Anda di halaman 1dari 42

Presentasi Kasus

SEORANG WANITA 47 TAHUN DENGAN CEDERA OTAK


BERAT GCS E1V2M4 DAN OEDEM CEREBRI

Oleh:
Sakarias Christofer - G99181037

Pembimbing
Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. W
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kerjo, Karanganyar
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal masuk : 12 Mei 2019
Tanggal periksa : 15 Mei 2019
B. Data dasar
Anamnesis dilakukan di bangsal Flamboyan 6 RSUD dr. Moewardi
Surakarta.
Keluhan Utama
Benjolan di perut sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD Kabupaten Karanganyar dengan
keterangan tumor intra abdomen suspek kista pankreas. Pasien datang
dengan keluhan benjolan pada perut bagian atas kanan sejak 2 bulan yang
lalu, berukuran kira-kira sebesar telur ayam. Benjolan muncul setelah
perut pasien terbentur meja saat membersihkan rumah. Makin lama,
benjolan tersebut dirasakan semakin membesar dan pasien mulai
merasakan mual dan rasa penuh di perut. BAB dan BAK dalam batas
normal.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Mondok : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : (-)
Penyakit Jantung : (-)
Riwayat DM : (-)

Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali dan sudah berlangsung selama 10 tahun.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien berobat menggunakan
fasilitas BPJS kelas II.

II. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Sedang, Composmentis E4V5M6
2. Tanda Vital
- Tensi : 110/70 mmHg
- Nadi : 73x/menit
- Frekuensi Nafas : 16x/menit
- SpO2 : 99%
- Suhu : 36,5oC
3. Status Gizi
- Berat badan : 51 kg
- Tinggi badan : 155 cm

3
- IMT : 21,22 kg/m2
- Kesan : Normoweight
4. Primary Survey
a. Airway : Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
b. Breathing : Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 16 x/mnt
c. Circulation : Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 73x/mnt, tekanan
darah 110/70 mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 99%
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil
isokor 3mm/3mm
e. Exposure : Trauma kepala (-), trauma ekstremitas bawah kanan (-),
trauma genital (-), suhu normotermi
5. Secondary Survey
a) Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b) Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d) Telinga : Sekret (-/-)
e) Hidung : Sekret (-/-)
f) Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g) Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h) Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i) Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j) Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal

4
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k) Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada,
Distended (+)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba massa pada regio
hypochondriaca dextra (+) teraba padat keras, terfixir, ukuran kira-
kira 8x5 cm, hepar dan lien tidak teraba
l) Genitalia
1. Inspeksi : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup,
darah (-)
2. VT : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup,
darah (-), nyeri (-), massa (-)
m) Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral - - dingin
- -

- -
Oedem
- -

5
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG Abdomen 11 April 2019

Kesan:
Tampak lesi bentuk bulat tegas, tepi regular pada regio parapancreatic
yang tampak menempel dengan caput pancreas (uk ± 6,78 x 7,94 x 9,12
cm)  curiga gambaran psudocyst pancreas DD cysta pancreas.

2. Laboratorium 2 Mei 2019


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
SEROLOGI TUMOR MARKER
Ca 19-9 <3 u/ml <37

6
3. Laboratorium 13 Mei 2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13,9 g/dl 12,0-15,6
Hematokrit 42 % 33-45
Leukosit 5,3 ribu/ul 4,5-11
Trombosit 102 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4,93 juta/ul 4,1-5,1
INDEX ERITROSIT
MCV 84,6 /um 80.0-96.0
MCH 28,1 Pg 28.0-33.0
MCHC 33,3 g/dl 33.0-36.0
RDW 16.9 % 11.6-14.6
HDW 3.6 g/dl 2.2-3.2
MPV 11.0 Fl 7.2-11.1
PDW 49 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.10 % 0-4
Basophil 0.20 % 0-2
Netrofil 69.60 % 55-80
Limfosit 22.40 % 22-44
Monosit 5.20 % 0-7
LUC/AMC 1.60 %
Golongan Darah B
Golongan Darah Rh Positif
HEMOSTASIS
PT 12,6 detik 10,0-15,0
APTT 26,0 detik 20,0-40,0
INR 0,980
KIMIA KLINIK
GDS 70 mg/dl 60-140
SGOT 21 u/l <31
SGPT 15 u/l <34
Alkali Fosfatase 73 u/l 42-98
Albumin 4,6 g/dl 3,5-5,2
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,6-1,1
Ureum 21 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 140 mmol/L 136-145

7
Kalium darah 4,5 mmol/L 3,3-5,1
Chlorida Ion 106 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive
Kesimpulan: trombositopenia

IV. ASSESMENT
Tumor intra abdomen suspek kista pankreas

V. PLAN
A. Daftar OK IBS
B. Informed consent
C. Site marking
D. Konsul TS Anestesi
E. Pasang IV line
F. Antibiotik profilkasis : Inj. Cefazolin 2g/IV
G. Puasakan pasien 6 jam pre operasi
H. Skeren pubis
I. Pro Laparotomy eksplorasi + biopsy + k/p bypass dengan GA-ET
J. Pesan ICU

VI. DIAGNOSIS ANESTESI


Ny. W, 32 tahun, tumor intra abdomen suspek kista pancreas, pemeriksaan fisik
kondisi umum baik, tekanan darah 110/70 mmHg, dan denyut nadi 73
kali/menit. Pada prinsipnya setuju tata laksana anestesi dengan status fisik ASA
II, plan informed consent, IV line, DC, puasa 6 jam, premedikasi di OK 9 IBS,
GA-ET, analgesic post op paracetamol + fentanyl

VI. PROBLEM
1. Tumor intra abdomen suspek kista pancreas
2. trombositopenia

8
VII. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 2019 di OK 9 IBS
Primery Survey
1. Airway
Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
2. Breathing
Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18x/mnt
3. Circulation
Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 100x/mnt, tekanan darah 123/85
mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 100%
4. Disability
GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor 3mm/3mm
5. Exposure
Trauma kepala (-), trauma ekstremitas bawah kanan (-), trauma genital (-),
suhu normotermi

Secondary Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d. Telinga : Sekret (-/-)
e. Hidung : Sekret (-/-)
f. Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi palsu (-)
g. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h. Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

9
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j. Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k. Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba massa pada regio
hypochondriaca dextra (+) teraba padat keras, terfixir, ukuran kira-kira
8x5 cm, hepar dan lien tidak teraba
l. Genitalia
2. Inspeksi : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup, darah (-)
3. VT : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup, darah (-),
nyeri (-), massa (-)
m. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral - - dingin
- -

- -
Oedem
- -

10
Instruksi Post op:
a) Aldrette Score ≥ 8 pindah bangsal
b) Monitor KU/kesadaran dan vital sign setiap 5-15menit selama 30
menit
c) Infus 2 jalur (1. Kabiven 1 kolf/24 jam, 2. Aminofluid : D10 :
NaCl 0.9% = 1 : 1 : 1 / 24 jam
d) Oksigenasi canule 3lt/menit
e) Injeksi ampicillin sulbactam 1,5 g/8 jam
f) Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
g) Injeksi gentamicyn 80 mg/8 jam
h) Injeksi metamizole 1 g/8 jam
i) Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
j) Obat: pct 1g/8 jam IV, fentanyl 0,5mcg/kgBB/jam
k) Puasa 5 hari
l) Pasang NGT

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA

Definisi

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi


setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
.(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)

Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat
peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat
luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis
untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena
tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak
atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka
tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke

12
dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut
herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi
ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut
jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa
menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang
mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).

Anatomi

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu
jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan
lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang
bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit sampai ke dalam tengkorak.

13
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.

Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan
tertimbun dalam ruang epidural.

Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater,
arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak
elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.

14
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.

Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3)


membentuk periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a.
Meningea media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna.
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus dan elastis, membran ini tidak melakat
dengan dura mater, ruangan antara kedua membran disebut ruang subdural. Vena-
vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan
penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan
mendalam pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pia mater adalah membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah
halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan membungkus semua girus.

15
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di
sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung
atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang

16
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V
biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga
merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI
jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila
trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.

17
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.

