Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus Trauma

Fraktur Tibia

Disusun Oleh
Elmon Patadungan
112017185

Pembimbing
dr. Ade Sigit Mayangkoro, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH


RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 25 FEBRUAI 2019 – 04 MEI 2019

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT BAYUKARTA

Nama : Elmon Patadungan Tanda Tangan


NIM : 112017185 ......................

Dr. Pembimbing : dr. Ade Sigit, SpB ......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun Bangsa : Indonesia, Sunda
Pekerjaan : Karyawan Agama : Islam
Alamat :-
I. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis tanggal 24 Maret 2019 pukul 15.00 WIB

1. Keluhan utama :
Nyeri tungkai kanan

2. Keluhan tambahan :
Tungkai sulit digerakkan, kaki bengkak

3. Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang ke IGD RS Bayukarta dengan keluhan nyeri pada tungkai sebelah
kanan sejak 5 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Nyeri dirasakan terus
menerus dan dirasakan semakin lama semakin memberat dan disertai dengan bengkak
pada tungkai. Nyeri tidak menjalar ke bagian tubuh yang lain. Pasien mengatakan
bahwa sebelumnya dia mengalami kecelakan lalu lintas saat mengendarai motor.
Pasien jatuh dari motor karena ditabrak oleh motor lain dari arah belakang. Pasien
jatuh dari motor dengan kondisi tungkai sebelah kanan tertimpa motor dan sempat
terbentur mengenai cor.
Setelah kecelakaan pasien tidak dibawa ke rumah sakit, namun langsung pulang
kerumah. Pasien hanya berobat ke tukang pijat tulang dan hanya dibalut biasa. Setelah
di pijat, pasien mengatakan masih merasakan nyeri dan tidak berkurang sama sekali.
Pasien mengatakan semakin sulit untuk menggerakkan kakinya. Setelah dirasa

2
semakin memberat barulah pasien diantar keluarga ke IGD RS Bayukarta. Pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa baal pada tungkai, mual, muntah, dan nyeri kepala.

4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan tulang.

5. Riwayat Masa Lampau

Penyakit terdahulu : pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan


asam urat
Trauma terdahulu : Tidak ada
Operasi : Tidak ada
Sistem saraf : Tidak ada
Sistem kardiovaskular : Tidak ada
Sistem gastrointestinalis : Tidak ada
Sistem urinarius : Tidak ada
Sistem genitalis : Tidak ada
Sistem muskuloskeletal : Tidak ada

6. Riwayat Pengobatan

Pasien mengatakan hanya membeli obat pereda nyeri dari apotik.

II. STATUS PRAESENS


1. STATUS UMUM
Airway, breathing, circulation : Baik
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36.7oC
Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 88x/menit, reguler, kuat angkat, teraba sama di
keempat ekstremitas
Frekuensi Pernapasan : 22 x/menit, regular
Keadaan Gizi : Baik
Berat badan :-

3
Kulit : Sawo matang, normotermi, turgor baik, lesi (-)
Kelenjar limfe : Tidak teraba pembesaran
Muka : Simetris, ekspresi gelisah
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya langsung
dan tidak langsung +/+
Hidung : simetris, septum deviasi (-), secret (-)
Mulut / gigi : mulut kering (-), mukosa merah muda, tonsil T1-T1, uvula
ditengah, faring hiperemis (-), karies dentis (-)
Leher : pembesaran tiroid (-), bruits (-),
Dada : Dinding dada simetris, pergerakan simetris, tidak ada retraksi
sela iga, massa (-), nyeri tekan (-), jejas (-)
Paru : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-, perkusi
sonor pada seluruh lapang paru
Jantung : Bunyi jantung I-II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Perut : perut datar, lesi (-), nyeri pinggang kiri (+), bising usus
normoperistaltik, jejas (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran hati
Limpa : Tidak teraba pembesaran limpa
Ginjal : Bimanual (-) Ballotemen (-), nyeri ketok CVA (-), bruits (-)
Kandung empedu : nyeri tekan (-)
Kandung kencing : nyeri tekan (-)
Genitalia : Tidak dilakukan
Punggung : lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-), tulang punggung terletak di
tengah
Refleks : refleks patella +/-, refleks biceps +/+, refleks triceps +/+, refleks
tendon achilles +/+, refleleks patologis (-)
Rektum / Anus : Tidak dilakukan
Ekstremitas atas : simetris, akral hangat, normotonus, atrofi (-), pulsasi teraba,
ROM normal
Ekstremitas bawah : asimetris, edema (+) dextra, Hiperemis (+) dextra, Nyeri
tekan (+), Krepitasi (+) dextra, ROM regio crurus
dextra terbatas, normotonus, atrofi (-), pulsasi masih
teraba

Kekuatan Sensori

4
Nyeri

Edema Sianosis

Sensibilitas : Baik

2. STATUS LOKALIS

Pada bagian ventral regio cruris dextra 1/3 proximal


 Look: edema (+), Hiperemis (+), warna kuku kaki merah muda.
 Feel: Nyeri Tekan (+), Krepitasi (+), perabaan kulit hangat, Pulsasi a. Dorsalis
pedis teraba, pulsasi a. Tibialis posterior teraba,
 Move : Gerak aktif dan pasif ROM < 90', nyeri gerak aktif (+), nyeri gerak pasif
(+), jari kaki dapat digerakkan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Foto rontgen regio femur dextra posisi AP dan Lateral

5
 Foto rontgen regio Cruris dextra posisi AP dan Lateral

IV. RESUME

6
Pasien laki-laki usia 55 tahun dengan gizi baik, datang dengan keluhan nyeri pada
tungkai kanan sejak 5 hari SMRS diserati dengan adanya pembengkakan, dan sulit
digerakkan. Bertambah berat setelah diurut. Sebelumnya mengalami kecelakan lalu lintas
dan kaki kanan tertimpa motor dan terbentur cor, tidak ada luka terbuka.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda krepitasi pada 1/3 proximal regio cruris
dextra, edema (+), hiperemis, nyeri tekan, pulsasi a. Dorsalis pedis dan a. Tibialis
posterior masih teraba, ROM terbatas.
Pada hasil pemeriksaan penunjang berupa rontgen regio femur tidak didapatkan
kelainan, namun pada foto rontgen regio cruris dextra posisi AP lateral didapatkan
adanya fraktur os tibia fibula.

V. DIAGNOSIS KERJA
Fraktur Tertutup Tibia Fibula 1/3 Proximal

VI. DIAGNOSIS BANDING


-

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


-
VIII. PENGOBATAN
- Non Medikamentosa (Operatif)
Pro ORIF plate and screw
- Medikamentosa
o Antibiotik: ceftriaxone 2 x 1 gram
o Anti nyeri: Ketorolac 30 mg + RL / 8 jam

IX. PROGNOSIS
- ad vitam : bonam
- ad functionam : dubia ad bonam
- ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab
terhadap pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini
terdiri dari tulang,sendi,otot rangka, tendon,ligament,bursa dan jaringan-jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini. Beragam jaringan dan organ sistem muskuloskeletal dapat
menyebabkan terbentuknya berbagai gangguan yang berkembang terutama dalam sistem itu
sendiri atau di tempat lain namun mengenai sistem muskuloskeletal. Trauma dalam
muskuloskeletal termasuklah fraktur,dislokasi,sprains dan strains namun yang paling parah ialah
fraktur. Gangguan ini terjadi pada tulang,sendi dan otot terjadi disebabkan kelainan metabolik,
infeksi,inflamasi atau non-inflamasi atau tumor. Fraktur adalah patah tulang yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Trauma adalah penyebab utama kematian pada orang
usia 1-44 tahun pada semua ras dan taraf sosio ekonomi.
Menurut Apley, fraktur adalah putusnya kontinuitas dari tulang, tulang rawan, dan epifis.
Ini bukan hanya remuk atau fragmentasi dari korteks. Lebih sering patahan lengkap dan fragmen
tulang bergeser. Menurut Smeltzer, fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya.

2.2 Anatomi
Tibia

Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior pada tiap
condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu
peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.

