Anda di halaman 1dari 9

1.

Kebijakan kesehatan yg dibuat oleh pemerintah terkait dengan kemiskinan dan MDGs di Indonesia
Peraturan Presiden (Perpres) No 42 tahun 2013 merupakan salah satu kebijakan kesehatan yang
terintegrasi dalam rangka perbaikan gizi dengan fokus pada kelompok 1000 hari pertama kehidupan
meliputi 270 hari masa kehamilan dan 730 hari hingga anak usia 2 tahun. Perpres ini selain
bertujuan untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama
kehidupan, juga bertujuan untuk meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk
memberikan perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat, meningkatkan kemampuan
pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan
gizi serta memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung.
Penetapan peraturan ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam peningkatan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya peningkatan status gizi dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. Pada makalah ini akan dilakukan
analisa kebijakan kesehatan terhadap Perpres No 42 Tahun 2013 dengan menggunakan model
segitiga kebijakan kesehatan yang bersifat retrospektif.
2. Content kebijakan tersebut dianalisis,
A. Konteks Terciptanya Perpres No 42 Tahun 2013
1. Konteks Internasional
Sejak bulan desember tahun 2011, Indonesia melalui surat keikutsertaan dari Menteri
Kesehatan kepada Sekjen PBB telah menjadi bagian dari Scalling Up Nutrition (SUN) Movement.
SUN Movement adalah gerakan global di bawah koordinasi Sekertaris Jenderal (Sekjen) PBB
sebagai respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan gizi di sebagian
besar negara berkembang akibat lambat dan tidak meratanya pencapaian sasaran Tujuan
Pembangunan Milenium/MDGs (Goal 1). Gerakan ini bertujuan meningkatkan penanganan
masalah gizi, dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan yaitu janin dalam kandungan,
bayi dan anak usia 6 – 23 bulan, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui.
Pelaksanaan SUN Movement memiliki 4 indikator yang digunakan untuk menilai capaian di
masing-masing negara anggota, yaitu :
Meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam berbagi pengalaman
pelaksanaan
Terjaminnya kebijakan yang koheren dan adanya kerangka legalitas program
Menyelaraskan program-program sesuai dengan kerangka program SUN
Movement; dan
Teridentifikasinya sumber-sumber pembiayaan.
Dalam rangka pencapaian indikator SUN Movement tersebut, maka di buatlah Perpres No. 42
Tahun 2013 yang merupakan salah satu bukti komitmen negara Indonesia terhadap dunia untuk
meningkatkan percepatan perbaikan gizi di Indonesia.
“ Menimbang : a. Bahwa meningkatnya sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan
produktif merupakan komitmen global dan merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa
dan negara Indonesia ”
2. Konteks Situasional
Di Indonesia, kira-kira sepertiga wanita berusia 20–45 tahun memiliki anak pertama saat masih
belum cukup umur (SDKI, 2007) dan 14 persen wanita usia subur mengalami kurang gizi (lingkar
lengan atas <23,5 cm). Meskipun lebih dari 80 persen ibu hamil menerima tablet besi folat,
hanya 18 persen yang telah mengonsumsi suplemen tersebut selama sedikitnya 90 hari.
Stunting (pendek) terjadi karena kekurangan gizi berulang pada waktu yang lama (kronis)
melanda 36 persen balita atau sekitar 8 juta anak Indonesia. Perbedaan prevalensi stunting
(pendek) sangat beragam di Indonesia. Misalnya, prevalensi stunting (pendek) di Yogyakarta
adalah 22 persen, sedangkan di NTT prevalensinya mencapai hingga 58 persen. Dari seluruh
provinsi di Indonesia, hanya 11 propinsi saja yang telah mencapai target Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010–2014 untuk mengurangi stunting (pendek) menjadi 32 persen.
Sementara itu, 7 provinsi memiliki prevalensi di atas 40 persen.
Permasalahan gizi lain yang mulai muncul di Indonesia adalah terjadinya kelebihan berat badan
pada anak-anak dan orang dewasa, dan muncul sebagai suatu masalah kesehatan masyarakat.
Antara tahun 2007–2010, prevalensi kelebihan berat badan telah meningkat dari 12 sampai 14
persen pada anak-anak dan 19 sampai 22 persen pada orang dewasa. "Beban ganda” masalah
gizi, dimana kurang gizi dan kelebihan gizi timbul bersamaan pada suatu masyarakat, telah
meningkatkan terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke dan penyakit
jantung. Data dari tahun 2007 memperlihatkan bahwa 60 persen kematian disebabkan oleh
penyakit tidak menular tersebut.
Adanya Kekhawatiran disebabkan meningkatnya beban ganda akibat kekurangan dan kelebihan
gizi di Indonesia, tidak meratanya pencapaian gizi di Indonesia, tidak tercapainya sasaran MDGs,
dan banyaknya penyebab terjadinya kurang gizi bukan hanya sebatas disektor kesehatan yang
tidak mungkin diatasi oleh hanya satu solusi mencetuskan adanya Gerakan 1000 hari pertama
kehidupan (1000 HPK). Gerakan ini membutuhkan kerangka kebijakan yang bertindak sebagai
inti pelaksanaan gerakan percepatan perbaikan gizi yang sebelumnya telah disusun di dalam
kerangka Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi (2011-2015), oleh sebab itu pada 24 Mei 2013
ditetapkan Perpres No 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
“ Menimbang : b. Bahwa untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat,
cerdas, dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi
secara terus menerus”
3. Konteks Struktural
Permasalahan gizi bukan merupakan isu baru di negara Indonesia. Sejak era tahun 50’an,
permasalahan gizi sudah didengungkan dalam konsep “4 sehat 5 sempurna” dan terus berlanjut
menjadi suatu isu yang tetap dibahas hingga era 2000. Akan tetapi, permasalahan gizi tersebut
selama ini hanay dipandang dari satu sektor saja, yaitu sektor kesehatan tanpa melibatkan
sektor lain. Keterlibatan satu sektor kesehatan saja dalam menangani permasalahan gizi
menunjukkan hasil efektifitas pelaksanaan program hanya sebesar 30%. Hal ini dikarenakan
permasalahan gizi tidak hanya sebatas kekurangan gizi semata.
Kurang gizi dapat isebabkan jika anak-anak menderita penyakit-penyakit yang menyebabkan
kurang gizi atau jika tidak mampu mendapatkan cakupan asupan makanan yang bergizi. Kedua
penyebab ini seringkali terjadi bersamaan dan disebabkan oleh berbagai faktor yang
mendasarinya, termasuk :
Permasalahan ketahanan pangan di rumah tangga, saat rumah tangga tidak mampu
menghasilkan atau membeli makanan yang cukup
Minimnya pola asuh yang baik, terutama pemberian ASI, makanan pendamping ASI
dan perawatan terhadap ibu sebelum dan selama kehamilan serta setelah persalinan
Air, sanitasi, dan hygiene yang buruk yang meningkatkan penularan sebagai
penyakit seperti diare
Layanan kesehatan yang kurang memadai, yang berarti bahwa ibu dan anak tidak
dapat menerima intervensi yang memadai untuk emncegah dan menangani kurang gizi dan
berbagai penyakit menular
Penyebab mendasar seperti kemiskinan dan rendahnya tingkatpendidikan
Ada banyaknya faktor penyebab tersebut dibutuhkan adanya komitmen yang melibatkan
kemitraan antar berbagai pemangku jabatan, yaitu Kementrian kesehatan, Kementerian PPN /
BAPPENAS, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Pekerjaan Umum.
“ Menimbang : c. Bahwa pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi”
4. Konteks Budaya
Balita pendek menjadi hal yang biasa di lintasan generasi Indonesia. Adanya persepsi bahwa
tinggi seseorang anak bergantung kepada genetik atau keturunan, dan bahwa tidak banyak yang
dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Kebanyak masyarakat Indonesia memahami kurang gizi
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, tanpa menyadari bahwa ada banyak penyebab-
penyebab lain yang mempengaruhinya.
Ada banyaknya faktor penyebab bukan hanya dari faktor genetik dan asupan makanan serta
memungkinkannya dilakukan intervensi terkait perbaikan gizi dimasyarakat melalui gizi spesifik
(langsung) dan gizi sensitif (tidak langsung) menjadi salah satu faktor dibuatnya Perpres No 42
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.

3. Sudah memenuhi aspek2 lingkungan strategis ( IPOLEKSOSBUDHANKAM )


Deskripsi singkatan Ipoleksosbudhankam) :
Ideologi Politik Ekonomi Sosial Budaya Pertahanan dan Keamanan
Pengaruh Aspek Ideologi,Politik,Ekonomi,Sosial Budaya,& HANKAM
PENGARUH ASPEK IDEOLOGI :
IDEOLOGI DUNIA: Liberalisme (Individualisme), Komunisme (Class Theory),
IDEOLOGI PANCASILA: Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan
keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara serta
pengamalannya yang konsisten dan berlanjut.
PENGARUH ASPEK POLITIK,
dalam negeri: (Struktur, proses, budaya, komunikasi).
luar negeri, Ketahanan pada aspek politik luar negeri = meningkatkan kerjasama internasional yang
saling menguntungkan dan meningkatkan citra positif Indonesia. Kerjasama dilakukan sesuai dengan
kemampuan dan demi kepentingan nasional. Perkembangan, perubahan, dan gejolak dunia terus
diikuti dan dikaji dengan seksama.memperkecil ketimpangan dan mengurangi ketidakadilan dengan
negara industri maju. Mewujudkan tatanan dunia baru dan ketertiban dunia. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Melindungi kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara
lain dan hak-hak WNI di luar negeri perlu ditingkatkan.
PENGARUH ASPEK EKONOMI, Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan
perekonomian bangsa yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat
dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing
tinggi dan mewujudkan kemampuan rakyat.
Untuk mencapai tingkat ketahanan ekonomi perlu pertahanan terhadap berbagai hal yang
menunjang, antara lain:
1. Sistem ekonomi Indonesia harus mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan
merata.
2. Ekonomi Kerakyatan Menghindari :
a. Sistem free fight liberalism: Menguntungkan pelaku ekonomi yang kuat.
b. Sistem Etastisme: Mematikan potensi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c. Monopoli : Merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita
keadilan social.

3. Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang antara sektor pertanian, perindustrian dan
jasa.
4. Pembangunan ekonomi dilaksanakan sebagai usaha bersama dibawah pengawasan anggota
masyarakat memotivasi dan mendorong peran serta masyarakat secara aktif.
5. Pemerataan pembangunan.
6. Kemampuan bersaing.

PENGARUH ASPEK SOSIAL BUDAYA, Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi
kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional, yang mengandung kemampuan
membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan
sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan menangkal
penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
PENGARUH ASPEK HANKAM, Wujud ketahanan keamanan tercermin dalam kondisi daya tangkal
bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan
memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara (Hankamneg) yang dinamis, mengamankan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan
menangkal segala bentuk ancaman.

4. Faktor kontekstual yg mempengaruhi kebijakan pengentasan kemiskinan di sector kesehatan


Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan
• Faktor situasional: Faktor yang tidak permanen atau
khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: kekeringan)
• Faktor struktural: bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah (misal: sistem politik)
• Faktor Budaya: Faktor yang dapat berpengaruh seperti
hirarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu
• Faktor Internasional atau eksogen: faktor ini
menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara
dan mempengaruhi kemandirian dan kerja sama internasional dalam kesehatan

5. Kebijakan kesehatan dibuat melalui rangkaian hubungan konteks, proses, dan pelaku
Konteks, Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu dibuat dan
diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thompson, 1996). Faktor-faktor yang berada di
dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak lagi bentuk yang
dikategorikan ke dalam konteks kebijakan yaitu peran tingkat pusat yang dominan, dukungan
birokrasi dan pengaruh aktor-aktor international juga turut berperan.
Proses Proses kebijakan adalah suatu agenda yang teratur melalui suatu proses rancang dan
implementasi.
Ada perbedaaan model yang digunakan oleh analis kebijakan antara lain:
- Model perspektif (rational model) yaitu semua asumsi yang mengformulasikan kebijakan yang
masuk akal berdasarkan informasi yang benar.
- Model incrementalist (prioritas pilihan) yaitu membuat kebijakan secara pelan dan bernegosiasi
dengan kelompok-kelompok yang berminat untuk menyeleksi kebijakan yang diprioritaskan.
- Model rational (mixed scanning model) di mana penentu kebijakan mengambil langkah mereview
secara menyeluruh dan membuat suatu negosiasi dengan kelompok-kelompok yang
memprioritaskan model kebijakan.
- Model puncuated equilibria yaitu kebijakan difokuskan kepada isu yang menjadi pokok
perhatian utama dari penentu kebijakan. Masing-masing model di atas memilah proses kebijakan ke
dalam komponen untuk mengfasilitasi analisis. Meskipun pada kenyataannya, proses
kebijakan itu memiliki karakteristik tersendiri yang merujuk kepada model-model tersebut.
Aktor
Aktor adalah mereka yang berada pada pusat kerangka kebijakan kesehatan. Aktor-aktor ini
biasanya memengaruhi proses pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Mereka merupakan
bagian dari jaringan, kadang-kadang disebut juga mitra untuk mengkonsultasi dan memutuskan
kebijakan pada setiap tingkat tersebut (Walt, 1994). Hubungan dari aktor dan peranannya
(kekuasaannya) sebagai pengambil keputusan adalah sangat tergantung kepada kompromi politik,
daripada dengan hal-hal dalam debat-debat kebijakan yang masuk diakal (Buse, Walt and Gilson,
1994).

6. Dimensi dan peran kekuasaan dlm pembuatan kebijakan kesehatan


Dikategorikan menjadi tiga dimensi kekuasaan:
kekuasaan dalam pengambilan keputusan,
kekuasaan untuk tidak membuat keputusan;
dan kekuasaan sebagai pengendalian pikiran.

7. Peran Negara dlm pembuatan kebijakan kesehatan dan itentifikasikan organisasi sector swasta yg
berkepentingan dlm kebijakan kesehatan
Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat
menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons menyerap banyak sumber daya nasional
untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor
kesehatan seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi bidang technologi bio ‐
medis atau produksi dan penjualan obat ‐ obatan, Atau dengan menjamin adanya populasi yang
sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian Warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan
sebagai pasien Atau pelanggan, denganm emanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik; atau
sebagai profesi kesehatan – perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau
manajer. Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan
keselamatan, kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan
masalah sosial yang lainnya. Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama
halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan ekonomi, seperti pajak
merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat. Penyebab mutakhir
meningkatnya obesitas ditengah masyarakat mencakup kesediaan makanan cepat saji yang murah
namun tinggi k alori, penjualan soft drinks disekolah, juga menurunnya kebiasaan berolah raga.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri menjadi sedemikian
pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi
saat ini – meningkatnya obesitas,Wabah HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat – Sekaligus
memahani bagaimana perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada kesehatan. Kebijakan
kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi Kesehatan yang akan dikembangkan dan
digunakan, mengelola dan Membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas.
Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan.

8. Peran pemerintah dlm perumusan dan pembentukan kebijakan kesehatan dan seberapa besar
pengaruh pemerintah dlm proses pembuatan kebijakan kesehatan
Sampai awal 1980an, pemerintah mempunyai tempat utama dalam pendanaan pelayanan
kesehatan di sebagian besar negara. Sebagai tambahan, negara memegang peranan utama
dalam mengalokasikan sumber daya ‐sumber daya untuk prioritas ‐ prioritas kesehatan yang
berkompetisi dan dalam mengatur cakupan kegiatan kesehatan. Satu contoh: pikirkan peranan
yang mungkin di punyai negara dengan regulasi layanan antar perawatan kesehatan. Mills and
Ranson (2005) telah mengidentifikasi mekanisme regulasi yang sudah diterapkan oleh negara
dengan pendapatan rendah dan menengah.Untuk mengatur jumlah dan distribusi pelayanan,
negara telah:
• Memberi perijinan para penyedia jasa (disemua negara) dan fasilitas ‐ fasilitas (sangat umum
bagi RS‐ RS)
• Menge ndalikan pada jumlah Dan besarnya sekolah medis (umu m), mengatur jumlah dokter
yang berpraktek di daerah tertentu dan membatasi penggunaan teknologi tinggi (sedang
dipertimbangkan di Thailand dan Malaysia)
• Menyediakan insentif untuk praktek didaerah terpencil (dibanyak negara, hal ini untuk para
dokter)

Untuk mengatur tarif pelayanan, pemerintah melakukan tindakan seperti:


• Merundingkan skala gaji (Zimbabwe dan Argentina)
• Menetapkan besar tarif (Afrika Selatan)
• Merundingkan besarnya pembayaran (pada banyak skema asuransi sosial)

Untuk mengatur kualitas pelayanan kesehatan, pemerintah telah:


• Memberi ijin para praktisi kesehatan
• Mendaftar fasilitas ‐ fasilitas kesehatan
• Mengendalikan jenis pelayanan yang disediakan
• Mensyaratkan para pe nyedia jasa untuk membuat prosedur penanganan keluhan
• Mensyaratkan adanya informasiuntuk mengawasikualitas
• Mengendalikan pelatihan kurikulum
• Menetapkan syarat – syarat untukmelanjutkan pendidikan
• Memperkenalkan akreditasi untuk fasilitas kesehatan

Sebagai tambahan pada pendanaan, pengawasan dan regulasi pelayanan kesehatan, sebagian
besar negara ‐ negara mempunyai fungsi fungsi kesehatan publik, sebagai berikut:
• Menj amin kualitas air dan keamanan mak nan
• Melaksanakan karantina pengawasan negara dan batas untuk menghentikan penyebaran
penyakit menular
• Meregulasi jalan dan tempat kerja untuk mengurangi cedera akibat kecelakaan
• Membuat undang‐ undang, dengan target mengurangi polusi lingkungan dan suara
• Menetapkan standar untuk pemberian label makanan, kadar timah pada bensin, serta kadartar
dan nikotin pada rokok
• Meregulasi dan memberi perijinan industri ‐industri dan memaksa mereka untuk menggunakan
teknologi berbasis kesehatan masyarakat
• Menambah klorine pada air minum
9. Perbedaan kebijakan kesehatan yg betsifat top down dan bottom up
10. Faktor2 yg memfaSilitasi dan faktor yg menghambat antara kebijakan kesehatan yg betsifat top
down dan bottom up
Dalam penelitian ini pendekatan yang paling sesuai adalah pendekatan secara partisipatif dimana
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dapat direspon dengan baik oleh masyarakat. Satu hal
yang paling penting adalah implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari
kebijakan itu sendiri. Nugroho (2011), pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalah hal
keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat? Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana
kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak
dipecahkan.
2. Ketepatan pelaksana. Aktor implementasi tidaklah hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang
dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah masyarakat/swasta
atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).
3. Ketepatan target implementasi. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu: a) Apakah target
yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan
intervensi yang lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain; b) Apakah
targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, kesiapan bukan saja dalam arti
secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dap apakah
kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak; c) Apakah intervensi implementasi
kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya.
4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat? Ada dua lingkungan yang paling menentukan,
yaitu a) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan
pelaksana kebijakan dan lembaga lain yang terkait; b) lingkungan eksternal kebijakan yang
terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan imlementasi kebijakan,
interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis
dalam masyarakat.
5. Tepat proses. Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu: a)
policy acceptane, di sini publik memahami kebijakan sebagai sebuah aturan main yang
diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang
harus dilaksanakan; b) policy adoption, publik menerima kebijakan sebagai sebuah aturan main
yang diperlukan untuk masa depan, disisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas
yang harus dilaksanakan; c) strategic readiness, publik siap melaksanakan atau menjadi bagian
dari kebijakan, di sisi lain birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai