Pemilihan Proses Gasifikasi PDF
Pemilihan Proses Gasifikasi PDF
14
Sumber: Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 6
Gambar 2.1 Metode Gasifikasi
15
dari bagian bawah reaktor. Selanjutnya batu bara, steam dan udara (O2) ini akan bereaksi
membentuk syngas. Mekanisme ini akan menyebabkan batu bara turun pelan-pelan selama
proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batu bara adalah lama yaitu sekitar 1 jam.
Proses gasifikasi dengan menggunakan tipe gasifier ini menghasilkan produk sisa berupa
abu.
(Higman & Burgt, 2003: 87)
Tipe gasifier moving-bed ini beroperasi pada suhu relatif yang rendah, yakni sekitar
900oC, oleh sebab itu batu bara yang akan menjadi umpan harus memiliki suhu leleh abu
(ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini bertujuan agar abu tidak meleleh, karena
apabila abu meleleh maka abu akan mengumpul di bagian bawah alat dan dapat menyumbat
bagian tersebut. Hal ini akan mengganggu proses gasifikasi yang terjadi.
Contoh: Lurgi Dry Ash Gasifier, British Gas Lurgi Gasifier, Ruhr 100 Gasifier.
(Basu, 2006: 74)
16
Syngas yang dihasilkan sulit sekali diprediksi sehingga kurang sesuai apabila
dipergunakan untuk produksi dalam skala besar.
Banyak menghasilkan N2 sehingga heating value produk gasifikasi rendah.
Kandungan tar dalam gas tinggi.
(Basu, 2006: 64 ; Higman & Burgt, 2003: 87)
17
Contoh: Winkler Gasifier, High Temperature Winkler (HTW) Gasifier, Kellog Brown and
Root (KBR) Transport Gasifier, Kellog Rust Westinghouse (KRW) Gasifier, U-
Gas Gasifier, Foster-Wheeler Partial Gasifier.
(Higman & Burgt, 2003: 101-128)
18
2.2.3 Entrained-Flow Gasifier
Dalam entrained-flow kontak antara serbuk batu bara dengan steam dan udara (O2)
dibuat sangat cepat sekali. Umpan yang digunakan untuk batu bara bisa berupa slurry feed
maupun dry feed. Ukuran batu bara yang masuk sangat halus, berukuran <0,1 mm.
(Higman & Burgt, 2003: 110)
Batu bara serbuk ini disemburkan ke gasifier bersama dengan aliran oksidan, dapat
berupa oksigen atau udara. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200-1500oC,
dengan waktu tinggal batu bara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi,
pada dasarnya tidak ada batasan jenis batu bara yang akan digunakan karena abunya akan
meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian,
batu bara sub-bituminous sampai dengan anthracite lebih disukai untuk gasifier jenis ini.
Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis
karena kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar.
Meskipun abu akan meleleh membentuk slag, tapi batu bara berkadar abu tinggi sebaiknya
dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu
dalam jumlah banyak. Batu bara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan
kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada gasifier pun dapat
ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada gasifier ini menyebabkan kandungan metana dalam gas
sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Contoh: Koppers-Totzek Gasifier, Shell Gasifier, Prenflo (PRessurized Entrained-FLOw)
Gasifier, Texaco Gasifier, Noell Gasifier, E-Gas Gasifier, Clean Coal Power
(CCP) Gasifier, Eagle Gasifier, Siemens Gasifier, Mitsubishi Heavy Industri
(MHI) Gasifier.
(Higman & Burgt, 2003: 109-139)
19
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 112
Gambar 2.4 Dry-Coal Feed Entrained-Flow Gasifier
20
Konversi karbon yang sangat tinggi (hampir 100%).
Ash yang dihasilkan adalah inert, hal ini terjadi karena banyaknya O2 yang digunakan.
Sangat cocok digunakan pada skala industri karena hasil gasifikasi yang banyak.
Kekurangan gasifier tipe entrained-flow:
Membutuhkan O2 dalam jumlah yang besar.
Gas yang dihasilkan bersuhu sangat tinggi.
Sulitnya pendinginan gas yang keluar dari gasifier.
Sulitnya pemilihan konstruksi pada combustion zone dikarenakan tingginya suhu pada
zone tersebut.
Ukuran reaktor lebih besar untuk space evaporasi air (jika menggunakan coal-water
slurry feed).
(Basu, 2006: 64 ; Higman & Burgt, 2003: 109-111)
21
Toleransi kekasaran Sangat baik Baik Buruk
partikel
Toleransi jenis Batu bara kualitas Batu bara kualitas Segala jenis batu
partikel rendah. rendah dan bara, tetapi tidak
biomassa. cocok untuk
biomassa.
Kebutuhan oksidan Rendah Menengah Tinggi
Kebutuhan steam Tinggi Menengah Rendah
Temperatur reaksi 1090°C 800-1000°C >1990°C
Temperatur gas 450-650°C 800-1000°C >1260°C
keluar gasifier
Efisiensi gas dingin 80% 89,2% 80%
Konversi batu bara 99% 97% 99%
menjadi syngas
Aplikasi Skala kecil Skala menengah- Skala besar
besar
Masalah dalam Produksi tar Konversi karbon Pendinginan raw
aplikasi syngas
Sumber: Basu, 2006: 64
Berikut ini adalah adalah aspek yang menjadi parameter dalam pemilihan gasifier.
Konversi.
Konversi selalu menjadi salah satu parameter dalam pemilihan reaktor,
karena konversi menyatakan seberapa besar karbon dalam batu bara dapat
bereaksi dengan media gasifikasi (oksigen dan steam). Fluidized-bed gasifier memiliki
konversi yang terendah di antara kedua bed lainnya, namun dengan menggunakan
teknologi HTW (adanya mekanisme recycle), konversi karbon dapat setara dengan kedua
bed tersebut (Basu, 2006: 74).
Jumlah media gasifikasi.
Media gasifikasi yang digunakan adalah steam dan oksigen, dimana yang
menjadi parameter di sini adalah jumlah media gasifikasinya. Semakin
banyak jumlah yang dibutuhkan, maka akan berdampak pada biaya utilitas
yang dibutuhkan yang nantinya akan berpengaruh secara ekonomi. Konsumsi media
22
gasifikasi fluidized-bed, baik oksigen maupun steam berada di tengah-tengah. Artinya,
ketiga jenis bed tersebut memiliki poin yang sama berdasarkan media gasifikasi.
Feedstock (coal rank).
Yang dimaksud dengan feedstock ini adalah jenis batu bara (coal rank)
yang menjadi umpan masukan. Karena di Indonesia ini batu bara yang
dihasilkan bervariasi jenisnya. Untuk low rank coal (lignite – sub-bituminous), penggunaan
entrained-flow bed kurang menarik sebab kandungan air low rank coal masih cukup tinggi
sehingga tidak ekonomis menggunakan jenis bed tersebut karena membutuhkan banyak
steam (Higman & Burgt, 2003: 111). Untuk moving-bed dan fluidized-bed memiliki poin
yang sama, sebab keduanya cocok digunakan untuk feedstock low rank coal.
Purity syngas (kemurnian syngas).
Produk yang dihasilkan berupa gas yang tentunya diharapkan
kemurniannya, terutama dari kandungan tar. Di antara ketiga jenis bed tersebut, moving
bed yang paling banyak menghasilkan tar, sedangkan entrained-flow yang paling sedikit.
Di lain pihak, kandungan tar dalam fluidized-bed dapat ditekan jika suhu pirolisis dapat
mencapai 1100-1200oC. Jika suhu tersebut tercapai, maka tar dapat terurai menjadi
hidrokarbon ringan. (Basu, 2006: 65).
Cost.
Cost atau biaya merupakan harga investasi dari unit reaktor yang digunakan.
Semakin tinggi suhu reaksi dalam gasifier, maka investasi untuk reaktor akan semakin
tinggi karena dibutuhkan material yang tahan akan suhu panas. Jika dilihat dari suhu
reaksinya, entrained-flow membutuhkan investasi yang paling besar sebab suhu reaksinya
yang paling tinggi. Sedangkan untuk moving-bed dan fluidized-bed, seperti yang telah
diringkaskan pada Tabel 2.1, range suhu reaksi dalam gasifier hampir sama sehingga dapat
dianggap investasinya sama.
(Habiburrohman, 2012: 30)
Kelima parameter diatas akan ditentukan urutan prioritasnya menggunakan software
Expert Choice, hasil dari pembobotan dapat dilihat pada tabel berikut.
23
Tabel 2.2 Hasil Pembobotan Setiap Parameter Pemilihan Reaktor
Parameter Bobot
Konversi 0,107
Jumlah media gasifikasi 0,079
Feedstock (coal rank) 0,334
Purity syngas 0,235
Cost 0,246
Sumber: Habiburrohman, 2012: 31
Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa urutan prioritas secara berurutan adalah feedstock (0,334),
cost (0,246), kemurnian syngas (0,235), konversi (0,107), dan terakhir media gasifikasi (0,079).
Batu bara yang digunakan bisa jadi bervariasi jenisnya sesuai dengan kondisi yang ada
di Indonesia. Dalam hal ini maka kemampuan fleksibilitas reaktor dalam memroses semua jenis
batu bara (coal rank) sebagai umpan dan dengan hasil produk yang masih stabil sangat penting.
Oleh karena, itu feedstock menjadi parameter utama dalam pemilihan ini. Kedua disusul oleh
cost yang merupakan harga investasi dimana akan berpengaruh terhadap analisis
keekonomian. Faktor ketiga adalah kemurian syngas, hal ini penting karena syngas yang
dihasilkan akan dijadikan sebagai bahan baku pupuk yang membutuhkan kemurnian dan rasio
H/C yang cukup ketat. Selain itu, semakin murni maka akan berdampak pada treatment yang
lebih mudah dan lebih ekonomis. Dan dua parameter yang terakhir adalah konversi dan media
gasifikasi. Berikutnya akan dilakukan pemilihan reaktor yang ada berdasarkan parameter-
paramater yang telah ditentukan. Dalam pemilihan ini juga digunakan software Expert Choice,
hasil penilaian disajikan dalam Tabel 2.3.
24
Pada Tabel 2.3 terlihat bahwa untuk setiap jenis reaktor sebenarnya mempunyai
kelebihan masing-masing, seperti moving-bed yang mempunyai kelebihan dalam hal
konversinya yang besar dan jumlah media gasifikasi yang kecil. Entrained-bed dengan
kemurnian produknya yang tinggi, dan fluidized-bed dengan jenis batu bara sebagai
umpannya dapat bervariasi. Setiap nilai tersebut akan digabungkan dan hasilnya akan dipilih
reaktor dengan nilai paling besar. Dari hasil pembobotan pada Tabel 2.3, maka ditetapkan
bahwa gasifier yang digunakan adalah jenis fluidized-bed. Jenis gasifier ini terpilih karena
jenis batu bara sebagai masukan dapat bervariasi yang merupakan parameter utama, selain
itu cost dari jenis ini lebih ekonomis daripada jenis lainnya.
(Habiburrohman, 2012: 32)
25
berkadar tinggi, sebab kandungan oksigen dalam udara kecil. Dengan demikian
diperlukan ukuran gasifier yang lebih besar. Ini akan mempengaruhi biaya pengadaan
alat.
3. Dari awal, tujuan syngas ini adalah untuk mensubstitusi pemakaian gas alam oleh PT
Pusri. Kita tahu bahwa sintesis amonia berjalan menurut reaksi:
3H2 (g) + N2 (g) 2NH3 (g)
Prioritas utama pemakaian gas alam adalah untuk menghasilkan H2 karena secara
teoretis dibutuhkan 3 mol H2 untuk bereaksi dengan 1 mol N2. Secara alamiah pastilah
kita akan memprioritaskan kebutuhan bahan baku yang lebih besar, apalagi N2 nantinya
akan diperoleh dengan mudah dari udara. Oleh karena itu, diharapkan syngas yang
digunakan sebagai pensubstitusi gas alam ini rendah kandungan N2 sehingga yield
produk H2 akan lebih besar seperti yang akan dipaparkan sebagai berikut. Sebelum
digunakan untuk sintesis amonia, dilakukan steam reforming terlebih dahulu terhadap
gas alam untuk menghasilkan hidrogen menurut reaksi:
CH4 (g) + H2O (g) CO (g) + 3H2 (g) ΔH = +206 kJ
CO (g) + H2O (g) CO2 (g) + H2 (g) ΔH = -41 kJ
(Liu, 2006: 19)
Secara keseluruhan, reaksi steam reforming adalah reaksi endotermis sehingga
dibutuhkan furnace untuk menaikkan temperatur reaksi. Bahan bakar yang digunakan
pada furnace adalah gas alam itu sendiri. Fungsi produk syngas di sini selain sebagai
substitusi gas alam sebagai bahan baku, juga bisa bertindak sebagai pengganti gas alam
yang digunakan untuk bahan bakar furnace. Dengan demikian, pemakaian gas alam
dapat diminimalisasi. Setelah melalui steam reforming, kandungan CO dalam gas masih
cukup besar. Untuk memperbesar yield dari H2, maka gas akan diproses di shift
converter reactor menurut reaksi:
CO (g) + H2O (g) CO2 (g) + H2 (g) ΔH = -41 kJ
(pusri.co.id/ina/amonia-proses-produksi-amonia)
Diharapkan kandungan CO yang tinggi dalam syngas dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan gas H2 yang akan digunakan sebagai bahan baku sintesis amonia yang
kemudian akan digunakan untuk sintesis urea (pupuk). Dengan begitu penggunaan gas
alam oleh PT Pusri ke depannya diharapkan dapat berkurang sehingga tidak terlalu
bergantung pada supply gas alam yang tidak menentu.
26
4. Pada akhirnya, tujuan syngas yang diproduksi ini hanya untuk mensubstitusi
penggunaan gas alam dan tidak mengubah proses yang sudah ada di pabrik tujuan.
Perbandingan antara ketiga metode diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Perbandingan Metode Pemurnian Syngas dari Senyawa Sulfur dan CO2
27
Membutuhkan space H2S sampai konsentrasi Tidak perlu space yang
yang luas. di bawah 10 ppbv, dapat luas.
digunakan adsorbant Mobilitas yang tiggi
CuO. (beberapa modul
membran dapat
dipasang di atas
kendaraan)
(Austin, 1984: 94).
Kurang cocok untuk
absorpsi CO2 dengan
kandungan yang tinggi.
Masih jarang
diaplikasikan dalam
industri.
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 298-314
Tabel 2.5 Perbandingan Pelarut Fisik (Selexol) dan Pelarut Kimia (MDEA)
Property Selexol MDEA
Tekanan uap (25 oC) 0,00073 mmHg 0,01 mmHg
Titik didih (760 mmHg) 175oC 247,2 oC
Viskositas (25 oC) 5,8 cPs 101 cPs
Kapasitas penyerapan 0,162 mol CO2/L 0,8 mol CO2/L
Perkiraan harga ($/lb) 1,32 1,4
Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49,1197 ; Higman & Burgt, 2003:302
28
Pelarut fisik maupun pelarut kimia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Selexol memiliki tekanan uap yang rendah sehingga kehilangan pelarut saat
regenerasi kecil. Selain itu, viskositas selexol cukup rendah sehingga energi yang diperlukan
untuk memompa pelarut masuk dalam absorber tidak terlalu besar. Di lain pihak, kapasitas
penyerapan CO2 oleh MDEA jauh lebih besar. Walaupun harganya lebih mahal, namun
MDEA sangat cocok bila digunakan untuk absorpsi dengan kandungan CO2 yang tinggi
(Kidnay, 2006: 105).
MDEA (Methyl Diethanole Amin) merupakan pelarut yang paling banyak digunakan
saat ini untuk absorpsi CO2. MDEA yang digunakan sebagai pelarut memiliki konsentrasi
antara 30-50% dengan solution loading 0,8 mol/mol. Sedangkan untuk pelarut amin lainnya,
seperti MEA dan DEA, solution loading-nya berturut-turut 0,25-0,45 mol/mol dan 0,4-0,8
mol/mol.
(Higman & Burgt, 2003: 302)
29
Diethanole Amine Tekanan uapnya lebih Dapat bereaksi dengan
(DEA) rendah dibanding MEA CO2 secara irreversible
sehingga dapat sehingga pelarut ini tak
meminimalisasi optimal jika digunakan
kehilangan massa saat untuk absorpsi gas
regenerasi. dengan kandungan CO2
Dapat digunakan untuk yang tinggi.
absorpsi gas yang yang
mengandung COS dan
CS2.
Methyl Diethanole Amine Tekanan uapnya sangat Akibat keselektifannya
(MDEA) rendah sehingga dapat yang tinggi terhadap
digunakan dengan H2S, maka akan terjadi
konsentrasi sampai CO2 slippage sehingga
60%wt. absorpsi CO2 kurang
Sangat selektif terhadap maksimal. Oleh karena
H2S. itu pelarut ini biasanya
Tidak korosif. digunakan untuk
Sudah banyak digunakan absorpsi gas CO2 tanpa
untuk absorpsi dengan adanya H2S.
kandungan CO2 yang Harganya paling mahal
tinggi. di antara pelarut amin
Energi untuk regenerasi lainnya.
rendah.
Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49-54 ; Kidnay, 2006: 98-99
30
berlangsung cepat, dan kecepatan reaksi dalam reaktor tinggi. Akibatnya, ukuran reaktor
hidrolisis COS kecil dan biaya reaktor hidrolisis COS sangat kecil dari biaya keseluruhan
pra desain pabrik berbasis gasifikasi.
(Bell, 2011: 115)
Dengan memperhatikan faktor ekonomi serta efisiensi proses, pemisahan COS
dilakukan melalui proses hidrolisis dan pemisahan H2S dilakukan dengan cara
mengadsorbnya menggunakan adsorben ZnO. Pemisahan CO2 dan H2S yang mungkin masih
ada dilakukan dengan cara absorbsi menggunakan solvent MDEA. Energi yang dibutuhkan
untuk meregenerasi MDEA paling kecil dibanding MEA ataupun DEA. Karena tekanan
uapnya rendah, maka kehilangan massa saat regenerasi dapat diminimalisasi. Selain itu,
MDEA yang notabene lebih tidak korosif, akan memperpanjang waktu pemakaian alat. Dan
yang paling penting, pemilihan solvent ini didasarkan pada kenyataan bahwasanya CO2
terdapat sangat banyak di dalam aliran syngas sehingga dibutuhkan pelarut dengan kapasitas
penyerapan yang tinggi.
31
Untuk batu bara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), parameter yang digunakan
adalah nilai kalori (calorific value)-nya.
Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).
(Kusuma, 2012: 43)
32
2. Sub-bituminus.
Properties-nya terletak pada range lignit sampai bituminus dan penggunaan utamanya
sebagai bahan bakar untuk steam electric power generation dan bahan bakar industri
semen.
3. Bituminus.
Batu bara tebal, biasanya hitam, kadang kala coklat tua, dapat berikatan dengan baik
dengan bahan-bahan bercahaya dan tumpul. Penggunaan utamanya sebagai bahan bakar
pada steam electric power generation dan bahan bakar tanur peleburan baja.
4. Antrasit.
Batu bara dengan kualitas tertinggi. Batu bara yang lebih kuat, mengkilap, dan hitam.
Utamanya digunakan untuk pemanasan komersial dan bricket.
(chem-is-try.org)
33
Sumber: chem-is-try.org
Gambar 2.7 Jenis Batu Bara dan Proses Pembentukannya
Kualitas batu bara berperan penting dalam menentukan kelas batu bara. Terdapat lima
unsur utama pembentuk batu bara, yaitu karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen
(N), dan sulfur (S). Penentuan kualitas batu bara dapat diperoleh dengan cara mengetahui
parameter kualitas pada batu bara. Hal ini dapat diketahui menggunakan analisa kimia dan
pengujian laboratorium terhadap sampel batu bara. Analisa kualitas batu bara terdiri dari dua
jenis, yaitu analisa proksimat dan analisa ultimat.
Analisa proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batu bara. Analisa ini
memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu:
1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batu bara. Besarnya kadar
air ditentukan melalui pengeringan selama 1 jam pada suhu 104-110oC (Higman &
Burgt, 2003: 45). Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan
batu bara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah
menguap dalam kondisi laboratorium.
Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat pada rongga (pori) dan
mineral yang terdapat dalam batu bara.
Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah
dengan kadar air bawaan.
2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar
sewaktu pembakaran batu bara. Kandungan utamanya adalah silika, alumina, oksida
besi, lime, dan sebagian kecil oksida magnesium, titanium oksida, alkali, serta senyawa
sulfur (Higman & Burgt, 2003: 45).
3. Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batu bara yang dapat
lepas atau menguap pada saat dipanaskan pada suhu 900oC. Penentuan besarnya kadar
34
zat terbang dilakukan dengan memanaskan batu bara dalam sebuah wadah pelebur
dengan waktu dan temperatur tertentu. Selisih massa awal dan massa setelah pemanasan,
dikurangi dengan kadar air, merupakan massa zat terbang pada kondisi tersebut (Higman
& Burgt, 2003: 45). Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter)
dan zat terbang organik (volatile organic matter).
4. Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batu
bara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan.
Analisa ultimat adalah analisa sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsur-
unsur pembentuk batu bara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang
penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batu bara. Unsur
yang diukur adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur (Higman & Burgt, 2003:
46)
(Kusuma, 2012: 42-43)
Batu bara kualitas rendah (Low Rank Coal/LRC) secara umum dalam praktek
komersial adalah batu bara yang memiliki kandungan panas yang rendah, yaitu kurang dari
5.100 kCal/kg, termasuk juga peringkat batu bara mulai dari lignit hingga sub-bituminus B
yang memiliki kandungan panas kurang dari 9.500 BTU/lb (<5.278 kCal/kg). Dengan
demikian dipilih batu bara dengan kalori terendah yang berasal dari PT Bukit Asam (Persero)
Tbk. dengan spesifikasi seperti pada Tabel 2.8 berikut.