18
Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya

Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat

19
Berdasarkan
morfologi

Fraktura Lesi
Kulit
tengkorak Intrakranial

Vulnus Kalvaria Basilar Fokal Diffuse

Linear atau Kontusio


Laserasi Konkusi ringan
stelata serebri

Hematom Depressed atau Hematom


Konkusi klasik
subkutan, nondepressed epidural

Hematom Hematom Cedera aksonal


subgaleal subdural difusa

Perdarahan
subarakhnoid

Perdarahan
intraserebral

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans
atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan
titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk
kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan

20
kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih
sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.

1. Trauma kepala terbuka


Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak
battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat
dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)

21
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan.

Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.

2. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan
PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan
laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma
kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari
tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan
benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang
menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi
(pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada
saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama
terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan

22
yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di
tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena
gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan
otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak
pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup,
akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan
dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita
kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.

A. Komusio serebri ( Gegar otak )


Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari
10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan
linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap,
setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik
yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi
setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan
kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar
penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-
gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak
diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala

23
yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera
mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya
cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak
terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap
orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya
untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

B. Kontusio serebri (Memar otak )

Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya


pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan
yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang
berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan
subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan
terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami
kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari
pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan
interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan
mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.
Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah
yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan
hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin
hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama.

24
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya
gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma
pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.

C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak
sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar
dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas
biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam
atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma
yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak
mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan
kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

25
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera
timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah
dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-
Scan akan tampak gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks
(double convex sign), atau ada pula yang menyebutnya sebagai gambaran
football shaped yang secara tipikal terletak di bagian temporal tengkorak.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf
atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,

26
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:


1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Berdasarkan Beratnya

A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)

Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan
pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.

B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)

Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.

C. Cedera kepala berat (GCS <8)

Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.


Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai
SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :

1. Pupil tak ekual

27
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak
yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.

Berdasarkan Morfologi

Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal


Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat,
nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal
dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk
kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang
menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang
cair.

Fraktur tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres
atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan.
Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa
melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

28
Cedera aksonal difusa

Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi


yang terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki
beberapa lapisan yang membentuknya. Pada saat terjadinya trauma,
lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini
akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya
penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang bias
menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit.
Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan
pembengkakkan, yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron.
Akson terputus dan akson bagian distal akan terpisah.

B. Kraniotomi
1. Definisi
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial.
Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor, mengurangi tekanan
intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi
(Brunner & Suddarth, 2002)
A. Etiologi
Etiologi dilakukannya Kraniotomi karena :
a. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak.
Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.
b. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.
Misalnya membentur tanah atau mobil.
c. Kombinasi keduanya. (Dolphin, 2011)

B. Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.

29
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak. (Bangeud, 2011)

A. ANESTESI PADA LAPAROTOMI


Terdapat dua cara anestesia yang dapat dilakukan terhadap pasien laparotomi
eksplorasi, yaitu:
1. Anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa
endotrakea dan nafas kendali.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pasien dipersiapkan
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah (ASA, 2019):

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology):

30
ASA I : Pasien normal sehat, tidak merokok dengan toleransi
olahraga yang baik, pasien non-obes (BMI <30)

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan. Contoh:


pasien tanpa Batasan fungsional dan penyakit yang
terkontrol dengan baik seperti hipertensi yang terobati

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang tidak


mengancam jiwa. Contoh: pasien dengan beberapa
batasan fungsional sebagai akibat dari penyakit seperti
hipertensi atau DM yang tidak terawat dengan baik,
gagal ginjal kronis, bronkospastik dengan eksaserbasi
intermitten, stable angina, pasien dengan implan
pacemaker

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang


mengancam jiwa. Contoh: pasien dengan keterbatasan
fungsional dari penyakit parah yang mengancam jiwa
seperti unstable angina, gejala CHF, infark miokard
atau stroke

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Contoh: ruptur abdominal aneurisma aorta, trauma
masif, dan perdarahan intrakranial yang luas.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan) dengan tujuan untuk
mentransplantasikannya ke pasien lain.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari


kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

b. Pasang alat-alat monitor

31
c. Siapkan alat-alat dan obat pre medikasi dan resusitasi
Tujuan dari premedikasi antara lain (Morgan et al, 2006):

1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,
sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
d. Siapkan mesin anestesi dengan system sirkuit dan gasnya
e. Lakukan induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Contohnya adalah propofol.

