Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan

masalah, pokok bahasan, serta manfaat penelitian.

A. Latar Belakang

Setiap individu hidup akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Salah

satu perubahan dan perkembangan yang dilaluinya yaitu perubahan dan perkembangan

saat memasuki masa remaja. Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai

mencoba untuk mengeksplorasi dirinya dan mencoba untuk memulai mencari jati diri.

Individu dimasa remaja belum memiliki pendirian yang teguh. Guna mencapai dan

memiliki pendirian yang teguh setiap individu akan melakukan dan mecoba berbagai

macam pengalaman serta berusaha mencari apa yang sebenarnya individu tersebut

butuhkan atau individu tersebut cari untuk bertahan hidup serta mampu menyesuaikan

dirinya untuk dapat diterima secara social. Masa remaja selain menjadi masa untuk

mencari jati diri juga menjadi masa dimana individu ingin mencoba mempelajari dan

mencoba suatu ilmu yang baru hingga individu tersebut menemukan manfaat yang

dapat diambil dari ilmu yang individu tersebut telah dapatkan.

1
2

Dimasa remaja awal arus perubahan yang terjadi dalam era saat ini sangat mudah

diserap. Kemudahan menggunakan teknologi semakin membuat individu remaja awal

mampu mengakses segala informasi baru yang berasal dari dalam maupun luar negri.

Perubahan zaman sangat terlihat jelas dari adanya perubahan gaya berpakaian, gaya

bicara, pola pikir, serta gaya hidup. Antusiasme remaja awal sangat berpengaruh dalam

perubahan yang terjadi. Kemajuan dan perkembangan IPTEK membuat informasi baru

semakin cepat menyebar. Kemudahan penyebaran informasi ini memudahkan para

remaja mengikuti atau mencontoh apa yang dilihat dari telpon genggam seperti

kejadian yang diberitakan diteleivisi yang menewaskan remaja sekolah menengah

pertama karena melakukan challenge, dan saat diwawancara oleh pihak kepolisian dan

sekolah, pelaku yang termasuk teman dari korban mengaku bahwa remaja tersebut

melakukan hal tresebut karena melihatnya dari telpon genggam melalui jaringan

internet.

Saat ini, sudah banyak remaja awal seperti siswa/siswi SMP maupun SMA yang

diperbolehkan dengan bebas menggunakan telpon genggam yang sudah menyediakan

akses internet. Dengan adanya kebabasan penggunaan telpon genggam yang

menyediakan akses internet menjadikan remaja dengan mudah melihat perkembangan

yang sedang terjadi. Tidak menutupi kemungkina yang remaja lihat di internet

semuanya berupa hal positive, hal negative pun dapat dengan mudah dilihat para

remaja.
3

Banyak dampak yang diperoleh dari adanya kebebasan dalam menggunakan

telpon genggam bagi remaja. Hal positive yang bisa di dapatkan dari penggunaan

telpon genggam dengan tersedia jaringan internet yaitu remaja atau siswa/siswi dapat

dengan mudah mengerjakan tugas yang diberikan dari sekolah jika memang

pekerjaannya mengharuskan untuk mengakses internet, selain itu dengan adanya

jaringan internet hal positive lainnya yang bisa remaja atau siswa/siswi dapatkan adalah

agar remaja atau siswa/siswi mengenal dan mengetahui perkembangan jaman yang

semakin maju untuk menambah wawasan. Disamping hal positive, hal negative juga

dapat dengan mudah diakses para remaja yang menggunakan telpon genggam, seperti

tersebarnya video-video yang tidak layak dilihat oleh para remaja, kekerasan, bullying,

dan perilaku yang tidak pantas lainnya.

Dampak-dampak positive dan negative tersebut akan mempengaruhi sikap,

kepribadian, dan perilaku remaja. Peran keluarga, guru, dan orang dewasa disekeliling

remaja tersebut sangat dibutuhkan. Apabila orang tua memberikan batasan kepada anak

dalam penggunaan telpon genggam, mengawasi setiap kegiatan yang dilakukan,

memberikan nasihat serta menerapkan aturan atau norma-norma yang berlaku

dilingkungan sosialnya anak akan. Apabila remaja tersebut sudah mampu memilah dan

menyaring informasi yang tersedia di internet, maka dampak positive akan di dapatkan,

tetapi jika remaja dibebaskan tanpa adanya pengawasan dari orang tua atau orang

dewasa disekelilingnya, maka dampak negative yang akan diterima oleh remaja
4

tersebut sehingga remaja tersebut berpotensi memiliki perilaku yang tidak baik dan

menyebabkan kenakalan remaja.

Kenakalan remaja menurut Santrock (2007) diartikan sebagai kumpulan dari

berbagai perilaku yang tidak dapat diterima secara social sampai tindakan criminal

(dalam Eviyah, Evi dan Muhammad Farid, 2014;126). Segala perilaku yang dilakukan

oleh remaja yang tidak dapat diterima secara social dan tidak sesuai dengan norma-

norma yang berlaku dalam suatu lingkungan dapat dikatakan sebagai perilaku

kenakalan remaja. Masa remaja dimana masa transisi dari anak-anak menuju dewasa

akan mengalami perubahan selain fisik juga psikis. Usia anak-anak saat remaja ini

sudah tidak memandang dirinya dibawah orang dewasa tetapi setara dengan orang

dewasa lainnya. Remaja merasa memiliki hak yang sama dengan orang dewasa

disekelilingnya, sehingga apabila remaja yang sudah merasa dirinya setara dengan

orang dewasa dan melakukan perilaku kenakalan remaja saat diberikan nasihat

cenderung tidak suka atau tidak di dengarkan. Karena para remaja tersebut sudah

memiliki pemikiran sendiri terhadap apa yang para remaja tersebut lakukan.

Kenakalan remaja memiliki banyak bentuk dari yang sederhana seperti tidak

mematuhi atau mendengarkan nasihat dari orang dewasa disekelilingnya, suka

mencontek saat ujian, bercanda yang tidak wajar dengan teman sebaya hingga segala

perbuatan criminal seperti mencuri, menggunakan narkoba, bullying dilingkungan

maupun luar sekolah, yang hukumannya tidak hanya sekedar meminta maaf atau

dikenakan scorsing dari pihak sekolah tetapi bisa dikenakan hukum pidana. Kenakalan
5

remaja saat ini sudah terbilang cukup memprihatinkan. Kurangnya perhatian dari orang

dewasa dan kurang tersedianya lapangan bermain dapat menjadi salah satu penyebab

remaja melakukan perilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Kenakalan

remaja terkadang dapat dikatakan sebagai bentuk dari penolakan para remaja terhadap

peraturan maupun norma social yang berlaku yang menurutnya tidak sejalan dengan

tujuan maupun cara hidupnya.

Saat ini jika dilihat melalui berita di televisi maupun social media, kenakalan

remaja sudah tidak hanya terjadi dikota-kota besar, namun di daerah pedesaan juga ada

remaja yang melakukan berbagai macam tindakan atau perilaku kenakalan remaja.

Kenakalan remaja yang terjadi saat ini juga cukup meresahkan masyarakat karena yang

dilakukan oleh para remaja yang melakukan kenakalan remaja bukan sekedar

membolos sekolah atau bullying yang dapat mengganggu psikis korban, melainkan

kenakalan remaja yang sudah sangat meresahkan masyarakat saat ini adalah kenakalan

remaja yang dilakukan secara beramai-ramai dan berkelompok. Kenakalan remaja

yang dapat dilakukan secara beramai-ramai dan berkelompok hingga meresahkan

masyarakat ini yaitu salah satunya tauran. Kenakalan remaja seperti ini sangat

meresahkan masyarakat karena dari beberapa kasus yang disiarkan dalam berita tauran

dapat mengancam nyawa masyarakat yang berada dekat dengan lokasi remaja

melakukan tauran. Bahkan yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok yang

sedang bentrok pun bisa menjadi korban atas perilaku kenakalan remaja yang sedang

tauran tersebut.
6

Selain tauran, kenakalan remaja yang dapat dilakukan secara berkelompok saat

ini yang sedang banyak diberitakan yaitu banyak para remaja yang tergabung dalam

satu kelompok, bukan berdasarkan karena bersekolah disekolah yang sama tetapi

karena ajakan teman sebaya atau teman sepermainnya. Para remaja ini ada yang berusia

12 tahun hingga 18 tahun, dari tingkat SMP hingga SMA. Kegiatan yang dilakukan

sekelompok remaja ini adalah para remaja ini berkumpul dengan membawa kendaraan

bermotor, minum-minuman keras, hingga senjata tajam dan diwaktu-waktu tertentu

para remaja ini berkeliaran meneror masyarakat yang sedang berkendara dijalan-jalan

umum. Hal ini sangat membuat masyarakat sangat merasa tidak aman, bahkan ada

masyarakat yang menjadi korban atas perlakuan nakal remaja-remaja ini.

Setiap remaja memiliki potensi untuk berkembang menjadi remaja yang memiliki

perilaku nakal yang tidak dapat diterima dengan baik dimasyarakat. Namun, setiap

remaja juga memiliki potensi untuk berkembang menjadi remaja yang memiliki

perilaku positif, mampu mentaati peraturan atau norma yang berlaku dimasyarakat.

Orang tua maupun orang dewasa lain yang berada disekeliling remaja memiliki

tanggung jawab untuk menjadikan remajanya menjadi remaja yang memiliki budi

pekerti yang baik dan positif seperti adanya rasa saling menghargai, menghormati, dan

memiliki keyakinan bahwa setiap yang idnividu lakukan akan dilihat oleh Tuhannya,

sehingga perilaku kenakalan remaja dapat dikontrol dengan baik. Untuk menumbuhkan

sikap positif tersebut, keluarga maupun guru disekolah dan mengembangkan sikap

religiusitas pada remajanya.


7

Tingkat religiusitas setiap individu brbeda-beda. Apabila lingkungan keluarga

maupun lingkungan pertemanan dan sekolahnya sudah menanamkan sikpa religiusitas

yang baik sejak dini, maka remaja akan tumbuh dan berkembang dengan menanamkan

sikap religiusitas yang baik. Religiusitas adalah pemahaman untuk melakukan dan

mengikuti prnsip-prinsip agama. Sebagai contoh dalam agama islam, seorang muslim,

diperintahkan untuk menaaati perintah agama baik dalam hal sikap, perkataan dan

perbuatannya (Ancok, Suroso, & Ardani, 2000). Individu yang sudah ditanamkan sikap

religiusitas yang baik dan positif sejak masa kecilnya akan tumbuh menjadi remaja

yang memiliki budi pekerti yang baik. Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang

baik juga tidak akan mudah terpengaruh oleh perbuatan yang menurutnya tidak baik

bagi agama keyakinannya. Tetapi tidak menghindari kemungkinan bahwa individu

yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi memiliki potensi untuk menjadi individu

yang berprilaku tidak baik dan tidak dapat diterima secara social dalam lingkungan

masyarakat.

Menurut Spinks (dalam Darokah, Marcham dan Triantoro Safaria, 2005) bahwa

di dalam diri manusia terdapat suatu naluri yang disebut sebagai religion instinct.

Perilaku individu atau remaja dapat terlihat atau tercerminkan dari sejauh mana

individu mampu melaksanakan dan mengikuti apa yang dianjurkan dan tidak

dianjurkan dalam agamanya. Sikap religiusitas juga dapat dipelajari selain dari

lingkungan keluarga yaitu dari lingkungan sekolah. Pelajaran agama yang diberikan

guru disekolah maupun tempat seperti TPA dapat membreikan pemahaman kepada
8

remaja mengenai ilmu keagamaan yang menyangkut terhadap tingkat religiusitas

dengan baik dan sesuai dengan usianya. Rmaja atau individu yang baik dan positif

dapat dikatakan selain memiliki tingkat religiusitas yang tinggi juga harus memiliki

kecerdasan emosi yang baik.

Kecerdasan emosi seorang remaja diperlukan untuk menyeimbangkan

kemampuan intelektualnya dengan perilaku yang akan ditampilkan di dalam

lingkungan sosialnya. Menurut Goleman tahun 1999 (dalam Nisya dan Sofiah,

2012;572) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki

seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapai kegagalan,

mengandalkan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Individu

yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mampu mengatur emosinya dalam

menghadapi sebuah masalah, mempu memilah dan memilih apa yang harus dilakukan

dalam perilakunya dalam menghadapi suatu keadaan.

Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mampu mengambil

keputusan dengan baik dan bertanggung jawab dengan keputusan yang sudah

diambilnya. Kecerdasan emosional menjadikan individu sebagai seseorang yang

mandiri dan berani mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang sudah menjadi

keputusannya. Kecerdasan emosional juga sebagai salah satu alas an atau motivasi

individu dalam memutuskan suatu tindakan. Baik atau buruk perilaku yang ditampilkan

setiap individu berbeda-beda karena tingkat kecerdasan emosional yang berbeda-beda.

Kecerdasan emosional individu juga dapat dilatih dan ditingkatkan dari lingkungan
9

keluarga maupun sekolahnya. Orang tua atau orang dewasa disekitar remaja serta guru

disekolah memiliki kewajiban untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak atau

murid-muridnya, agar para remaja tersebut mampu tumbuh menjadi remaja yang dapat

mengambil keputusan sendiri dengan baik tanpa mengandalkan individu lain dan

berani memperrtanggung jawabkan segala perbuatan dan perilaku yang telah

dipilihnya.

Oleh sebab itu religiusitas dan kecerdasan emosional bisa jadi memiliki hubungan

dengan perilaku kenakalan remaja, karena remaja yang memiliki religiusitas dan

kecerdasan emosional yang baik akan lebih mampu menyadari setiap perbuatan atau

perilaku yang dilakukannya dapat diterima dengan baik secara social dan sesuai ajaran

agamanya atau tidak.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara kenakalan remaja dengan religiusitas pada remaja

di SMAN x ?

2. Apakah ada hubungan antara kenakalan remaja dengan kecerdasan emosional

pada remaja di SMAN x ?

3. Apakah ada hubungan antara kenakalan remaja dengan religiusitas dan

kecerdasan emosional pada remaja di SMAN x ?

C. Tujuan Penelitian
10

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui hubungan antara kenakalan remaja dengan religiusitas pada

remaja di SMAN x.

b. Untuk mengetahui hubungan antara kenakalan remaja dengan kecerdasan

emosional pada remaja di SMAN x.

c. Untuk mengetahui hubungan antara kenakalan remaja dengan religiusitas dan

kecerdasan emosional.

D. Pokok Bahasan

Adapun pokok bahasan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

a. Kenakalan remaja adalah segala perbuatan atau perilaku yang dilakukan remaja

yang dapat merugikan secara materi maupun fisik terhadap diri sendiri ataupun

orang lain.

b. Religiusitas adalah keyakinan individu terhadap suatu agama, keberadaan

Tuhannya, ajaran agama, serta kitab yang diajarkan menurut keyakinan

agamanya.

c. Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu dalam mengontrol

emosinya sehingga mampu memotivasi dirinya untuk melakukan hal positive

saat diri sedang mengalami emosi yang negative.

E. Manfaat Penelitian
11

Dalam hal manfaat, penelitian ini memiliki dua manfaat diantaranya manfaat

teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang di dapat dari penelitian ini adalah

penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memberikan sumbangsih

terhadap ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi sosial dan psikologi

kepribadian mengenai androginitas, kepercayaan diri, dan penerimaan sosial

dikalangan remaja wanita. Dan peniliti mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi

referensi untuk penelitian yang akan dilakukan selanjutnya. Dan manfaat praktis yang

di diperoleh dari penelitian ini, adalah peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat

memberikan kesadaran bagi subjek atau instansi yang terkait mengenai pentingnya

tingkat religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja dikalangan

remaja laki-laki maupun remaja wanita.

F. Sistematika Skripsi

Penelitian ini berisikan terdiri dari lima. Secara garis besar sistematika penelitian

ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN
12

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulis mengenai peran fungsi keluarga

dan self control terhadap kecenderungan kenakalan remaja pada siswa kelas X SMAN

X.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai landasn tepri yang terdiri dari teori-teori pendukung

mengenai perilaku kenakaln remaja, fungsi keluarga dan teori tentang self control.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai ruang lingkup penelitian, metode pengumpulan data

dan sumber daya yang terkait, hipotesis penelitian, model analisi yang digunakan dan

pengujian empiris.

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Pada bab ini dilakukan analisis terhadap hasil pengelohan data serta pembahasan

yang merupakan hasil analisis. Hasil penelitian memberikan jawaban atas permaalahan

penelitian dan memberikan tujuan oenelitian dapat tercapai.

BAB V : KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN


13

Bab ini merupakan penutup dimana penulis memberikan kesimpulan berdasarkan

hasil penelitian, implikasi penelitian yang memberikan gambaran berdasarkan hasil

penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya maupun objek yang dijadikan

penelitian
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan di bahas mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan

variable-variable penelitian, diantaranya yaitu androginitas, kepercayaan diri, dan

penerimaan sosial. Selain itu di bab ini juga akan di bahas mengenai kerangka berpikir

dan hipotesis penelitian.

A. Kenakalan Remaja

1. Pengertian Kenakalan Remaja

Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai mengeksplorasi

dirinya dengan berbagai macam pengalaman yang ingin dirasakan atau ingin

diketahui. Kenakalan remaja menurut.

Santrock (2007) mengatakan bahwa kenakalan remaja merupakan

kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara social

hingga terjadi tindakan criminal. Menurut Siegel dan Welsh (dalam Nindya,

Margaretha tahun 2012) mengatakan bahwa banyak ahli percaya bahwa keluarga

yang bermasalah merupakan penyebab utama dalam pembentukan maslah

emosional pada anak yang dapat mengarah pada masalah social dalam jangka

waktu yang lama. Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

14
15

Balitbang Departemen Sosial, Hamzah, dan Prahesti tahun 2002 (dalam

Fatchurahman, M. dan Herlan Pratiko, 2012) disimpulkan bahwa berbagai

bentuk kenakalan remaja berupa berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit,

keluyuran, begadang, membolos sekolah, berkelahi dengan teman, berkelahi

dengan antar sekolah, buang sampah sembarangan, membaca buku porno,

melihat gambar porno, menonton film porno, mengendarai kendaraan bermotor

tanpa surat izin SIM, kebut-kebutan/mengebut, minum-minuman keras, kumpul

kebo, hubungan sex diluar nikah, mencuri, mencopet, menodong, menggugurkan

kandungan, memperkosa, berjudi, menyalahgunakan narkoba, dan membunuh.

Kenakalan remaja memiliki sifat psikis, interpersonal, antarpersonal, dan

kultural sebab perilaku kenakalan remaja selalu berlangsung dalam konteks

antarpersonal dan sosio-kultural (Kartono, 2010). Kenakalan remaja menurut

Jansen (dalam Sarwono, 2001) yaitu perilaku remaja melanggar status,

membahayakan diri sendiri, menimbulkan korban materi pada orang lain dan

perilaku menimbulkan korban fisik pada orang lain. Perilaku melanggar status

merupakan perilaku dimana remaja suka melawan orang tua, membolos sekolah,

pergi dari rumah tanpa pamit. Perilaku membahayakan diri sendiri antara lain,

mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, menggunakan

senjata, keluyuran malam, dan pelacuran. Perilaku menimbulkan korban materi,

yaitu perilaku yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, misalnya; mencuri,

mencopet, dan merampas. Sedangkan perilaku yang menimbulkan korban fisik


16

pada orang lain yaitu, seperti perkelahian, menempeleng, menampar, melempar

benda keras, mendorong sampai jatuh, menyepak, dan memukul dengan benda.

Semua tindakan perusakan yang tertuju keluar tubuh atau kedalam tubuh

remaja dapat digolongkan sebagai kenakalan remaja (Gunarso, 2004). Santrock

(2003) mengemukakan pembatasan mengenai apa yang termasuk sebagai

kenakalan remaja dapat dilihat dari tindakan yang diambilnya, tindakan yang

tidak dapat diterima oleh lingkungan social, tindakan pelanggaran ringan/status

offenses dan tindakan pelanggaran berat/index offenses. Mussen, dkk (1994)

mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau

kejahatan yang pada umumnya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-28

tahun. Jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendpat sanksi

hukum. Mulyadi, dkk (2006) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai

keinginan untuk mencoba segala sesuatu yang kadang-kadang menimbulkan

kesalahan-kesalahan yang menyebabkan kekesalan lingkungan dan orang tua.

Sedangkan Sarwono (2002), mengatakan bahwa kenakalan remaja adalah sebuah

tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Menurut Sofyan Willis (2004) ada empat factor yang melatarbelakangi

kenakalan remaja, diantaranya :


17

a. Factor yang bersumber dari dalam diri anak itu sendiri, seperti:

 Predisposing factor, yaitu factor kelainan yang dibawa sejak lahir

seperti cacat keturunan fisik maupun psikis

 Lemahnya kemampuan pengawasan diri terhadap pengaruh

lingkungan.

 Kurangnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan

 Kurangnya dasar-dasar keagamaan di dalam diri, sehingga sulit

membedakan mana norma yang baik dan tidak baik di dalam

lingkungan masyarakat. Anak yang demikian akan mudah

terpengaruh olrh lingkungan yang kurang baik.

b. Factor yang bersumber dari lingkungan keluarga, yaitu:

 Anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua,

sehingga terpaksa ia mencari diluar rumah seperti di dalam

kelompok kawan-kawannya, padahal tidak semua teman-temannya

itu berkelakukan baik, tetapi lebih banyak yang berkelakukan

kurang baik.

 Lemahnya keadaan ekonomi orang tua menyebabkan tidak mampu

mencukupi kebutuhan anak-anaknya.

 Kehidupan keluarga yang tidak harmonis seperti keluarga broken

home.
18

c. Factor yang bersumber dari lingkungan masyarakat, seperti:

 Kurangnya pelaksanaan ajaran-ajaran agama secara konsekuen.

 Masyarakat yang kurang memperoleh pendidikan.

 Pengaruh norma-norma baru diluar, seperti norma yang dating dari

Barat, naik melalui film-film di televisi, pergaulan social, dan lain-

lain.

d. Factor yang bersumber dari lingkungan sekolah, seperti:

 Factor guru, yaitu ekonomi dan mutu guru sekolah yang kurang

baik.

 Factor fasilitas pendidikan. Kurangnya fasilitas Pendidikan

menyebabkan penyaluran bakat dan keinginan murid-murid

terhalang, bakat dan keinginan yang tidak tersalur pada masa

sekolah akan mencari penyaluran pada kegiatan-kegiatan yang

negative seperti tidak ada lapangan sekolah, alat-alat pelajaran yang

kurang memadai, alat-alat praktek yang kurang memadai, alat-alat

kesenian dan olehraga yang juga kurang memadai yang dapat

mengganggu keberlangsungan proses belajar mengajar.

 Norma-norma pendidikan dan kekompakan guru di dalam mengatur

anak didik perlu norma yang sama bagi setiap guru dan norma

tersebut harus dimengerti oleh setiap anak didik. jika diantara guru

terdapat perbedaan norma dalam cara mendidik maka akan menjadi


19

sumber timbulnya kenakalan pada anak-anak didiknya. Pepatah

mengatakan “Jika guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari”

berarti guru harus menjadi teladan dimana saja dia berada.

 Kekurangan guru. Jika sebuah sekolah jumlah guru tidak mencukupi

maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi sepreti: pertama,

penggabungan kelas oleh seorang guru dapat menimbulkan berbagai

kerugian seperti guru lelah, keadaan kelas yang tidak kondusif,

pelajaran tidak memiliki ketentuan dan sebagai akibatnya akan

timbuk berbagai tingkah laku negative pada anak didik, misalnya

bolos sekolah, berkelahi, mencuri barang dan uang teman, dan

sebagainya. Kedua, pengurangan jam pelajaran yang akan

merugikan murid, sebab murid tidak menerima bahan pelajaran

sesuai dengan kurikulum, sehingga murid mempunyai waktu luang

diluar sekolah terlalu banyak, dan ini dapat mengakibatkan berbagai

gejala kenakalan. Ketiga, meliburkan murid, hal ini berbahaya. Jika

anak murid mempunyai waktu senggang terlalu panjang maka

berbagai hal yang negative akan terjadi dirumah dan dimasyarakt

(Willis,2004).
20

3. Karakteristik Kenakalan Remaja

Kartono (2003), mengatakan bahwa remaja nakal mempunyai

karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja yang tidak nakal,

perbedaan kenakalan remaja itu melingkupi:

a. Struktur intelektual. Fungsi-fungsi kognitif pada remaja yang nakal akan

mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai

untuk keterampilan verbal. Remaja yang nakal kurang toleran terhadap hal-

hal yang ambisius dan kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang

lain serta menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.

b. Fisik dan psikis. Remaja yang nakal lebih “idiot secara moral” dan memiliki

karakteristik yang berbeda secara jasmanian (fisik) sejak lahir jika

dibandingkan remaja yang normal. Bentuk tubuhnya lebih kekar, berotot,

kuat, dan bersikap agresif. Fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada

remaja nakal adalah kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan

menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah.

c. Karakteristik individual. Remaja yang nakal mempunyai sifat kepribadian

khusus yang menyimpang, seperti: berorientasi pada masa sekarang,

bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan,

terganggu secara emosional, kurang bersosialisasi dengan masyarakat

normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan


21

tidak bertanggung jawab secara social, sangat impulsive, suka tantangan

serta bahaya, dan kurang memiliki disiplin diri serta control diri.

Remaja yang nakal adalah remaja yang berbeda dari remaja biasa. Remaja yang

nakal lebih percaya diri, mempunyai control diri yang kurang, tidak mempunyai

orientasi pada masa depan, dan kurang dalam kematangan social, sehingga sulit

menyesuaikan diri dengan lingkungan social.

B. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Tingkat religiusitas setiap individu berbeda-beda tergatung dari seberapa baik

orang tua maupun orang dewasa disekelilingnya menerapkan sikap religiusitas

dalam kehidupan individu tersebut.

Menurut Dister, 1982 (dalam Tweriza N., Vidya dan Iwan Wahyu W.

2014:63) religiusita adalah sikap batin pribadi (personal) setiap manusia

dihadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang

mencakup totalitas kedalam pribadi manusia. Ancok dan Suroso (2001)

menyatakan bahwa religiusitas merupakan perilaku terhadap nilai-nilai agama

yang dapat ditandai tidak hanya melalui ketaatan dalam menjalankan ibadah

ritual tetapi juga dengan adanya keyakinan, pengalaman, dan pengetahuan

mengenai agama yang dianutnya. Glock dan Stark, 1966 (dalam Ancok dan

Suroso, 2001) menyatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah komitmen


22

beragama, yang dijadikan sebagai kebenaran beragama, apa yang dilakukan

seseorang sebagai bagian dari kepercayaan, bagaimana emosi atau pengalaman

yang disadari seseorang tercakup dalam agamanya, dan bagaimana seseorang

hidup dan terpengaruh berdasarkan agama yang dianutnya.

Mangunwidjaya, 1986 (dalam Tweriza N., Vidya dan Iwan Wahyu W.

2014:63) menjelaskan bahwa religiusitas dan agama memang tidak dapat

dipisahkan. Agama menunjukkan suatu kelembagaan yang mengatur tata cara

penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas menunjukkan

kualitas dari manusia yang beragama. Andisti dan Ritandiyo (2008), religiusitas

dan agama saling mendukung dan melengkapi karena keduanya merupakan

konsekuensi logis dari kehidupan manusia yaitu pada kehidupan pribadi dan

kehidupan ditengah masyarakat.

Menurut Rakhmat, 2003 (dalam Luthfi, Dhita, 2014:6) menjelaskan bahwa

individu yang memiliki pedoman untuk merespon hidup dan mempunyai daya

tahan yang lebih baik dalam mengelola permasalahan yang dihadapi. Individu

yang selalu menjalankan perintah agamanya cenderung mampu menjalani

kehidupannya dengan baik. Individu yang secara kontinyu menjalankan komiten

agamanya ternyata memiliki stabilitas diri dan kebahagiaan hidup disbanding

individu yang tidak kontinyu dalam menjalankan ajaran agamanya (Darmawanti,

2012).
23

2. Karakteristik yang Mempengaruhi Religiusitas

Menurut Husain At-Tariqi (2004), religiusitas dapat dilihat dari kriteria

atau ciri-ciri berikut :

a. Kemampuan melakukan differensiasi, yaitu kemampuan dengan baik

dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperlaku terhadap

agama secara objektif, kritis, berpikir secara terbuka. Individu yang

memiliki sikap religiusitas tinggi yang mampu melakukan diferensiasi,

akan mampu menempatkan aspek rasional sebagai salah satu bagian dari

kehidupan beragamanya, sehingga pemikiran tentang agama menjadi lebih

kompleks dan realistis.

b. Berkarakter dinamis, yaitu apabila individu telah berkarakter dinamis,

agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan

aktifitasnya. Aktifitas keagamaan semuanya dilakukan demi kepentingan

agama itu sendiri.

c. Integral, yaitu keberagaman yang matang akan mampu mengintegrasikan

atau menyatukan sisi religiusitasnya dengan segenap aspek kehidupan

termasuk social dan ekonomi.

d. Sikap berimbang antara kesenangan dunia tanpa melupakan akhirat, yaitu

seseorang yang memiliki sikap religiusitas tinggi akan mampu

menempatkan diri antara batas kecukupan dan batas kelebihan.


24

3. Aspek-aspek Religiusitas

Glock dan Stark, 1989 (dalam Ancok dan Suroso, 1994) menyatakan

bahwa terdapat lima aspek dalam religiusitas :

a. Aqidah (idiologi), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal

dogmatic dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat,

hari akhir, surge dan neraka.

b. Praktek agama (religious practice), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang

mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, seperti

melakukan ibadah, dan membaca kitab suci.

c. Penghayatan agama (religious feeling), yaitu perasaan-perasaan atau

pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan oleh penganut agama,

misalnya ketika seseorang mampu mengatasi rasa takut, merasakan

ketenangan batin setelah melaksanakan ibadah atau berdoa, merasa takut

berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan dan

sebagainya.

d. Pengetahuan agama (religious knowledge), yaitu menerangkan seberapa

jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya, terutama yang ada di

dalam kitab suci maupun yang lainnya dan aktivitas dalam menambah

pengetahuan agamanya, misalnya mengikuti kajian-kajian keagamaan, atau

membaca buku-buku tentang agama.


25

e. Konsekuensi agama (religious effect), yaitu mengukur sejauh mana

perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam

kehidupan social, misalnya etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian

terhadap penderitaan orang lain, apakah seseorang setuju atau tidak

terhadap perbuatan yang dilarang agama dan apakah seseorang

mengerjakan atau tidak pekerjaan tersebut.

C. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan salah satu kecerdasan yang harus

dimiliki setiap individu selain kecerdasan intelegensi, agar mampu menghadapi

suatu masalah dan mencari solusi dengan baik dan mampu bertanggung jawab

dengan pilihannya. Istilah kecerdasan emosional sendiri pertama kali berasal dari

konsep kecerdasan social yang dikemukakan Thorndike, 1920 (dalam Fitriastuti,

Triana, 2013:104) dengan membagi tiga bidang kecerdasan, yaitu kecerdasan

abstrak (kemampuan memahami dan memanipulasi symbol verbal dan

matematika), kecerdasan konkrit (kemampuan memahami dan memanipulasi

objek), dan kecerdasan social (kemampuan berhubungan dengan orang lain).

Boyatzis et al., 2000 (dalam Fitriastuti, 2013:104) menyatakan bahwa

kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi

pintar menggunakan emosi dan membagi dua wilayah kecerdasan emosional,


26

meliputi kesadaran diri (self awereness), kemampuan mengatur diri sendiri (self

regulation/self management), dan kesadaran untuk memberikan perhatian,

kebutuhan atau kepedulian pada orang lain dan memelihara hubungan social

(relationship management).

Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 1999) menggunakan kecerdasan

emosional untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan

dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta

kemampuan untuk mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan

meraih tujuan kehidupan.

2. Karakteristik Kecerdasan Emosional

Seseorang akan memiliki kecerdasan emosional yang berbeda-beda. Ada

yang rendah, sedang maupun tinggi. Dapsari (Casmini, 2007) mengemukakan

ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lain :

a. Optimis dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi

dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani

tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.

b. Terampil dalam membina emosi, terampil di dalam mengenali kesadaran

emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi terhadap orang lain.

c. Memiliki kecakapan kecerdasan emosi, meliputi: intensionalitas,

kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidakpuasan

konstruktif.
27

d. Memiliki nilai-nilai belas kasih atau empati, intuisi, kepercayaan, daya

pribadi, dan integritas.

e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup dan kinerja yang

optimal.

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2009), merinci lagi aspek-aspek yang terkandung dalam

kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut :

a. Mengenali emosi diri sendiri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi

untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang

muncul. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya

menandakan bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi. Kemampuan

mengenali diri sendiri meliputi kesadaran diri.

b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri melepas

kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang

timbul karena kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang buruk

kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bernaung

melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar akan dapat

bangkit kembali jauh lebih cepat. Kemampuan mengelola emosi meliputi

kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan kembali.

c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi

merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk


28

memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini

cenderung lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang

dikerjakannya. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan

emosi , yaitu menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan

hati. Kemampuan ini meliputi: pengendalian dorongan hati, kekuatan

berpikir positif dan optimis.

d. Mengenali emosi orang lain, dimana kemampuan ini disebut dengan

empati, yaitu kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,

kemampuan ini merupakan keterampilan dasar dalam bersosial. Orang

empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal social tersembunyi yang

mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki orang lain.

e. Membina hubungan. Seni membina hubungan social merupakan

keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi keterampilan social

yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan hubungan

antar pribadi

D. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menguji hubungan antara

religiusitas dan kecerdasan emosional dengan perilaku kenakalan remaja. Penelitian ini

menekanan arti penting religiusitas yang dikaitkan dengan kematangan emosional


29

remaja dengan perilaku naka remaja yang akhir-akhir ini semakin banyak terjadi

dilingkungan masyarakat.

Remaja merupakan masa dimana individu sedang mencari jati diri dan ingin

mengeksplor segala kegiatan yang menurutnya menarik. Remaja adalah individu yang

sedang mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana

pada masa tersebut semua hal dalam diri remaja mengalami perubahan, mulai dari

perubahan fisik, psikologis, dan social. Sama seperti yang dikemukakan oleh Atkinson

(dalam Sayidatun, Lidya dan Diah Sofiah, 2012:578) mengatakan bahwa masa remaja

adalah masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada

masa ini juga remaja perlahan sudah merasa bahwa dirinya setara dengan orang dewasa

lainnya sehingga semakin sulit untuk dikontrol emosinya.

Selain masa remaja memiliki emosi yang belum stabil, remaja yang sulit dikontrol

emosinya lebih mudah terbawa suasana hati. Apabila suasana hatinya sedang tidak

dalam kondisi yang baik emosi bisa dikeluarkan kapan saja. Hal ini dapat membawa

dampak kepada diri pribadi remaja itu sendiri, jika keluarga ataupun orang tua kurang

mampu memahami kondisi emosi remajanya, remaja tersebut akan mencari seseorang

dari luar rumah yang mampu mengembalikan emosinya. Dalam hal ini remaja bisa saja

mendapatkan atau bertemu dengan orang yang salah, sehingga perilakunya dapat

terbawa ke dalam perilaku yang tidak dapat diterima secara social, yaitu perilaku

kenakalan remaja.
30

Dalam masa dimana emosi kurang dapat terkontrol dengan baik tidak menutupi

kemunginkan masih ada remaja yang memiliki sikap positif, yaitu remaja yang

memegang teguh sikap religiusitas yang baik. Seperti yang dikatakan oleh

Hendropuspito (dalam Sayidatun, Lidya dan Diah Sofiah, 2012:579), bagi manusia dan

masyarakat agama memiliki empat fungsi, yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat,

fungsi pengawasan social, dan untuk memupuk persaudaraan. Remaja yang memiliki

pemahaman yang baik mengenai sikap relgiusitas atau fungsi agama akan merasa

bahwa setiap apa yang dilakukannya pasti diketahui oleh Tuhannya, sehingga perilaku

kenakalan remaja dapat diminimalisir.

Selain adanya sikap religiusitas yang dapat mengontrol sikap dan emosi, remaja

juga membutuhkan kecerdasan emosional. Goleman (2016), individu yang memiliki

kecerdasan emosi selain mampu menyadari emosi dan mengendalikan diri, remaja

yang cerdas emosi memiliki kemampuan untuk menggunakan emosi untuk menuntun

menuju sasaran dengan memotivasi diri menuju diri yang produktif. Remaja yang

memiliki kecerdasan emosi yang baik akan menyalurkan emosi yang ada di dalam

dirinya dengan melakukan hal-hal yang positif sehingga perilaku kenakalan pada

remaja juga dapat diminmalisir.


31

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang sudah di jelaskan diatas, dapat diketahui bahwa hipotesis

dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara religiusitas dan kecerdasan

emosional terhadap perilaku kenakalan pada remaja. Semakin tinggi tingkat religiusitas

dan kecerdasan remaja, maka semakin rendah perilaku kenakalan. pada remaja,

sebaliknya jika semakin rendah tingkat religiusitas dan kecerdasan emosi remaja, maka

akan semakin tinggi perilaku kenakalan pada remaja.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, metode

pengambilan data, dan metode analisis instrument, metode analisis data serta hasil uji

coba instrument.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian, pastilah harus ada variabel penelitian. Variabel penelitian

mencerminkan karakteristik populasi yang ingin ditelaah. Ada beberapa jenis variabel,

diantaranya adalah variabel Dependen, Independen.

Variabel independen (independent variable) adalah tipe variabel yang

menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain. Variabel dependen (dependent

variable) adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel

independen. Kedua tipe variabel ini merupakan kategori variabel penelitian yang paling

sering digunakan dalam penelitian karena mempunyai kemampuan aplikasi yang luas.

Variable-variable yang terdapat dalam penelitian ini diantaranya yaitu:

1. Variable terikat (Dependent Variable) : Kenakalan Remaja

2. Variable bebas 1 (Independent Variable 1) : Religiusitas

3. Variable bebas 2 (Independent Variable 2) : Kecerdasan Emosional

32
33

B. Definisi Variable Penelitian

1. Definisi Konseptual

a. Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah segala perbuatan atau perilaku yang dilakukan

remaja yang dapat merugikan secara materi maupun fisik terhadap diri

sendiri ataupun orang lain.

b. Religiusitas

Religiusitas adalah keyakinan individu terhadap suatu agama, keberadaan

Tuhannya, ajaran agama, serta kitab yang diajarkan menurut keyakinan

agamanya.

c. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu dalam mengontrol

emosinya sehingga mampu memotivasi dirinya untuk melakukan hal

positive saat diri sedang mengalami emosi yang negative.

2. Definisi Operasional

a. Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja yaitu perilaku remaja melanggar status, membahayakan

diri sendiri, menimbulkan korban materi pada orang lain dan perilaku

menimbulkan korban fisik pada orang lain.


34

b. Religiusitas

Religiusitas merupakan perilaku terhadap nilai-nilai agama yang dapat

ditandai tidak hanya melalui ketaatan dalam menjalankan ibadah ritual

tetapi juga dengan adanya keyakinan, pengalaman, dan pengetahuan

mengenai agama yang dianutnya.

c. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional menggambarkan keterampilan yang berhubungan

dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta

kemampuan untuk mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan,

dan meraih tujuan kehidupan.

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sample

1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:119).

Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan peneliti yaitu siswa SMAN X

Jakarta Timur kelas 12 sebanyak 100 siswa.

2. Sample dan Teknik Pengambilan Sample

Sampel menurut Saifuddin Azwar (2013:79) merupakan sebagian dari

populasi. Pendapat lain berkaitan dengan sampel menurut Sugiyono (2011:81)

sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
35

populasi. Sejalan dengan Saifuddin Azwar, Sukardi (2007:54) menambahkan

bahwa sampel merupakan sebagian dari jumlah data yang dipilih untuk sumber

data. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas, sampel adalah

sebagian dari jumlah populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik random sampling.

Menurut Sugiyono (2011:82), pengambilan sampel dengan teknik random

sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara

acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut, maka

peneliti member kesempatan yang sama kepada setiap subyek untuk

mendapatkan kesempatan dipilih menjadi sampel. Cara penggunaan teknik

random sampling ini dengan menggunakan cara sederhana yaitu dengan

menggulung lintingan kertas yang sudah diberi nomor urut absen pada masing-

masing kelas, lalu peneliti mengocok secara random, bagi lintingan yang

muncul maka itulah yang menjadi subjek penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, maka metode

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner dengan jenis skala

Likert. Menurut Sugiyono (2007:134) skala likert merupakan sebuah instrumen

pengumpul data yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial.


36

Skala ini terdiri dari beberapa pernyataan yang bersifat favourable (+) dan

unfavourable (-) dengan alternatif jawaban yang dimodifikasi. Alternatif jawaban yang

digunakan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai, Netral (N) (TS), dan

Sangat Tidak Sesuai (STS).


37

Daftar Pustaka

Aisha, Dhita, L. (2014). Hubungan Antara Religiusitas dengan Resiliensi pada Remaja
di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Skripsi: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ancok, D. dan Suroso, F. N. (2001). Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-
Problem Psikologi. Cetakan 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
At-Tariqi, Husain dan A. Abudllah. (2004). Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan
Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Aviah, Evy dan Farid, Muhammad. (2014). Religiusitas, Kontrol Diri, dan Kenakalan
Remaja. Jurnal Psikologi, Vol. 3, No.2, 126-129.
Casmini. (2007). Emotional Parenting. Pilar Media. Yogyakarta.
Darmawati, I. (2012). Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dengan Kemampuan
Dalam Mengatasi Stres (Coping Stress). Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan,
Vol.2, no.2, 22-29.
Dister, N. S. (1982). Pengantar Psikologi Agama: Pengalaman dan Motivasi Beragama.
Jakarta: Lappenas.
Fitriana, Triana. (2013). Pengaruh Kecerdasan Emosional, Komitmen Organisasional
dan Organizational Citizenship Behavior Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal
Ekonomi, Vol.4, No.2, 103-114.
Lidya, S. N. dan Sofiah, D. (2012). Religiusitas, Kecerdasan Emosional, dan
Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi, Vol.7, No.2, 562-584.
Mangunwidjaya, Y. B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta:
Gramedia
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi ke-
5. Terjemahan: Achmad Chusairi dan Juda Damanik. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Remaja Edisi ke-11. Terjemahan: Benedictine Widyasinta.
Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai