Anda di halaman 1dari 2

1. Tidak adanya industri bahan baku.

Hal ini mengakibatkan 95% bahan baku masih


harus diimpor (harga bahan baku produksi dalam negeri tidak lebih murah ketimbang impor).
Ketergantungan impor belum diimbangi dengan upaya pengembangan bahan baku lokal.
Selain karena memerlukan biaya investasi yang tingi, daya dukung perlatan juga masih belum
memadai.

2. Idle kapasitas produksi industri farmasi nasional mencapai 50% karena belum
adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya, termasuk alternatif melalui toll
manufacturing maupun konsep production house.

3. Penerapan aturan internasional terhadap standardisasi industri farmasi terutama


menyangkut c-GMP, registrasi dan belum adanya koordinasi yang baik antara
pemerintah (BPOM) denga industri farmasi.

4. Kondisi industri farmasi nasional yang tidak merata. Di satu sisi terdapat
sejumlah kecil industri farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebas, baik
dari segi hardware, software maupun brainware (SDM), di sisi lain masih
banyak industri yang belum memenuhi tuntutan persyaratan internasional.

MASALAH UTAMA INDUSTRI FARMASI NEGARA BERKEMBANG

Dalam paper yang dikeluarkan oleh World Bank Pharmaceutical tahun 2000,
disebutkan bahwa negara-negara berkembang menghadapi lima masalah utama yang
berkaitan dengan industri farmasi dan obat-obatan, yaitu:

1. Significant Public and Private Expenditures.


Salah satu karakteristik negara berkembang (khususnya yang masuk dalam
kelompok negara miskin) adalah tingginya morbidity rate dan mortality rate yang
disebabkan oleh penyakit menular, baik yang merupakan existing diseases, emerging
diseases dan re-emerging diseases (Depkes, 2010).

Sebagian besar pengidap penyakit ini adalah masyarakat miskin yang jumlahnya
mendominasi populasi negara bersangkutan. Pemerintah menanggung beban sangat
besar dalam membiayai program kesehatan, khususnya untuk pelayanan kesehatan
dasar (primary health care) dan pengadaan obat-obat esensial (Depkes, 2010).

Karakteristik lain dari negara berkembang adalah belum sempurnanya sistem


pelayanan kesehatan yang berbasis asuransi. Akibatnya sebagian besar masyarakat
harus mengeluarkan uangnya sendiri (own pocket) untuk membiayai pelayanan
kesehatan, termasuk untuk membeli obat. Pengeluaran untuk belanja obat masyarakat
negara berkembang berkisar 10 sampai 40 persen dari anggaran kesehatan (public
health budget), sedangkan pengeluaran rata-rata negara-negara OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development) hanya 7 sampai 12 persen (Depkes,
2010).
Pengeluaran untuk belanja obat yang tinggi di sektor pemerintah dan sektor
swasta ini menimbulkan motivasi yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan
reformasi di sektor kesehatan, khususnya dalam hal pelayanan dan pembiayaan
kesehatan. Salah satunya dengan melakukan pengaturan dan pengendalian harga obat.
Tujuannya agar pengeluaran untuk belanja obat di sektor pemerintah dan sektor swasta
menjadi berkurang (Depkes, 2010).

Menurut Sampurno dan Ahaditomo dalam GP Farmasi (2003), di negara maju


asuransi kesehatan berperan sebagai kontrol harga obat. Obat-obat yang mahal
tidak akan masuk dalam daftar plafon harga obat yang mereka susun karena 70%
belanja obat ditanggung oleh asuransi. Di Indonesia, ada regulasi yang mengatur harga
obat sehingga produsen wajib mencantumkan harga tertinggi. Jadi, pengaturan
harga obat yang seharusnya dikontrol oleh pemerintah dengan mekanisme pasar, kini
dikontrol dengan regulasi harga (GPF, 2003).

2. Inadequate Regulatory Capacity

Kapasitas kelembagaan pemerintah (regulatory body) tidak memadai dalam


mengatur aktifitas industri farmasi. Pemerintah mendapatkan kesulitan dalam
pengaturan dan pengendalian harga obat, khususnya di sektor swasta. Upaya
pemerintah negara-negara berkembang untuk melakukan hal itu seringkali
menimbulkan situasi yang kontraproduktif dan mendorong terjadinya konflik
kepentingan antara industri farmasi dan pemerintah (Depkes, 2010).
Pada periode 1970 sampai 1980 pemerintah India menerapkan kebijakan
pembatasan harga (price limitation)core bussiness yang sebelumnya berbasis
manufacture menjadi importir dan distributor bagi produk farmasi. Akibatnya
pendapatan industri farmasi menjadi turun, keuntungan menyusut, upaya riset dan
pengembangan obat baru menjadi lemah. Investasi di bidang industri farmasi menjadi
tidak menarik. Banyak perusahaan farmasi menutup usahanya atau mengubah usahanya
(Depkes, 2010).

3. Inadequate Access to Essential Drugs

Penggunaan sumber daya farmasi yang tidak efisien di negara berkembang


secara substansial mengurangi akses masyarakat kepada obat-obat esensial. Belanja
obat sektor pemerintah menjadi boros akibat terjadinya inefisiensi di berbagai bidang,

Anda mungkin juga menyukai