Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI

DISUSUN OLEH:
Fauziyah Abidah, S.Ked
111 2017 2035

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Muslimin Ali, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
PARE-PARE
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Fauziyah Abidah, S.Ked
Stambuk : 111 2017 2035
Judul Laporan kasus : Anestesi Pada Laparoskopi
Rumah Sakit : RSUD Andi Makassau Pare-Pare

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Anestesi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia.

Pare-Pare, Mei 2019

Supervisor Pembimbing

dr. Muslimin Ali, Sp. An


BAB I

PENDAHULUAN

Teknik laparoskopi klinik pertama kali dilakukan oleh H. Jacobaeus pada

tahun 1910. Mulai tahun 1970an, seiring dengan berkembangnya teknologi dan

tersedianya peralatan yang aman dan memadai memungkinkan dikembangkannya

laparoskopi ginekologi secara rutin. Laparoskopi appendiktomi perama kali dilakukan

oleh Semm pada tahun 1983 dan laparoskopi kolesitektomi pertama kali dilakukan

oleh Muhe pada tahun 1985. Sejak saat itu, konsep pembedahan invasif minimal

berkembang dengan pesat, meliputi berbagai tindakan pembedahan, dan menjadi

prosedur standar di bidang pembedahan tertentu.

Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika

tim dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta.

Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo

melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu

(Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic

Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di

beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

Laparoskopi, dalam beberapa tahun terakhir menjadi suatu prosedur yang

umum dalam praktek klinik. Pada mulanya laparoskopi banyak dilaksanakan oleh

bagian obstetri dan ginekologi dimana banyak dilakukan laparoskopi sterilisasi dan

tindakan diagnostik singkat. Umumnya tindakan ini dikukan pada pasien muda dan

sehat.
Teknik laparoskopi intra abdominal sekarang telah berkembang, bahkan

dilakukan pada pasien-pasien usia tua dan mungkin memiliki penyakit kardiovaskuler

dan paru. Tindakan laparoskopi ini mungkin memerlukan perubahan posisi pasien

dan membutuhkan insuflasi karbondioksida intra abdominal dalam waktu yang cukup

lama.

Masalah utama pada laparoskopi berkaitan dengan efek kardiopulmoner

akibat pneumoperitoneum, absorbsi sistemik karbondioksida, insuflasi gas

ekstraperitoneal, emboli gas vena, cedera sutuktur intra abdominal yang tidak

disengaja dan posisi pasien.

Pengkajian masalah-masalah potensial yang mungkin terjadi pada laparoskopi

sangat penting bagi ahli anestesi untuk dapat memberikan anestesi yang optimal pada

pasien. Teknik yang tepat dan fasilitas monitoring selama pembedahan

memungkinkan deteksi dini dan pencegahan komplikasi. Demikian pula upaya untuk

pulih sadar yang cepat dan masa rawat inap yang pendek dengan efek residual

minimal membutuhkan keahlian tersendiri bagi para ahli anestesi untuk dapat

mengelola pasien-pasien laparoskopi.

Pada referat ini akan dibahas pemilihan teknik anestesi, meliputi anestesi

umum dan regional, dimana mulai berkembang penggunaan teknik anestesi regional

pada tindakan laparoskopi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Laparoskopi

2.1. Definisi Laparoskopi

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan

memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara

dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke

dalam rongga peritoneum tersebut.Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally

invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik bedah

laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California

AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr

Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi

pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang

pertama.

2.2. Tindakan Bedah dengan Laparoskopi

Secara umum tidakan laparoskopi dapat dibagi menjadi intra abdominal dan

ginekologi. Beberapa tindakan yang sering menggunakan teknik laparoskopi :

a. Intra abdominal

 Cholescystectomy

 Appendectcomy
 Colectomy

 Inguinal hernia repair

 Adrenalectomy

 Nephrectomy

 Prostatectomy

 Pancreatectomy

 Splenectomy

 Liver resection

b. Ginekologi

 Kehamilan ektopik

 Ovarian cystectomy

 Pemulihan torsi ovarium

 Salphingo-oophorectomy

 Hysterectomy

 Myomectomy

 Lymphadenectomy

Benefit intraoperatif :

