, yang menghasilkan

produk parfum kelas tinggi yang banyak dipakai dikalangan bangsawan

eropa (Jaelani, 2009). Lavender dalam bentuk minyak essensial ini sangat

aman dan sudah digunakan sebagai penghilang rasa sakit, penyeimbang

jiwa, dan penyembuh luka sejak beribu tahun yang lalu (Primadiati,

2002).

Menurut Karlina, Reksohusodo, dan Widayati (2014) dalam

penelitiannya tentang pengaruh pemberian aromaterapi lavender

menyatakan, bau yang menyenangkan akan menimbulkan perasaan tenang,

dan senang yang dapat mengurangi kecemasan. Aromaterapi dari limbik

menstimulasi sekresi enkefalin atau endorfin di hipotalamus, PAG

(Periaqueductal Grey), dan medula rostral ventromedial. Daerah otak

yang disebut, raphe nucleus yang akan terstimulus untuk mengeluarkan

serotonin sehingga menimbulkan efek rileks, tenang dan menurunkan

kecemasan. Serotonin sebagai neuromodulator yang menghambat

informasi nosiseptif dalam medula spinalis, yang menutup mekanisme

pertahanan dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis dan

menghambat pelepasan substansi P yang akan menyebabkan impuls

nyeri tidak bisa melewati neuron proyeksi.

Hal ini menyebabkan tidak dapat diteruskannya ke proses

yang lebih tinggi, di kortek somatosensoris dan transisional. Hal ini

disebabkan karena lavender merupakan minyak essensial analgesik yang

mengandung 8% terpena, 6% keton yang mempunyai efek sedatif,

lavender juga mengandung 30-50% linalil asetat yang merupakan senyawa


ester yang dapat menormalkan keadaan emosi serta keadaan tubuh yang

tidak seimbang, dan juga memiliki khasiat sebagai penenang serta

tonikum, khususnya pada sistem saraf.

Demikian beberapa contoh aroma terapi yang dapat kami sampaikan. masih

banyak jenis aroma terapi yang bisa digunakan untuk membantu mengurangi nyeri

dalam proses persalinan seperti aroma melati dll.


BAB 111
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Aroma terapi dapat membantu ibu hamil dan bersalin untuk membuat
organ-organ menjadi lebih rileks, serta mempengaruhi bagian otak yang
berkaitan dengan mood (suasana hati), emosi, ingatan dan mengurangi nyeri
saat persalinan.
2. SARAN
Dalam dunia keperawatan pengenalan lebih lanjut tentang aroma terapi
serta penggunaannya di masyarakat perlu dilakukan untuk mengurangi efek
negatif yang ditimbulkan obat-obatan kimia sintetik.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribt.com/document/364873831/Makalah-Aroma-Terapi

http://ejurnal.poltekes-tjk.ac.id

ejournal.kopertis10.or.id

https://dokumen.tips/documents/makalah-aroma-terapi.html

https:www.academia.edu/37948301/aromateraphy

afandwianwar.blogspot.com/2017/05/aroma-terapi-keperawatan-komplementer.html

Anda mungkin juga menyukai