Anda di halaman 1dari 8

Konjungtivitis Bakterialis Infantil Resisten di Mesir: Sebuah Studi Mikrobiologi

Aiman Abdeltawwab Hashish, MD; Molham Abdelhafez Elbakary, MD; Waleed Abdelhady
Allam, MD

ABSTRAK
Tujuan: Untuk mempelajari aspek mikrobiologis dari konjungtivitis bakterialis infantil
yang resisten terhadap terapi antibiotik topikal empiris di Mesir.
Metode: Sembilan puluh dua mata dari 86 bayi dengan konjungtivitis bakterialis
dimasukkan dalam penelitian prospektif ini. Seluruhnya tidak menunjukkan bukti perbaikan
klinis setelah pemberian terapi antibiotik topikal empiris selama 2 minggu. Usap
konjungtiva diambil dari semua pasien untuk dilakukan kultur bakteri dan uji sensitivitas
antibiotik.
Hasil: Usia peserta berkisar antara 4 hingga 6 bulan. Hasil kultur menunjukkan infeksi oleh
organisme soliter pada 48,9% mata. Pertumbuhan bakteri campuran dilaporkan pada 47,8%
mata, sedangkan 3,3% mata tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri. Organisme yang
paling sering ditemukan dalam isolasi kultur adalah Staphylococcus aureus, Streptococus
pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa. Organisme tersebut sangat sensitif terhadap
fluoroquinolon (levofloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, dan norfloxacin), diikuti oleh
kloramfenikol, vankomisin, dan amikasin, dan resisten terhadap karbapenem (imipenem
dan meropenem), asam fusidat, dan pipracel.
Kesimpulan: Kultur bakteri dan uji sensitivitas antibiotik memberikan informasi
diagnostik dan terapeutik yang bermanfaat ketika menemukan kasus konjungtivitis bakteri
yang resisten pada bayi.

PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah penyakit yang sering dijumpai yang ditandai oleh konjungtiva
edema dan hiperemis, dan biasanya disertai dengan sekret yang bervariasi.1 Konjungtivitis
bakterialis dilaporkan sebagai jenis konjungtivitis infeksi terbanyak kedua yang paling
sering ditemukan setelah konjungtivitis virus,2-4 dan merupakan penyebab utama
konjungtivitis akut pada anak-anak dengan angka prevalensi 50% hingga 75% kasus.5,6
Umumnya kasus ini pada awalnya ditangani oleh dokter umum dan diberikan
pengobatan antibiotik yang dipilih secara empiris tanpa studi mikrobiologis sebelumnya.7,8
Aspek mikrobiologis konjungtivitis bakterial sebelumnya telah dipelajari dan banyak
organisme yang diduga sebagai penyebab (contohnya, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, dan Haemophilus influenzae).9,10 Penelitian prospektif ini
dilakukan untuk menganalisis aspek mikrobiologis konjungtivitis bakterialis infantil yang
resisten terhadap terapi inisial antibiotik topikal empiris di Mesir.