 Berkurangnya stress respon dengan penurunan reaktan fase akut (C-reactive

protein dan interleukin-6)

 Berkurangnya repon metabolik dengan berkurangnya hiperglikemia dan

leukositosis
 Berkurangnya pergeseran cairan

 Sistem imun dapat dipertahankan lebih baik

 Berkurangnya ekspos dan manipulasi isi abdomen

Benefit pasca operasi :

 Berkurangnya nyeri dan kebutuhan akan analgesik post operasi

 Fungsi pulmoner lebih baik ( dikaitkan dengan berkurangnya nyeri, berkurangnya

atelektasis dan pemulihan yang lebih cepat )

 Kosmetik yang lebih baik dengan insisi kecil

 Infeksi yang jarang

 Berkurangnya kejadian ileus

 Berkurangnya lama rawat inap dan pemulihan aktivitas sehari-hari yang lebih

cepat

2.2. Prosedur Laparoskopi

Langkah utama dari prosedur laparoskopi yang juga paling sering

menimbulkan komplikasi operasi adalah pneumoperitoneum. Karbondioksida (CO2)

melalui jarum Veress, yang secara buta diinsersi persis di bawah umbilikus ke dalam

rongga peritoneum. Setelah memasuki peritoneum, dilakukan insuflasi gas. Pada awal

insuflasi tekanan intraperitoneum tidak boleh melebihi 8-9 mmHg. Insuflasi ditandai

dengan perkusi udara pada abdomen. Tekanan intra abdominal dipertahankan hingga
12-15 mmHg. Kemudian kanul dan trokar diinsersi untuk perlatan pembedahan dan

visualisasi dengan kamera.

2.1.3 Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi

CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak

membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari

paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2

dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat ditambah dengan

memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat

ditolelir.

Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan

iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk

asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut

pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di

intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit

pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam

darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun

sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah

serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.


2.1.4 Keuntungan Prosedur Laparoskopi

Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan

karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca

operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur

laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat

inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini

bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.4

2.1.5 Kerugian Prosedur Laparoskopi

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang

operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut

terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest.

Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal

echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara

kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2,

hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side

up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.4

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau

prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk


adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume tidal

CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat krepitus

yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak,

jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu

pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu harus,

karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.4

2.1.6 Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi

Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang

menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur

laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum

menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi

selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan

intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung

menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon

ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak

terlalu mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.4

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi

CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama

beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini

akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat
menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori

asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan

dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen

yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional

serta peningkatan dead space.

2.1.7. Komplikasi Laparoskopi

Komplikasi laparoskopi meliputi hal yang berkaitan dengan instrumentasi

pembedahan, pneumoperitoneum dan posisi pasien.

2.1.7.1. Komplikasi Dari Instrumentasi Pembedahan

Akses awal ke dalam rongga peritoneum dilakukan dengan menggunakan

jarum Veress yang diinsersi melalui insisi subumbilikal. Karena insersi dilakukan

secara blind, ada kemungkinan terjadi kekeliruan masuknya jarum ke subkutan,

pembuluh darah, viscus, omentum, mesenterium atau retroperitoneum. Perdarahan

yang tidak terkontrol akibat cederanya pembuluh darah besar oleh instrumen

pembedahan dapat menyebabkan hipotensi. Dengan kata lain persarahan yang

tersembunyi dapat diketahui pada masa pasca operasi dengan adanya penurunan

hematokrit. Cedera pada kandung kencing dapat dihindari dengan pengosongan buli

atau dengan pemasangan kateter. Insisi minilaparotomi untuk memasukkan trokar

akan mengurangi komplikasi.