2. Diaphysis (corpus)

8
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya menghadap ke muka,
sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (di sebelah muka), margo medialis (di
sebelah medial) dan crista interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies lateralis, facies
posterior dan facies medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan margo
anterior di sebelah proximal.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata kaki). Epiphysis
distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi yang vertikal (facies articularis
melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies articularis inferior) dan disebelah lateral
terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).

Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Kearah proximal meruncing menjadi apex. Pada
capitulum terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis capitulli fibulae, untuk
bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu, crista lateralis, crista
anterior, crista medialis dan crista interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis,
facies medialis dan facies posterior. Pada bagian distal ke arah lateral membulat menjadi
maleolus lateralis.

Gambar 1. Anatomi Tibia dan Fibula

9
Pada regio cruris terdapat 4 kompartemen. Anatomi dari kompartemen sangat penting
selama peristiwa trauma untuk mengetahui adanya perdarahan interna pada kaki yang dapat
berujung pada kompartemen sindrom. Compartemen anterior mengandung komponen
dorsiflexor dari kaki, yakni m.tibialis anterior, m.ekstensor digitorum longus, m.ekstensor
hallucis, m.peroneus tertius, nervus peroneus profunda. Suplai darah utama dari kompartemen
anterior berasal dari arteri tibia anterior.
Kompartemen lateral mengandung m.peronus longus dan m peronus brevis, yang
menyebabkan eversi pada kaki. Nervus peroneal superficial termasuk dalam kompartemen ini
dan menginervasi kedua muskulus tadi.2
Kompartemen posterior dibagi menjadi dua bagian yakni superficial dan profunda.
Kompartemen posterior profunda meliputi otot-otot plantarfleki, termasuk m.tibialis posterior, m
flexor hallucis longus, dan m. flexor digitorum longus. Arteri peroneal dan arteri tibial posterior
turut masuk dalam compartmen ini bersama dengan vena nya. Sedangkan kompartemen posterior
superficial adalah kompartemen yang terbesar tetapi hanya mengandung otot saja. Yakni otot-
otot plantarfleksi seperti m.soleus, m.gastrocnemius.

2.3 Etiologi

Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera (trauma), seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih
besar dari pada kekuatan tulang. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba –
tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau
terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh:

1. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.


2. Usia penderita
3. Kelenturan tulang
4. Jenis tulang.

Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya sedangkan penghancuran kemungkinan
akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena

10
kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu jadi kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.

Tekanan yang berulang-ulang atau trauma ringan (fraktur kelelahan/fraktur stress) pada
tulang menyebabkan tulang menjadi retak, seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat
tekanan berulang-ulang. Kelemahan abnormal pada tulang (Fraktur patologik). Fraktur dapat
terjadi oleh tekanan yang normal sekalipun, sehingga jikalau tulang itu lemah (misalnya oleh
karena tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget ), dimana dengan
tenaga yang sangat ringan tersebut, tulang yang rapuh karena kelainan seperti
osteoporosis,osteomyelitis atau tumor seperti ewing’s sarcoma atau metastase myeloma bisa
mengalami patah tulang.

2.4 Epidemiologi
Fraktur terbagi menjadi dua golongan yaitu fraktur pada orang dewasa, orang tua dan
fraktur pada anak-anak. Pola kejadian anatomis dan penangannya pun berbeda sesuai dengan
golongan umur. Orang tua lebih sering menderita fraktur vertebra atau collum femur karena
osteoporosis, orang dewasa lebih sering frkatur tulang panjang, sedangkan anak-anak jarang
mengalami robekan ligamen. Injuri muskuloskeletal adalah cidera yang paling sering dialami
anak-anak. Pada anak-anak, fraktur ekstremitas atas lebih sering dijumpai daripada fraktur
ekstremitas bawah (Beaty & Kasser, 2001). Sebanyak 20% anak-anak yang mengalami cidera
disertai fraktur. Dan diperkirakan sebanyak 42% pada anak laki-laki dan 27% pada anak
perempuan. Dan sebanyak 30% fraktur pada anak melibatkan lempeng pertumbuhan.

