Anda di halaman 1dari 23

Skenario 2

Sesak Nafas

Seorang perempuan berusia 60 tahun dibawa keluarganya ke Instalasi Gawat Darurat


RS dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu. Keluhan sesak nafas dirasakan terus
menerus bahkan saat istirahat, sebelumnya pasien sering mengalami sesak namun hanya saat
berjalan jauh atau naik tamngga sejak 1 bulan, keluhan disertai dengan bengkak dikedua
tungkai. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus sejak 10 tahun. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 160/100 mmHg, denyut nadi
110x/menit, laju pernafasan 26x/menit, suhu 36,6o C. Jugular venosus pressure 5+4 cm H2O,
gallop (+), ekstremitas bawah didapatkan pitting edema. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan hasil CTR > 50%. Sebagai penatalaksaan awal dokter memberikan diuretik.

Step 1

1. Sesak nafas : kondisi sulit napas, suplai O2 tidak sebanding yang dibutuhkan
2. Pitting edema : edema yang saat ditekan, cekungannya bertahan beberapa waktu
3. Gallop : kelainan bunyi jantung (3), lambat pengisian darah saat diastolik
4. JVP : suatu pemeriksaan fisik, untuk mengukur batas antara vena jugularis
dengan sternum menggunakan 2 penggaris. Melihat tekanan
diatrium dextra. Posisi pasien 45o kondisi rileks
5. Obat diuretik : obat yang berfungsi untuk membuang kelebihan air
6. CTR : cardio thoracic Ratio, untuk melihat perbandingan rongga dada
Dilihat ukuran janatung dari rontgen normal nya < 50%
7. Rontgen : untuk melihat orang yang akan diperiksa menggunakan radiasi
untuk mengambil bagian tubuh belakang

Step 2

1. Bagaimana faktor resiko pada kasus ?


2. Bagaimana keluhan dan gejala pada pasien ?
3. Bagaimana hubungan Hipertensi dan diabetes melitus ?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ?
5. Bagaimana tatalaksana pada kasus ?
6. Apa saja komplikasi pada kasus ?

1
Step 3
1. -Diabetes melitus
-Hipertensi
-Dislipidemia
-Obesitas
-Rokok
-Riwayat gangguam jantung
-Usia
-Jenis kelamin
2. -Sesak nafas terus menerus saat istirahat
-Sering sesak saat naik tangga
-Bengkak 2 tungkai
-Dispneu
-Gangguan nafas saat perpindahan posisi
3. Hipertensi
- Primer : tidak tentu sebab nya
- Sekunder : stress ysng memicu saraf simpatis
- Renal : natrium berlebih, retensi urin
- Vascular : dari kelenturan endotel
- Hormon : angiotensin, aldosteron
4. Anamnesis :
- Sesak nafas pada malam hari
- Sesak nafas pada saat perubahan posisi
- Sesak nafas pada saat aktivitas

Pemeriksaan fisik :
- Peningkatan tekanan vena jugularis
- Peningkatan frekuensi nafas
- Gallop
- Peningkatan tekanan darah
- Nadi 110x/menit
- CTR > 50%

2
Pemeriksaan penunjang
- X-ray thoraks
- Rontgen
5. Penatalaksanaan
Non farmakologi
- Diet : kurangi konsumsi garam
- Merokok harus dihentikan
- Istirahat yang cukup

Farmakologi

- Diuretik (furosemid) : untuk menurunkan cairan melalui urin


- Betabloker : menurunkan tekanan darah
- Digoxin : pada pasien takikardi
- Bisoprolol
- Triazid

Step 4

1. Faktor resiko
- Hipertensi : peningkatan tekanan ventrikel kiri (hipertrofi) menyebabkan sesak
Nafas
- Aktivitas Fisik menurun : HDL menurun, obesitas terjadi aterosklerosis
Menyebabkan keluhan pada pasien
- Jenis kelamin : laki-laki lebih berisiko
- Gagal jantung : terjadi penyempitan arteri coroner sehingga aliran darah yang
bawa O2 tidak hancur
- Diabetes melitus : karena viskositas darah meningkat dan resistensi insulin
Menyebabkan sesak nafas
2. - Ventrikel kiri bisa menampung 1000 ml dan paru 50 ml
Vena cava superior inferior cabang dari vena jugularis sehingga meningkatkan tekanan
darah
3. Hipertensi dicetuskan dari perifer
Diabetes melitus menyebabkan aliran darah lambat sehingga tekanan cardiac out put
menurun

3
4. Mayor :
- Sesak nafas pada malam hari
- Distensi vena-vena leher
- Ronki basah halus
- Gallop (S3)
- Kardiomegali
- Peningkatab tekanan vena jugularis
- Ortopneu

Minor

- Edema ekstremitas
- Batuk pada malam hari
- Efusi pleura
- Hepatomegali
- Dispneu d’effort
5. Diuretik
- Tiazid (hidroklorotiazid)
- Hemat kalium (spironolacton)
- Loop diuretik (furosemid)
6. Komplikasi
Syok kardigenik
Gangguan keseimbangan elektrolit

MIND MAP

Patofisiologi
Etiologi

Faktor Gagal Jantung


Resiko Tatalaksana
Kongestif

Penegakan
Farmako Non
Diagnosis Farmako
4
Komplikasi
Step 5

1. Etiologi dan faktor resiko congestive heart failure (CHF)


2. Patofisiologi sampai menimbulkan gejala
3. Penegakan diagnosis dan klasifikasi congestive heart failure (CHF)
4. Tatalaksana ( farmako dan non farmako )

Step 6

Belajar Mandiri.

Step 7

1. a. Definisi gagal jantung

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai sindrom klinik yang ditandai dengan seesak nafas
dan kelelahan yang disebabkan oleh kelainan struktur dan gangguan fungsi jantung yang
menyebabkan kegagalan jantung untuk memberikan suplai darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan.

1. Etiologi gagal jantung

Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien tanpa
penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat
pertimbangan terhadap etiologi dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara
industri, Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada
kasus gagal jantung pada pria dan wanita.

Hipertensi memberi kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75%
pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko
pada gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus. Emboli paru dapat menyebabkan gagal
jantung, karena pasien yang tidak aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai
risiko tinggi membentuk thrombus pada tungkai bawah atau panggul. Emboli paru dapat
berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri pulmonalis yang sebaliknya dapat
mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel. Infeksi apapun dapat memicu gagal

5
jantung, demam, takikardi dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang
meningkat akan memberi tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban
meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik.

Tabel etiologi gagal jantung

Dengan Penurunan EF (<40%)


PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik
Infark miokard Familial / kelainan genetic
Iskemia miokard Kelainan infiltrative
Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin / obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit katup obstruktif Virus
Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detak jantung
Left to right shunting Bradi aritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainan infiltrative (amyloidosis,
sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis
Penuaan Kelainan enso-miokardium
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Cor pulmonale
Kelainan pembuluh darah paru
Output meningkat
Kelainan metabolik Aliran darah yang berlebihan
Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik
Beriberi Anemia kronis

6
2. Patofisiologi Gagal Jantung

Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi baik pada jantung dan
secara sistemik. Jika stroke volume kedua ventrikel berkurang oleh karena penekanan
kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir
diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Ini akan meningkatkan panjang serabut
miokardium akhir diastolik, menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini
berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa baik
tapi, tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama atau kronik akan dijalarkan ke
kedua atrium dan sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik.

Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan
dan timbul edema paru atau edema sistemik.penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan
dengan penurunan tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa
sistem saraf dan humoral.

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium,


frekuensi denyut jantung dan vena; perubahan yang terkhir ini akan meningkatkan volume
darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini
dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh.
Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya
iskemia pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan
preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.

Aktivitas sistem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer : adaptasi ini
dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ – organ vital, tetapi jika aktivitas ini sangat
meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Retensi vaskular perifer dapat
juga merupakan determinan ulata afterload ventrikel, sehingga aktivitas simpatis berlebihan
dapat meningkatkan fungsi jantung itu sendiri.

Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal
dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan
cairan.

7
Sistem renin – angiotensin – aldesteron juga akan teraktivasi, menimbulkan
peningkatan retensi vaskular perifer selanjutnya dan peningkatan afterload ventrikel kiri
sebagaimana retensi sodium dan cairan. Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar
arginin vasopresin dalam sirkulasi yang meningkat, yang juga bersifat vasokontriktor dan
penghambat ekskresi cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial
akibat peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap
efek natriuretik dan vasodilator. Gagal jantung pada masalah utama kerusakan dan kelakuan
serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat
dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang mengisi pada setiap kontriksi tergantung pada tiga faktor
:

1. Preload : jumlah darah yang mengisi pada jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2. Kontraktilitas : mengacu pada perubahan kekuatan kontaksi yang terjadi pada
tingkat sel dan perubahan panjang regangan serabut jantung.
3. Afterload : mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriol.

8
3. Penegakan Diagnosis

Klasifikasi gagal jantung

Berdasarkan American Heart Association, klasifikasi dari gagal jantung kongestif yaitu
sebagai berikut :

a. Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum
ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala
(symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A
umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes
melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).

9
b. Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya


kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal
jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark
miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.

c. Stage C

Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan
dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang
timbuldapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.

d. Stage D

Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun


intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta
pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.

The New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung dalam empat kelas,
meliputi :

a. Kelas I

Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.

b. Kelas II

Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal menyebabkan
kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).

c. Kelas III

Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF)

10
d. Kelas IV

Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun, bahkan
dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).

Manifestasi Klinis

Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal jantung kanan
dan terjadinya di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan
bising akibat regurgitasi mitral.

a. Gagal Jantung Kiri


1) Gelisah dan cemas
2) Kongesti vaskuler pulmonal
3) Edema
4) Penurunan curah jantung
5) Gallop atrial (S3)
6) Gallop ventrikel (S4)
7) Crackles paru
8) Disritmia
9) Bunyi nafas mengi
10) Pulsus alternans
11) Pernafasan cheyne-stokes
12) Bukti-bukti radiologi tentang
13) kongesti pulmonal
14) Dyspneu
15) Batuk
16) Mudah lelah
b. Gagal Jantung Kanan
1) Peningkatan JVP
2) Edema
3) Curah jantung rendah
4) Disritmia

11
5) S3 dan S4
6) Hiperresonan pada perkusi
7) Pitting edema
8) Hepatomegali
9) Anoreksia
10) Nokturia
11) Kelemahan
Pemeriksaan Diagnosis

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:

e. Elektro kardiogram (EKG)

Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi,


fibrilasi atrial

f. Scan jantung

Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.

g. Sonogram (echocardiogram, echokardiogram doppler)

Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur


katub atauarea penurunan kontraktilitas ventricular.

h. Kateterisasi jantung

Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung


kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katub atau insufisiensi.

i. Rongent Dada

Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau


hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal

j. Elektrolit

Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal, terapi


diuretik.

k. Oksimetri Nadi

12
Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.

l. Analisa Gas Darah (AGD)

Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)

m. Pemeriksaan Tiroid

Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus


gagal jantung kongestif

4. Farmakologi
Dalam tulisan ini kami mengacu kepada petunjuk atau guidelines dari
European Society of Cardialogy (ESQ tahun 2001 dan 2005 serta American Heart
Association 2001. Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan (evidance)
mengikuti format petunjuk atau guidelines dari ESC 2005, di mana untuk
rekomendasi:
Class I : Adanya bukti/kesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat
dan efekif
Class II : Bukan kontroversi
 IIa Adanya bukti bahwa tindakan cenderung bermanfaat.
 Manfaat dan efektivitas kurang terbukti
Class III :Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya sedangkan tingkat
kepercayaan:
 A: data berasal dari uji random multipel atau metaanalisis
 B: data berasal dari satu uji random klinik
 C: konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi retrospektif atau
registrasi.2

Upaya Pencegahan
- Pencegahan gagal jantung. harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi.
- Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung
koroner.

13
- Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.
- Pengobatan hipertensi yang agresif.
- Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup.
- Memerlukan pembahasan khusus.
- Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal
jantung.2

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors/ Penyekat Enzim Konversi


Angiotensin

Tabel. Penyekat Enzim Konversi Angiotensin.2


 Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan
fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom,
mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (I, A)
 Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila
disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik. (I, B)
 Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera
sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka
reinfark serta kekerapan rawat inap.
 Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti
klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala.
 Indikasi:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala.
 Kontraindikasi:

14
Riwayat angioedema, Stenosis renal bilateral, Kadar kalium serum > 5,0
mmol/L , Serum kreatinin > 2,5 mg/dL, Stenosis aorta berat.2

Diuretik

Tabel. Diuretik2
Loop diuretic, tiazid, metolazon
o Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan,
kongesti paru dan edema Derifer. (I, A)
o Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi dengan
penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.2

Tabel Blocker (Obat Penyekat Beta)Tabel. Cara Pemakaian Penyekat Beta


berdasarkan Uji Klinis yang Besar2
a) Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat yang stabil
baik karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar
seperti diureti atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak
ditemukan adanya kontra-indikasi terhadap penyekat beta.

15
b) Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit, meningkatkan klasiflkasi
fungsi (I, A).
c) Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik
atau asimtomatik, penambahan penyekat beta jangka panjang pada pemakaian
penyekat enzim konversi angiotensin terbukti menurunkan mortalitas (I, B).
d) Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu
bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol (I,A)
e) Indikasi:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, Gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA), ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika
indikasi) sudah diberikan, Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan
dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi
cairan berat).

Kontraindikasi

Asma, Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit


(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit).2
Antagonist Reseptor Aldosteron
a. Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta,
diuretik pada gagal jantung berat (NYHA III-IV) dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas (I, B).
b. Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi anqiotensin dan
penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes,
menurunkan morbiditas dan mortalitas (I, B).
c. Indikasi:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, Gejala sedang sampai berat (kelas
fungsional III- IV NYHA), Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB
(tetapi tidak ACEI dan ARB)
d. Kontraindikasi:
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, Serum kreatinin> 2,5 mg/dL,
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, Kombinasi
ACEI dan ARB.2

Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin II

16
Tabel. Penyekat Angiotensin II yang tersedia dan dosis2
a. Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim
konversi angiotensin.
b. Penyekat angiotensin II sama efeketif dengan penyekat enzim konversi
angiotensin pada gagal jantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas (Ila, B).
c. Pada infark miokard akut dengan gagaljantung atau disfungsi ventrikel,
penyekat angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi
angiotensin dalam menurunkan mortalitas (I, A).
d. Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian
penyekat enzim konversi angiotensin pada pasien yang simtomatik guna
menurunkan mortalitas (Ila, B).
e. Indikasi:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, Sebagai pilihan alternatif pada pasien
dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang
intoleran ACEI, ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk.
f. Kontraindikasi:
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema, Pasien yang diterapi ACEI dan
antagonis aldosteron bersamaan, Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit
serial ketika ARB digunakan bersama ACEI.2

Glikosida Jantung (Digitalis)

17
a. Merupakan indikasi pada flbrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung,
terlepas apakah gagaljantung bukan atau sebagai penyebab.(I,B)
b. Kombinasi digoksin dan penyekat beta Iebih superior dibandingkan bila
dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi.
c. Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka
kekerapan rawat inap. (11a, A).2
Vasodilator
Tidak ada peran spesifik direct pada gagal jantung kronik (III,A).2
Obat Penyekat Kalsium
a. Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan
dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta (III, C).
b. Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang Iebih baik untuk
survival bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan
diuretik. (III,A)
c. Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat
dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah
sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.2
lnotropik Positif
a. Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena
meningkatkan mortalitas (III, A)
b. Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada
bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul (II b, C).
c. Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung
dengan penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner.
Namun disertai juga dengan efek takiaritmia atrial dan ventrikel, dan
vasodilatasi berlebihan dapat menimbulkan hipotensi.
d. Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek
vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan
hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan
dobutamin.2

18
Anti Trombotik
a. Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena
tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan
sangat dianjurkan (I, A)
b. Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan
pemakaian antiplatelet (Ila, B)
c. Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal
jantung yang memburuk.2
Anti Aritmia
a. Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagaljantung kronik,
kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi.
b. Obat aritmia klas I tidak dianjurkan
c. Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati
mendadak (I, A) dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron
(IIa, C).
d. Anti aritmia klas III, amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel
aritmia (I A) amiodaron rutin pada gagaljantung tidak dianjurkan.2

Tabel. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung.3

19
Gambar. Strategi Pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik (NYHA II-
IV) 2012.3

20
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas
fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung.

1) Diet

Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang sesuai
untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi
menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan
menjadi 1,5-2L/hari hanya untuk gagal jantung berat.

2) Merokok : Harus dihentikan.

3) Aktivitas fisik

Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien

gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi

pasien.

4) Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.

5) Bepergian

Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab.

Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-
farmakologi

Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan
> 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti C)

Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala
berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan
sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)

21
Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)

Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika
selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai
retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung
dengan hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)

Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di
rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

22
Daftar Pustaka

1. Leatham A, Gray L, Dawkins K.D, etc. Kardiologi. Jakarta: Erlangga; 2012.


2. Setiasi S, Alwi I, Sudoyo, etc. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-6. Jilid Ke-1. Jakarta:
Interna Publishing; 2017.
3. Siswanto B. B, Hersunanti N, Nauli S. N, etc. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
Jakarta: PERKI; 2015
4. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Jilid II. Jakarta Pusat:
Interna Publishing. 2014

23

Anda mungkin juga menyukai