35
4. Ultimate Analysis
Carbon (C) (%, ad) 63,9
Hydrogen (H) (%, ad) 5,2
Oxygen (O) (%, ad) 28,5
Nitrogen (N) (%, ad) 1,6
Sulphur (S) (%, ad) 0,8
Sumber: Arullah dkk., 2010 ; Laporan Tahunan PT BA, 2013: 45
36
menghindari korosi pada alat dan menghindari lepasnya senyawa sulfur ke lingkungan saat
proses pembakaran, carbon oxide (CO dan CO2), dan air (Higman & Burgt, 2003: 233).
Di samping itu, produk samping berupa CO2 dengan kemurnian 90% dapat digunakan
sebagai bahan baku sintesis urea. Namun, produk samping CO2 ini perlu treatment lanjutan
untuk menghilangkan kandungan airnya, mengingat CO2 yang dapat digunakan untuk
sistesis urea konsentrasinya harus lebih dari 98,5% (Higman & Bugt, 2003: 233).
Berdasarkan spesifikasi standar syngas tersebut, maka target kualitas produk syngas
pada pabrik ini adalah seperti pada Tabel 2.9.
37
Titik leleh : -207oC.
Titik didih : -192oC.
Specific gravity : 0,81 pada -195oC.
Kelarutan : 3 cc dalam 100cc air pada 0oC ; larut dalam alkohol ; tidak
: larut dalam eter.
Sifat kimia karbon monoksida:
Karbon monoksida bereaksi dengan hidrogen menghasilkan gas metana:
CO (g) + 3H2 (g) ---> CH4 (g) + H2O (g)
2. Hidrogen (H2).
Sifat fisika hidrogen (Perry, 2008: 2-15):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul : 2,02 g/mol.
Titik leleh : -259,1oC.
Titik didih : -252,7oC.
Specific gravity : 0,0709 pada -252,7oC (liquid) ; 0,0608 (referred to air).
Kelarutan : 2,1 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 0,85 cc dalam 100cc air
pada 85oC.
Sifat kimia hidrogen (Vogel, 1989) sebagai berikut.
Hidrogen dapat digunakan sebagai potensial standar oksidasi-reduksi pada
temperatur 25oC sebesar 0 volt. Reaksi: H2 + 2e- ---> 2H+
3. Metana (CH4).
Sifat fisika metana (Perry, 2008: 2-40):
Gas.
Berat molekul : 16,04 g/mol.
Titik leleh : -182,6oC.
Titik didih : -161,4oC.
Specific gravity : 0,415 pada -164oC.
Kelarutan : 0,4 cc dalam 100cc air pada 20oC ; 47 cc dalam 100cc
alkohol pada 20oC ; 104 cc dalam 100cc eter pada 10oC.
4. Karbon dioksida (CO2).
Sifat fisika karbon dioksida (Perry, 2008: 2-12):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul : 44,01 g/mol.
38
Titik leleh : -56,6oC pada 5,2 atm.
Titik didih : -78,5oC (menyublim).
Specific gravity : 1,101 pada -87oC (liquid) ; 1,53 (referred to air) ; 1,56 pada
- -79oC (solid).
Kelarutan : 179,7 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 90,1 cc dalam 100cc air
pada 20oC ; larut dalam larutan asam dan alkali.
5. Nitrogen (N2).
Sifat fisika nitrogen (Perry, 2008: 2-20):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul : 28,01 g/mol.
Titik leleh : -209,86oC.
Titik didih : -195,8oC.
Specific gravity : 1,026 pada -252,5oC ; 0,808 pada -195,8oC ; 12,5 pada 0oC
(referred to hydrogen).
Kelarutan : 2,35 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 1,55 cc dalam 100cc air
pada 20oC ; larut sebagian kecil dalam alkali.
2.7 Kapasitas
Kapasitas pada Pabrik Syngas dari Gasifikasi Batu Bara Kualitas Rendah sebagai
Pasokan Gas Pabrik Pupuk ini adalah sebagai berikut.
Umpan batu bara = 617.760 ton/tahun.
Kapasitas produk syngas = 653.000 ton/tahun (sekitar 29.000 MMSCF per tahun).
39
Tabel 2.10 Kondisi Alam Tanjung Enim
Parameter Nilai
Kelembaban udara (%) 52-96
Suhu (oC) 23-33
Curah hujan (mm/tahun) 3,6-332,8
Gempa (SR) -
Kecepatan angin (km/jam) 25
Sumber: www.bmkg.go.id
Gambar 2.8 Block Flow Diagram Proses Pembuatan Syngas dari Batu Bara
40
mudah terbakar sehingga kontak batu bara dengan oksigen yang dapat memicu reaksi
pembakaran sebisa mungkin dihindari (Mujumdar, 2006: 1018). Batu bara yang kandungan
airnya telah diuapkan kemudian diangkut oleh scrapper conveyor (J-121) untuk dimasukkan
ke dalam bunker (F-211) dengan bantuan bucket elevator (J-122). Dari bunker, batu bara
dimasukkan ke dalam lock hopper (F-212) untuk dinaikkan tekanannya dari tekanan
atmosfer (1,01 bar) menjadi 31 bar menggunakan gas inert. Kenaikan tekanan ini bertujuan
untuk menyesuaikan tekanan batu bara dengan tekanan operasi gasifier. Dari lock hopper,
batu bara dikeluarkan melalui mekanisme air lock dan dimasukkan ke dalam gasifier
menggunakan screw conveyor (J-213). Mekanisme air lock ini memungkinkan untuk
mengeluarkan batu bara dari lock hopper tanpa ikut sertanya gas inert (Rautalin & Wilen,
1992: 12).
41
147). Karena temperatur dalam gasifier cukup tinggi (1.000oC), maka diasumsikan tak ada
tar atau minyak berat yang terbentuk. Reaksi pirolisis:
Batu bara C (s) + CH4 + CO + CO2 + H2 + H2O+ H2S + COS + N2 + Ash (s)
(Cherimisinoff & Rezaiyan, 2005: 17; Higman & Burgt, 2003: 31)
Karbon hasil pirolisis akan mengalami reaksi pembakaran dengan O2 yang berasal dari
tangki penyimpan. Sebagian besar O2 yang diinjeksikan dalam gasifier ini akan digunakan
untuk zona pembakaran. Proses pembakaran ini menghasilkan karbon dioksida, karbon
monoksida, dan uap air, yang menyediakan panas untuk reaksi gasifikasi selanjutnya.
Pirolisis dan pembakaran adalah proses yang sangat cepat. Reaksi-reaksi pembakaran:
C (s) + ½O2 CO ∆H = -111MJ/kmol
CO + ½O2 CO2 ∆H = -283 MJ/kmol
H2 + ½O2 H2O ∆H = -242 MJ/kmol
(Higman & Burgt, 2003: 10)
Reaksi gasifikasi terjadi karena karbon bereaksi dengan karbon dioksida dan steam
untuk menghasilkan karbon monoksida dan hidrogen. Reaksinya:
a) Reaksi Boudouard: C (s) + CO2 2CO ∆H = +172 MJ/kmol
b) Reaksi Water Gas: C (s) + H2O CO + H2 ∆H = +131 MJ/kmol
c) Reaksi Shift Convertion: CO + H2O CO2 + H2 ∆H = -41 MJ/kmol
d) Reaksi Metanasi: C (s) + 2H2 CH4 ∆H = -75 MJ/kmol
(Higman & Burgt, 2003: 10)
Reaksi Boudouard merupakan reaksi endotermis yang menghasilkan CO. Reaksi
water gas dan shift convertion merupakan reaksi utama pada gasifikasi batu bara karena pada
reaksi ini dihasilkan syngas H2 dan CO beserta dengan CO2 sebagai hasil samping. Dan yang
terakhir reaksi samping metanasi yang menghasilkan metana dalam jumlah yang sedikit.
Karbon (char) yang tidak bereaksi dan 10% dari total ash turun sebagai slag di bagian
bottom (Basu, 2006: 320). Syngas yang keluar dari gasifier akan menuju cyclone (H-217)
untuk memisahkan ash yang terbawa keluar, lalu menuju ke waste heat boiler 1 (E-311)
untuk didinginkan. Syngas didinginkan dengan media pendingin air dari suhu 1.000°C
menjadi 300oC. Proses pendinginan ini menghasilkan steam yang dapat digunakan untuk
untuk proses selanjutnya.
