Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nabi Muhammad telah diutus oleh Allah SWT ke dunia adalah untuk
menyampaikan risalah-risalah Allah baik itu berita gembira, maupun
peringatan (basyiran wa nadziran) melalui malaikat Jibril, berupa al-Qur’an al-Karim
sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Selain
sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad juga menjadi suri tauladan yang baik dari
segala aspek kehidupannya. Untuk itu diperlukan beberapa sarana dan prasarana
untuk mengetahui segala seluk-beluk yang berkaitan dengan Nabi Muhammad.
Sementara itu, sarana yang paling penting guna mengetahui informasi tentang riwayat
Nabi Muhammad yakni hadis dan sunnah.
Sebagai orang islam yang ingin mempelajari islam secara sempurna tentu
harus mengetahui sumber hukum islam. Selain al-qur’an, salah satu sumber hukum
islam yang diakui oleh para ulama secara menyeluruh adalah hadist. Meskipun
demikian tidak semua hadist dijadikan sebagai sumber hukum islam, karena dalam
susunan sebuah hadist ada juga yang menunjukan bahwa sebuah hadist itu layak dan
lulus verifikasi untuk dijadikan sumber hukum islam.1
Al-qur’an dan hadist mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-
hari bagi umat islam. Dalam kaidah sumber hukum islam, hadist menempati urutan
kedua setelah Al-qur’an dalam menjadikan rujukan hokum karena disamping sebagai
ajaran islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah
SAW, juga fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-qur’an
yang masih membutuhkan penjabaran. Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok
hadist yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang
sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Suatu berita tentang Rasulullah SAW (matan)

1
Wildan, Ilmu Al-quran, https://wildan.blogspot.com/2012/12/30/pengertiansanad.html,
diakses pada tanggal 24 April 2019.
1
tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat
disebutkan hadist, sebaliknya suatu sanad, meskipun bersambung sampai Rasul, jika
tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadist.2
Bagi kebanyakan orang bahwa hadist itu suatu perkataan yang pasti berasal
dari nabi tanpa memperhatikan kualitas atau susunan suatu hadist. Padahal hadist
yang lengkap susunannya baik hadist shahih maupun hadist dhoif haruslah terdiri dari
sanad hadist, matan hadist dan perawi hadist. Dari itu perlu dipahami tentang yang
dimaksud dengan sanad, matan dan perawi hadist. Dan untuk mengetahui lebih
mendalam tentang hal tersebut, melalui tulisan yang singkat ini kami dari kelompok
enam berkeinginan untuk membahas hal yang berkaitan dengan hadist dengan
pembahasan kita batasi pada masalah sanad hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Urgensi Studi Sanad Hadis ?
2. Bagaimana Kaidah Kesahihan Sanad ?
3. Apa Pengertian dan Kaidah Jarh wa Ta’dil ?
4. Bagaimana Lafal-lafal Jarh wa Ta’dil ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Urgensi Studi Sanad Hadis.
2. Untuk Mengetahui Kaidah Kesahihan Sanad.
3. Untuk Mengetahui Pengertian dan Kaidah Jarh wa Ta’dil.
4. Untuk Mengetahui Lafal-lafal Jarh wa Ta’dil.

2
K. A, Pengertian sanad dan ikhtisar, http://makalahnih.blogspot.com/2014/09/pengertian-
sanad-matan-dan-ikhtisar.html, diakses pada tanggal 24 April 2019

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Urgensi Studi Sanad Hadis


Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung
arti menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.3 Sanad adalah “jalur
matan”, yaitu rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-
nya. Jalur itu disebut sanad adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya, dalam
menisbatkan matan kepada sumbernya. Dan adakalanya karena para hafizh bertumpu
kepada “periwayat” dalam mengetahui kualitas suatu hadits.
Sanad mengandung dua bagian penting, yaitu nama-nama periwayat dan
lambang-lambang periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing
periwayat dalam meriwayatkan hadis. Para ulama hadis berpendapat akan pentingnya
kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Oleh karena itu, suatu berita yang dinyatakan
sebagai hadits Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali,
dinyatakan sebagai hadits palsu (maudlu’).4 Sehubungan dengan istilah sanad yang
pengertiannya telah diuraikan di atas, ada juga istilah-istilah yang terkait erat dengan
sanad yang perlu untuk di pahami yaitu, isnad, musnid dan musnadketiga istilah
tersebut berasal dari kata sanad. Untuk memperjelas tentang pengertian term-trem
tersebut, perlu dibahasa lebih rinci sebagai berikut: 5
1. Kata isnad adalah bentuk masdar dari kata asnada, yang menurut arti
bahasanya adalah menyadarkan sesuatu kepada yang lain (sama dengan
pengertian sanad yang telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu).