2.5 Mekanisme Trauma


2.5.1 Sewaktu tulang patah ( fraktur ) mengakibatkan terpajannya sum-sum tulang atau
pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam sum-sum tulang, sehingga
merangsang pengeluaran katekolamin yang yang akan merangsang pembebasan asam lemak
kedalam sirkulasi yang menyuplai organ, terutama organ paru sehingga paru akan terjadi
penyumbatan oleh lemak tersebut maka akan terjadi emboli dan menimbulkan distress atau
kegagalan pernafasan. Trauma yang disebabkan oleh karena fraktur ( terbuka atau tertutup )
dimana mengakibatkan terjadinya perdarahan disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan
lunak disekitar tulang tersebut terjadi perdarahan masif yang bila tidak segera ditangani akan
menyebabkan perdarahan hebat, terutama pada fraktur terbuka ( shock hypopolemik ).

11
2.5.2 Perdarahan masif ini ( pada fraktur tertutup ) akan meningkatkan tekanan dalam suatu
ruang diantara tepi tulang, menyebabkan oedema sehingga akan menekan pembuluh darah dan
saraf disekitar tulang yang fraktur tersebut maka akan terjadi sindrom kompartemen ( warna
jaringan pucat, sianosis, nadi lemah, mati rasa dan nyeri hebat.) dan akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan neuromuskuler (4-6 jam kerusakan yang irreversible, 24-48 jam akan
mengakibatkan organ tubuh tidak berfungsi lagi). Perdarahan masif juga dapat menyebabkan
terjadinya hematoma pada tulang yang fraktur yang akan menjadi bekuan fibrin yang berfungsi
sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang baru, secara
perlahan mengalami remodeling (membentuk tulang sejati) tulang sejati ini akan menggantikan
kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi ( jadi tulang yang matur ).

2.5.3 Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri
setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3)
lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya.

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.6.2 Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
obat.
2.6.3 Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
2.6.4 Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
2.6.5 Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah cedera.
2.6.6 Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan saraf.
Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian nonfraktur. Hilangnya

12
denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan sindrom kompartemen, walapun adanya denyut
nadi tidak menyingkirkan gangguan ini.

Kalsifikasi Fraktur

1. Berdasarkan lokasi fraktur, dibagi menjadi fraktur pada metafisis, diafisis, epifisis, atau
intaraatrikular, jika berkaitan dengan dislokasi sendi maka dikatakan fraktur dislokasi.
2. Berdasarkan luas dan garis fraktur dibagi menjadi: komplit dan inkomplit
 Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga
tulang terbagi menjadi dua bagian atau lebih dan garis patahnya menyeberang dari
satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks. Gambaran fraktur pada x-ray
dapat untuk memprediksi gambaran tulang setelah reduksi: Pada fraktur transversa,
fragmen fraktur biasanya tetap di tempat setelah reduksi; pada fraktur oblik atau
spiral, maka cenderung terjadi shortening/pemendekan dan re-displace . Pada
impacted fraktur, fragmen terikat erat dan garis fraktur tidak jelas. Sebuah fraktur
kominuta lebih dari dua fragmen; karena sedikitnya interlocking pada permukaan
fraktur, maka fraktur ini sering tidak stabil.
 Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis
patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada
korteks yang utuh). Pada fraktur greenstick, tulang melengkung (seperti gertakan
ranting hijau).
3. Berdasarkan konfigurasi: transversa, oblique, spiral, cominutive
4. Berdasarkan hubungan fragmen fraktur dengan yang lain: undisplaced, displaced.
Displaced dapat terjadi pada satu dari beberapa hal, yakni: translated (berpindah ke
seberangnya), angulated, rotated, distracted, overriding, dan impacted. Saat tulang patah,
kekuatan penyebab akan mengikuti. Derajat displacement dari fragmen adalah maksimal
pada batas waktu tertentu. Elastic recoil dari jaringan lunak sekitar yang segera, termasuk
periosteum, akan mengurangi luasnya displacement. Dan usaha dari penolong di tempat
kejadian yang berusaha untuk meluruskan anggota gerak yang bengkok mungkin dapat
mengurangi luasnya displacement sebelum dilihat oleh dokter ortopedi pada saat operasi.
Hubungan antara fragmen fraktur bergantung pada gravitasi, sama dengan dari tarikan
otot pada fragmen