2.1.7.2. Komplikasi Kardiovaskuler

Walaupun jarang, pernah didapatkan kejadian kolaps kardiovaskuler akut

selama laparoskopi, dan mungkin disebabkan oleh reaksi vasovagal yang hebat,

disritmia, kehilangan darah akut, disfungsi miokard, tension pneumothorak, emboli

gas pada vena, asidosis respiratorik berat, tamponade kardiak, IAP yang tinggi dan

agen anestesi. Perlu dilakukan evaluasi rutin (kedalaman anestesi dan volume

intravaskuler), IAP tidak boleh lebih dari 15 mmHg. Bila berlebihan perlu dilakukan

deflasi abdomen. Pasien dengan penurunan cardiak output yang signifikan dan SVR

yang tiinggi memerlukan intervensi farmakologis dengan nitrogliserin dan atau

agonis β-adrenergik untuk mempertahankan status hemodinamik.

2.1.7.3. Komplikasi Pulmoner

Perubahan pada pulmoner selama laparoskopi dapat menyebabkan hipoxemia

dan hiperkarbi yang berat. Diagnosis banding dari disfungsi pulmoner meliputi

absorbsi CO2, hipoventilasi (obstruksi jalan napas, kebocoran pada ventilator atau

sirkuit), bertambahnya dead space (berkaitan dengan distensi abdomen, posisi pasien,

ventilasi mekanik), intubasi endobronkial, penurunan cardiac output, emboli CO2,

pneumothorak, pneumomediastinum, pneumoperikardium dan emfisema subkutan.

2.2. Manajemen Anestesi

2.2.1. Teknik Anestesi Pada Laparoskopi

Teknik anestesi yang optimal harus dapat memenuhi kebutuhan pembedahan

dan menyesuaikan dengan perubahan fisiologis yang terjadi selama pembedahan.

Peralatan monitoring harus tersedia untuk dapat mengenali komplikasi sejak dini.
Perlu dipertimbangan pula adanya kemungkinan pembedahan berubah menjadi

laparotomi. Demikian pula diupayakan pemulihan yang cepat, efek samping minimal

dan segera kembalinya kemampuan untuk beraktifitas.

2.2.2. Anestesi Umum

Anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dan pelumpuh otot masih menjadi

teknik pilihan untuk berbagai prosedur laparoskopi. Beberapa pertimbangan yang

mendukung bahwa teknik tersebut merupakan teknik yang paling aman untuk

laparoskopi adalah

1. Kemungkinan prosedur operasi yang lama

2. Pasien cemas

3. Posisi trendelenburg yang dapat mengganggu respirasi dan sesak pada pasien

sadar yang bernapas spontan dengan penekanan isi abdomen. Demikian pula

pada pasien dengan obesitas

4. Pada pasien sadar sulit untuk memasang pipa nasogastrik, yang dibutuhkan

untuk mengurangi resiko aspirasi dan perforasi trokar

5. Kebutuhan akan relaksasi dan paralisa otot. Peningkatan IAP dan

terdorongnya diafragma menyebabkan kesulitan napas spontan. Batuk dapat

menyebabkan tekanan negatif pada dada dan meningkatkan resiko

pneumothorak. IAP akan bertambah dan meningkatkan resiko perforasi oleh

instrumen pembedahan. Paralisis otot akan menurunkan IAP sesuai dengan

derajat distensi abdomen. Pemberian ventilasi dengan tekanan positif dengan

kontrol ventilasi akan dapat mempertahankan kondisi normokarbi. Ventilasi


dengan tidal volume yang besar (12-15 ml/kgbb akan mencegah timbulnya

atelaktasis dan hipoksemia dan memberikan ventilasi alveolar serta eliminasi

CO2 yang lebih efektif.

Penggunaan N2 O pada laparoskopi masih merupakan kontroversi karena

kemampuannya untuk berdifusi ke dalam lumen saluran cerna, yang dapat

menyebabkan distensi dan mengganggu akses pembedahan. Eger dan Saidman

menyatakan bahwa terjadi pelebaran lumen intestinal lebih dari 200% setelah

pemberian napas dengan N2O. Lomie dan Harper melaporkan bahwa kejadian PONV

berkurang dari 49% hingga 17% pada tindakan laparoskopi tanpa penggunaan N2O.

Pemeliharaan anestesi dengan anestesi inhalasi isofluran, desflurane dan sevoflurane

memungkinkan pemulihan yang cepat dan menjadi pilihan. Halothan meningkatkan

resiko terjadinya aritmia terutama dalam kondisi adanya hiperkarbi.

2.2.3. Anestesi Lokal Dan Regional Pada Laparoskopi

Tindakan laparoskopi yang singkat seperti pada laparoskopi diagnostik, pain

mapping, laparoskopi untuk infertilitas dan ligasi tuba dapat dilakukan dengan

anestesi lokal atau regional. Prosedur ini mulai sering digunakan. Regional anestesi

dikatakan memiliki kelebihan akan :

1. Pulih sadar yang cepat

2. Mengurangi insidensi PONV

3. Nyeri pasca operasi yang rendah

4. Rawat inap lebih singkat


Beberapa kondisi yang menjadi alasan pemilihan teknik anestesi regional pada

laparoskopi adalah bila anestesi umum tidak direkomendasikan, yaitu dalam hal :

1. Pasien menolak

2. Prediksi sulit intubasi

3. Alergi terhadap obet anestesi (khususnya curare)

4. Untuk melindungi pita suara (misalnya pada penyanyi)

5. Pada kasus tertentu dimana ahli bedah ingin berkomunikasi dengan pasien

untuk pengambilan keputusan tindakan selama operasi

Pada kasus-kasus tersebut diatas perlu adanya komunikasi yang baik antara operator

dan ahli anestesi akan kepentingan anestesi, prosedur operasi dan kemungkinan

dilakukannya anestesi umum bila anestesi regional yang dilakukan tidak maksimal.

2.2.3.1. Anestesi Lokal

Deeb dan kawan-kawan pernah sukses menggunakan teknik irigasi peritoneal

dengan Lidokain 0,5 % dengan sedasi dalam pada tindakan laparoskopi ligasi tuba.

Teknik ini mungkin dilakukan, namun memerlukan kecepatan dan ketrampilan teknik

pembedahan serta kerja sama yang baik dari pasien.

Anestesi lokal memberikan beberapa keuntungan, pemulihan yang cepat,

kejadian PONV yang rendah, diagnosis dini terhadap komplikasi dan perubahan

hemodinamik minimal. Namun perlu diingat bahwa teknik ini akan menimbulkan

kecemasan, nyeri dan rasa tidak nyaman pada manipulasi organ pelvis dan abdomen.

Lokal anestesi harus disertai dengan pemberian obat-obatan sedasi intravena.


Kombinasi efek pneumoperitonum dan sedasi akan menyebabkan hipoventilasi dan

desaturasi oksigen arterial. Insuflasi gas IAP harus diatur serendah mungkin agar

dapat mengurangi rasa nyeri dan gangguan ventilasi bila memungkinkan tekanan

insuflasi harus lebih rendah daripada 10-12 mmHg .

Laparoskopi untuk ligasi tuba sebenarnya dapat dilakukan dengan anestesi

lokal, namun tidak banyak ahli laparoskopi yeng memilih teknik anestesi ini.

Prosedur laparoskopi lain yang memerlukan banyak lokasi tusukan, pertimbangan

manipulasi organ, posisi kemiringan yang ekstrim dan pneumoperitoneum yang besar

yang menyebabkan gangguan ventilasi pasien, ketidak nyamanan sebaiknya tidak

dilakukan dengan anestesi lokal.

Rongga intraperitoneal dikatakan efektif untuk analgesia postoperatif dengan

kombinasi pemberian meperidine 50 mg intraperitoneal dan 80 mg bupivacaine

0,125% intraperitoneal dengan epinephrine 1:200.000 untuk laparoskopi ginekologi,

namun untuk laparoskopi kolesistektomi yang memerlukan waktu lebih lama dan

diseksi jaringan yang lebih besar hal ini dinyatakan kurang baik

2.2.3.2. Anestesi Regional

Teknik anestesi regional, baik epidural maupun spinal, dikombinasikan

dengan posisi kepala lebih rendah dapat digunakan untuk laparoskopi ginekologi

tanpa gangguan bermakna pada ventilasi. Secara umum, anestesi epidural dan spinal

memberikan keuntungan dan kerugian yang sebanding. Anestesi regional

memberikan keuntungan kebutuhan obat sedasi dan narkotika minimal, relaksasi

lebih baik. Respon metabolik yang ditimbulkan akan lebih rendah pada anestesi
regional. Prosedur laparoskopi dengan teknik anestesi rogional sebaiknya tidak

digunakan pada tindakan yang membutuhkan waktu lama dan keberhasilan teknik

hal ini sangat dipengaruhi kondisi pasien yang kooperatif, ahli laparoskopi yang

terlatih dan berpengalaman, IAP dan kemiringan yang rendah.

Nyeri bahu akibat iritasi diafragma dan ketidaknyamanan karena distensi

abdomen tidak dapat diatasi secara penuh dengan teknik epidural murni. Laparoskopi

membutuhkan blok sensorik yang cukup luas (T4-L5) dan mungkin dapat

menyebabkan ketidaknyamanan. Pemberian opioid atau clonidine secara epidural

dapat memberikan anestesi yang adekuat.

Efek hemodinamik akibat pneumoperitoneum pada teknik anestesi epidural

belum dipelajari secara mendalam. Walaupun blok simpatis dapat memfasilitasi

timbulnya reflek vagal, vasodilatasi dan penghindaran pemberian ventilasi tekanan

positif dapat mengurangi terjadinya perubahan-perubahan kardiovaskuler pada

pneumoperitoneum.

Selain adanya resiko kegagalan dan potensi toksisitas akan obat anestesi lokal,

penggunaan teknik epidural pada laparoskopi memerlukan perhatian pada problem-

problem berikut :

1. Level blok sensorik antara T4 dan L5 umumnya diperlukan untuk

memperoleh kualitas blok yang baik. Nyeri perut akibat iritasi peritoneum

yang mungkin ditimbulkan oleh pneumoperitoneum memerlukan blok hingga

setinggi T4.
2. Blok simpatis setinggi T4-L5, pnumoperitoneum (dapat menyebabkan

kompresi vena cava bila tekanan insuflasi gas mencapai 10 mmHg atau lebih)

dan posisi pasien dapat menyebabkan penurunan venous return dan cardiac

output.

3. Anestesi regional secara teoritis berkaitan dengan perubahan pada respirasi.

Blokade sensorik T4-L5 akan diikuti paralisis otot intercostal dalam berbagai

tingkat. Adanya pneumoperitoneum dan posisi pasien menyebabkan

diafragma terdorong. Perubahan-perubahan ini, termasuk pemberian sedasi

yang kadang dilakukan akan menyebabkan hiperkapnea dengan resiko

terjadinya hipoksia. Pemberian oksigen pada pasien dengan napas spontan

harus selalu dicermati.

4. Poin penting dari anestesi regional pada laparoskopi adalah bagaimana

menerapkan teknik regional ini mulai dari lamanya pemasangan alat,

monitoring dan kontak dengan pasien dengan prosedur laparoskopi itu sendiri

sehingga waktu operasi secara keseluruhan selesai dalam waktu yang relatif

singkat rata-rata 30-90 menit rata-rata.

Keberhasilan pemilihan teknik regional untuk laparoskopi sangat tergantung pada

beberapa hal :

1. Pasien bersedia dan kooperatif

2. Tidak ada kontraindikasi, meliputi

a. Hipovolemi

b. Gangguan perdarahan
c. Infeksi pada daerah puncture

d. Gagguan saraf perifer

e. Alergi obat anestesi lokal

f. Gangguan pulmoner berat

3. Lamanya tindakan laparoskopi

4. Keahlian dan pengalaman ahli anestesi dan bedah

2.2.4. Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada

pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk

mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung.

2.2.5. Manajemen Intraoperatif.

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan

menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan

kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada

respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan

arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara invasif

antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi

ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena
sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa

berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur

laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat

secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk

keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral

harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa

endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas

dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan

gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen

meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat digunakan untuk

memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk

mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat

menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang

pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah

satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan

trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada

pasien.
Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena,

dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari

selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko

mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau

Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan

mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa

meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan

anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah

ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit

setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi ditingkatkan

biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang

tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah

menjadi prosedur bedah terbuka.

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur

laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi

inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti

nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk

menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan


dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain

(alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi,

berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi

perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa

dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor

secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama

prosedur berlangsung.

2.2.6. Manajemen Pasca Operasi

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45

menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi

dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%. Mual muntah pasca operasi setelah

prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari

pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal maupun

dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi

metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual

dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan

mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur

laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan

pulang juga diperlukan.


Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit

dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus

menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu

dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure

pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam kombinasi

dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur.

Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum

memblock nyeri somatik dan visceral.

Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan pemberian opioid intravena

secara intermiten atau medikasi nyeri peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan

dengan pemasangan sebuah kateter epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.

2.2.7. Monitoring Pada Laparoskopi

American Society of Anesthesiologist (ASA) telah menetapkan standar monitoring

pada pasien yang dikelola dengan anestesi lokal, regional maupun umum. Standar

tersebut meliputi :

1. Ahli anestesi yang selalu waspada. Hal ini adalah yang paling penting

2. Monitor ventilasi, oksigenasi, sirkulasi dan temperatur tubuh pasien

3. Automated noninvasive blood pressure monitor (NIBP)

4. End-tidal carbondioxide analyzer (capnograph)

5. Probe temperatur (esofageal atau kulit)


Kesalahan pada monitoring dapat disebabkan karena pengukuran yang salah atau

false alarm yang disebabkan oleh elektro kauter dan gerakan, sangat penting untuk

secara kontinyu memantau warna kulit pasien. Mesin-mesin anestesi juga memiliki

fungsi analisa konsentrasi gas-oksigen terinspirasi dan alarm ventilator, hal ini

berbeda dan spesifik pada tiap jenis mesin.

Capnography

Capnograph merupakan alat yang paling awal dapat mendeteksi emboli gas vena dari

kelima monitor standar di atas. Hal ini ditandai dengan respon bifasik dengan

meningkatnya CO2 ekspirasi diikuti penurunan konsentrasi. (Murray, 2005)

Pulsatile Oxygen Saturation Monitor (SpO2)

Ahli anestesi harus waspada terhadap hubungan antara perubahan pada monitor

dengan perkembangan pada saat laparoskopi. Penurunan mendadak saturasi oksigen

pada saat awal insuflasi gas ke ruang peritoneal bisa disebabkan emboli gas (tanda

lanjut) sedangkan penurunan saturasi pada saat lebih lanjut dapat disebabkan

atelektasis paru basal yang dapat disebabkan tekanan pneumoperitoneum yang terlalu

tinggi atau obtruksi aliran gas.

Penurunan lambat secara kontinyu saturasi oksigen dapat terjadi selama laparoskopi

dan dapat diatasi dengan meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi. Perlu dilakukan

analisa untuk mengetahui hal yang menjadi penyebabnya.

Monitor Penggunaan Pelumpuh Otot

Penggunaan pelumpuh otot pada laparoskopi dengan anestesi umum di perlukan

untuk memberikan relaksasi yang adekuat selama laparoskopi hingga deflasi


pneuperitoneum, perlu deketahui dengan baik waktu, onset dan durasi pemberian obat

untuk memungkinkan pemulihan blok neuromuskular yang cepat. (Murray, 2005)

Produksi Urine

Digunakan untuk monitor dan penghitungan kebutuhan keseimbangan cairan tubuh

dan volume intravaskuler. Pneumoperitoneum menurunkan perfusi korteks dan

medula renal yang mengakibatkan penurunan GFR, ekskresi natrium dan klirens

kreatinin. Akumulasi gas pada kantung kateter mungkin menunjukkan cedera pada

kandung kemih.

Stetoskop Prekordial (Esophageal)

Stetoskop prekordial atau esophageal dapat mendeteksi adanya emphysema

pembedahan (mediastinal, subkutis, leher) dengan terdengarnya “crackles”

Secara umum pemantauan anestesi selama laparoskopi tidak berbeda dengan teknik

pembedahan lainnya. Namun sangat diperlukan pengetahuan akan perubahan

fisiologis yang terjadi pada tubuh untuk memberikan interpretasi yang tepat pada

hasil monitoring selama laparoskopi. Hasil monitoring juga akan menentukan dalam

pengambilan keputusan beralihnya teknik regional ke anestesi umum.


BAB III

KESIMPULAN

Seiring dengan kemajuan teknik pembedahan, laparoskopi sekarang telah

menjadi pilihan untuk beberapa prosedur bedah karena mempunyai keuntungan pasca

operasi meliputi trauma yang minimal, nyeri yang minimal, disfungsi paru yang

minimal, pulih sadar yang lebih cepat, dan waktu tinggal di rumah sakit yang lebih

singkat. Keselamatan pasien dan kebutuhan pembedahan akan teknik anestesi yang

optimal dan mampu memfasilitasi perubahan kardiopulmoner serta dapat

mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi merupakan hal penting dalam

pemilihan teknik anestesi umum atau regional. Monitoring selama laparoskopi dan

pengelolaan post operatif yang baik pasca laparoskopi akan memberikan manfaat

optimal dari tindakan laparoskopi.

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)

yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia

tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang

ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan

Allah bagi kaum yang berfikir. (Az-Zumar : 42).


DAFTAR PUSTAKA

1. G, Joshi. 2002. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian journal of

anesthesiology, Volume 49: : R1–R5.

2. H, Gharaibeh. 1998. Anaesthetic management of laparoscopic surgery, Eastern

Mediterranean Health Journal, Volume 4, 1st issue : 185-188.

3. Haryoga. 2008. Anestesi pada laparoskopi cholesistektomi url:

http://imadeharyoga.wordpress.com/2008/06/26/anestesi-pada-laparoskopi-

cholesistektomi/

4. IK, Michaels. 2005. Laparoscopy in :Reed AP, Yudkowitz FS, editors. Clinical

case in anesthesia. Elsevier : 217-23

5. JL, Joris. 2005. Anesthesia for laparoscopic surgery in Miller: Miller’s anesthesia,

Elsevier Churchil Livingstone, sixth edition

6. Ng, Smith G. 2002. Intraperitoneal administration of analgesia: is this practice of

any utility?. British journal of anaesthesia Vol 89/4:534-7

7. PH, Lennox, Vaghadia H, Henderson C. 2002. Small-dose selective spinal

anesthesia for short-duration outpatient laparoscopy: recovery characteristics

compared with desflurane anesthesia.

8. Schellpfeffer, Crino D. 2006. Anesthesia for minimally invasive surgery in : Duke

J editor. Anestesia secrets. Mosby elsevier 3rd ed.: 494-99

9. Schoeffler, P. 2012, Practical training and research in gynecologic endoscopy in

Anaesthesia for gynecological endoscopy,Geneva Foundation for Medical


Education and Research url :

http://www.gfmer.ch/Books/Endoscopy_book/Ch04_Anaesthesia.html

10. Scott-Conner. 2006. Intraoperative management of the laparoscopic patient in

Whelan LR, Fleshman JW, Fowler DL editors : The sages manual : perioperative

care in minimally invasive surgery. Springer science

11. S, Tuteja. Next article safety considerations during anesthesia in laparoscopy :

Review article, New Delhi url:

http://www.laparoscopyhospital.com/Laparoscopic_anesthesia_special_consedera

tion.htm

12. WB, Murray. 2005, Monitoring devices and anesthesia for laparoscopic surgery.

New textbook prevention and management of laparoendoscopic surgical

complications, 2nd edition

13. Zundert, Ham D, Wildsmith J. 2006. Segmental spinal anaesthesia for

cholecystectomy in a patient with severe lung disease : case report, British Journal

of Anaesthesia 96 (4): 464–6

Anda mungkin juga menyukai