PASIEN DAN METODE


Desain penelitian yang digunakan adalah studi prospektif dengan sampel yang
diambil adalah bayi yang dirujuk ke klinik rawat jalan Rumah Sakit Mata Universitas Tanta
dari Januari 2014 hingga Desember 2016, dengan diagnosis klinis konjungtivitis bakterialis
yang gagal menunjukkan perbaikan setelah 2 minggu pengobatan dengan antibiotik topikal
tetes empiris. Penelitian ini mengikuti prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki, informed consent
diperoleh dari wali sah semua peserta, dan penelitian ini telah disetujui oleh komite etik
institusional. Kapan pun memungkinkan, dilakukan pencatatan durasi pemakaian, dosis,
serta jenis antibiotik empiris yang digunakan. Pemeriksaan oftalmologis menyeluruh
dilakukan pada semua pasien untuk menyingkirkan kemungkinan konjungtivitis tipe lain
dan penyebab mata merah lainnya. Pasien dengan kondisi mengakibatkan timbulnya sekret
rekuren atau persisten seperti obstruksi saluran nasolakrimal kongenital, entropion
kongenital, dan epiblepharon merupakan kriteria ekslusi dari penelitian ini.
Pengobatan yang telah diberikan sebelumnya dihentikan selama 48 jam dan usap
konjungtiva diambil dari semua pasien untuk kultur bakteri dan uji sensitivitas antibiotik.
Kulit di sekitar mata dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi dengan larutan
garam steril, kemudian didesinfeksi dengan larutan povidone-iodine. Ujung swab steril
disapukan melewati forniks bagian bawah, tanpa mengenai bulu mata dan margin kelopak
mata. Swab kemudian diseka di atas permukaan cawan dari media kultur berikut: (1) agar
MacConkey untuk mendeteksi Enterobacteriaceae; (2) agar darah untuk mendeteksi
stafilokokus dan streptokokus; (3) agar coklat untuk mendeteksi Neisseria gonorrhoeae dan
Haemophilus influenzae; (4) agar Loffler untuk mendeteksi spesies Moraxella dan
mikroorganisme fastidious lainnya; dan (5) agar sabouraud dextrose untuk mendeteksi
spesies Candida dan Aspergillus.
Cawan diinkubasi secara aerobik pada suhu 30° C hingga 35° C selama 48 jam
kecuali agar coklat, yang diinkubasi dalam kondisi karbon dioksida pada suhu 30° C hingga
35° C selama 48 jam. Cawan untuk pertumbuhan jamur diinkubasi pada 20° C hingga 25°
C selama 72 jam. Setelah periode inkubasi yang ditentukan, berbagai bentuk pertumbuhan
mikroba, diidentifikasi menggunakan sistem identifikasi yang disetujui. Uji sensitivitas
dilakukan pada isolat bakteri menggunakan 36 jenis antibiotik yang berbeda. Untuk
menghindari penyimpangan hasil, dalam kasus bilateral, hasil isolat pada mata yang
berbeda dilaporkan hanya jika mereka mengungkapkan pertumbuhan bakteri yang berbeda.

HASIL
Penelitian ini melibatkan 92 mata dari 86 bayi: 47 (54,65%) laki-laki dan 39
(45,35%) perempuan. Usia pasien berkisar antara 4 hingga 6 bulan. Pada tiga puluh
sembilan pasien (45,35%) terdapat riwayat penggunaan tetes mata tobramisin dan tidak
menunjukkan perbaikan, sedangkan 26 pasien (30,23%) menggunakan asam fusidat dan 21
pasien (24,42%) tidak dapat menentukan antibiotik mana yang digunakan. Empat belas
kasus adalah konjungtivitis bilateral dan 72 kasus lainnya adalah konjungtivitis unilateral.
Setelah 48 jam diinkubasi, 8 dari kasus bilateral (57,1%) menunjukkan adanya
organisme yang sama di kedua mata, sedangkan dalam 6 kasus (42,9%) menunjukkan
adanya organisme yang berbeda dari tiap mata dan dicatat sebagai isolat yang berbeda.
Empat puluh lima sampel (48,9%) menunjukkan keberadaan organisme soliter, 35 sampel
(38%) menunjukkan infeksi campuran dengan dua organisme berbeda, 9 sampel (9,8%)
menunjukkan infeksi campuran dengan tiga organisme berbeda, dan 3 sampel (3,3%) steril
(kultur negatif), dengan jumlah total 142 pertumbuhan bakteri yang diidentifikasi.
Staphylococcus aureus adalah organisme yang paling sering terisolasi baik secara terpisah
atau dalam infeksi campuran (35 sampel; 24,65%). Pertumbuhan Streptococcus
pneumoniae ditemukan dalam dalam 31 sampel (21,83%), Pseudomonas aeruginosa
ditemukan dalam 18 sampel (12,68%), dan Staphylococcus aureus koagulase positif dalam
13 sampel (9,15%). Candida albicans ditemukan berkembang pada 14 sampel (15,22%)
(Tabel 1).

Tabel 1. Berbagai Jenis Mikroorganisme yang Diidentifikasi dalam Penelitian ini


Mikroorganisme Nomor Sampel yang Diidentifikasi
Staphylococcus aureus koagulase negatif 35
Streptococcus pneumoniae 31
Pseudomonas aeruginosa 18
Staphylococcus aureus koagulase positif 13
Enterokokus 7
Acinetobacter 7
Escherichia coli 6
Moraxella lacunata 6
Klebsiella 6
Hemophilus influenza 5
Streptococcus viridians 4
Corynebacterium jeikeium 2
Streptococcus pyogenes 1
Enterobacteriaceae 1

Uji sensitivitas antibiotik dilakukan pada semua koloni bakteri yang diisolasi
terhadap 36 antibiotik yang berbeda. Sebagian besar pertumbuhan bakteri menunjukkan
sensitivitas yang tinggi terhadap levofloxacin, yang berhasil mengeradikasi sebanyak 108
pertumbuhan bakteri (76,1%). Ciprofloxacin, ofloxacin, dan norfloxacin sangat efektif
terhadap pertumbuhan bakteri, dengan angka keberhasilan masing-masing adalah; 105
(74%), 104 (73,2%), dan 102 (71,8%). Kloramfenikol ditemukan sangat efektif terhadap
100 pertumbuhan bakteri (70,4%), vankomisin terhadap 94 pertumbuhan bakteri (66,2%),
dan amikasin terhadap 93 pertumbuhan bakteri (65,5%).
Di sisi lain, 130 (91,5%) pertumbuhan bakteri resisten terhadap imipenem.
Resistensi terhadap meropenem dilaporkan dalam 128 (90,1%) pertumbuhan bakteri, asam
fusidat di 125 (88%) pertumbuhan bakteri, piperasilin di 124 (87,3%) pertumbuhan bakteri,
dan penisilin pada 115 (81%) pertumbuhan bakteri (Tabel 2).
Tabel 2. Sensitivitas Mikroorganisme Teridentifikasi terhadap 36 Antibiotik yang Diuji
Jumlah Jumlah Jumlah
Mikroorganisme Mikroorganisme Mikroorganisme
Antibiotik dengan dengan Resisten
Sensitivitas Sensitivitas
Tinggi Sedang
1. Levofloxacin 108 (76.1) 7 (4.9) 27 (19)
2. Ciprofloxacin 105 (74) 17 (12) 20 (14)
3. Ofloxacin 104 (73.2) 18 (12.7) 20 (14.1)
4. Norfloxacin 102 (71.8) 19 (13.4) 21 (14.8)
5. Kloramfenikol 100 (70.4) 7 (4.9) 35 (24.7)
6. Vankomisin 94 (66.2) 0 (0) 48 (33.8)
7. Amikasin 93 (65.5) 31 (21.8) 18 (12.7)
8. Cefepime 92 (64.8) 9 (6.3) 41 (28.9)
9. Gatifloxacin 90 (63.4) 17 (12) 35 (24.6)
10. Linezolid 83 (58.5) 2 (1.4) 57 (40.1)
11. Cefoperazone 79 (55.6) 13 (9.2) 50 (35.2)
12. Basitrasin 76 (53.5) 5 (3.5) 61 (43)
13. Rifampisin 72 (50.7) 18 (12.7) 52 (36.6)
14. Tobramisin 69 (48.6) 47 (33.1) 26 (18.3)
15. Klindamisin 69 (48.6) 5 (3.5) 68 (47.9)
16. Gentamisin 68 (47.9) 37 (26.05) 37 (26.05)
17. Ceftazidime 63 (44.4) 25 (17.6) 54 (38)
18. Ceftriaxone 62 (43.7) 23 (16.2) 57 (40.1)
19. Azithromisin 53 (37.3) 12 (8.5) 77 (54.2)
20. Erythromisin 52 (36.6) 11 (7.8) 79 (55.6)
21. Cefotaxime 51 (35.9) 17 (12) 74 (52.1)
22. Klarithromisin 50 (35.2) 8 (5.6) 84 (59.2)
23. Cefoxitin 48 (33.8) 16 (11.3) 78 (54.9)
24. Cefuroxime 44 (31) 23 (16.2) 75 (52.8)
25. Cefaclor 42 (29.6) 6 (4.2) 94 (66.2)
26. Neomisin 39 (27.5) 46 (32.4) 57 (40.1)
27. Cefixime 37 (26.1) 4 (2.8) 101 (71.1)
28. Oxitetrasiklin 28 (19.7) 18 (12.7) 96 (67.6)
29. Ampisilin 27 (19) 5 (3.5) 110 (77.5)
30. Aztreonam 25 (17.6) 6 (4.2) 111 (78.2)
31. Penisilin 25 (17.6) 2 (1.4) 115 (81)
32. Tetrasiklin 24 (16.9) 26 (18.3) 92 (64.8)
33. Piperasilin 15 (10.6) 3 (2.1) 124 (87.3)
34. Asam Fusidat 13 (9.2) 4 (2.8) 125 (88)
35. Meropenem 13 (9.2) 1 (0.7) 128 (90.1)
36. Imipenem 12 (8.5) 0 (0) 130 (91.5)
DISKUSI
Konjungtivitis infektif adalah suatu kondisi umum yang banyak ditemukan pada
bayi dan anak usia sekolah.11 Konjungtivitis bakterialis biasanya ditandai dengan sekret
purulen atau mukopurulen, yang lebih umum ditemukan.12 Banyak kasus yang mungkin
muncul dengan presentasi yang tidak spesifik, dengan jenis sekret mungkin tidak
mengarahkan pada diagnosis yang benar. Rietveld et al.13 melaporkan bahwa hasil dari 35%
kultur terbukti sebagai kasus konjungtivitis bakterialis dengan sekret serosa atau bahkan
tanpa sekret. Pada penelitian tersebut ditemukan adanya sekret kombinasi pada kelopak
mata, tidak ada gatal, dan tidak terdapat riwayat konjungtivitis adalah bukti kuat pada kasus
konjungtivitis bakterialis.14 Diagnosis konjungtivitis bakterialis dibuat berdasarkan temuan
klinis dan pemeriksaan mikrobiologis tidak dilakukan secara rutin dalam setiap kasus.11
Usap konjungtiva dianjurkan jika pengobatan gagal, dan dianjurkan untuk diambil beberapa
hari setelah menghentikan obat-obatan yang sebelumnya digunakan.15
Organisme yang paling umum dicurigai sebagai penyebab konjungtivitis bakterialis
telah dilaporkan dalam banyak studi. Seal et al.7 menemukan bahwa Staphylococcus
aureus, Spesies Coliform, Haemophilus influenzae, dan Streptococcus viridians adalah
organisme penyebab yang paling umum ditemukan pada bayi berusia 1 tahun atau lebih
muda. Mahajan16 menemukan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan
Streptococcus pneumoniae lebih sering ditemukan dalam kasus konjungtivitis bakterialis.
Epling dan Smucny17 melaporkan bahwa Haemophilus influenzae, diikuti oleh
Streptococcus pneumoniae dan Moraxella catarrhalis adalah organisme penyebab
tersering, terutama pada anak-anak.17 Aspek mikrobiologis pada konjungtivitis bakterialis
infantil resisten yang tidak merespons terhadap pengobatan antibiotik empiris belum pernah
dipelajari sebelumnya. Dalam penelitian ini, organisme yang paling sering ditemukan
dalam isolasi adalah Staphylococcus aureus koagulase-negatif, Streptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus koagulase-positif. Infeksi campuran
oleh dua organisme berbeda dilaporkan di 38% kasus dan oleh tiga organisme di 9,8%
kasus.
Jefferis et al.18 menemukan bahwa konjungtivitis akut dapat terjadi sebagai sebuah
kondisi self-limiting yang tidak memerlukan perawatan antibiotik. Mereka menemukan
manfaat yang signifikan dari pengobatan antibiotik pada pasien dengan sekret purulen atau
mata merah yang ringan. Studi lain melaporkan bahwa, pengobatan antibiotik topikal pada
kasus konjungtivitis bakterialis dapat meningkatkan tingkat penyembuhan pada pasien
dengan kultur positif, mengurangi risiko penyebaran infeksi, dan memperpendek perjalanan
penyakit.11,19 Di Mesir, bayi dan anak-anak dengan sekret konjungtiva biasanya diresepkan
obat tetes mata antibiotik topikal empiris seperti tobramisin atau asam fusidat untuk
mempersingkat perjalanan penyakit dan membatasi penyebaran infeksi.
Dalam banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan ditemukan antara antibiotik spektrum luas tetes mata pada pasien yang secara
klinis didiagnosis memiliki konjungtivitis bakterialis.20,21 Pilihan antibiotik tetes mata
didasarkan pada ketersediaan, riwayat alergi pasien, efek samping obat, dan juga biaya.8,11
Menurut studi sensitivitas, beberapa penulis merekomendasikan penggunaan
kloramfenikol, ciprofloksasin, tobramisin, asam fusidat, dan gatifloxacin.10,22,23,24 Beberapa
studi klinis telah melaporkan kepatuhan pengobatan yang lebih baik dengan penggunaan
asam fusidat.21,23 Karena risiko komplikasi serius seperti anemia aplastik, maka
kloramfenikol topikal jarang diresepkan di Amerika Serikat.25 Sebaliknya, dua studi kasus-
kontrol internasional yang melibatkan sekitar 40 juta populasi mengidentifikasi lebih dari
400 kasus anemia aplastik, dan tidak satu pun dari mereka yang menggunakan
kloramfenikol tetes mata.26 Dalam tinjauan berbasis data praktik umum Inggris, Lancaster
et al.27 hanya menemukan risiko efek samping hematologis serius yang kecil terkait
kloramfenikol tetes mata (3 per 674.148 resep) dan menyimpulkan bahwa penggunaan
kloramfenikol topikal berkelanjutan adalah sebuah opsi klinis yang aman.
Dalam penelitian ini, mikroorganisme yang diisolasi dari bayi dan tidak membaik
dengan pengobatan empiris awal ditemukan sangat sensitif terhadap fluoroquinolones
(levofloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, dan norfloxacin), diikuti oleh kloramfenikol,
vankomisin, dan amikasin. Akan tetapi penggunaan fluoroquinolones pada anak-anak
masih kontroversial karena masalah keamanan. Terdapat kemungkinan terjadinya
komplikasi muskuloskeletal (tetapi yang dilaporkan hanya sebesar 2% atau kurang)
menghasilkan penggunaan terbatas kelompok obat ini pada anak-anak.28 Telah dilaporkan
bahwa arthralgia dan arthropathy jarang terjadi pada anak-anak yang menggunakan
fluoroquinolon sistemik dan teratasi sepenuhnya setelah penghentian obat tanpa komplikasi
jangka panjang.29 Di sisi lain, penulis lain melaporkan bahwa fluoroquinolone tetes mata
topikal seperti ciprofloxacin, levofloxacin, dan ofloxacin aman dan efektif pada anak-anak
dengan konjungtivitis bakterialis.30,31
Patogen yang diisolasi ternyata resisten terhadap carbapenem (imipenem dan
meropenem), asam fusidat, piperasilin, dan penisilin. Peningkatan resistensi terhadap asam
fusidat telah dilaporkan sebelumnya dan dijelaskan hal tersebut diakibatkan penggunaan
topikal jangka panjang.32,33 Pemeriksaan uji sensitivitas in vitro baru-baru ini menggunakan
konsentrasi antibiotik yang lebih rendah dibandingkan penggunaan topikal pada
konjungtiva, yang mungkin menjelaskan perbaikan klinis meskipun terdapat resistensi in
vitro.11 Resistensi terhadap asam fusidat ditemukan dalam penelitian ini studi dapat
dijelaskan dengan faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya selain pola penyalahgunaan
antibiotik.
Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut seperti tobramisin,
gentamisin, kloramfenikol, dan fluoroquinolones telah dilaporkan.5,6,34 Sebelumnya
penggunaan fluoroquinolones dan aminoglikosida hanya dapat digunakan dalam kasus
konjungtivitis bakterialis yang tidak berespon terhadap asam fusidat atau pengobatan awal
dengan kloramfenikol.11 Menurut hasil sensitivitas antibiotik yang ditemukan dalam
penelitian ini, dianjurkan untuk mengubah antibiotik tetes mata empiris yang saat ini
digunakan pada konjungtivitis infantil di Mesir dari tobramisin atau asam fusidat ke agen
lain seperti sebagai kloramfenikol, yang aman, murah, mudah tersedia, dan lebih efektif.
Hasil ini juga memberikan bukti kuat bahwa fluoroquinolones dapat digunakan untuk kasus
konjungtivitis bakterialis resisten selama aman dan efektif.

Anda mungkin juga menyukai