3
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2002), h. 1092
4
Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras dan
TH Press, 2009), h. 99.
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001), h.
49
3
Sedangkan menurt isltilah dalam ilmu hadist isnad berarti mengangkat
atau menyederhanakan suatu hadist kepada yang mengatakannya.
2. Sedangkan kata musnid adalah isim fa’il dari sanada yang secara bahasa
berarti orang yang menyandarkan, sedangkan secara istilah kata ini berarti
orang yang meriwayatkan suatu hadist yang disertai dengan menyebutkan
sanad hadistnya.
3. Adapun musnad adalah isim maf’ul yang terbentuk dari kata sanada yang
mempunyai arti secara lughawi sesuatu yang dinisbatkan atau
disandarkan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadist musnad mempunyai
tiga pengertian yaitu:
a. Kata musnad berarti kitab hadist yang didalamnya berisi koleksi
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab
yang lain pula.
b. Kata musnad juga berarti hadis-hadis yang disebutkan saluruh sanad
dan bersambung sampai kepada Nabi.
c. Para Ulama hadis juga menggunakan musnad dalam arti sanad, ini
dapat dipahami karena musnad merupakan masdar dari sanad.
Penelitian hadis sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji hadis Nabi
saw, dilakukannya sebagai usaha panelusuran hadis dengan bersifat kritis dalam
memeriksa dan menyelaksi hadis-hadis Nabi saw. Dan selanjutnya dapat
membebaskanya dari kecacatan. Kekhawatiran itu dapat terbukti, karena adanya
pemalsuan hadis. Di lain sisi adanya pendapat sahabat dan tabiin yang oleh sebagian
ulama menilainya sebagai hadis, dengan menamainya hadis mauquf dan maqthu,
sedangkan yang lainnya menolak. Mereka beralasan bahwa yang dimaksud dengan
hadis adalah bersumber dari Nabi saw. dan dapat dijadikan sebagai sumber ajaran
Islam, sebagai hujjah dan sebagai obyek kajian.
Dengan demikian penelitian hadis harus diarahkan kapada dua obyek
penelitian, yakni penelitian sanaddan matan. Tujuan pokok penelitian hadis, baik
penelitian sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis dimaksud,
4
hingga dipastikan status hadis itu shahih (maqbul) atau dhaif (mardud). Selanjutnya
Posisi sanad untuk suatu hadis demikian urgen, hingga suatu berita sudah dinyatakan
sebagai hadis Nabi, namun tidak memiliki sanad, maka ulama hadis tidak dapat
menerimanya. Abdullah ibnu Mubarak (w.181 H/797M) mengatakan bahwa:
“Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekirannya sanad hadis tidak ada,
niscya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki”.6
Imam Nawawi dalam mengomentari pernyataan al-Mubarak di atas,
menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis dimaksud
berposisi maqbul dan bila sanad-nya tidak dapat diterima, maka posisinya mardud.7
Keadaan dan kualitas sanad harus pertama diperhatikan dan dikaji oleh ulama hadis
dalam melakukan penelitiannya. Apabila sanad hadis itu tidak mencapai kriteria
sebagaimana ditentukan misalnya, tidak adil, maka hadis tersebut langsung ditolak,
dan tidak lagi dilanjutkan penalitiannya, dan jika sanad hadis tersebut
berkategori shahih, maka selanjutnya hadis dimaksud akan diperiksa
kualitas matannya.

B. Kaidah Kesahihan Sanad


Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaedah
kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir. Ulama
hadis sampai abad ke-13H belum memberikan definisi kesahihan hadis secara jelas.
Imam Asy-Syafi‘ilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang lebih konkret
dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah (dalil). Dia menyatakan
semua hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali memenuhi dua syarat,
yaitu:pertama, hadis itu diriwayatkan oleh orang yang siqah (adil dan ḍabit), kedua,
rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Saw atau dapat

6
Abu Husain Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, juz I,(Mustafa al-Babi al-
Halaby,t.th.), h.11
7
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet.I, Jakarta: Renaisan,
2005), h.45
5
juga tidak sampai kepada Nabi.8 Selain Imam as-Syafi‘i, ulama hadis yang lain juga
berhasil menyusun rumusan-rumusan kaidah kesahihan hadis tersebut adalah Abu
Amr Usman bin Abdir-Rahman bin alSalah asy-Syahrazuri, yang biasa disebut Ibnus-
Salah (wafat 577 H/ 1245 M). Rumusan yang dikemukakan sebagai “hadis sahih
adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dabit sampai akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (illat)”
Kaidah kesahihan yang berhubungan dengan sanad hadis pertama-tama yaitu
sanad haruslah bersambung, periwayat bersifat adil, dan periwayat bersifat ḍabit.
Dari keterangan kaedah kesahihan hadis tersebut, dapat dijelaskan lebih rinci sebagai
berikut : Sanad Bersambung (Ittiṣal al-Sanad). Kebersambungan sanad dalam
periwayatan hadis, artinya bahwa seorang perawi dengan perawi hadis diatasnya atau
perawi dibawahnya terdapat pertemuan langsung (liqā) atau adanya pertautan
langsung dalam bentuk relasi murid-murid, mulai dari awal hingga akhir.
1. Setiap perawi hadis yang bersangkutan benarbenar menerima hadis dari
perawi diatasnya dan begitu juga sebaliknya, sampai dengan perawi
pertama.9
2. Para Perawi Adil (‘Adalat al-Ruwat). Dalam memberikan pengertian
istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari
berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriterianya kepada
empat butir. Penghimpunan kriteria untuk sifat adil adalah : 10
a) Beragama Islam. Untuk kriteria meriwayatkan hadis di utamakan, juga
adakalanya syarat pertama ini tidak berlaku jika untuk kriteria
menerima hadis. Jadi, adakalanya periwayat tetkala menerima riwayat

8
Bustamin dan M. Isa, Metodologi kritik hadis, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) h.
22.
9
Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadits ,(Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004), h. 73
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h.
69
6
boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama islam asalkan saja
tatkala menyampaikan riwayat, da‘i telah memeluk agama Islam;
b) Mukalaf, mencakup balig dan berakal sehat;
c) Melaksanakan ketentuan agama. Maksudnya ialah teguh dalam agama,
tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid‘ah tidak berbuat maksiat,
dan harus berakhlak mulia;
d) Memelihara muru’ah. Arti muru’ah ialah kesopanan pribadi yang
membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral
dan kebiasaankebiasaan. Jika seorang perawi tidak termasuk kriteria
tersebut diatas bahkan hanya salah satu saja maka hadisnya adalah
hadis yang berkualitas sangat lemah (ḍa’if), yang oleh sebagian ulama
dinyatakan sebagai hadis palsu (hadis mauḍu).
3. Para Perawi ḍabit (dawabit al-ruwat). Aspek intektualitas (ḍabit) perawi
yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan
perawi hadis. Yang dimaksud ḍabit ada dua yaitu:
a) Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
b) Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang mempu
memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.11
4. Kaidah Jarh dan Ta’dil. Pertumbuhan ilmu Jarh dan Ta’dil dimulai sejak
adanya periwayatan hadis, ini adalah sebagai usaha ahli hadis dalam
memilih dan menentukan hadis shahih atau ḍaif. Dalam masalah ini, para
ulama berbeda pedapat dalam menentukan martabat Jarh dan ta’dil.
Diantaranya Imam Ibn Hatim Al-Razi, beliau menjelaskan dalam kitabnya
Al-Jarh wa Ta’dil, kemudian Ibn Shalah dalam Ulum al Hadis dan An-
Nawawi dalam al-Taqribnya. Mereka semua membagi tingkatan Jarh dan

11
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian……………………………….h. 70
7
Ta’dil atas empat bagian. Kemudian Al-Dzahabi dalam Mizan al-‘itidal
dan Al-Iraqi dalam Al-Fiyahnya membagi martabat Jarh dan ta’dil ini
lima bagian. Selannjutnya Ibnu Hajar al-Asqolani, dalam Taqrib al-
Tahdzib membagi martabat Jarh dan Ta’dil atas dua belas martabat.
Namun apabila diperinci martabat itu masingmasing akan menjadi enam
martabat. Yaitu enam martabat untuk Jarh dan enam martabat untuk
Ta’dil.12

C. Pengertian dan Kaidah Jarh wa Ta’dil


1. Pengertian Jarh wa Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adalahan seseorang.
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Sedangkan At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya,
sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.13
Dari definisi di atas dapat dismpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah
ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai
katakata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Para ulama
menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta‟dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai
perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
Sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam kepada seorang laki-laki
“(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).

12
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 152
13
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), h. 78
8
Sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais
yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak
mempunyai harta” (HR. Muslim).14
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangka nasihat dan
kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin
Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi
dari Abi Hurairah radliyallaahu’anhu). Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-
Jarh wat-Ta‟dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia.
Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga
diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama
lebih utama daripada masalah hak dan harta.
2. Kaidah Jarh wa Ta’dil
Al jarh dan at ta’dil mempunyai dua macam syarat, yaitu: pertama, syarat
Ulama yang boleh melakukan al jarh dan at ta’dil dan kedua, syarat diterimanya al
jarh dan at ta’dil. Adapun syarat ulama yang akan melakukan al jarh dan at ta’dil itu,
sebagai berikut:
a. Berilmu, bertaqwa, warak dan jujur.
b. Mengetahui sebab-sebab al jarh dan at ta’dil.
c. Mengetahui penggunaan lafadz dan ungkapan bahasa Arab sehingga
lafadz yang digunakan tidak terpakai kepada selain maknanya yang tepat
dan tidak menjarh dengan lafadz yang sebenarnya tidak digunakan untuk
al jarh.
d. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki
maupun perempuan, merdeka maupun budak diterima.

14
Ibid., h. 80
9
e. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia
memenuhi syarat sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan ulama.15
Sementara syarat-syarat diterimanya al jarh dan at ta’dil itu, sebagai berikut:
a. Al Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
b. Penilaian jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap
periwayat yang sama sekali tidak ada yang menta’dilnya dapat diterima.
c. Al Jarh harus terlepas dari semua hal yang menghalangi penerimaannya.16
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama ahli al jarh dan al
ta’dil yang digunakan sebagai prosedur penetapan al jarh dan al ta’dil, yaitu:
a. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan
sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad
ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau
hanya menyebutkan keburukankeburukannya tanpa menyebutkan
kebaikan-kebaikannya”.
b. Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-
pernyataan Ulama tentang al jarh dan al ta’dil kita bisa menemukan
kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka
tentang seluk beluk perawi yang mereka kritik.
c. Mematuhi etika al jarh dan al ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak
akan keluar dari etika penelitian ilmiah. Ungkapan paling keras yang
mereka kemukakan adalah “Fulan Wadhdha” (Fulan tukang palsu),
“Fulan kadzdzb” (Fulan tukang dusta), “Fulan Yaftari al-Kadziba Ala
ash-Shahabat ra.” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra) atau
ungkapan-ungkapan lain yang mereka berikan untuk orang yang
memalsukan hadits.

15
Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu, (Mesir : Jami’ah Al-
Azhar, 2008), h. 40
16
Ibid., h. 41
10
d. Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-
ungkapan Imam-Imam al jarh dan al ta’dil kita bisa melihat bahwa
mereka tidak menyebutkan sebab-sebab at ta’dil mereka terhadap para
perawi. Karena sebab-sebab at ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi
seseorang untuk menyebut seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh yang
umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima
secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya,
dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab
untuk mengkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas ulama
menerapkan prinsip semacam ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi
kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if (lemah).17

D. Lafal-Lafal Jarh wa Ta’dil


Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu
memiliki tingakatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam
Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 6 tingkatan, yaitu :18
1. Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi, segala sesuatu yang
mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti
sejenis, misalnya :
ْ َّ‫)أ َ ْوث َ ُق الن‬.
a. Orang yang paling tsiqah (‫اس‬
ِ َّ‫أَثْ َبتُ الن‬
ً ‫اس ِح ْف‬
b. Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya ( ‫ظا‬
ً‫)و َعدَالَة‬.
َ
c. Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (‫)إِلَ ْي ِه ْال ُم ْنت َ َهى فِى الثّبت‬.
d. Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (‫)ثَقَةُ فَ َوقَ الثَّقَ ِة‬.
2. Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat
yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang

17
Ibid., h. 72
18
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 2004), h. 313
11
dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya) maupun semakna,
misalnya:
ْ ‫)ثُبُتٌ ثُب‬.
a. Orang yang teguh (lagi) teguh (‫ُت‬
b. Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (‫)ثِقَةٌ ثِقَ ْة‬.
c. Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (‫) ُح َّجةٌ ُح َّج ْة‬.
d. Orang yang teguh (lagi) tsiqah (‫)ث ُ ُبتٌ ِثقَّ ْة‬.
e. Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (‫ظ ُح َّج ْة‬
ٌ ِ‫) َحاف‬.
ٌ ِ‫ضاب‬
f. Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (‫ط ُمتْ ِقن‬ َ ).
3. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat
ingatan, misalnya :
a. Orang yang teguh (hati dan lidahnya), ( ٌ‫)ثُبُت‬.
b. Orang yang meyakinkan (ilmunya), (‫) ُمتْ ِق ٌن‬.
c. Orang yang tsiqah (ٌ‫)ثِقَة‬.
ٌ ِ‫) َحاف‬.
d. Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (‫ظ‬
e. Orang yang hujjah (ٌ‫) ُح َّجة‬.
4. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
a. Orang yang sangat jujur (‫صد ُْو ٌق‬
َ ).
b. Orang yang dapat memegang amanat (‫) َمأ ْ ُم ْو ٌن‬.
َ ْ ‫)َلبَأ‬.
c. Orang yang tidak cacat (‫س بِ ْه‬ َ
5. Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan,
misalnya :
ّ ِ ‫) َم ِحلُّهُ ال‬.
a. Orang yang berstatus jujur (‫صد ُْق‬
b. Orang yang baik hadisnya (‫) َجيِّد ُ ْال َح ِديْث‬.
c. Orang yang bagus hadisnya (‫سنُ ْال َح ِديْث‬
َ ‫) َح‬.
d. Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain
yang tsiqah (‫اربُ ْال َح ِديْث‬
ِ َ‫) ُمق‬.
6. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah
disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz
12
tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan
suatu pengharapan, misalnya :
a. Orang yang jujur, insya Allah (‫صد ُْو ٌق إِ ْنشَا َء هللا‬
ُ ).
َ ْ ‫)فُ ََل ٌن أَ ْر ُج ْو ِبأ َ َّن ََلبَأ‬.
b. Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (‫س ِبه‬
c. Orang yang sedikit kesalehannya (‫)فُ ََل ٌن صويلح‬.
d. Orang yang di harapkan diterima hadisnya (ُ‫)فُ ََل ٌن َم ْقب ُْول َح ِد ْيثُه‬
Para ahli ilmu menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang dita’dil menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah.
Sedang hadits-hadits para rawi yang dita’dil menurut tingkatan kelima dan keenam
hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi
lain.19

19
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I. h. 104
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sanad adalah “jalur matan”, yaitu rangkaian para perawi yang memindahkan
matan dari sumber primer-nya. Jalur itu disebut sanad adakalanya karena periwayat
bersandar kepadanya, dalam menisbatkan matan kepada sumbernya. Dan adakalanya
karena para hafizh bertumpu kepada “periwayat” dalam mengetahui kualitas suatu
hadits. Penelitian hadis sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji hadis Nabi
saw, dilakukannya sebagai usaha panelusuran hadis dengan bersifat kritis dalam
memeriksa dan menyelaksi hadis-hadis Nabi saw. Dan selanjutnya dapat
membebaskanya dari kecacatan. Kekhawatiran itu dapat terbukti, karena adanya
pemalsuan hadis.
Kaidah kesahihan yang berhubungan dengan sanad hadis pertama-tama yaitu
sanad haruslah bersambung, sementara kaidah sanad terdiri dari :
1. Setiap perawi hadis yang bersangkutan benarbenar menerima hadis dari
perawi diatasnya dan begitu juga sebaliknya, sampai dengan perawi
pertama.
2. Para Perawi Adil (‘Adalat al-Ruwat)
3. Para Perawi ḍabit (dawabit al-ruwat)
4. Kaidah Jarh dan Ta’dil.
Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus
perangai para perawi) dengan memakai katakata yang khusus dan untuk menerima
atau menolak riwayat mereka. Adapun syarat ulama yang akan melakukan al jarh dan
at ta’dil itu, sebagai berikut:
1. Berilmu, bertaqwa, warak dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab al jarh dan at ta’dil.
3. Mengetahui penggunaan lafadz dan ungkapan bahasa Arab sehingga
lafadz yang digunakan tidak terpakai kepada selain maknanya yang tepat
14
dan tidak menjarh dengan lafadz yang sebenarnya tidak digunakan untuk
al jarh.
4. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki
maupun perempuan, merdeka maupun budak diterima.
5. Penilaian al jarh dan at ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia
memenuhi syarat sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan ulama.
lafadz-lafadz Jarh wa Ta’dil disusun menjadi 6 tingkatan, yaitu :
1. Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi
2. Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat
yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya
3. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat
ingatan
4. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah).
5. Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan
6. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah
disebutkan diatas yang diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz
tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan
suatu pengharapan

B. Saran
Sebagai umat Islam hendaklah mengetahui dan memahami apa itu sanad dan
bagaimana membedakan hadis yang shahih dan hadis yang dhaif. Sehingga
dikemudian hari kita tidak salah dan tidak dengan mudah menerima hadis-hadis yang
belum tentu kebenarannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Wildan, Ilmu Al-quran, https://wildan.blogspot.com/2012/12/30/pengertiansana.html,


diakses pada tanggal 24 April 2019.

K. A, Pengertian sanad dan ikhtisar, http://makalahnih.blogspot.coM


/2014/09/pengertian-sanad-matan-dan-ikhtisar.html, diakses pada tanggal 24
April 2019

Ali Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,


Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2002.

Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, Yogyakarta: Teras


dan TH Press, 2009.

Ash-Shiddieqy Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta : Bulan Bintang,


2001.

Husain Abu Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, juz I, Mustafa al-Babi
al-Halaby, 2001.

Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Cet.I, Jakarta: Renaisan,
2005.

Bustamin dan M. Isa, Metodologi kritik hadis, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2004.

Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadits ,Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004.

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.

M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2011.

Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2005.

Abdul Mahdi, Ilmu Jarh wa at-Ta’dil qowa’iduhu wa Aimmatuhu, Mesir : Jami’ah


Al-Azhar, 2008.

16
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 2004.

Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen9 halaman
    Bab Iii
    NonieciezulungygbaexhatieTigapuluhseptembersrceamolibraCiieicecreamnatique
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Elga
    BAB IV Elga
    Dokumen13 halaman
    BAB IV Elga
    NonieciezulungygbaexhatieTigapuluhseptembersrceamolibraCiieicecreamnatique
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKa Elga
    DAFTAR PUSTAKa Elga
    Dokumen2 halaman
    DAFTAR PUSTAKa Elga
    NonieciezulungygbaexhatieTigapuluhseptembersrceamolibraCiieicecreamnatique
    Belum ada peringkat
  • Rencana Family Gathering Karyawan
    Rencana Family Gathering Karyawan
    Dokumen3 halaman
    Rencana Family Gathering Karyawan
    NonieciezulungygbaexhatieTigapuluhseptembersrceamolibraCiieicecreamnatique
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen7 halaman
    Bab 1
    NonieciezulungygbaexhatieTigapuluhseptembersrceamolibraCiieicecreamnatique
    Belum ada peringkat