Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang
dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewarganegaraan.1[1]
Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi
negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah
Agung (MA). Dan Indonesia merupakan negara yang ke tujuh puluh delapan yang
memiliki lembaga pengadilan konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji
materiil sebuah undang-undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah
Konstitusilah yang memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-undang
tersebut. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam
membubarkan partai politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan
presiden dan wakil presiden apabila melakukan pelanggaran hukum.
Sehingga dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untk menggali
lebih dalam mengenai sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan tradisi pengujian konstitusionalitas pasca reformasi yang
merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja,
tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan diberikan secara resmi oleh
konstitusi suatu negara. Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga
peradilan, seperti dalam sistem Prancis, disebut “Conseil Constitutionnel” yang memang
bukan “Cour” atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi
merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah “judicial review”, maka dengan
sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya adalah pengadilan atau
lembag “judicial (judiciary). Namun, dalam konsepsi “judicial review”, cakupan
pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang
diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar.

1
salah satu lembaga negara, hasil amandemen ketiga konstitusi, yang melaksanakan
kedaulatan rakyat adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK mempunyai kedudukan
setara dengan Mahkamah Agung (MA), berdiri sendiri, serta terpisah (duality of
jurisdiction) dengan MA. Fungsi utamanya dikenal sebagai the guardian of the
constitution (penjaga konstitusi).

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK)
tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI


Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu
pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi
MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD
1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang
mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan
Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari
itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi
di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober
2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945
Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945
dicantumkan dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat
(1), (2), (3), (4), (5), dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun
2001. Kemudian ditambah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan

3
keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia benar-benar dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003.
Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai mahkamah ini selesai
disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003 No. 98, dan TLN-RI No.
4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi
yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus
2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus
2003, persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari
Senin, 18 Agustus 2003, adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19
Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat
pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal lain berkenaan dengan pelembagaan
lembaga baru ini.
Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19
Agustus 2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan
yang tersendiri dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan
Peralihan Pasal III UUD 1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan
Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan terbentuknya
Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan pengujian konstitusional
(constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu dijalankan oleh
Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.
Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi
dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas
perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu
berarti, mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya
dalam ketentuan konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam
kenyataan praktek sejak itu.

4
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribuna! Secara terpisah dari
mahkamah agung, yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat
ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang
pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma
yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama
kewenangan mahkamah konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah Agung dapat
di lihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun, dengan rasa
kebencian sampai dengan penerimaan yang luas. Revolusi Prancis dan konsep
separation of powers dari Rosseau dan Montesqiau merupakan bibit pengembangan
judicial review ke depan, dan keberhasilan awal tentara Napoleon serta pengaruh
yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Prancis, membawa sikap dan pendekatan
ini menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda. Akan tetapi,
pemikiran Amerika tentang judicial review setelah kasus Marbury Madison (1803)
dan kemudian kasus Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan
pembaruan di benua Eropa mulai berpikir bahwa mahkamah semacam itu mungkin
berguna juga di Eropa.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-
20, diminta menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang baru muncul
dari puing kekaisaran Astro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen
percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum
yang lebih tinggi (superior) dari Undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara
demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan
peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian,
sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk
menguasai Undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan
Undang-undang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang
mendirikan mahkamah konstitusi berdasar model itu untuk pertama sekali adalah
Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920,
rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.
Setelah perang dunia, gagasan mahkamah konstitusi dengan judicial review
menyebar ke seluruh Eropa, dengan mendirikan mahkamah konstitusi secara terpisah

5
dari mahkamah agung. Akan tetapi, Prancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda
dengan membentuk constitutional council (conseil constitutionel). Negara-negara
bekas jajahan Prancis mengikuti pola Prancis ini. Ketika Uni Soviet runtuh, bekas
negara-negara komunis di Eropa Timur semuanya mereformasi negerinya, dari
negara otoriter menjadi negara demokrasi konstitutional yang liberal. Konstitusi
segera direvisi dan dalam proses itu satu lembaga baru dibentuk, yaitu satu
mahkamah yang terdiri atas pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan
kewenangan untuk membatalkan Undang-undang dan peraturan lain jika ternyata
ditemukan bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu
konstitusi. Sampai sekarang sudah 78 negara yang mengadopsi sistem mahkamah
konstitusi yang didirikan terpisah dari mahkamah agungnya dan Indonesia
merupakan negara yang ke-78, dengan di undangkannya Undang-undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-undang mahkamah konstitusi)
pada tanggal 13 Agustus 2003, yang telah berlaku secara operasionalsejak
pengucapan sumpah 9 (sembilan) hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.2
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya
amandemen Undang-undang Dasar 1945. Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah
Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua,
mahkamah konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati
dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung
jawab. Ketiga, ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, mahkamah konstitusi
berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.3 Pada hakikatnya, fungsi utama
mahkamah konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan
konsisten dan menafsirkan konstitusi atau Undang-undang Dasar (the interpreter of
constitutions). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan mahkamah
konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan
ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat
penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitutional atau tidak oleh
mahkamah konstitusi.

6
Ketentuan umum tentang mahkamah konstitusi diatur dalam Pasal 24 C
Undang-undang Dasar 1945.
1. Susunan Keanggotaan
Di dalam mahkamah konstitusi terdapat tiga pranata (institusi), yaitu hakim
konstitusi, sekretariat jenderal, dan kepaniteraan, Pasal 7 Undang-undang No. 24
Tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi menyebutkan; “untuk kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, mahkamah konstitusi dibantu oleh sebuah
sekretariat jenderal dan kepaniteraan.” Artinya institusi utama dari mahkamah
konstitusi adalah sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakan
kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu dua institusi lainnya, yaitu
sekretariat jenderal dan kepaniteraan.
2. Hakim Konstitusi
Mahkamah konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan keputusan presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan
masing-masing tiga orang oleh mahkamah agung, tiga orang DPR, dan tiga orang
oleh Presiden.5 Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil dalam bersikap, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, dan tidak merangkap sebagai pejabat negara. 6 Agar dapat
diangkat menjadi hakim, seorang calon harus memenuhi syarat : (1) WNI; (2)
berpendidikan strata satu (S-1) bidang Hukum; (3) berusia sekurang-kurangnya 40
Tahun pada saat pengangkatan; (4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih; (5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan (6)
mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya sepuluh
tahun.7 Keberadaan masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang
otonom dan independen, tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan
sebagai pelaksanaan dari kewenangan konstitusionalnya. Dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara di mahkamah konstitusi, ketua dan wakil ketua
tidak dapat mempengaruhi pendapat para hakim lainnya, begitupun sebaliknya.

7
BAB III
KESIMPULAN

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan


diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. DPR dan
Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui
secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13
Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98
dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribuna! Secara terpisah
dari mahkamah agung, yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang
dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-
state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah
dengan norma yang lebih tinggi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :


Sinar Grafika, 2011) h. 3 27.

Jimmly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsilidasi Lembaga Negara, (Jakarta :


Bumi Aksara, 2010), h. 105

Titik Triwulan tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Kencana,
2010),

Jimly Asshiddiqie, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”,


(Jakarta: Konstitusi Press, 2006)

9
MAKALAH

“ SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI “

Disusun Oleh

Nama : SITTI SILVIANTY LUCKYTASARI


No Stambuk : D10116741

FAKULTAS HUKUM NON REGULER


UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2019/2020

10
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Puja dan Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah, dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul " Sejarah Mahkama Konstitusi " tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk
itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palu, Maret 2019


Penulis

11
Iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................... 2
C. TUJUAN .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 9

12
Iiii

Anda mungkin juga menyukai