13
5. Berdasarkan hubungan dengan lingkungan luar: terbuka dan tertutup.Fraktur tertutup
adalah fraktur yang tertutup oleh kulit. Atau dengan kata lain, kulit masih utuh.
Sebaliknya, fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan lingkungan
luar, baik karena fragmen fraktur yang menembus ke kulit dari dalam atau karena benda
tajam yang menembus kulit ke dalam tulang. Fraktur terbuka tentu membawa resiko
serius terkena infeksi. Fraktur tertutup biasa disebut simple, sedangkan open fraktur
sering disebut compound.
6. Berdasarkan ada tidaknya komplikasi. Fraktur dapat menjadi complicated atau menjadi
uncomplicated. Komplikasi bisa saja lokal ataupun sistemik. Dan hal ini dapat
disebabkan baik karena injury itu sendiri atau karena treatmentnya. Komplikasi yang
disebabkan oleh treatment yang dilakukan tenaga kesehatan disebut iatrogenic

2.7 Fisiologi Penyembuhan Fraktur

Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali setelah


terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 tahap,
yaitu:
1. Destruksi jaringan dan hematoma. Pembuluh darah robek pada permukaan fraktur dan
terbentuk hematom di sekitar dan di celah fraktur. Hal ini mengakibatkan gangguan aliran
darah pada tulang yang berdekatan dengan fraktur.
2. Inflamasi dan proliferasi seluler. Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam kanalis medularis dan jaringan
seluler yang tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorpsi dan kapiler
baru yang halus berkembang ke daerah itu, akan terjadi neovascularisasi pada celah
fraktur
3. Pembentukkan callus. Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum
menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan aktif. Dengan pergerakan yang
lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut. Dengan kata lain,
merupakan fase pembentukkan tulang dan juga kartilago. Dikenal beberapa jenis kalus
sesuai dengan letak kalus tersebut berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya
fraktur terjadi dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang
yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus
secara perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah

14
periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.
Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah fraktur di
antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam medulla tulang di sekitar
daerah fraktur.
4. Konsolidasi. Selama stadium ini, tulang mengalami penyembuhan terus-menerus.
Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung
dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih
banyak callus yang ahirnya menjadi tulang padat. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang
normal. Dengan kata lain, callus akan berkembang menjadi tulang lamellar yang cukup
kaku untuk memungkinkan osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen
dengan tulang yang baru. Pada tahap ini tulang sudah kuat tapi masih berongga.
5. Remodelling. Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan
struktur normal. Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat
tulang baru tersebut.

Gambar 2. Proses Penyembuhan Fraktur. (a) Hematoma, (b) Inflamasi, (c) Callus, (d)
Konsolidasi, (e) Remodelling.

Proses penyembuhan tulang memakan waktu yang berbeda-beda. Tetapi kita dapat memprediksi
waktu penyembuhan fraktur dengan mempertimbangkan beberapa faktor dibawah ini, yakni:6
 Usia pasien
Pada saat lahir, penyembuhan fraktur sangat cepat, tapi itu menjadi berkurang setiap tahun
selama masa kanak-kanak. Dari awal dewasa muda hingga usia tua, kecepatan penyembuhan
fraktur tersisa lumayan konstan. Sebagai contoh, fraktur pada shaft femur akan sembuh pada
bayi dalam 3 minggu, sedangkan pada anak usia 8 tahun akan menyatu dalam 8 minggu,

15
sedangkan pada usia 12 tahun akan menyatu dalam 12 minggu, dan pada usia 20 tahun hingga
usia tua kira-kira akan menyatu dalam 20 minggu.
 Lokasi dan konfigurasi fraktur
Fraktur pada tulang yang dikelilingi otot, akan sembuh lebih cepat dibanding fraktur yang
melewati celah tulang yakni dibawah subkutan atau didalam sendi. Fraktur pada tulang
cancellous metafisis sembuh lebih cepat dibanding pada tulang kortikal. Separasi epifisis sembuh
kira-kira 2x lebih cepat dari tulang metafisis. (fraktur pada tulang dan usia yang sama). Fraktur
oblique pada tulang panjang dan spiral pada batang, memiliki permukaan fraktur yang luas,
sembuh lebih cepat dibanding fraktur transversa yang memiliki permukaan fraktur kecil.
 Fraktur undiscplaced, memiliki periosteal yang masih utuh, sembuh kira-kira 2 kali lebih
cepat dibanding fraktur displaced.
 Suplai darah ke tempat fraktur
Jika kedua fragmen memiliki suplai darah yang baik dan masih hidup, maka fraktur akan sembuh
tanpa komplikasi. Akan tetapi, jika salah satu fragmen kehilangan suplai darah atau mati, maka
fragmen yang masih hidup akan bersatu dan berfusi dengan fragmen yang mati. Dengan kata
lain, tulang yang hidup akan menjadi sumber untuk menjadi graft pada tulang mati. Union akan
menjadi lambat, dan dapat terjadi kekauan akibat imobilisasi kaku. Jika kedua fragmen
avaskular, makan bony union tidak dapat menyatu sampai mendapatkan revaskularisasi.

2.8 Komplikasi

2.8.1 Kerusakan Saraf


Terjadi karena cidera kerusakan saraf itu sendiri atau karena adanya penekanan oleh gips.
Kerusakan saraf ini akan menyebabkan kerusakan fungsi sensorik.

2.8.2 Iskemik
Dengan adanya oedem akibat fraktur akan menekan pada jaringan sekitarnya termasuk
vaskuler. Tekanan ini dapat menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan demikian akan
menimbulkan iskemik pada jaringan otot yang makin lama akan mengakibatkan kematian
jaringan otot yang akan diganti oleh jaringan fibrotik sehingga terjadi kontraktur.

16
Gejalanya: dingin, pucat, sianosis, nyeri, bengkak distal dari cedera atau gips. Serangannya pada
saat terjadi cedera atau setelah pakai gips.
2.8.3 Emboli
Perubahan tekanan pada fraktur menyebabkan molekul lemak terdorong dari sum-sum ke
dalam peredaran darah sistemik berakibat gangguan pada respiratori dan sistem saraf pusat.
Gejalanya : sakit dada, pucat, dyspnea, putus asa, bingung, perdarahan petechieae pada kulit dan
conjungtiva.
Serangan : 2-3 hari setelah cedera.
Pengobatan : pemberian oksigen, transfusi darah untuk mengatasi shock hipovolemik, berikan
diuretik, bronkhodilator, cortico- steroid dan imobilisasi yang baik serta penanganan yang cermat
dapat mencegah terulangnya masalah.

2.8.4 Nekrosis Avaskuler


Nekrosis terjadi ketika daerah tulang rusuk karena kematian tulang sehingga aliran darah
terganggu dan tulang akan mengalami osteoporosis dan nekrosis.

2.8.5 Osteomyelitis
Kuman masuk ke dalam luka atau dari daerah lain dari tubuh. Infeksi bagian sum-sum
dan subperiosteal yang berakibat merusak tulang oleh enzim proteolitik.
Gejala : Edema, nyeri terdapat pus.
Pengobatan : Kultur dan tes sensitif antibiotik, drainage, debridemen.
Pencegahan : Terapkan teknik aseptis pada waktu membalut luka terbuka.

2.8.6 Sindrom Kompartemen


Kompartemen sindrom adalah suatu kelainan yang potensial menimbulkan kedaruratan,
di mana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruang tertutup. Sindrom
kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan
oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstitial yang intens,
tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh
darah tersebut kolaps. Hal ini akan menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian saraf yang mempersarafi daerah tersebut dan biasanya akan timbul nyeri hebat.

17
Individu mungkin tidak dapat mengerakkan jari tangan atau jari kakinya. Sindrom kompartemen
biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.
Risiko terjadinya sindrom kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah
tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat.
Gejala sindrom kompartemen adalah nyeri parah yang tidak merespon elevasi atau obat
penghilang rasa sakit. Dalam kasus yang lebih lanjut, mungkin ada penurunan sensasi,
kelemahan, dan kulit pucat. Daerah kulit yang mengalami compartment syndrome akan tampak
mengkilat dan bengkak dan biasanya ketika jari digerakkan akan terasa sangat sakit pada tangan.
Komplikasi termasuk cedera permanen pada saraf dan otot-otot yang secara lebih lanjut
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi (iskemia Volkmann). Ini dapat terjadi pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema
dalam otot. Dalam kasus yang lebih parah, anggota badan yang mengalami compartment
syndrome mungkin perlu diamputasi karena semua otot/sel otot di kompartemen mengalami
kematian karena kekurangan suplai oksigen.

2.9 Komplikasi Penyembuhan Fraktur

2.9.1 Malunion
Malunion adalah keadaan dimana fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat
deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan atau union secara
menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna.

Etiologi

Fraktur tanpa pengobatan, pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan imobilisasi yang tidak
baik, pengambilan keputusan serta teknik yang salah pada awal pengobatan, osifikasi premature
pada lempeng epifisis karena adanya trauma.

Gambaran Klinis

Deformitas dengan bentuk yang bervariasi, gangguan fungsi anggota gerak, nyeri dan
keterbatasan pergerakan sendi, ditemukan komplikasi seperti paralysis tardi nervus ulnaris,
Osteoartritis apabila terjadi pada daerah sendi, bursitis atau nekrosis kulit pada tulang yang
mengalami deformitas.

18
Radiologis

Pada foto roentgen terdapat penyambungan fraktur tetapi dalam posisi yang tidak sesuai dengan
keadaan yang normal.

Pengobatan

Konservatif dilakukan refrakturisasi dengan pembiusan umum dan diimobilisasi sesuai dengan
fraktur yang baru, apabila ada kependekan anggota gerak dapat dipergunakan sepatu ortopedi.
Operatif dilakukan osteotomi koreksi (osteotomi Z) dan bone graft disertai dengan fiksasi
interna, atau dengan osteotomi dengan pemanjangan bertahap misalnya pada anak-anak, atau
dengan osteotomi yang bersifat baji.

2.9.2 Delayed Union


Delayed Union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (3 bulan untuk
anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah).

Gambaran Klinis

Nyeri anggota gerak dan pergerakan pada waktu berjalan, terdapat pembengkakan, nyeri tekan,
terdapat gerakan yang abnormal pada daerah fraktur, pertambahan deformitas.

Radiologis

Tidak ada gambaran tulang baru pada ujung daerah fraktur, gambaran kista pada ujung-ujung
tulang karena adanya dekalsifikasi tulang, gambaran kalus yang kurang disekitar fraktur.

Pengobatan

Konservatif dilakukan pemasangan plester untuk imobilisasi tambahan selama 2-3 bulan.
Operatif dilakukan bila union diperkirakan tidak akan terjadi maka segera dilakukan fiksasi
interna dan pemberian bone graft.

2.9.3 Non union


Disebut nonunion apabila fraktur tidak menyembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan
konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa

19
infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi disebut infected pseudoartrosis. Beberapa
jenis nonunion terjadi menurut keadaan ujung-ujung fragmen tulang yaitu :
hipertrofik  ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar dari normal yang disebut
gambaran elephant’s foot, garis fraktur tampak dengan jelas, ruangan antar tulang diisi dengan
tulang rawan dan jaringan ikat fibrosa, pada jenis ini vaskularisasi baik sehingga biasanya hanya
diperlukan fiksasi yang rigid tanpa pemasangan bone graft.
Atrofik/oligotrofik  tidak ada tanda-tanda aktivitas seluler pada ujung fraktur, ujung tulang
lebih kecil dan bulat serta osteoporotik dan avaskuler, pada jenis ini disamping dilakukan fiksasi
rigid juga diperlukan pemasangan bone graft.
Etiologi
Vaskularisasi yang kurang pada ujung-ujung fragmen, reduksi yang tidak adekuat, imobilisasi
yang tidak adekut sehingga terjadi pada kedua fragmen, waktu imobilisasi yang tidak cukup,
infeksi, distraksi pada kedua ujung karena adanya traksi yang berlebihan, interposisi jaringan
lunak di antara kedua fragmen, terdapat jarak yang cukup besar antara kedua fragmen, destruksi
tulang misalnya oleh karena tumor atau osteomielitis (fraktur patologis), disolusi hematoma
fraktur oleh jaringan sinovia (fraktur intrakapsuler), kerusakan periosteum yang hebat sewaktu
terjadi fraktur atau operasi, fiksasi interna yang tidak sempurna, delayed union yang tidak
diobati, pengobatan yang salah atau sama sekali tidak dilakukan pengobatan, terdapat benda
asing diantara kedua fraktur misalnya pemasangan screw diantara kedua fragmen.
Gambaran Klinis
Nyeri ringan atau sama sekali tidak ada, gerakan abnormal pada daerah fraktur yang membentuk
sendi palsu yang disebut pseudoartrosis, nyeri tekan sedikit atau sama sekali tidak ada,
pembengkakan bisa ditemukan dan bisa juga tidak terdapat pembengkakan sama sekali, pada
perabaan ditemukan rongga diantara kedua fragmen.
Radiologis
Terdapat gambaran sklerotik pada ujung-ujung tulang, ujung-ujung tulang berbentuk bulat dan
halus, hilangnya ruangan meduler pada ujung-ujung tulang, salah satu ujung tulang dapat
berbentuk cembung dan sisi lainnya cekung (pseudoartrosis).
Pengobatan

20
Fiksasi interna rigid dengan atau tanpa bone graft, eksisi fragmen kecil dekat sendi misalnya
kepala radius dan prossesus styloideus ulna, pemasangan protesis misalnya pada fraktur leher
femur, stimulasi elektrik untuk mempercepat osteogenesis.

2.10 Penatalaksanaan : Secara umum ada 4 prinsip, yaitu:

a Recognition: mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik
dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan
teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.
b Reduction: reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragment fraktur sehingga didapat posisi
yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas serta perubahan osteoartritis dikemudian hari. Posisi yang baik adalah:alignment
yang sempurna dan aposisi yang sempurna. Fraktur yang tidak memerlukan reduksi seperti
fraktur klavikula, iga, fraktur impaksi dari humerus, angulasi
c Retention, immobilisasi fraktur: mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi union
sehingga terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna meliputi
pembalut gips, bidai, traksi,dan fiksasi interna meliputi implan logam seperti screw.
d Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
Terapi secara farmakologist, dapat dilakuka dengan:
diberi obat golongan analgesik-opioid yang memiliki sifat seperti opium, diantaranya adalah
morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Morfin dan opioid lain diindikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik nonopioid. Jika nyeri
lebih hebat, maka makin besar juga dosis yang diberikan. Efek samping dari pemberian obat
golongan ini adalah terjadinya mual, muntah, urtikaria, dermatitis kontak. Pemberian 10 mg/70
kgBB morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat
sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Pemberian 60 mg morfin peroral memberi efek
analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang.
Antibiotik, jika diduga terdapat kontaminasi fraktur dengan lingkungan luar.
Gentamisin oral
80 mg tiap 8 jam

21
4,5 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam tiga dosis
Ampisilin
Oral 250 – 500 mg tiap 6 jam
Parenteral 250 – 500 mg IM atau IV tiap 6 jam
Prognosis
Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana dari
tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat, maka prognosisnya
akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang di
alami ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan prognosis yang
baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk. Bahkan jikalau parah, tindakan
yang dapat diambil adalah cacat fisik hingga amputasi. Selain itu penderita dengan usia yang
lebih muda akan lebih bagus prognosisnya dibanding penderita dengan usia lanjut.

Daftar Pustaka
1. Rasjad C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ke-3. Makassar: Yarsif Watampone;
2007: h. 352-53.
2. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy.7 th ed. Philadephia:
Lippincot William&Wilkinst;2014. p 591.
3. Appley A. G., Solomon L. Apley's system of orthopaedic and fracture. 9 th ed. London
:Hodder Arnold; 2010. p. 314-6,430-80.
4. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010: h. 960-3.
5. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga; 2007: h.85-90.
6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007: h.335-9.
7. Reksoprodjo, Soelarto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai