Anda di halaman 1dari 9

Bab 2

Konsep Dasar Aliran Pada


Saluran Terbuka

2.1. Aliran Laminer Dan Turbulen

Menurut ilmu mekanika fluida aliran fluida khususnya air diklasifikasikan


berdasarkan perbandingan antara gaya-gaya inersia (inertial forces) dengan gaya-
gaya akibat kekentalannya (viscous forces) menjadi tiga bagian, yaitu: aliran
laminer, aliran transisi, dan aliran turbulen (french, 1985). Variabel yang dipakai
untuk klasifikasi ini adalah bilangan reynolds yang didefinisikan sebagai:

𝑢𝐿
Re =
𝑣
(2.1)

Dimana:
U = karakteristik kecepatan aliran,biasanya diambil dari kecepatan rata-rata (m/d)
L = panjang karakteristik (m)
V = kekentalan kinematik (m2/d)

Dimana kekentalan kinematik didefinisikan sebagai

𝜇
V=
𝜌
(2.2)

Dimana:
µ = kekentalan dinamik (kg/m.d)
𝜌 = kerapatan air (kg/m3)

Untuk air, perubahan kekentalan kinematik terhadap temperatur dapat


diperkirakan dengan persamaan berikut ini:

𝜇
v= = [1.14 − 0.031(𝑇° − 15) + 0.00068(𝑇° − 15)2 ]10−6 (2.3)
𝜌
kerapatan air juga mengalami perubahan dengan perubahan temperatur.
Dari suhu 00C besarnya ρair = 1000 kg/m3. Kenaikan temperetur menyebabkan
turunnya harga kerapatan air. Untuk temperatur 1000C, kerapatan air turun dari
999 kg/m3 menjadi 958 kg/m3.
Klasifikasi aliran berdasarkan bilangan Reynolds dapat dibedakan menjadi
tiga kategori seperti berikut ini(French, 1985)

 Re < 500 aliran laminer


 500 < Re < 12,500 aliran transisi
 Re > 12,500 aliran turbulen
Umumnya aliran pada saluran terbuka mempunyai Re > 12,500 sehingga
alirannya termasuk dalam kategori aliran turbulen (French, 1987, Rajaratnam,
1987).

Aliran pada saluran terbuka merupakan aliran yang mempunyai


permukaan yang bebas. Permukaan yang bebas itu merupakan pertemuan dua
fluida dengan kerapatan ρ (density) yang berbeda. Biasanya pada saluran terbuka
dua fluida itu adalah udar dan air dimana kerapatan udara jauh lebih kecil dari
pada kerapatan air.
Gerakan air pada saluran terbuka berdasarkan efek dari gravitasi bumi dan
distribusi tekanan didalam air umumnya bersifat hidrostatis (French, 1987).
Diatribusi tekanan bersifat hidrostatis karena kuantitasnya tergantung dari berat
jenis aliran dan kedalaman. Karena berat jenis aliran dapat diasumsikan tetap,
maka tekanan hanya tergantung dari kedalamannya; semakin dalam tekanannya
semakin besar. Namun pada beberapa kondisi bisa ditemukan distribusi tekanan
tidak hidrostatis.
Seperti ditunjukkan dalam gambar 2.1 distribusi tekanan hidrostatis adalah
bila besarnya tekanan air pada suatu kedalaman tertentu adalah berat jenis air γ
dikalikan dengan kedalaman tersebut. Jadi misalnya untuk kedalaman y1 dan y
seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 maka tekanan Py1 dan Py adalah

Py1 = γy1 dan Py = γy

Atau

Y1 = Py1/γ dan y = Py/γ

2.2 Distribusi Tekanan Hidrostatis


Gambar 2.1. Distribusi tekanan hidrostatis

Gaya F adalah gaya (total) tekanan air setinggi y yang dapat ditulis

𝑦 1
F = yγ. .B = γ𝑦 2 B
2 2

Sebenarnya besarnya tekanan tersebut adalah berat jenis air γ dikalikan


dengan kedalaman air tertentu yang tegak lurus dengan dasar saluran. Seperti
gambar diatas besarnya Py seharusnya = Pd. Namun karena besarnya sudut
kemiringan saluran α terhadap bidang garis horizontal pada saluran terbuka adalah
kecil sehingga bisa dianggap y ≅ d, sehingga berlaku persamaan (2.4).
Tekanan air tidak lagi hidrostatis pada kondisi dimana ada perubahan
aliran yang cukup signifikan. Contoh perubahan aliran ini adalah pada aliran
tunak berubah cepat (steady rapidly varied flow). Pada kondisi ini distribusi
tekanannya tidak lagi tergantung dari kedalaman aliran (linear) namun berbentuk
kurva. Contoh lain adalah pada proses loncatan api (hydraulic jump); pada kondisi
ini aliran dari kondisi super kritis (Fr > 1) menjadi kondisi subkritis (Fr < 1).
Dibawah ini diilustrasikan perubahan distribusi tekanan hidrostatis
menjadi distribusi tekanan yang tidak hidrostatis. Contoh untuk perubahan ini
adalah dari kondisi tunak seragam (steady uniform flow) berubah menjadi aliran
tunak berubah cepat (steady rapidly varied flow).

Gambar 2.2. Perubahan hidrostatis menjadi non-hidrostatis

2.3. Detail Aliran Pada Saluran Terbuka

Seperti sudah dijelaskan diatas aliran pada saluran terbuka hampir


seluruhnya alirannya bersifat turbulen. Hanya pada batas-batasnya (dasar saluran
dan tebing saluran/river bank) ada bagian kecil yang bersifat laminer. Gambar
dibawah ini mengilustrasikan aliran pada sistem terbuka.

a. Denah

b. Tampang memanjang

Gambar 2.3. Sifat aliran pada saluran terbuka (tampang memanjang)

Secara umum aliran pada sistem terbuka dapat digambarkan sebagai


berikut. Denah, potongan melitang dan memanjang suatu potongan pada saluran
terbuka diilustrasikan dalam gambar 2.4.

a. Denah
b. Potongan melintang c. Potongan memanjang

d. Detail I dari gambar ptongan memanjang untuk S0

Gambar 2.4. Denah, potongan melintang dan memanjang saluran terbuka

Di mana:
A = luas potongan melintang ┴ aliran (m2)
d = kedalaman vertikal ┴ dasar saluran (m)
E = spesifikasi energi = y + v2/2g
EL = garis energi (energi line)
g = gravitasi (m/s)
H = total energi = y + v2/2g + z
HGL = garis gradient periodik (hydraulic gradient line)
p = penampan basah saluran (m)
Q = debit (m3/s)
R = radius hidrolik = A/p (m)
Rc = jari-jari bagian lengkung (m)
Sf = kemiringan geser
Sw = kemiringan muka air
So = kemiringan dasar saluran
α = sudut kemiringan dasar saluran
T = lebar muka air
v = kecepatan rata-rata (m/s)
x = koordinat memanjang (m)
y = kedalaman aliran (m)
z = jarak vertikal dasar saluran terhadap datum misal muka air laut
(m)

thalweq = merupakan bagian terdalam dari sungai

Menurut Henderson (1966) dan Hicks (1990), T/Rc selalu < 0.25 dan
biasanya < 0.10.
Pada gambar 2.4.c dan d ditunjukkan detail penentuan S0. Dari kedua
gambar didalam gambar 2.4.d. ditunjukkan besar ∆x dan ∆z yang masing-masing
merupakan perbedaan sumbu titik P(X1,Z1) dan Q (X2,Z2) dengan sistem sumbu
koordinat (X,Z). Dalam sistem terlihat bahwa

∆X = X2 – X1 dan ∆Z = Z2 – Z1

Dalam sistem sumbu (X,Z)

X2 > X1 dan Z2 < Z1

∆X = positif dan ∆Z = negatif

Oleh karena itu didapat bahwa

∆𝑍
= negatif
∆𝑋

Pada saluran terbuka kemiringan dasar saluran didefinisikan sebagai berikut

∆𝑍
− = 𝑆0
∆𝑋

Tanda – (minus) dalam diatas untuk menunjukkan bahwa S0 harus selalu positif.
Diketahui juga

∆𝑍
𝑆0 = − = tan 𝛼
∆𝑋
(2.7)

Karena α sangat kecil dan karena kemiringan saluran S0 relatif kecil yaitu
biasanya < 0.1 maka dapat dikatakan bahwa α ≅ tan α, atau persamaan (2.7) dapat
ditulis

∆𝑍
𝑆0 = − ≅ 𝛼
∆𝑋
(2.8)

Dari persamaan (2.8) kita selanjutnya dapat menganggap bahwa y ≅ d,


sehingga ℎ ≅ 𝑦 + 𝑧. Sebagai catatan asumsi 𝑦 ≅ 𝑑 umumnya hampir berlaku
untuk aliran pada sistem terbuka. Kondisi ini tidak berlaku bilamana kemiringan
dasar aliran sangat besar. Biasanya aliran ini terjadi pada daerah hulu sungai
(disekitar perbukitan).
Karena 𝑑 = 𝑦 cos 𝛼, untuk sungai dikatakan sangat miring bilamana sudut
𝛼 ≥ 100 atau 𝑑/𝑦 ≅ 0.985 (Hicks, 1990). Dengan 𝛼 ≅ 100 maka 𝑆0 = 0.714
dan karena 𝛼 ≤ 70 maka untuk sungai pada umumnya 𝑆0 < 0.122.

Debit Q didefinisikan sebagai

𝑄 = ∫𝐴 𝑢𝑑𝐴 dengan satuan (misal) m3/detik →L3/T


(2.9)

Dimana untuk u merupakan kecepatan pada suatu titik


Kecepatan rata-rata v dapat didefinisikan

𝑄 ∫𝐴 𝑢𝑑𝐴
𝑣= = dengan satuan (misal) m/detik →L/T
𝐴 𝐴
(2.10)

Satuan debit (unit discharge) adalah


𝑄
𝑞= dengan satuan (misal) m2/detik →L2/T
𝐵
(2.11)

Di mana B adalah lebar dasar saluran. Biasanya untuk sungai sangat lebar
T = B, atau sungai berbentuk persegi panjang.
2.4. Distribusi Kecepatan Aliran

Disebabkan oleh tekanan pada muka air akibat adanya perbedaan fluida
antara udara dan air seperti ditunjukkan pada gambar 2.3. dan juga akibat gaya
gesekan pada dinding saluran (dasar maupun tebing saluran) maka kecepatan pada
suatu potongan melintangsaluran tidak seragam (Addison, 1944; Chow, 1959).
Ketidak seragaman ini juga disebankan oleh bentuk tampang melintang saluran,
kekerasan dan lokasi aliran (saluran lurus, atau pada belokan).
Selanjutnya chow mengatakan bahwa kecepatan maximum umumnya
terjadi pada jarak 0.05 sampai 0.25 dikalikan kedalaman airnya dihitung dari
permukaan air seperti ditunjukkan dalam gambar 2.5.a. Namun pada sungai yang
sangat lebar dengan kedalaman dangkal (shalow), kecepatan maximum terjadi
pada permukaan air (Addison, 1944). Makin sempit saluran kecepatan air
maximumnya makin dalam.
Gambar 2.6. menunjukkan beberapa kontur kecepatan air umtuk beberapa
potongan melintang saluran (Chow, 1959).

a. Jarak kerapatan air makimum b. Efek kekerasan dasar saluran pada


distribusi
kecepatan vertikal

Gambar 2.5. Jarak kecepatan maximum dan efek kekerasan dasar saluran
(Addison, 1944; Chow, 1959)

a. Saluran segitiga b. Saluran trapesium


c. Saluran persegi panjang d. Saluran alam

Gambar 2.6. Contoh distribusi saluran (kontur) untuk beberapa macam


bentuk saluran (Chow, 1959)

Anda mungkin juga menyukai