Oleh:
Sakarias Christofer - G99181037
Pembimbing
Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. W
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kerjo, Karanganyar
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal masuk : 12 Mei 2019
Tanggal periksa : 15 Mei 2019
B. Data dasar
Anamnesis dilakukan di bangsal Flamboyan 6 RSUD dr. Moewardi
Surakarta.
Keluhan Utama
Benjolan di perut sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD Kabupaten Karanganyar dengan
keterangan tumor intra abdomen suspek kista pankreas. Pasien datang
dengan keluhan benjolan pada perut bagian atas kanan sejak 2 bulan yang
lalu, berukuran kira-kira sebesar telur ayam. Benjolan muncul setelah
perut pasien terbentur meja saat membersihkan rumah. Makin lama,
benjolan tersebut dirasakan semakin membesar dan pasien mulai
merasakan mual dan rasa penuh di perut. BAB dan BAK dalam batas
normal.
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah 1 kali dan sudah berlangsung selama 10 tahun.
3
- IMT : 21,22 kg/m2
- Kesan : Normoweight
4. Primary Survey
a. Airway : Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
b. Breathing : Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 16 x/mnt
c. Circulation : Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 73x/mnt, tekanan
darah 110/70 mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 99%
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil
isokor 3mm/3mm
e. Exposure : Trauma kepala (-), trauma ekstremitas bawah kanan (-),
trauma genital (-), suhu normotermi
5. Secondary Survey
a) Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b) Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d) Telinga : Sekret (-/-)
e) Hidung : Sekret (-/-)
f) Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g) Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h) Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i) Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j) Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
4
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k) Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada,
Distended (+)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba massa pada regio
hypochondriaca dextra (+) teraba padat keras, terfixir, ukuran kira-
kira 8x5 cm, hepar dan lien tidak teraba
l) Genitalia
1. Inspeksi : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup,
darah (-)
2. VT : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup,
darah (-), nyeri (-), massa (-)
m) Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral - - dingin
- -
- -
Oedem
- -
5
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG Abdomen 11 April 2019
Kesan:
Tampak lesi bentuk bulat tegas, tepi regular pada regio parapancreatic
yang tampak menempel dengan caput pancreas (uk ± 6,78 x 7,94 x 9,12
cm) curiga gambaran psudocyst pancreas DD cysta pancreas.
6
3. Laboratorium 13 Mei 2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13,9 g/dl 12,0-15,6
Hematokrit 42 % 33-45
Leukosit 5,3 ribu/ul 4,5-11
Trombosit 102 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4,93 juta/ul 4,1-5,1
INDEX ERITROSIT
MCV 84,6 /um 80.0-96.0
MCH 28,1 Pg 28.0-33.0
MCHC 33,3 g/dl 33.0-36.0
RDW 16.9 % 11.6-14.6
HDW 3.6 g/dl 2.2-3.2
MPV 11.0 Fl 7.2-11.1
PDW 49 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.10 % 0-4
Basophil 0.20 % 0-2
Netrofil 69.60 % 55-80
Limfosit 22.40 % 22-44
Monosit 5.20 % 0-7
LUC/AMC 1.60 %
Golongan Darah B
Golongan Darah Rh Positif
HEMOSTASIS
PT 12,6 detik 10,0-15,0
APTT 26,0 detik 20,0-40,0
INR 0,980
KIMIA KLINIK
GDS 70 mg/dl 60-140
SGOT 21 u/l <31
SGPT 15 u/l <34
Alkali Fosfatase 73 u/l 42-98
Albumin 4,6 g/dl 3,5-5,2
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,6-1,1
Ureum 21 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 140 mmol/L 136-145
7
Kalium darah 4,5 mmol/L 3,3-5,1
Chlorida Ion 106 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive
Kesimpulan: trombositopenia
IV. ASSESMENT
Tumor intra abdomen suspek kista pankreas
V. PLAN
A. Daftar OK IBS
B. Informed consent
C. Site marking
D. Konsul TS Anestesi
E. Pasang IV line
F. Antibiotik profilkasis : Inj. Cefazolin 2g/IV
G. Puasakan pasien 6 jam pre operasi
H. Skeren pubis
I. Pro Laparotomy eksplorasi + biopsy + k/p bypass dengan GA-ET
J. Pesan ICU
VI. PROBLEM
1. Tumor intra abdomen suspek kista pancreas
2. trombositopenia
8
VII. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 2019 di OK 9 IBS
Primery Survey
1. Airway
Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
2. Breathing
Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18x/mnt
3. Circulation
Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 100x/mnt, tekanan darah 123/85
mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 100%
4. Disability
GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor 3mm/3mm
5. Exposure
Trauma kepala (-), trauma ekstremitas bawah kanan (-), trauma genital (-),
suhu normotermi
Secondary Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d. Telinga : Sekret (-/-)
e. Hidung : Sekret (-/-)
f. Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi palsu (-)
g. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h. Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
9
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j. Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k. Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba massa pada regio
hypochondriaca dextra (+) teraba padat keras, terfixir, ukuran kira-kira
8x5 cm, hepar dan lien tidak teraba
l. Genitalia
2. Inspeksi : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup, darah (-)
3. VT : V/U tenang, dinding vagina dbn, OUE tertutup, darah (-),
nyeri (-), massa (-)
m. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral - - dingin
- -
- -
Oedem
- -
10
Instruksi Post op:
a) Aldrette Score ≥ 8 pindah bangsal
b) Monitor KU/kesadaran dan vital sign setiap 5-15menit selama 30
menit
c) Infus 2 jalur (1. Kabiven 1 kolf/24 jam, 2. Aminofluid : D10 :
NaCl 0.9% = 1 : 1 : 1 / 24 jam
d) Oksigenasi canule 3lt/menit
e) Injeksi ampicillin sulbactam 1,5 g/8 jam
f) Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
g) Injeksi gentamicyn 80 mg/8 jam
h) Injeksi metamizole 1 g/8 jam
i) Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
j) Obat: pct 1g/8 jam IV, fentanyl 0,5mcg/kgBB/jam
k) Puasa 5 hari
l) Pasang NGT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CEDERA KEPALA
Definisi
Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat
peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat
luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis
untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena
tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak
atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka
tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke
12
dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut
herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi
ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut
jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa
menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang
mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu
jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan
lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang
bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit sampai ke dalam tengkorak.
13
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan
tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater,
arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak
elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.
14
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.
15
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di
sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung
atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
16
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V
biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga
merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI
jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila
trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
17
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.
18
Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya
Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat
19
Berdasarkan
morfologi
Fraktura Lesi
Kulit
tengkorak Intrakranial
Perdarahan
subarakhnoid
Perdarahan
intraserebral
Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans
atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan
titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk
kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan
20
kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih
sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
21
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan.
22
yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di
tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena
gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan
otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak
pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup,
akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan
dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita
kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.
23
yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera
mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya
cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak
terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap
orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya
untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
24
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya
gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma
pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak
sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar
dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas
biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam
atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma
yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak
mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan
kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
25
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera
timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah
dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-
Scan akan tampak gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks
(double convex sign), atau ada pula yang menyebutnya sebagai gambaran
football shaped yang secara tipikal terletak di bagian temporal tengkorak.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf
atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
26
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
Berdasarkan Beratnya
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan
pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.
27
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak
yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
Berdasarkan Morfologi
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres
atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan.
Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa
melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
28
Cedera aksonal difusa
B. Kraniotomi
1. Definisi
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial.
Prosedur ini dilakukan untuk meghilangkan tumor, mengurangi tekanan
intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol hemoeragi
(Brunner & Suddarth, 2002)
A. Etiologi
Etiologi dilakukannya Kraniotomi karena :
a. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak.
Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.
b. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.
Misalnya membentur tanah atau mobil.
c. Kombinasi keduanya. (Dolphin, 2011)
B. Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
29
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak. (Bangeud, 2011)
30
ASA I : Pasien normal sehat, tidak merokok dengan toleransi
olahraga yang baik, pasien non-obes (BMI <30)
31
c. Siapkan alat-alat dan obat pre medikasi dan resusitasi
Tujuan dari premedikasi antara lain (Morgan et al, 2006):
32
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik.
33
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.
34
nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk (Morgan et
al, 2006):
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
i. Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
j. Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah
obat sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena
Nitrous Oksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, berbau
manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
Sedangkan untuk obat sedative, contohnya adalah Sevoflurane
(2vol%). Sevofluran merupakan suatu cairan yang jernih, tidak
berwarna tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat
biasa. Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat
35
maupun panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar
dan cepat serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level
dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi
rasa sakit.
k. Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau
tetes ulang terus menerus
l. Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume
dan frekuensi yag sesuai.
m. Pantau tanda vital
n. Pemantauan selama anesthesia dan reanimasi
36
acetaminophen perioperatif dapat memberikan efek Opioid-sparing.
NSAID memberikan efek yang lebih daripada acetaminophen.
37
BAB III
PEMBAHASAN
38
selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini
yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8
jam ini adalah 816 cc/8jam.
Anestesi yang dilakukan pada pasien adalah anestesi umum, karena durasi
operasi yang lama dan medan operasi yang luas, juga dilakukan pemasangan pipa
endotracheal dengan indikasi operasi pada daerah abdomen untuk membuat
pernafasan lebih tenang dan tidak ada ketegangan dari otot abdomen. Sebelum
dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre anestesi 100
kali/menit, tekanan darah 122/85 mmHg, dan frekuensi pernafasan 18 x/menit.
Pada pasien ini dilakukan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotracheal tube (ET). Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan
suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian bawah. Tujuan
dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi
lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi
lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan
saluran trakeobronkial. Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri
tenggorok, suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan
ulser, glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia,
tracheoesophagial fistula.
Operasi laparotomy eksplorasi dilakukan pada tanggal 15 Mei 2019.
Pasien dikirim dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 9 pada pukul
12.00 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 122/85 mmHg;
Nadi 88x/menit, dan SpO2 100%. Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan
premedikasi dengan midazolam 0,07-0,15mg/kg/IM dan fentanyl 1-3mcg/kg.
Pemberian midazolam bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau memproduksi
kantuk sementara fentanyl bertujuan untuk analgetik. Penggunaan premedikasi ini
betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian
analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Selanjutnya pasien diberikan fentanyl 0.5 mcg, propofol 108 mg. Bila
39
hemodinamik telah stabil, setelah onset tercapai dan airway terkontrol pasien
diberikan atracurium 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevofluran) dengan ukuran 2 vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging
selama kurang lebih 4 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga
menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya
pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 1 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Pada pukul 14.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan dengan pemantauan
akhir TD 110/70 mmHg; Nadi 78 x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan
dilakukan selama 120 menit dengan perdarahan ± 200 cc. Sebelum selesai
pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi parasetamol dan fentanyl 25
mcg diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.
Kemudian pasien dirawat di bangsal.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-
hill; 2002
Brunicardi, C. F. et al. 2005. Scwartz’s Principle Of Surgery, eighth edition.
USA: the McGraw Hill Companies Inc.
Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2013). Morgan & Mikhail's
clinical anesthesiology (Vol. 15). New York: McGraw-Hill.
Morgan, G., Butterworth, J., Mackey, D. and Wasnick, J. (n.d.). Morgan &
Mikhail's clinical anesthesiology.
Skraastad, E., Ræder, J., Dahl, V., Bjertnæs, L. and Kuklin, V. (2017).
Development and validation of the Efficacy Safety Score (ESS), a novel
tool for postoperative patient management. BMC Anesthesiology, 17(1).
Suyono Hadi, Yayat Ruchiyat, Warko Karnadiharja. Pankreas dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC Jakarta. 2004
41
42