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam


air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur
dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi
tanpa premedikasi.

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat


intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah post operasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah post operasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif

32
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi


secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan
opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup


berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh


distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam
urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan
mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim
hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.

33
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

f. Berikan obat pelumpuh otot suksinil kolin/atrakurium untuk fasilitas


intubasi
Atrakurium Basylate (25mg) merupakan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi
tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium
memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa
keuntungan antara lain metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi
yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan
gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
g. Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
h. Lakukan laringoskopi, pasang ETT
Intubasi Endotrakeal (ETT) adalah suatu tindakan memasukkan
pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan

34
nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk (Morgan et
al, 2006):
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
i. Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
j. Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah
obat sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena
Nitrous Oksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, berbau
manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
Sedangkan untuk obat sedative, contohnya adalah Sevoflurane
(2vol%). Sevofluran merupakan suatu cairan yang jernih, tidak
berwarna tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat
biasa. Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat

35
maupun panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar
dan cepat serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level
dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi
rasa sakit.
k. Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau
tetes ulang terus menerus
l. Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume
dan frekuensi yag sesuai.
m. Pantau tanda vital
n. Pemantauan selama anesthesia dan reanimasi

2. GA OTT dengan atau tanpa epidural untuk post op


a. Induksi
Pada pasien yang berisiko aspirasi paru, memerlukan rapid sequence
induction
b. Pemeliharaan
Pada kombinasi GA/epidural, kateter dipasang pada low to mid
thoracic. Apabila tidak dipasang epidural, penggunaan ketamin iv dosis
rendah(0,5 mg/kg sebelum insisi, diikuti denagn infus 0,2/kg/jam,
distop 30 jam sebelum operasi selesai.) Ketamin dosis rendah
mempunyai efek opioid-sparing yang mengurangi nyeri post operasi,
mengurangi hyperalgesia luka, dan mengurangi nyeri kronis pasca
operasi. Pemberian gabapentin/pregabalin dengan dosis tunggal 600-
1200 mgatau 150-300mg pregabalin sebelum operasi dapat diberikan
pada pasien yang tidak di epidural. Gabapentin juga memberikan efek
Opioid-sparing. Pemberian NSAID, COX2 selective dan

36
acetaminophen perioperatif dapat memberikan efek Opioid-sparing.
NSAID memberikan efek yang lebih daripada acetaminophen.

37
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Ny. W, 32 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi


laparotomy eksplorasi + biopsy + k/p bypass pada tanggal 15 Mei 2019 dengan
diagnosis tumor intraabdomen suspek kista penkreas. Persiapan operasi dilakukan
pada tanggal 14 Mei 2019. Dari anamnesis terdapat keluhan benjolan pada perut
bagian kanan atas sejak 2 bulan yang lalu, setelah sebelumnya terbentur meja saat
membersihkan rumah. Benjolan di rasakan semakin lama semakin membesar.
Sekarang benjolan di rasakan kira-kira sebesar telur ayam dan pasien sudah
mengeluh mual dan perut terasa penuh. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg; nadi
73x/menit; respirasi 16x/menit; suhu 36,5 OC. dari secondary survey, didapatkan
massa pada regio hypochondriaca dextra, padat, terfiksir dengan ukuran 8x5 cm.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 13 Mei
2019 didapatkan hasil trombosit 102 ribu/ul, yang menunjukkan bahwa pasien
dalam keadaan trombositopenia. Hasil pemeriksaan serologi tumor marker CA 19-
9 didapatkan hasil <3 yang menunjukkan bahwa tidak ada tanda keganasan. Dari
hasil pemeriksaan USG Abdomen yang dilakukan tanggal 11 April 2019 dengan
hasil tampak lesi bentuk bulat tegas, tepi regular pada regio parapancreatic yang
tampak menempel dengan caput pancreas dengan ukuran 6,78 x 7,94 x 9,12 cm
yang menunjukkan gambaran psudocyst pancreas DD cysta pancreas. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II yang berarti pasien penyakit
bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
Sebelum dilakukan operasi, awalnya pasien diberikan maintenance cairan
sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per
jam dari penderita adalah 102 cc/jam. Kemudian pasien dipuasakan selama 6 jam.
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan

38
selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini
yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8
jam ini adalah 816 cc/8jam.
Anestesi yang dilakukan pada pasien adalah anestesi umum, karena durasi
operasi yang lama dan medan operasi yang luas, juga dilakukan pemasangan pipa
endotracheal dengan indikasi operasi pada daerah abdomen untuk membuat
pernafasan lebih tenang dan tidak ada ketegangan dari otot abdomen. Sebelum
dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre anestesi 100
kali/menit, tekanan darah 122/85 mmHg, dan frekuensi pernafasan 18 x/menit.
Pada pasien ini dilakukan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotracheal tube (ET). Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan
suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian bawah. Tujuan
dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi
lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi
lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan
saluran trakeobronkial. Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri
tenggorok, suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan
ulser, glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia,
tracheoesophagial fistula.
Operasi laparotomy eksplorasi dilakukan pada tanggal 15 Mei 2019.
Pasien dikirim dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 9 pada pukul
12.00 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 122/85 mmHg;
Nadi 88x/menit, dan SpO2 100%. Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan
premedikasi dengan midazolam 0,07-0,15mg/kg/IM dan fentanyl 1-3mcg/kg.
Pemberian midazolam bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau memproduksi
kantuk sementara fentanyl bertujuan untuk analgetik. Penggunaan premedikasi ini
betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian
analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Selanjutnya pasien diberikan fentanyl 0.5 mcg, propofol 108 mg. Bila

39
hemodinamik telah stabil, setelah onset tercapai dan airway terkontrol pasien
diberikan atracurium 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevofluran) dengan ukuran 2 vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging
selama kurang lebih 4 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga
menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya
pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 1 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Pada pukul 14.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan dengan pemantauan
akhir TD 110/70 mmHg; Nadi 78 x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan
dilakukan selama 120 menit dengan perdarahan ± 200 cc. Sebelum selesai
pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi parasetamol dan fentanyl 25
mcg diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.
Kemudian pasien dirawat di bangsal.

40
DAFTAR PUSTAKA

Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-
hill; 2002
Brunicardi, C. F. et al. 2005. Scwartz’s Principle Of Surgery, eighth edition.
USA: the McGraw Hill Companies Inc.
Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2013). Morgan & Mikhail's
clinical anesthesiology (Vol. 15). New York: McGraw-Hill.

Dennis Lee, Jay W.Marks. Pancreatic Cysts. Tersedia pada


http://www.medicine.net.com. Diunduh pada tanggal 17 Mei 2019

Hugues et al. Epidemiology and treatment outcome of surgically treated


mandibular condyle fractures. A five years retrospective study. Journal of
Cranio-Maxillo-Facial Surgery 42 (2014).

Morgan, G., Butterworth, J., Mackey, D. and Wasnick, J. (n.d.). Morgan &
Mikhail's clinical anesthesiology.

Pancreas Cysts. Johns Hopkins Pancreas cancer web. Tersedia pada


http://www.johnshopkinsmedicalinstitution.com. Diunduh pada tanggal 17
Mei 2019

Parthasarathy S, Bag S, Krishnaveni N. (2012). Assessment of airway the


MOUTH concept. Journal of Anesthesiology Clinical Pharmacology.
28(4) : 539.

Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.

Skraastad, E., Ræder, J., Dahl, V., Bjertnæs, L. and Kuklin, V. (2017).
Development and validation of the Efficacy Safety Score (ESS), a novel
tool for postoperative patient management. BMC Anesthesiology, 17(1).
Suyono Hadi, Yayat Ruchiyat, Warko Karnadiharja. Pankreas dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC Jakarta. 2004

41
42

Anda mungkin juga menyukai