42
2.10.3 Unit Purifikasi Gas
Syngas dari gasifier masih mengandung berbagai senyawa pengotor, seperti H2S,
COS, dan CO2. Adanya senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan risiko korosi pada
peralatan dan merusak katalis, termasuk katalis dalam proses pembuatan pupuk. Oleh karena
itu syngas perlu dimurnikan terlebih dahulu.
(Higman & Burgt, 2003: 208)
Karbonil sulfida bukan merupakan gas asam, maka hidrolisis COS untuk membentuk
H2S sering dilakukan untuk pemurnian sulfur yang terkandung dalam COS. Tujuan
pengonversian COS menjadi H2S disebabkan adsorben yang digunakan untuk proses
desulfurisasi lebih selektif terhadap H2S daripada COS. Reaksi hidrolisis terjadi di COS
hydrolysis reactor (R-310) dengan suhu operasi 303oC dan tekanan 29 bar dengan bantuan
katalis chromia-alumina.
COS + H2O ↔ H2S + CO2
(Bell, 2011: 115)
Setelah semua sulfur terdapat dalam bentuk senyawa H2S, kemudian dilakukan proses
pemisahan terhadap H2S. Unit pemisahan senyawa sulfur adalah tangki desulfurizer (D-320)
yang bekerja pada suhu 310oC dan tekanan 28,5 bar dengan bantuan adsorben ZnO.
Reaksinya sebagai berikut.
H2S + ZnO (s) H2O + ZnS (s)
Pada umunya, adsorben ZnO tidak dapat diregenerasi. Akibatnya, adsorben ini kurang
praktis jika digunakan untuk adsorpsi dengan konsentrasi H2S yang tinggi (Bell, 2011: 128).
Untuk keperluan downstream industri pupuk, kandungan H2S di aliran syngas yang keluar
dari tangki desulfurizer diharapkan dapat kurang dari 1 ppmv (Higman & Burgt, 2003: 233).
Syngas dari desulfurizer yang bebas dari kandungan H2S kemudian diturunkan
suhunya melalui waste heat boiler 2 (E-333) sehingga suhunya menjadi 50oC. Media
pendingin yang digunakan adalah air. Proses pendinginan ini juga menghasilkan steam yang
dapat digunakan untuk proses lainnya. Penurunan suhu bertujuan untuk menaikkan
%recovery dari absorber karena absorber bekerja lebih baik pada suhu yang rendah dan
tekanan tinggi. Selanjutnya, syngas dialirkan menuju kolom absorber (D-330) yang
beroperasi pada suhu 50oC dan tekanan 27 bar. Pelarut MDEA 40% berat dari MDEA storage
tank (F-331) diumpankan ke kolom absorber dengan bantuan MDEA pump (L-332). Larutan
MDEA akan mengabsorb gas CO2, dan kemudian keluar menuju stripper (D-340) untuk
proses recovery kembali pelarut. Sedangkan produk syngas bersih yang keluar dari absorber
dialirkan melalui gas pipeline.
43
Untuk melakukan recovery pelarut, larutan MDEA kaya CO2 (rich-amine) yang keluar
dari kolom absorber diturunkan tekanannya dari 27 bar menjadi 3,52 bar dengan expansion
valve. Penurunan tekanan ini bertujuan untuk meyesuaikan tekanan rich-amine dengan
tekanan operasi stripper. Kemudian suhu rich-amine dinaikkan suhunya dengan cara
melewatkannya di lean-rich amine heat exchanger (E-341). Stripper beroperasi pada suhu
125oC dan tekanan 2,03 bar. Untuk mengambil CO2 dari pelarut, digunakan superheated
steam dengan tekanan 2,03 bar dan suhu 125oC. Steam akan men-strip CO2 dan keluar
bersama-sama dari stripper menuju stripper outlet cooler (E-342) untuk didinginkan hingga
suhu 45oC. Pendinginan ini bertujuan untuk mengkondensasi aliran gas CO2 dan steam
sehingga diperoleh fase campuran. Lean-amine yang keluar dari stripper dialirkan kembali
ke lean-rich amine exchanger untuk diturunkan suhunya menjadi 70oC. Lean-amine ini
kemudian diumpankan kembali ke absorber dengan bantuan MDEA recovery pump (L-334).
Aliran CO2 dan steam yang berada dalam fase campuran dipisahkan dalam separator (H-
343) untuk mendapatkan gas CO2 yang lebih murni. Gas CO2 yang lebih murni dialirkan
menuju gas pipeline untuk proses sintesis urea.
44